Pergulatan Pemuda Musa di Istana hingga Dianugerahi Hikmah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Kapan seseorang dianugerahi hikmah dan pengetahuan? Apakah cukup hanya dengan usia atau kecerdasan intelektual? Al-Qur’an memberikan ukuran yang lebih dalam: hikmah dan ilmu diberikan setelah seseorang mencapai kedewasaan dan memiliki akal yang matang, namun juga dibarengi dengan kebajikan hidup.
> "Setelah dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya, Kami menganugerahkan kepadanya hikmah dan pengetahuan. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebajikan."
(QS. Al-Qashash [28]:14)
Ayat ini memberi isyarat bahwa hikmah bukan semata-mata buah dari umur atau kecerdasan, tetapi hasil dari perjuangan moral dan keberanian membela kebenaran.
Lalu, apa bentuk kebajikan yang pernah dilakukan oleh Musa sebelum dianugerahi hikmah? Bukankah ia dibesarkan di istana Fir‘aun, pusat kekuasaan tiranik dan kehidupan hedonistik? Bagaimana mungkin seseorang bisa tetap berbuat kebajikan dalam lingkungan seperti itu?
Al-Qur’an memang tidak banyak mengungkap detail kehidupan Musa selama berada di istana. Informasi terakhir yang disebutkan adalah bagaimana bayi Musa akhirnya kembali disusui oleh ibu kandungnya sendiri:
> "Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, agar senang hatinya dan tidak bersedih..."
(QS. Al-Qashash [28]:13)
Namun, justru di sinilah letak isyarat yang penting. Masa penyusuan Musa bersama ibunya kemungkinan menjadi benteng awal spiritual yang menjaga fitrah Musa di tengah gemerlap dan kekuasaan istana. Ia menyusu pada kasih sayang, bukan hanya pada tubuh. Ia dibesarkan oleh ibunya dengan cinta dan nilai-nilai yang mengakar.
Ketika Musa telah tumbuh menjadi pemuda, ia masuk ke kota secara diam-diam—sebuah isyarat bahwa ia tidak ingin dikenali sebagai "anak istana". Ia tidak merasa satu dengan sistem zalim yang membesarkannya. Tindakan Musa yang tercatat dalam Al-Qur’an adalah ketika ia melihat dua orang berkelahi: satu dari Bani Israil (kaumnya sendiri), dan satu lagi dari kaum Qibthi (bangsa Mesir). Ia pun membela yang tertindas.
Tindakan ini bukan sekadar bentuk solidaritas etnis. Musa tidak membela karena yang dipukul adalah orang Qibthi dan yang ditolong adalah Bani Israil. Ia membela karena ia berpihak pada yang lemah, pada yang tertindas. Ini mencerminkan nilai moral yang sudah terbentuk sejak lama—bahkan sebelum wahyu diturunkan kepadanya.
Apakah itu satu-satunya aksi Musa membela yang tertindas? Sepertinya tidak. Ayat-ayat selanjutnya menunjukkan bahwa pihak istana langsung merespon insiden itu dengan mengirim pasukan untuk menangkap Musa. Artinya, istana telah mengawasi gerak-geriknya. Ia bukan pemuda biasa. Ia sudah menjadi ancaman sejak lama. Mungkin inilah bukti bahwa Musa telah berkali-kali menunjukkan pembelaannya terhadap keadilan di tengah sistem yang zalim.
Inilah kebajikan yang menjadi alasan Allah menganugerahi Musa dengan hikmah dan pengetahuan. Ia tidak hanya tumbuh besar secara fisik, tetapi matang secara moral dan spiritual—dan itulah yang membedakannya dari sekadar pangeran istana.
0 komentar: