basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Utsman bin Affan: Saudagar Dermawan, Khalifah Zuhud Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Utsman bin Affan ra., kha...

Utsman bin Affan: Saudagar Dermawan, Khalifah Zuhud

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Utsman bin Affan ra., khalifah ketiga Islam, adalah sahabat Nabi ï·º yang diberi dua cahaya—menikahi dua putri Rasulullah secara bergantian. Ia adalah pemalu di depan manusia, tapi berani memberi besar-besaran di jalan Allah.

Ia kaya raya, tapi hatinya tak pernah terpaut pada harta. Uang baginya bukan simbol kekuasaan, tapi alat untuk menyelamatkan umat dan membeli ridha Allah.

Inilah cara Utsman bin Affan mengelola harta dalam berbagai peran hidupnya:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Lembut, Adil, dan Penuh Tanggung Jawab

Utsman berasal dari keluarga Quraisy terpandang, dan ia salah satu saudagar sukses di Makkah. Namun kekayaan itu tidak membuatnya pelit atau arogan.

Ia dikenal sangat penyayang terhadap istri-istrinya, termasuk saat mendampingi Ruqayyah dan kemudian Ummu Kultsum (putri Rasulullah ï·º). Ia menafkahi mereka dengan layak, bahkan sering memberikan hadiah atau pakaian mewah sebagai bentuk cinta—tanpa berlebihan.

Tapi di balik kelembutan itu, Utsman tetap menjaga prinsip syariat: tidak boros, tidak riya, dan tidak melampaui batas kemampuan.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Profesional, Jujur, dan Berkah

Utsman adalah pedagang yang sangat sukses. Ia berdagang kain, rempah, dan barang kebutuhan pokok hingga memiliki armada dagang sendiri.

Namun prinsipnya dalam berdagang sangat kuat:

Tidak pernah menipu timbangan

Tidak memonopoli

Tidak menimbun barang saat harga naik

Selalu membayar utang dagang tepat waktu

Tidak mengambil keuntungan dari musibah orang lain


Ia pernah berkata:

“Harta ini hanya amanah. Jika Allah mengambilnya kembali, aku rela. Jika Allah memintanya untuk agama-Nya, aku beri.”


Itulah sebabnya, walau hartanya banyak, Utsman tidak pernah tertawa keras di hadapan orang miskin.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Jangan Biarkan Jadi Beban Akhirat

Utsman sangat berhati-hati dalam berutang. Ia tidak berutang untuk spekulasi bisnis, dan lebih memilih memperluas modal dari hasil keuntungan dagang.

Tapi bila orang lain berutang padanya, ia gampang memaafkan. Bahkan ia pernah membebaskan utang seorang sahabat yang tidak mampu bayar, dengan berkata:

“Aku berharap Allah membebaskanku dari utang di akhirat, sebagaimana aku membebaskanmu di dunia.”


Utsman mengajarkan bahwa harta bisa jadi penyelamat, jika digunakan untuk meringankan beban orang lain.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Pisahkan Harta Pribadi dan Publik

Ketika menjadi khalifah, Utsman tetap memisahkan jelas antara harta pribadinya yang melimpah dan kas negara yang harus dijaga.

Ia bahkan tidak mengambil gaji dari Baitul Mal di masa awal pemerintahannya. Ia hidup dari hasil usahanya sendiri. Jika menggunakan fasilitas negara, ia catat dan bayar.

Ia juga memperbaiki administrasi fiskal, mencatat aset negara, dan membentuk unit akuntansi. Ia adalah pemimpin yang menerapkan prinsip audit dan pelaporan kekayaan.

Namun karena ia memberi banyak subsidi dan bantuan, muncul tuduhan nepotisme dari sebagian pihak—yang kelak dimanfaatkan untuk menggulingkannya. Padahal, ia membagikan bantuan bukan karena hubungan darah, tapi karena tanggung jawab sosial.



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Menolak Gaji, Hidup dari Usaha Sendiri

Ketika ditawari gaji sebagai khalifah, Utsman menolak. Ia berkata:

“Aku tidak butuh dari Baitul Mal. Allah telah mencukupiku dari hasil perniagaanku.”


Ia mencontoh Abu Bakar dan Umar, tapi bahkan lebih ketat dalam hal ini.

Ia hidup dari ladang kurma, kebun, dan bisnis kafilah dagangnya yang masih terus berjalan, meski ia memimpin negara besar.

Ia hanya memakai gaji negara jika benar-benar darurat, dan selalu mencatat setiap pengeluaran negara yang ia gunakan.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Kembali kepada Umat, Beli Surga dengan Sedekah

Saat wafat dalam keadaan dizalimi oleh para pemberontak, Utsman tidak meninggalkan utang, tidak meninggalkan kekayaan yang belum dibagi, dan tidak menguasai harta umat.

Ia justru meninggalkan jejak sedekah besar:

Sumur Raumah yang ia beli dan hibahkan untuk rakyat Madinah

Biaya besar untuk perang Tabuk (menyumbang 1.000 unta lengkap dengan peralatannya)

Rumah dan lahan yang ia wakafkan untuk masjid Nabawi

Harta pribadinya yang ia wasiatkan sebagian untuk anak yatim dan fakir miskin


“Jika surga bisa dibeli dengan harta, aku akan membelinya berkali-kali,” demikian prinsip hidupnya.

Ia mati dalam keadaan puasa, membaca Al-Qur'an, dan darahnya menodai mushaf saat ia dibunuh. Dunia mencelakainya, tapi ia sudah membeli akhirat dengan seluruh hartanya.



Penutup: Kaya Tak Harus Rakus

Utsman bin Affan membuktikan bahwa menjadi kaya itu tidak haram, asal:

Jujur dalam mencari

Bersih dalam menggunakan

Banyak dalam memberi

Kecil dalam mengambil

Besar dalam hisab

 Ia adalah simbol kedermawanan tak bersyarat, pemilik harta yang tidak dikuasai dunia, dan pemimpin yang wafat dengan kehormatan dan Al-Qur’an di dadanya.

Umar bin Khattab: Pemimpin Besi dengan Hati yang Takut Hisab karena Uang Ide Tulisan:Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Umar ...


Umar bin Khattab: Pemimpin Besi dengan Hati yang Takut Hisab karena Uang

Ide Tulisan:Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Umar bin Khattab ra., khalifah kedua dalam sejarah Islam, adalah simbol kekuatan dan keadilan. Ia menaklukkan Persia dan sebagian besar wilayah Romawi, tapi tidak pernah menaklukkan satu pun dirham untuk kepentingan dirinya.

Di balik sosoknya yang tegas, tersimpan akhlak luar biasa dalam mengelola uang—baik sebagai ayah, pedagang, pemimpin negara, maupun hamba Allah yang takut akan hisab.



1. Mengelola Uang di Keluarga: Tegas, Adil, dan Tak Berlebihan

Sebagai kepala keluarga, Umar tidak pernah membiarkan istri dan anak-anaknya hidup bermewah-mewah. Ia memberikan kebutuhan pokok secukupnya, tanpa memanjakan.

Pernah suatu hari istrinya meminta tambahan belanja. Umar menjawab:

"Aku tidak memiliki hak lebih dari hak kaum Muslimin lainnya. Jika aku beri lebih, lalu dari mana aku jawab di hadapan Allah?"

Anaknya, Abdullah bin Umar, pernah ingin membeli pakaian bagus. Umar melarang. Ia ingin keluarga khalifah tidak berbeda dengan rakyat biasa.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur dan Penuh Etika

Sebelum masuk Islam, Umar adalah saudagar sukses. Ia berdagang di pasar Ukaz dan Makkah. Tapi bahkan sebelum kenal Islam, ia sudah dikenal jujur dan berani berkata benar.

Setelah masuk Islam, ia lebih berhati-hati. Ia berdagang bukan untuk menumpuk harta, tapi untuk hidup mandiri. Ia tak pernah menimbun barang, menaikkan harga seenaknya, apalagi menipu pelanggan.

Bisnis baginya bukan jalan menjadi kaya, melainkan jalan menghindari meminta-minta dan hidup mulia.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Tak Suka Menunda, Tak Suka Berutang

Umar sangat benci pada orang yang berutang tapi tidak berusaha melunasi. Ia berkata:

"Berhati-hatilah kalian terhadap utang, sebab awalnya kekhawatiran dan akhirnya permusuhan."



Ia tak suka rakyat menggampangkan utang. Tapi ia juga membela orang miskin yang benar-benar terpaksa berutang. Ia memerintahkan Baitul Mal membantu mereka, agar tak dijerat riba.

Umar sendiri dikenal tidak suka berutang. Jika harus meminjam, ia akan segera melunasinya. Bahkan dalam pengawasan pasar, ia menegur pedagang yang terlalu banyak berutang dagang.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Seperti Pengelola Amanah Allah

Umar sangat keras terhadap pengelolaan Baitul Mal. Ia memisahkan urusan pribadi dan negara secara tegas. Ia tak mau memakai lilin negara untuk urusan keluarganya.

Pernah ia kedatangan tamu urusan pribadi, lalu memadamkan lampu. Ketika ditanya, ia menjawab:

“Lampu ini menyala dari harta negara. Dan urusan kita bukan urusan negara.”

Ia juga mencatat sendiri pemasukan dan pengeluaran kas negara, serta mewajibkan para pejabat mencatat dan melaporkan kekayaan mereka. Bila ada yang tiba-tiba kaya, ia akan menyelidikinya.

Harta rampasan perang pun tak pernah ia sentuh untuk kepentingan pribadi. Ia langsung membaginya sesuai syariat dan mendahulukan orang-orang miskin dan keluarga syuhada.



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Cukup Makan dan Pakaian, Tak Lebih

Gaji Umar sebagai khalifah sangat kecil. Ia hanya menerima 2 dirham sehari, cukup untuk makan roti, kurma, dan air. Bahkan terkadang itu pun ia hematkan untuk rakyat.

Pernah sahabat-sahabat mendesak agar ia menaikkan gajinya. Umar menolak. Ia berkata:

“Apakah kalian ingin aku kehilangan keberkahan jabatan ini? Aku cukup dengan apa yang cukup untuk rakyatku.”

Bajunya tambalan. Rumahnya kecil. Ia tak menyimpan makanan lebih dari sehari. Bukan karena ia miskin, tapi karena takut kelak Allah bertanya tentang setiap suap dan kain yang dipakai.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Kembali kepada Rakyat dan Allah

Menjelang wafat karena tusukan Abu Lu’lu’ah, Umar memanggil anak-anaknya dan berkata:

 “Jika aku memiliki utang, lunasilah segera. Jika aku memiliki kelebihan, kembalikan ke Baitul Mal.”

Ia tidak meninggalkan warisan besar. Tidak ada tanah, emas, atau rumah mewah. Ia hanya meninggalkan takut kepada Allah, dan catatan bersih di hadapan umat.

Ia mewasiatkan agar jasadnya dimakamkan di dekat Rasulullah ï·º, tapi tetap meminta izin dari Aisyah lebih dulu—sebagai tamu, bukan sebagai khalifah.



Penutup: Kekuasaan Tak Membuatnya Kaya

Khalifah Umar mengelola harta bukan dengan logika untung-rugi dunia, tapi dengan takut akan hisab dan cinta pada keadilan.

“Jika seekor keledai tergelincir di Irak, aku takut Allah akan tanya: mengapa kau tak perbaiki jalannya, wahai Umar?”


Di zamannya, negara kaya, tapi pemimpinnya tetap hidup sederhana. Rakyat kenyang, tapi pemimpinnya tetap lapar demi menjaga keadilan.

Umar bin Khattab telah membuktikan:
Keadilan bukan teori, tapi pilihan hidup. Dan uang bukan hak, tapi amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Abu Bakar Ash-Shiddiq: Teladan Mengelola Uang dengan Amanah dan Akhirat di Hati Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGP...


Abu Bakar Ash-Shiddiq: Teladan Mengelola Uang dengan Amanah dan Akhirat di Hati

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT


Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. adalah sahabat Nabi ï·º yang paling dicintai dan khalifah pertama setelah wafatnya Rasulullah. Namun di balik kemuliaan iman dan kepemimpinannya, ada satu hal penting yang kerap dilupakan: cara beliau mengelola uang—dengan akhlak, amanah, dan pandangan akhirat yang tajam.



1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bertanggung Jawab

Abu Bakar hidup dengan penuh kesederhanaan. Rumahnya tak lebih dari bangunan batu sederhana di Madinah. Ia tetap berdagang kain meski telah memeluk Islam dan menjadi tangan kanan Rasulullah.

Suatu ketika, setelah diangkat menjadi khalifah, ia tetap memikul barang dagangannya. Umar bin Khattab melihat dan berkata, "Wahai Abu Bakar, uruslah umat! Kami akan mencukupimu dari Baitul Mal."

Namun ia menjawab, "Siapa yang akan menafkahi keluargaku jika aku tak berdagang?"

Bagi Abu Bakar, keluarga adalah amanah dunia, dan ia tidak ingin membebani umat karena tanggung jawab pribadinya. Ia baru menerima gaji khalifah setelah dipastikan jumlahnya cukup untuk kebutuhan dasar istri dan anak-anaknya, tanpa berlebihan.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur dan Bersih

Sebagai pedagang, Abu Bakar terkenal jujur, adil, dan tak pernah menipu. Ia lebih suka mengambil untung sedikit tapi halal daripada meraih banyak keuntungan dari ketidakjujuran.

Ia tidak berutang untuk spekulasi. Ia berdagang berdasarkan modal nyata, dengan prinsip ridha dan kejelasan. Ia tahu bahwa setiap dirham akan dihisab.

Karena kejujurannya, banyak orang Quraisy percaya padanya—dan itulah yang menjadi bekal spiritual ketika ia menemani Rasulullah ï·º hijrah: dipercaya membawa harta dan rahasia, karena dikenal tak pernah menyalahgunakan amanah.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Segera Dilunasi, Jangan Ditunda

Abu Bakar sangat berhati-hati terhadap utang. Ia sering berkata, "Utang kepada manusia adalah beban dunia, dan hisab di akhirat."

Bahkan menjelang wafat, ia mewasiatkan:

 “Barang siapa yang merasa memiliki hak atau piutang atas diriku, hendaklah mendatanginya anakku agar dilunasi.”

Ia tidak pernah menunda-nunda. Bila punya utang, ia akan segera membayar. Bila menerima titipan, ia kembalikan tepat waktu. Ia hidup dengan prinsip: jangan bawa utang ke liang kubur.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Bersih dan Sangat Hati-hati

Sebagai kepala negara, Abu Bakar mengelola Baitul Mal dengan penuh takut kepada Allah. Ia memastikan harta negara tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, bahkan sekadar lilin penerang saat menulis surat pribadi pun ia padamkan jika urusan negara selesai.

Jika ada kelebihan dari kas negara, ia kembalikan. Bila ada kebutuhan darurat dari rakyat, ia prioritaskan.

Ia tidak memungut pajak berlebihan. Zakat dikelola dengan baik. Saat ada pemberontakan yang menolak membayar zakat, Abu Bakar tegas:

 “Demi Allah, aku akan perangi siapa pun yang memisahkan zakat dari salat!”



5. Mengelola Uang Gaji Khalifah: Kembalikan Jika Tidak Layak

Gaji khalifah ditetapkan oleh para sahabat dengan sangat minimal. Abu Bakar hanya menerima gaji cukup untuk makan, pakaian sederhana, dan kebutuhan dasar.

Namun menjelang wafatnya, ia merasa khawatir gaji itu melebihi kebutuhannya.

Ia berkata kepada Aisyah ra.:

“Aku telah mengambil beberapa dirham dari Baitul Mal. Jika aku wafat, juallah kebun milikku, dan kembalikan seluruhnya ke kas negara.”


Ia tidak ingin bertemu Allah dalam keadaan masih menanggung harta yang bukan miliknya, meski itu diberikan secara resmi.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Bersih dan Tak Meninggalkan Beban

Sebelum wafat, Abu Bakar menghitung seluruh hartanya. Ia berkata kepada Umar:

“Aku tidak meninggalkan harta, kecuali satu budak, seekor unta, dan satu kebun. Sisanya, kembalikan ke umat.”

Ia mewasiatkan kepada anaknya untuk melunasi semua utangnya dan menyelesaikan segala urusan harta dengan manusia sebelum tubuhnya masuk ke liang lahat.

Ia tidak ingin dikenal sebagai orang kaya, tidak juga dikenang sebagai pemimpin berpakaian mewah. Ia ingin wafat seperti ia hidup: ringan, bersih, dan tak menggantung satu dirham pun milik orang lain.



Teladan di Era Penuh Godaan

Hari ini, ketika banyak orang bangga dengan kekuasaan, jabatan, dan harta, Abu Bakar justru memberi teladan kepemimpinan yang takut kepada Allah dalam setiap sen uang yang dikelola.

Harta tidak membuatnya tinggi,
utang tidak membuatnya merunduk,
dan jabatan tidak mengubah kejujurannya.


Jika para pemimpin, pebisnis, dan kepala keluarga hari ini belajar dari Abu Bakar, mungkin negeri ini akan lebih ringan beban utangnya—baik di dunia, maupun di akhirat.

Sultan-Sultan Minangkabau: Melunasi Utang Demi Marwah Nagari Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Tanah Minangkaba...

Sultan-Sultan Minangkabau: Melunasi Utang Demi Marwah Nagari

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 


Tanah Minangkabau dikenal sebagai negeri para raja adat, ulama, dan pedagang tangguh. Namun di balik kejayaannya, para sultan dan pemimpin Minang menghadapi tantangan ekonomi serius, terutama sejak abad ke-18 saat intervensi kolonial Belanda dan sistem utang dagang mulai menjerat rakyat.

Dalam kondisi itu, para penghulu adat, raja, dan sultan di nagari-nagari besar Sumatera Barat mengambil sikap. Utang rakyat bukan hanya beban pribadi, tapi kehormatan nagari. Dan ketika marwah nagari terancam karena utang, maka para pemimpinnya harus turun tangan.



1. Sultan Alam Bagagarsyah: Melunasi Utang Rakyat di Era Kolonial

Pada masa Sultan Alam Bagagarsyah (raja Pagaruyung terakhir, 1795–1833), intervensi kolonial Belanda mulai menggoyang ekonomi lokal. Melalui praktik rente dan sistem “pinjaman paksa” kepada para penghulu dan rakyat, banyak nagari jatuh miskin, dan harta pusaka mulai tergadai.

 Sang Sultan:

Menolak pinjaman berbungakan tinggi dari pemerintah kolonial

Melunasi utang beberapa penghulu nagari dari kas kerajaan dan emas simpanan istana

Mewajibkan musyawarah adat untuk menyelesaikan persoalan utang tanpa kekerasan


Beliau berkata kepada para datuk:

“Utang yang membuat rakyat kehilangan sawah dan ladang, akan membuat kita kehilangan harga diri.”



2. Para Datuk Nagari: Melindungi Rakyat dari Utang Menindas

Dalam sistem pemerintahan Minangkabau, para Datuk atau penghulu bukan hanya tokoh adat, tapi juga pelindung ekonomi rakyatnya. Banyak kisah turun-temurun tentang datuk yang:

Menebus tanah rakyat yang digadaikan karena utang

Melarang menjual pusaka tinggi (tanah warisan kaum) demi utang pribadi

Menggalang kas bersama (sando, pitih sanak, pitih nagari) untuk melunasi utang petani dan pedagang kecil


“Tanah pusako bukan untuk dilelang. Bila anak kemenakan terjerat utang, datuk yang terlebih dulu malu.”



3. Ulama Harimau Nan Salapan: Menentang Utang Kolonial dan Rente

Kelompok ulama reformis Minang, seperti Tuanku Nan Renceh, Tuanku Imam Bonjol, dan ulama Harimau Nan Salapan pada abad ke-18–19, bukan hanya berjuang dalam medan jihad fisik, tetapi juga melawan sistem ekonomi rente yang menjajah rakyat.

Mereka:

Membakar buku utang yang dibuat rentenir Belanda dan pedagang Cina di pasar-pasar

Mendirikan lembaga zakat dan pinjaman tanpa bunga

Mendorong rakyat menghindari utang konsumtif dan melawan sistem “gadai pusako”


Tuanku Imam Bonjol berkata:

 “Jika utang menjadikan kita budak, maka membebaskannya adalah jihad.”



4. Falsafah Minang: Utang Adalah Ujian Adat dan Agama

Falsafah Minangkabau menempatkan utang dalam posisi serius:

 “Utang dibayar, janji ditunai.”
“Nan tabao pinjam, nan digadai ditebus.”
“Biar lapar, asal tidak berutang ke musuh.”


Karena itu, kesultanan dan sistem nagari bertanggung jawab membantu rakyat keluar dari jeratan utang yang menghina.



Penutup: Utang, Marwah, dan Kepemimpinan Minangkabau

Para sultan dan pemimpin adat Minangkabau telah memberi contoh:

Tidak menjadikan utang sebagai alat menundukkan rakyat

Menggunakan kas kerajaan dan sistem sako-pusako untuk menolong rakyat

Menjaga agar tanah pusaka tidak terjual demi utang sesaat


 “Kita bukan bangsa peminta, tapi pewaris marwah. Jika anak nagari terjerat utang, pemimpin wajib membebaskannya dengan kehormatan, bukan dengan menjual negeri.”

Sultan-Sultan Demak: Melunasi Utang Rakyat, Menjaga Martabat Islam Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Kesultanan...

Sultan-Sultan Demak: Melunasi Utang Rakyat, Menjaga Martabat Islam

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Kesultanan Demak (±1475–1554 M), sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, bukan hanya simbol kejayaan dakwah Walisongo, tapi juga pelopor sistem pemerintahan Islam yang adil dan berpihak pada rakyat kecil.

Dalam perjalanan sejarahnya, para Sultan Demak dikenal sangat berhati-hati terhadap urusan utang, riba, dan ketergantungan ekonomi, terutama pada masa transisi dari sistem Hindu-Jawa yang masih mengenal rente dan perbudakan ekonomi.



1. Raden Patah (Sultan Pertama Demak): Membebaskan Rakyat dari Jerat Utang Feodal

Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak dan murid Sunan Ampel, melihat langsung penderitaan rakyat akibat sistem persewaan tanah dan pajak feodal Majapahit yang membuat banyak petani dan rakyat jelata jatuh miskin dan berutang.

 Langkah pentingnya:

Menghapus pajak berat warisan Majapahit

Menghapus sistem ijon dan rente hasil panen

Melunasi utang-utang rakyat kecil melalui dana wakaf istana dan zakat para saudagar Muslim


Raden Patah menyampaikan dalam khutbahnya:

 “Negeri Islam tak boleh membiarkan rakyatnya menjual anak-anaknya karena utang.”



2. Sultan Trenggono: Membentuk Dana Sosial Islam untuk Menanggulangi Utang Rakyat

Sultan Trenggono (1521–1546), sultan terbesar Kesultanan Demak, dikenal sangat memperhatikan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Di tengah ekspansi militer dan dakwah ke Pajang, Mataram, hingga Pasuruan, ia tetap mengatur lembaga sosial yang bertujuan melunasi utang rakyat miskin.

Kebijakan pentingnya:

Membentuk lembaga pengelola zakat dan wakaf negara (cikal bakal baitul mal)

Menebus tanah rakyat yang digadaikan kepada saudagar asing dan Cina peranakan

Menyediakan pinjaman tanpa riba untuk pedagang Muslim kecil dan petani


Beliau dikenal sering turun langsung ke pasar-pasar untuk memeriksa keadilan harga dan kasus utang rakyat.

“Pemimpin sejati bukan yang membangun tembok tinggi, tapi yang meruntuhkan beban utang rakyat.” — Sultan Trenggono



3. Keterlibatan Walisongo dalam Urusan Utang Rakyat

Kesultanan Demak tidak bisa dilepaskan dari bimbingan spiritual dan sosial para Walisongo, yang sangat tegas terhadap praktik riba dan utang yang menindas. Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Bonang adalah pelopor ekonomi kerakyatan Islam berbasis wakaf dan koperasi syariah.

Sunan Kalijaga menulis dalam petuahnya:
“Siapa yang memberi pinjaman tanpa menindas, maka Allah akan menanamkan berkah di sawah dan usahanya.”


Karena itulah, sultan-sultan Demak meneladani ajaran ini dalam bentuk nyata: melunasi utang rakyat lewat dana istana dan wakaf para saudagar Muslim.



4. Keteladanan dalam Wasiat Sultan Demak

Dalam catatan lisan dan naskah-naskah Jawa Islam, dikisahkan bahwa para Sultan Demak mewasiatkan agar para penerusnya tidak hidup dalam utang kepada kekuatan asing, apalagi menjual tanah atau hak-hak rakyat demi proyek kekuasaan.

Dalam sebuah suluk tua disebutkan:

 “Yen sultan ngadhepi rakyat kang kasangsaran awit utang, kudune sultan nuwuhake welas lan tumandang gawe pamulih.”
(Jika seorang sultan melihat rakyatnya menderita karena utang, maka ia wajib menumbuhkan kasih dan bertindak untuk menyelamatkan.)



Penutup: Islam, Utang, dan Kepemimpinan

Para Sultan Demak menunjukkan bahwa kepemimpinan Islam bukan hanya soal kekuasaan politik, tetapi juga keberpihakan pada ekonomi rakyat. Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh utang dan rente, mereka hadir sebagai contoh bahwa:

Negara wajib membantu rakyat keluar dari utang menindas

Utang bukan sekadar persoalan individu, tapi amanah sosial

Islam menawarkan sistem ekonomi yang membebaskan, bukan menjerat


“Lebih baik negara kecil tapi bebas dari utang, daripada besar tapi tergadaikan martabatnya.”

Sultan-Sultan Aceh: Melunasi Utang demi Menjaga Martabat Umat Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Aceh Darussalam...

Sultan-Sultan Aceh: Melunasi Utang demi Menjaga Martabat Umat

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Aceh Darussalam adalah salah satu kesultanan Islam tertua dan terkuat di Nusantara. Sejak abad ke-16, ia bukan hanya pusat dakwah dan pendidikan Islam, tetapi juga pusat perdagangan dunia, penghubung antara Timur Tengah dan Asia Tenggara. Namun dalam keagungan itu, para sultan Aceh sangat menyadari satu hal: utang bisa menjadi alat penjajahan yang halus dan mematikan.

Oleh karena itu, para sultan Aceh menjadikan pelunasan utang—baik utang rakyat maupun negara—sebagai bagian dari jihad kepemimpinan.



1. Sultan Iskandar Muda (1607–1636): Melunasi Utang Dagang Rakyat

Di masa Sultan Iskandar Muda, rakyat Aceh sangat aktif dalam perdagangan internasional. Tapi dalam situasi badai, kegagalan panen, atau gangguan pelayaran, banyak pedagang kecil yang berutang kepada mitra dagang asing, termasuk pedagang Gujarat, Arab, bahkan Portugis.

Sultan Iskandar Muda membentuk “Baitul Mal Kesultanan”, yang di antaranya digunakan untuk:

Menebus utang pedagang lokal yang hartanya disita

Memberi pinjaman syariah kepada nelayan dan petani

Melindungi rakyat dari rente dan bunga dagang luar


Dalam khutbahnya di hadapan ulama dan qadhi, sang Sultan menegaskan:

 “Utang yang menjerat rakyat akan mengundang kehinaan. Maka wajib bagi pemimpin untuk membebaskan mereka dari belenggu itu.”



2. Sultanah Shafiyyatuddin (1641–1675): Membebaskan Janda-Janda dari Jerat Utang

Sebagai pemimpin perempuan yang bijaksana dan alim, Sultanah Shafiyyatuddin, istri dari Sultan Iskandar Tsani, sangat peduli pada nasib perempuan miskin dan janda yang terlilit utang karena ditinggal suami syahid atau wafat.

Ia mewajibkan Baitul Mal menyisihkan dana untuk:

Melunasi utang rumah tangga fakir miskin

Membebaskan hamba sahaya karena utang

Memberi modal usaha tanpa bunga kepada janda dan anak yatim


Beliau berkata:

“Yang terbebani bukan hanya mereka yang berutang, tapi negara yang diam membiarkan rakyatnya terhina.”



3. Sultan Alauddin Johan Syah (1735–1760): Menolak Bantuan Utang dari Kompeni

Pada masa ini, Belanda mulai merangsek ke perairan barat Sumatra dan menawarkan kerja sama dagang dengan embel-embel pinjaman dan pembangunan pelabuhan.

Namun Sultan Alauddin Johan Syah menolaknya mentah-mentah. Ia menyampaikan kepada utusan Belanda:

 “Kami tidak meminta bantuan yang menjadikan negeri ini terikat. Kami hidup dari hasil bumi kami, bukan dari pinjaman yang menjebak.”


Beliau bahkan menggunakan emas simpanan istana dan wakaf keluarga untuk melunasi utang-utang para saudagar dan kapten kapal yang terancam kehilangan armadanya.



4. Kebijakan Umum Para Sultan Aceh: Utang Rakyat Adalah Tanggung Jawab Negara

Dalam berbagai dokumen lokal dan hukum adat Aceh yang disebut Qanun Meukuta Alam, para sultan menerapkan prinsip-prinsip Islam yang kuat:

Utang yang zalim boleh dibatalkan

Utang rakyat karena musibah harus dilunasi Baitul Mal

Rentenir asing yang menindas bisa diusir atau diputuskan hak dagangnya

Kas istana harus digunakan untuk menolong yang lemah, bukan memperkaya bangsawan



5. Wasiat Sultan: Jangan Wariskan Negeri yang Bergantung

Dalam wasiat Sultan Aceh yang tertulis dalam naskah kuno Hikayat Raja-raja Pasai dan Tawarikh Aceh, tercatat pesan berulang:

 “Bila rakyat lapar, beri makan dari gudang. Bila mereka terjerat utang, lunasi dari kas negara. Tapi jangan sekali-kali pinjam kepada musuh yang kelak menuntut tanah kita.”



Penutup: Utang, Kedaulatan, dan Marwah Islam

Para Sultan Aceh mengajarkan bahwa:

Utang tidak boleh dijadikan alat menghinakan rakyat

Pelunasan utang adalah jihad ekonomi

Negara Islam harus berdiri di atas kemandirian, bukan pinjaman berbunga


“Biar kita miskin di mata dunia, asal kita tidak menjual kehormatan kepada penjajah.”
— Prinsip para Sultan Aceh

Sultan-Sultan Kalimantan: Melunasi Utang demi Kehormatan Rakyat Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: Nasrulloh Baksolahar  ...

Sultan-Sultan Kalimantan: Melunasi Utang demi Kehormatan Rakyat

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: Nasrulloh Baksolahar 


Tanah Kalimantan bukan hanya kaya akan hutan dan tambang, tetapi juga sarat dengan sejarah kesultanan Islam yang berdaulat. Di antara yang paling dikenal adalah Kesultanan Banjar, Kutai Kartanegara, Pontianak, dan Sambas. Para sultan di wilayah ini tidak hanya menjadi pemimpin spiritual, tetapi juga pelindung ekonomi umat.

Mereka tidak membiarkan rakyat ditindas oleh sistem utang kolonial, dan ketika rakyat jatuh ke dalam lilitan utang karena pajak dan tipu daya dagang asing, para sultan tampil ke depan: melunasi utang, menolak riba, dan membangun sistem ekonomi Islam berbasis zakat, wakaf, dan keadilan.



1. Sultan Sulaiman (Kutai Kartanegara): Melunasi Utang Petani dan Menolak Riba

Sultan Sulaiman (abad ke-19) dari Kesultanan Kutai Kartanegara terkenal dengan sikapnya yang tegas terhadap praktik utang berbunga yang dilakukan oleh pedagang Cina dan perantara Belanda. Di masa kekeringan, banyak rakyat yang meminjam beras dan uang dengan bunga tinggi.

Sultan memerintahkan:

Pembentukan baitul mal untuk melunasi utang para petani

Penghapusan bunga dalam transaksi dagang antar sesama Muslim

Larangan menyita tanah atau rumah rakyat karena utang pokok kecil


Ia berkata dalam musyawarah adat:

“Rakyat bukan barang gadai. Negeri ini bukan ladang riba.”



2. Sultan Adam Al-Watsiq Billah (Banjar): Menghapus Utang Kolonial dan Pajak Penindas

Sultan Adam (memerintah 1825–1857), penguasa besar Kesultanan Banjar, menghadapi tekanan Belanda yang mulai menerapkan sistem utang dan monopoli hasil bumi. Ia menolak kebijakan utang Belanda yang akan mengikat kesultanan dan mengurangi kedaulatan dalam perdagangan.

Ia melakukan:

Pelunasan utang rakyat kepada saudagar asing dengan kas negara

Membatalkan perjanjian yang memaksa Banjar berutang kepada Belanda

Melindungi tanah ulayat rakyat dari penyitaan akibat utang


Ia berkata:

“Kita tidak akan menjual kemerdekaan dengan emas pinjaman.”



3. Sultan Abdurrahman (Pontianak): Menolong Rakyat dari Utang Kapal dan Dagang

Di Kesultanan Pontianak, Sultan Abdurrahman dikenal sebagai pemimpin pedagang yang saleh. Di tengah ekspansi VOC dan kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda, banyak nelayan dan saudagar kecil yang terjerat utang dalam perdagangan laut.

 Sang sultan membentuk:

Dana khusus kesultanan untuk menebus kapal nelayan yang digadaikan

Sistem koperasi syariah untuk menghindarkan rakyat dari rentenir Tionghoa

Penyuluhan kepada rakyat agar menghindari utang konsumtif dan bunga tinggi



4. Sultan-Sultan Sambas: Melunasi Utang Warga dan Mengatur Keadilan Ekonomi

Di daerah Sambas, para sultan seperti Sultan Muhammad Syafiuddin II juga terlibat aktif membela rakyat dari beban ekonomi. Ketika rakyat tak mampu membayar pajak atau cicilan kepada pedagang asing, beliau seringkali melunasi utang tersebut secara pribadi atau dari zakat istana.

Ia menyampaikan kepada para ulama:

“Jangan biarkan rakyat menjual tanahnya demi beras. Negeri ini harus menjamin perut dan kehormatan mereka.”



5. Prinsip Bersama Para Sultan Kalimantan: Utang Adalah Amanah Sosial

Dalam adat dan syariat yang dianut para sultan di Kalimantan, utang bukan hanya masalah individu. Bila utang itu mendera rakyat secara sistemik, maka pemerintah wajib hadir menolong. Prinsip ini sejalan dengan hadits Nabi ï·º:

“Siapa yang mati dalam keadaan berutang, maka jiwanya tergantung hingga utangnya dibayarkan.”
(HR. Tirmidzi)


Maka para sultan menjadikan pelunasan utang rakyat sebagai bagian dari amanah agama dan kepemimpinan.



Penutup: Kepemimpinan Islam, Bebas dari Belenggu Utang

Para sultan Kalimantan membuktikan bahwa pemimpin sejati bukan yang memperkaya istana, tapi yang melunasi beban rakyatnya. Mereka sadar bahwa:

Utang bisa menjadi alat penjajahan

Ekonomi umat harus dibangun tanpa riba

Keadilan ekonomi adalah pilar dari kekuasaan yang sah


“Lebih baik negeri ini miskin tapi bebas, daripada kaya tapi tergadai.”
— Pesan Para Sultan Kalimantan

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (224) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (466) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (144) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)