Bangsa yang Hidup dari Mengemis: Jejak Mentalitas Yahudi Sejak Kemunculannya
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Penjajahan Zionis atas tanah Palestina bukan bermula dari kekuatan, tetapi dari permintaan dan lobi-lobi penuh pengharapan. Mereka datang kepada Inggris—penguasa Mandat Palestina pasca-Perang Dunia I—dan meminta tanah yang bukan milik mereka. Maka lahirlah Deklarasi Balfour tahun 1917, janji sepihak kepada kaum Yahudi untuk mendirikan "tanah air nasional" di Palestina, tanpa memperdulikan hak rakyat Palestina sendiri.
Namun apakah permintaan itu berhenti di situ?
Setelah merampas rumah, kebun, dan tanah rakyat Palestina, Zionis Yahudi mengemis dana dan dukungan politik kepada Amerika Serikat. Presiden Harry Truman menjadi salah satu pemimpin Barat yang menyanggupi permintaan itu, menjadikan Israel sebagai proyek strategis dalam peta politik global pasca-Perang Dunia II.
Ketika Perang Enam Hari tahun 1967 dan Perang Yom Kippur 1973 meletus, Israel kembali memohon bantuan militer kepada Amerika dan Eropa, sementara Barat justru memblokade suplai senjata ke negara-negara Arab. Kemenangan militer Israel saat itu tidak berdiri di atas kemandirian, tapi di atas dukungan penuh blok Barat yang meminggirkan keadilan.
Ketika Israel memperkuat infrastruktur militernya hingga menjadi kekuatan dominan di Timur Tengah, mereka melakukannya dengan dukungan teknologi, intelijen, dan dana dari sekutu-sekutunya. Sementara itu, negara-negara Arab ditekan melalui diplomasi dan bantuan, agar menjadi sekutu diam-diam penjajah yang tak pernah terang-terangan bersuara.
Lalu ketika Israel mulai melakukan genosida sistematis terhadap rakyat Palestina, mengancam negara-negara sekitarnya, dan bahkan memprovokasi Iran, apa yang terjadi?
Mereka kembali mengemis dukungan. Kali ini dengan menjual narasi ketakutan: senjata nuklir Iran, terorisme, dan eksistensi negara Yahudi yang "terancam". Mereka ingin Amerika turun tangan lagi, berperang untuk mereka, mengorbankan prajurit dan anggaran demi kelangsungan kolonialisme mereka.
Apakah pola ini hanya terjadi di era modern?
Sejarah mencatat, tradisi meminta dan menggantungkan diri ini telah menjadi bagian dari sikap mental kolektif mereka sejak zaman dahulu:
Di era Nabi Ya'qub, mereka datang ke Mesir saat kelaparan, meminta bantuan pangan dari kerajaan asing.
Di era Nabi Musa, mereka meminta makanan, minuman, dan kenyamanan dari langit, sembari menolak perintah jihad dan memilih bertahan dalam zona nyaman.
Mereka bahkan meminta Nabi Musa dan Harun agar menjadi wakil mereka dalam menghadapi bangsa Kan’an—padahal tanah itu telah dijanjikan kepada mereka.
Di masa Thalut, mereka menuntut seorang raja kepada Nabi mereka agar memimpin perang melawan Jalut—tetapi mereka sendiri lari dari medan tempur.
Ketika mendengar kabar tentang kedatangan Nabi akhir zaman, mereka datang ke Madinah bukan untuk iman, tetapi untuk mengembalikan supremasi rasial yang telah lama hilang.
Bangsa ini hidup dari menggantungkan diri kepada yang lain. Jika tak ada pihak yang bisa dimintai, maka mereka kehilangan arah dan kekuatan. Inilah pola mental yang tetap bertahan bahkan hingga abad ke-21.
Lalu, mengapa Muslimin dan bangsa Arab hari ini justru tak percaya diri menghadapi mereka?
Padahal sejarah membuktikan: mereka hanya unggul jika dibantu. Tanpa sokongan, mereka bukan siapa-siapa. Maka, masalah bukan pada kekuatan mereka, tetapi pada keraguan kita terhadap kekuatan kita sendiri.
0 komentar: