basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Amerika dan Penjajah Israel: Kemesraannya Seperti Abu Lahab dan Istrinya Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di hari pertama dakwah terbu...

Amerika dan Penjajah Israel: Kemesraannya Seperti Abu Lahab dan Istrinya

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di hari pertama dakwah terbuka, Rasulullah ﷺ naik ke Bukit Shafa dan berseru:

“Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian sebelum datangnya azab yang pedih.”

Seruan ini langsung ditanggapi dengan cacian oleh Abu Lahab:

“Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami? Celakalah engkau!”

Peristiwa inilah yang menjadi sebab turunnya surat Al-Lahab—sebuah kutukan abadi bagi musuh dakwah dari kalangan keluarga sendiri. Tapi permusuhan Abu Lahab tidak berhenti di situ.

Setiap kali Rasulullah ﷺ berdakwah dari satu kabilah ke kabilah lainnya, Abu Lahab membuntuti dari belakang, memperingatkan orang-orang agar tidak mendengarkan Rasulullah:

“Wahai Bani Fulan, orang ini ingin kalian meninggalkan Lata dan Uzza, dan meninggalkan sekutu-sekutu jin kalian dari Bani Malik bin Aqmas. Ia membawa bid‘ah dan kesesatan. Jangan dengarkan dia, jangan ikuti dia!”

Bahkan, Abu Lahab juga menjadi inisiator piagam blokade terhadap Bani Hasyim, yang melarang segala bentuk hubungan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan dengan Rasulullah ﷺ dan pendukungnya. Ia menekan dan menghukum kabilah-kabilah yang masih melindungi Nabi.

Namun, Abu Lahab tidak sendirian. Sang istri, Ummu Jamil binti Harb, ikut aktif menyebarkan teror. Ia meletakkan duri di jalan yang dilalui Nabi ﷺ menuju Masjidil Haram, bahkan pernah membawa batu untuk melempar beliau. Mereka adalah pasangan yang serasi dalam permusuhan terhadap dakwah.


Kemesraan yang Menghancurkan

Kemesraan ini tak hanya terjadi di zaman jahiliyah. Hari ini, kita menyaksikan kemesraan serupa antara Amerika dan penjajah Israel. Hubungan mereka bukan sekadar diplomatik, tapi sudah menjadi koalisi ideologis dan strategis dalam menciptakan kerusakan global—terutama terhadap Palestina dan dunia Islam.

Amerika adalah Abu Lahab-nya zaman ini. Israel adalah Ummu Jamil-nya.
Keduanya saling menopang dalam kezaliman, dengan dukungan intelijen, militer, ekonomi, dan diplomasi.


Saat Israel Membantai, Amerika Menopang

Ketika penjajah Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina, Amerika selalu tampil sebagai pelindung utama:

1. Memveto resolusi PBB yang mengecam Israel.

2. Mendukung kejahatan perang dengan mengancam Mahkamah Internasional.

3. Mengucurkan miliaran dolar dana militer, laboratorium, dan pakar teknologi demi memperkuat sistem pertahanan Israel.

Penjajah Israel menjadi duri perdamaian dunia, sebagaimana Ummu Jamil meletakkan duri di jalan Rasulullah ﷺ.

Ketika Israel menyerang Iran dan Iran membalas, Amerika langsung turun tangan membela Israel. Seolah-olah hanya Israel yang berhak menyerang, tapi tak boleh diserang balik. Inilah kemesraan yang sangat telanjang—saling menyuburkan kezaliman.


Jawaban dari Langit

Apakah kemesraan ini akan berhasil? Al-Qur’an telah memberikan jawabannya sejak 14 abad lalu, dalam surat Al-Lahab yang diturunkan untuk menggambarkan jenis permusuhan yang menyatu dalam satu rumah:

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia.”
“Tidak berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.”
“Kelak dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
“(Begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyulut fitnah).”
“Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.”
(QS. Al-Lahab [111]:1–5)


Penutup: Dari Makkah ke Gaza

Surat Al-Lahab bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah peta bacaan zaman, yang menjelaskan bahwa permusuhan terhadap kebenaran seringkali dilakukan oleh pasangan, oleh koalisi, oleh blok kejahatan yang saling menopang.

Dan sebagaimana Abu Lahab dan istrinya berakhir dalam kehinaan dan laknat, sejarah akan berulang—dengan pelakon berbeda, tapi jalan cerita yang sama.

Kepahaman Nabi Ya‘qub atas Kedok-Kedok Amerika Oleh: Nasrulloh Baksolahar Serangan Amerika ke Iran, siapa yang sebenarnya diuntu...

Kepahaman Nabi Ya‘qub atas Kedok-Kedok Amerika

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Serangan Amerika ke Iran, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Untuk kepentingan rakyatnya atau untuk penjajah Israel?

Fakta menunjukkan bahwa 45% warga Amerika menolak intervensi militer ke Iran, dan 30% lainnya belum menentukan sikap. Bahkan, serangan udara dengan pesawat bomber siluman B-2 itu tidak melalui persetujuan kongres.

Di balik jargon “America First” yang dielu-elukan Donald Trump, ternyata Israel tetap menjadi prioritas utama. Saat anggaran bantuan untuk lembaga-lembaga internasional dikurangi, justru bantuan ke penjajah Israel terus mengalir deras. Trump menjanjikan kebangkitan Amerika, tapi salah satu jalannya justru dengan memperkuat rezim penjajah yang kerap melanggar hukum internasional.


Kedok-Kedok yang Berulang

Di Palestina, Amerika berdiri di belakang Israel dengan kedok diplomasi dan infrastruktur militer. Di Iran, Amerika bahkan secara terang-terangan membantu penjajah yang terlebih dahulu melancarkan serangan. Ini bukan lagi dukungan pasif—ini bentuk aktif dari legalisasi penjajahan.

Yang lebih ironis, setelah melakukan pemboman, Trump justru menyerukan perdamaian. Bukankah ini mirip strategi penjajah Israel yang terus membombardir Gaza, lalu menuduh Hamas menolak gencatan senjata?


Strategi Lama, Wajah Baru

Strategi ini sesungguhnya bukan hal baru. Al-Qur’an telah mencatat pola ini dalam kisah Nabi Yusuf. Ketika saudara-saudara Yusuf merencanakan kejahatan, mereka berkata:

> "Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian Ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu bertobatlah, sehingga kamu menjadi kaum yang saleh."
(QS. Yūsuf [12]:9)


Mereka melakukan kejahatan terlebih dahulu, lalu membungkusnya dengan niat tobat dan citra kebaikan. Ini pola lama dengan wajah baru—dan Amerika menerapkannya di panggung internasional. Menghancurkan lebih dulu, lalu mengangkat slogan perdamaian.


Kepahaman Nabi Ya‘qub dan Kepahaman Dunia

Apakah dunia tidak menyadari tipu daya ini? Al-Qur’an menunjukkan bahwa kepalsuan selalu bisa dikenali, sebagaimana Nabi Ya‘qub menyadari sandiwara anak-anaknya ketika mereka membawa baju Yusuf yang dilumuri darah palsu:

> "Mereka datang membawa bajunya (yang dilumuri) darah palsu. Dia (Ya‘qub) berkata, 'Justru hanya dirimu sendirilah yang memandang baik urusan (yang buruk) itu. Maka bersabarlah, itulah yang terbaik (bagiku).'”
(QS. Yūsuf [12]:18)


Nabi Ya‘qub tidak tertipu oleh narasi buatan. Ia memahami bahwa di balik air mata dan cerita duka, ada kedok dan tipu daya. Begitulah seharusnya dunia memahami wajah Amerika dan Israel hari ini—mereka menyerukan damai di mimbar PBB dan forum-forum internasional, namun memantik perang di medan realitas.


Penutup

Dunia tidak lagi buta. Kepahaman Nabi Ya‘qub harus menjadi kepahaman umat hari ini—tidak mudah tertipu oleh sandiwara politik dan diplomasi palsu. Amerika dan penjajah Israel telah terlalu sering memainkan peran sebagai korban, sambil terus memproduksi penderitaan.

Maka, seperti Nabi Ya‘qub, kita bersabar dengan mata terbuka—menyadari kenyataan, namun tetap bersandar kepada pertolongan Allah. Juga terus melawan dengan cara yang kita bisa.

Hiruk Pikuk Istana: Banyak yang Baik, Tapi Gagal Menghindari Keburukan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ada dua nabi yang ...

Hiruk Pikuk Istana: Banyak yang Baik, Tapi Gagal Menghindari Keburukan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Ada dua nabi yang Allah SWT anugerahi hikmah dan pengetahuan melalui tempaan kehidupan di istana. Mereka hidup di negeri yang sama—Mesir—meskipun pada zaman yang berbeda. Siapakah mereka?

Mereka adalah Nabi Yusuf dan Nabi Musa. Keduanya menjalani bagian penting dari hidup mereka dalam lingkar kekuasaan istana. Bahkan, Nabi Yusuf adalah leluhur jauh Nabi Musa. Menariknya, jalan mereka menuju istana bukan karena kebangsawanan, tapi justru bermula dari upaya pembunuhan terhadap mereka.

Nabi Yusuf dibuang ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya dan akhirnya dijual ke Mesir.

Nabi Musa, sebagai bayi, terancam dibunuh oleh tentara Firaun atas perintah undang-undang pembantaian bayi laki-laki dari Bani Israil.

Apakah kesamaan latar ini juga mencerminkan kesamaan karakter?

Jawabannya: ya. Keduanya menunjukkan karakter utama yang sangat kuat, yaitu keteguhan dalam kebajikan—dan inilah syarat utama seseorang layak dianugerahi hikmah. Al-Qur’an menegaskan hal ini:

 1. Kebajikan Nabi Yusuf

> “Orang Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, 'Berikanlah kepadanya tempat yang baik. Mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak.' Demikianlah, Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir) dan agar Kami mengajarkan kepadanya takwil mimpi..."
(QS. Yūsuf [12]:21)

> “Ketika dia telah cukup dewasa, Kami berikan kepadanya kearifan dan ilmu. Demikianlah, Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Yūsuf [12]:22)


2. Kebajikan Nabi Musa

> “Kami mengembalikan Musa kepada ibunya agar senang hatinya serta tidak bersedih, dan agar ia mengetahui bahwa janji Allah adalah benar.”
(QS. Al-Qaṣaṣ [28]:13)

> “Setelah dia dewasa dan sempurna akalnya, Kami menganugerahkan kepadanya hikmah dan pengetahuan. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS. Al-Qaṣaṣ [28]:14)


Buah Hikmah: Bukan Banyaknya Amal, Tapi Ketajaman Jiwa

Apa tanda seseorang telah dianugerahi hikmah? Uniknya, buah hikmah tertinggi bukan terletak pada banyaknya amal saleh, tetapi pada kepekaan spiritual dalam menghadapi godaan dan kekeliruan diri sendiri.

Bukankah banyak orang dapat berbuat kebaikan, tetapi gagal menghindari keburukan saat godaan datang? Bukankah banyak tokoh besar jatuh saat berhadapan dengan korupsi, kekuasaan, atau hawa nafsu?

Di sinilah hikmah sejati diuji. Mari kita lihat dua contoh:


Nabi Yusuf: Godaan Nafsu

> “Perempuan yang rumahnya ditinggali Yusuf menggodanya. Ia menutup rapat semua pintu, lalu berkata, 'Marilah mendekat kepadaku.' Yusuf berkata, 'Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung.'”
(QS. Yūsuf [12]:23)

Yusuf tidak hanya menolak, tetapi juga langsung menisbatkan perlindungan kepada Allah dan menimbang akibat moral dari tindakannya.


Nabi Musa: Kekeliruan yang Disadari

> “Musa memukul (seorang Mesir) dan (tanpa sengaja) membunuhnya. Ia berkata, 'Ini termasuk perbuatan setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata dan menyesatkan.'”
(QS. Al-Qaṣaṣ [28]:15)

> “Ia (Musa) berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.' Maka Allah mengampuninya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. Al-Qaṣaṣ [28]:16)

Musa tidak berdalih. Ia langsung mengakui kesalahan, menyebutnya sebagai godaan setan, dan segera kembali kepada Allah.


Kesimpulan: Hikmah Tertinggi adalah Kepekaan terhadap Keburukan

Ternyata, buah hikmah tertinggi dari hiruk-pikuk istana bukanlah kebesaran jabatan atau banyaknya program sosial, tetapi kekuatan spiritual dalam menolak keburukan yang hadir lewat kekuasaan, hawa nafsu, dan kelalaian diri.

Sebab dalam lingkar kekuasaan, seseorang bisa lupa daratan, merasa diri sebagai “tuhan kecil” yang tak bisa disentuh.

Menghindari keburukan jauh lebih sulit daripada berbuat kebaikan. Maka, hanya mereka yang berhikmah yang mampu melihat jebakan sebelum terperosok.

Kala Bani Israil Mendominasi Pemberitaan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Surat Al-Fatihah ditutup dengan doa agar kita dijauhkan dari...



Kala Bani Israil Mendominasi Pemberitaan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Surat Al-Fatihah ditutup dengan doa agar kita dijauhkan dari jalan kaum yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Ulama tafsir menyepakati bahwa yang dimaksud dengan “kaum yang dimurkai” adalah Bani Israil—kaum yang pernah mendapat nikmat besar dari Allah, namun berulang kali membangkang dan mengingkari kebenaran.

> “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.”
(QS. Al-Fātiḥah [1]:7)



Menariknya, dua surat berikutnya—Al-Baqarah dan Ali ‘Imran—banyak mengangkat kisah Bani Israil. Seakan-akan Al-Qur’an ingin mengajak kita menaruh perhatian serius terhadap jejak sejarah dan pola perilaku mereka. Namun pertanyaannya, apakah dominasi kisah Bani Israil hanya terbatas di dalam Al-Qur’an?

Jika kita cermati kondisi dunia saat ini, Zionis Yahudi, yang merupakan bagian dari etnis Yahudi, juga mendominasi pemberitaan global. Menariknya, tema-tema besar yang berkaitan dengan mereka tidak jauh berbeda dari narasi yang telah direkam Al-Qur’an berabad-abad silam.

Kita menyaksikan bagaimana pola itu berulang:

1. Dahulu, Bani Israil keluar dari Mesir dalam peristiwa eksodus bersama Nabi Musa.
Sekarang, arus pemukim ilegal Yahudi dari berbagai negara menuju Palestina menjadi isu besar, melanggar kesepakatan internasional seperti Perjanjian Oslo. Bahkan Menteri Keamanan Israel menyerukan pembangunan kembali permukiman ilegal di Gaza—tema yang kini mendominasi diplomasi dan protes global.


2. Dahulu, Palestina diyakini sebagai “tanah yang dijanjikan”.
Sekarang, gagasan tersebut menjadi ideologi inti gerakan Zionisme yang mendirikan negara dengan mengklaim wilayah Palestina sebagai warisan sejarah mereka.


3. Dahulu, Bani Israil terusir dari Tanah Suci oleh “hamba-hamba Allah yang kuat”, sebagaimana dalam QS. Al-Isra’: 4–6.
Sekarang, tema keruntuhan penjajah Israel kembali menjadi pembicaraan strategis, baik dalam wacana politik maupun tafsir akhir zaman.


4. Dahulu, mereka durhaka kepada nabi-nabi, menolak perintah Allah, bahkan membunuh para utusan-Nya.
Kini, bentuk kedurhakaan itu terlihat dalam pengingkaran terhadap hukum internasional dan pelanggaran prinsip-prinsip kemanusiaan universal.


5. Dahulu, mereka terlibat dalam kezaliman kolektif, seperti dikisahkan dalam Surat Al-Buruj.
Sekarang, kita menyaksikan genosida yang nyata terhadap rakyat Gaza dan berbagai wilayah Palestina lainnya.



Apakah semua ini kebetulan semata? Tentu tidak. Inilah salah satu bentuk kemukjizatan Al-Qur’an—ia bukan hanya kitab petunjuk, tetapi juga peta sejarah dan cermin realitas zaman.

Apa yang dilakukan Bani Israil dahulu tidak berbeda jauh dari yang mereka lakukan sekarang. Pengkhianatan terhadap perjanjian, pembangkangan terhadap kebenaran, dan kedurhakaan terhadap amanat—semua itu terekam jelas dalam Al-Qur’an, dan kini terpantul kembali dalam realitas dunia. Sikap mereka tidak berubah, dan Al-Qur’an pun menyajikannya sebagai pelajaran abadi, bukan sekadar narasi masa silam.

Lalu, bagaimana kita seharusnya menyikapi dominasi Zionis Yahudi hari ini, baik dalam realitas politik maupun pemberitaan?

Jawabannya: sikapilah mereka sebagaimana para nabi menyikapi Bani Israil. Al-Qur’an tidak hanya mencatat perilaku mereka, tetapi juga menampilkan bagaimana para nabi bersikap—dengan ketegasan, keberanian, dan tetap berpegang pada wahyu.

Sebab, fragmen sejarah itu terus berulang. Dan selama kita hanya membaca kisah tanpa menghayatinya, kita akan terus menjadi penonton dari skenario yang dimainkan ulang di panggung dunia.

Pertanyaannya kini: kapan umat ini benar-benar bertindak sesuai arah petunjuk wahyu?

Pergulatan Pemuda Musa di Istana hingga Dianugerahi Hikmah Oleh: Nasrulloh Baksolahar Kapan seseorang dianugerahi hikmah dan pen...

Pergulatan Pemuda Musa di Istana hingga Dianugerahi Hikmah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Kapan seseorang dianugerahi hikmah dan pengetahuan? Apakah cukup hanya dengan usia atau kecerdasan intelektual? Al-Qur’an memberikan ukuran yang lebih dalam: hikmah dan ilmu diberikan setelah seseorang mencapai kedewasaan dan memiliki akal yang matang, namun juga dibarengi dengan kebajikan hidup.

> "Setelah dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya, Kami menganugerahkan kepadanya hikmah dan pengetahuan. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebajikan."
(QS. Al-Qashash [28]:14)



Ayat ini memberi isyarat bahwa hikmah bukan semata-mata buah dari umur atau kecerdasan, tetapi hasil dari perjuangan moral dan keberanian membela kebenaran.

Lalu, apa bentuk kebajikan yang pernah dilakukan oleh Musa sebelum dianugerahi hikmah? Bukankah ia dibesarkan di istana Fir‘aun, pusat kekuasaan tiranik dan kehidupan hedonistik? Bagaimana mungkin seseorang bisa tetap berbuat kebajikan dalam lingkungan seperti itu?

Al-Qur’an memang tidak banyak mengungkap detail kehidupan Musa selama berada di istana. Informasi terakhir yang disebutkan adalah bagaimana bayi Musa akhirnya kembali disusui oleh ibu kandungnya sendiri:

> "Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, agar senang hatinya dan tidak bersedih..."
(QS. Al-Qashash [28]:13)



Namun, justru di sinilah letak isyarat yang penting. Masa penyusuan Musa bersama ibunya kemungkinan menjadi benteng awal spiritual yang menjaga fitrah Musa di tengah gemerlap dan kekuasaan istana. Ia menyusu pada kasih sayang, bukan hanya pada tubuh. Ia dibesarkan oleh ibunya dengan cinta dan nilai-nilai yang mengakar.

Ketika Musa telah tumbuh menjadi pemuda, ia masuk ke kota secara diam-diam—sebuah isyarat bahwa ia tidak ingin dikenali sebagai "anak istana". Ia tidak merasa satu dengan sistem zalim yang membesarkannya. Tindakan Musa yang tercatat dalam Al-Qur’an adalah ketika ia melihat dua orang berkelahi: satu dari Bani Israil (kaumnya sendiri), dan satu lagi dari kaum Qibthi (bangsa Mesir). Ia pun membela yang tertindas.

Tindakan ini bukan sekadar bentuk solidaritas etnis. Musa tidak membela karena yang dipukul adalah orang Qibthi dan yang ditolong adalah Bani Israil. Ia membela karena ia berpihak pada yang lemah, pada yang tertindas. Ini mencerminkan nilai moral yang sudah terbentuk sejak lama—bahkan sebelum wahyu diturunkan kepadanya.

Apakah itu satu-satunya aksi Musa membela yang tertindas? Sepertinya tidak. Ayat-ayat selanjutnya menunjukkan bahwa pihak istana langsung merespon insiden itu dengan mengirim pasukan untuk menangkap Musa. Artinya, istana telah mengawasi gerak-geriknya. Ia bukan pemuda biasa. Ia sudah menjadi ancaman sejak lama. Mungkin inilah bukti bahwa Musa telah berkali-kali menunjukkan pembelaannya terhadap keadilan di tengah sistem yang zalim.

Inilah kebajikan yang menjadi alasan Allah menganugerahi Musa dengan hikmah dan pengetahuan. Ia tidak hanya tumbuh besar secara fisik, tetapi matang secara moral dan spiritual—dan itulah yang membedakannya dari sekadar pangeran istana.

Sikap Terhadap Bani Israil, Dari Era Nabi Ya‘qub hingga Rasulullah ﷺ Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bagaimana para nabi dan rasul me...

Sikap Terhadap Bani Israil, Dari Era Nabi Ya‘qub hingga Rasulullah ﷺ

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bagaimana para nabi dan rasul menyikapi perilaku Bani Israil dalam sejarah? Jawabannya tidak tunggal, namun mengikuti dinamika moral dan spiritual mereka sendiri. Sikap para nabi terhadap Bani Israil bukanlah cerminan emosi pribadi, melainkan manifestasi dari panduan ilahi—mengandung kesabaran, koreksi, bahkan konfrontasi—tergantung pada tingkat kedurhakaan yang mereka tunjukkan.


1. Kesabaran dan Harapan di Era Nabi Ya‘qub

Kisah ini bermula ketika Nabi Ya‘qub ‘alaihis salam menghadapi makar anak-anaknya yang mencelakai Yusuf, dengan memasukkannya ke dalam sumur. Saat mereka berpura-pura menangis dan membawa baju Yusuf berlumuran darah palsu, Nabi Ya‘qub berkata:

"Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan itu. Maka kesabaran yang baik itulah (sikapku). Dan Allah-lah tempat memohon pertolongan terhadap apa yang kalian ceritakan." (QS. Yusuf: 18)

Meskipun menyimpan firasat kuat bahwa anak-anaknya berbohong, beliau memilih sikap ṣabr jamīl—sabar yang indah, tanpa keluh kesah kepada manusia.

Bahkan setelah bertahun-tahun kehilangan Yusuf, beliau tetap berkata:

“Aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Yusuf: 86)

Inilah model spiritualitas ketika menghadapi makar dari dalam: tetap berprasangka baik, menjaga harapan, dan bertawakal.


2. Teguran dan Pemisahan di Era Nabi Musa dan Harun

Ketika Allah memerintahkan Bani Israil untuk memasuki Tanah Suci dan berjihad melawan bangsa yang kuat, mereka justru menolak dan berkata:

“Wahai Musa, pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah. Kami akan duduk di sini.” (QS. Al-Ma’idah: 24)

Nabi Musa tidak melaknat, tetapi mengadu kepada Allah dan menyatakan pemisahan diri :

“Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku dan saudaraku, maka pisahkanlah antara kami dan orang-orang fasik itu.” (QS. Al-Ma’idah: 25)

Permintaan ini menunjukkan batas kesabaran seorang rasul, dan keinginan untuk tidak terlibat dalam konsekuensi dari kaum yang terus menerus membangkang.

Pertanyaannya hari ini: Mengapa justru banyak negara Muslim yang berlomba-lomba menormalisasi hubungan dengan penjajah Israel, padahal para nabi sendiri mengambil jarak dari kaum yang durhaka?


3. Kecaman dan Laknat di Era Nabi Dawud dan Isa

Ketika Bani Israil melampaui batas, tidak saling menasihati dalam kemungkaran, serta secara kolektif terjerumus dalam pelanggaran, maka sikap para nabi terhadap mereka menjadi lebih keras:

 “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. Al-Ma’idah: 78)

Ini adalah sikap tegas terhadap sistem dan moralitas yang rusak total, bukan sekadar kesalahan individu.


4. Ketegasan Rasulullah ﷺ di Madinah

Di masa Rasulullah ﷺ, sebagian kelompok Yahudi di Madinah membangun benteng, menyusun makar, dan bahkan berusaha membunuh beliau serta bersekutu dengan musuh-musuh Islam. Maka sikap Rasulullah ﷺ berubah menjadi konfrontatif:

1. Bani Qainuqa‘ diusir setelah melanggar perjanjian.
2. Bani Nadhir diusir setelah berusaha membunuh Rasulullah.
3. Bani Quraizhah dihukum karena berkhianat dalam Perang Khandaq.

Semuanya adalah langkah politik dan keamanan berdasarkan fakta makar dan pengkhianatan, bukan karena fanatisme rasial.


Refleksi untuk Hari Ini

Sikap kita terhadap Zionis Israel hari ini seharusnya mengikuti sikap para nabi terhadap perilaku Bani Israil, bukan berdasarkan tekanan politik global atau kompromi ekonomi.

Jika hari ini penjajah Israel:
1. Menindas dan membantai rakyat Palestina,
2. Melanggar perjanjian damai,
3. Menodai masjid suci dan membunuhi anak-anak,

maka sikap lunak atau normalisasi tidaklah sesuai dengan warisan kenabian.


Meneladani Sikap Kenabian

Para nabi tidak bersikap satu arah terhadap Bani Israil:

1. Ada yang bersabar (Ya‘qub),
2. Ada yang menarik diri (Musa),
3. Ada yang melaknat (Dawud dan Isa),
4. Ada yang menyatakan perang (Rasulullah ﷺ).

Semua berdasarkan pada perilaku dan kedurhakaan mereka, bukan sekadar identitasnya. Maka, sikap kita hari ini pun harus adil, tegas, dan proporsional.

Bangsa yang Hidup dari Mengemis: Jejak Mentalitas Yahudi Sejak Kemunculannya  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Penjajahan Zionis atas ...

Bangsa yang Hidup dari Mengemis: Jejak Mentalitas Yahudi Sejak Kemunculannya 


Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Penjajahan Zionis atas tanah Palestina bukan bermula dari kekuatan, tetapi dari permintaan dan lobi-lobi penuh pengharapan. Mereka datang kepada Inggris—penguasa Mandat Palestina pasca-Perang Dunia I—dan meminta tanah yang bukan milik mereka. Maka lahirlah Deklarasi Balfour tahun 1917, janji sepihak kepada kaum Yahudi untuk mendirikan "tanah air nasional" di Palestina, tanpa memperdulikan hak rakyat Palestina sendiri.

Namun apakah permintaan itu berhenti di situ?

Setelah merampas rumah, kebun, dan tanah rakyat Palestina, Zionis Yahudi mengemis dana dan dukungan politik kepada Amerika Serikat. Presiden Harry Truman menjadi salah satu pemimpin Barat yang menyanggupi permintaan itu, menjadikan Israel sebagai proyek strategis dalam peta politik global pasca-Perang Dunia II.

Ketika Perang Enam Hari tahun 1967 dan Perang Yom Kippur 1973 meletus, Israel kembali memohon bantuan militer kepada Amerika dan Eropa, sementara Barat justru memblokade suplai senjata ke negara-negara Arab. Kemenangan militer Israel saat itu tidak berdiri di atas kemandirian, tapi di atas dukungan penuh blok Barat yang meminggirkan keadilan.

Ketika Israel memperkuat infrastruktur militernya hingga menjadi kekuatan dominan di Timur Tengah, mereka melakukannya dengan dukungan teknologi, intelijen, dan dana dari sekutu-sekutunya. Sementara itu, negara-negara Arab ditekan melalui diplomasi dan bantuan, agar menjadi sekutu diam-diam penjajah yang tak pernah terang-terangan bersuara.

Lalu ketika Israel mulai melakukan genosida sistematis terhadap rakyat Palestina, mengancam negara-negara sekitarnya, dan bahkan memprovokasi Iran, apa yang terjadi?

Mereka kembali mengemis dukungan. Kali ini dengan menjual narasi ketakutan: senjata nuklir Iran, terorisme, dan eksistensi negara Yahudi yang "terancam". Mereka ingin Amerika turun tangan lagi, berperang untuk mereka, mengorbankan prajurit dan anggaran demi kelangsungan kolonialisme mereka.

Apakah pola ini hanya terjadi di era modern?

Sejarah mencatat, tradisi meminta dan menggantungkan diri ini telah menjadi bagian dari sikap mental kolektif mereka sejak zaman dahulu:

Di era Nabi Ya'qub, mereka datang ke Mesir saat kelaparan, meminta bantuan pangan dari kerajaan asing.

Di era Nabi Musa, mereka meminta makanan, minuman, dan kenyamanan dari langit, sembari menolak perintah jihad dan memilih bertahan dalam zona nyaman.

Mereka bahkan meminta Nabi Musa dan Harun agar menjadi wakil mereka dalam menghadapi bangsa Kan’an—padahal tanah itu telah dijanjikan kepada mereka.

Di masa Thalut, mereka menuntut seorang raja kepada Nabi mereka agar memimpin perang melawan Jalut—tetapi mereka sendiri lari dari medan tempur.

Ketika mendengar kabar tentang kedatangan Nabi akhir zaman, mereka datang ke Madinah bukan untuk iman, tetapi untuk mengembalikan supremasi rasial yang telah lama hilang.


Bangsa ini hidup dari menggantungkan diri kepada yang lain. Jika tak ada pihak yang bisa dimintai, maka mereka kehilangan arah dan kekuatan. Inilah pola mental yang tetap bertahan bahkan hingga abad ke-21.

Lalu, mengapa Muslimin dan bangsa Arab hari ini justru tak percaya diri menghadapi mereka?
Padahal sejarah membuktikan: mereka hanya unggul jika dibantu. Tanpa sokongan, mereka bukan siapa-siapa. Maka, masalah bukan pada kekuatan mereka, tetapi pada keraguan kita terhadap kekuatan kita sendiri.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (224) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (466) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (144) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)