Ali bin Abi Thalib: Kaya Hikmah, Bersih Harta
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. adalah pintu ilmu, menantu Rasulullah ï·º, dan khalifah keempat yang hidup dalam gejolak fitnah besar. Namun di tengah konflik politik, beliau tetap menjaga satu hal dengan sangat serius: harta.
Di tangannya, uang tidak berkuasa. Ia tidak menjadi hamba harta, justru menjadikan harta alat untuk menguatkan keadilan dan menjaga harga diri umat.
Inilah enam cara Sayyidina Ali mengelola uang dalam berbagai sisi kehidupannya.
1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bersahaja
Ali hidup dengan Fatimah az-Zahra dalam kesederhanaan luar biasa. Mereka pernah hidup hanya dengan satu tikar kulit dan satu penggiling tangan dari batu.
Suatu hari, Fatimah mengeluh karena tangannya kasar akibat menggiling sendiri gandum. Ia minta pembantu. Tapi Ali berkata:
“Wahai Fatimah, maukah kau kuajari sesuatu yang lebih baik daripada pembantu?”
Lalu ia ajarkan tasbih, tahmid, dan takbir sebagai kekuatan spiritual menggantikan keluhan duniawi.
Ali memberi nafkah seadanya. Ketika uang cukup, mereka makan. Ketika tidak, mereka bersabar. Tapi kehormatan rumah tangga mereka tak pernah dijual demi dunia.
2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Mandiri dan Produktif
Ali bukan pedagang besar seperti Abu Bakar atau Utsman, tapi ia bekerja keras sebagai buruh, petani, dan penggali sumur. Ia membuka banyak lahan di Madinah dan sekitarnya, menggali sumur dengan tangan sendiri.
Hasil dari pertanian dan airnya diwakafkan. Ia berkata:
“Bekerja dengan tangan sendiri adalah kemuliaan, dan berbagi dengan ikhlas adalah kebebasan.”
Ia menjadikan bisnis sebagai jalan kemandirian, bukan jalan menjadi kaya raya. Tidak bergantung, tidak meminta.
3. Mengelola Uang Soal Utang: Hati-hati dan Bertanggung Jawab
Ali sangat hati-hati dengan utang. Ia berkata:
“Utang adalah kehinaan di siang hari, dan kegelisahan di malam hari.”
Ia tidak suka berutang, dan tidak suka rakyatnya terlilit utang karena ketidakadilan. Bila seseorang berutang karena kebutuhan mendesak, ia bantu. Tapi bila karena malas, ia ingatkan.
Ia juga tidak meninggalkan utang saat wafat, dan mewasiatkan untuk melunasi semua hak orang sebelum jasadnya ditanam.
4. Mengelola Uang di Kas Negara: Sangat Tegas, Sangat Bersih
Saat menjabat khalifah, Ali ra. memimpin negara dalam kondisi yang kacau: fitnah, pemberontakan, dan perpecahan. Tapi ia tetap memisahkan mutlak antara harta negara dan kepentingan pribadi.
Ia berkata:
“Demi Allah, andai aku kelaparan dan kas negara ada madu dan gandum, aku tidak akan menyentuhnya tanpa hak.”
Ia membakar surat-surat permintaan dari kerabatnya yang meminta jatah. Ia menolak anak-anak Bani Hasyim yang meminta keistimewaan.
Pernah seseorang memberi madu sebagai hadiah, lalu Ali bertanya, “Apakah ini hadiah atau zakat?” Ketika dijawab “zakat,” ia menolak dan berkata:
“Zakat tidak halal bagi keluarga Nabi.”
5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Cukup untuk Hidup, Tak Lebih
Ali menerima gaji sebagai khalifah, tapi sangat minimal. Ia hanya mengambil kebutuhan pokok, dan bila berlebih ia kembalikan ke Baitul Mal.
Ia memakai pakaian biasa, makan roti kering dan garam, dan tidak pernah duduk di meja makanan mewah. Bila ada undangan jamuan yang mewah, ia lebih memilih absen.
Ia pernah berkata:
“Apakah pantas aku makan enak, sementara rakyatku lapar?”
Dalam suatu khutbah, ia menangis dan berkata:
“Bisa jadi di pelosok negeri ini ada orang lapar yang tak aku ketahui. Bagaimana aku akan menjawabnya kelak di hadapan Allah?”
6. Wasiat Uang Saat Wafat: Semua untuk Allah, Jangan Tinggalkan Beban
Sebelum wafat akibat tusukan Ibnu Muljam, Ali menulis wasiat:
“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan harta. Jangan kalian wariskan utang. Tunaikan hak orang sebelum kalian ditanya oleh Allah.”
Ia mewasiatkan tanah, sumur, dan kebun miliknya untuk dijadikan wakaf. Anak-anaknya tidak diwarisi tanah kekuasaan, tapi warisan kehormatan dan ilmu.
Ia wafat dalam keadaan sederhana. Tak ada kekayaan besar. Tak ada istana. Tapi jiwanya telah kaya sejak dulu: kaya dalam takut kepada Allah.
Penutup: Zuhud Bukan Menolak Uang, Tapi Menundukkan Hati dari Dunia
Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengajarkan bahwa zuhud bukan berarti anti-harta, melainkan menguasai harta, bukan dikuasai olehnya.
Ia menanam dengan tangan sendiri, tapi hasilnya untuk umat.
Ia menjabat khalifah, tapi tak ambil fasilitas.
Ia bisa kaya, tapi memilih mulia.
Kalau para pemimpin dan kepala keluarga meneladani Ali, negeri ini akan penuh amanah, dan harta akan menjadi jalan ke surga, bukan ke neraka.
0 komentar: