basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Shah Rukh Khan: Apa Artinya Menjadi Miliarder di Tengah Genosida? Pada suatu masa, di dunia yang retak antara sorak dan tangis, ...


Shah Rukh Khan: Apa Artinya Menjadi Miliarder di Tengah Genosida?

Pada suatu masa, di dunia yang retak antara sorak dan tangis, lahirlah sebuah paradoks: seorang aktor Muslim paling dicintai di India merayakan miliarnya, sementara di Gaza, ribuan Muslim dikubur di bawah reruntuhan.
Dunia bersorak, dunia berduka. Di antara keduanya—Shah Rukh Khan berdiri diam.


---

Raja yang Menjadi Cermin Dunia

Ketika Shah Rukh Khan meniup lilin ulang tahunnya yang ke-60, India bergetar dengan kebanggaan. “Raja Bollywood kini miliarder,” tulis India Today dengan kagum. The Economic Times memujinya sebagai bukti bahwa “kerja keras, investasi cerdas, dan warisan budaya bisa mengalahkan batas”.

Tapi di balik kemilau itu, pertanyaan kecil muncul, getir dan sunyi:

Apa artinya menjadi miliarder di tahun 2025—di India yang kian timpang, di dunia yang tengah terbakar, di Gaza yang dilumat bom, di Kashmir yang sunyi di bawah bayonet?

Menurut Daftar Orang Kaya India Harun, Khan kini termasuk dalam 0,00004 persen manusia di bumi—klub kecil para pemilik dunia. Namun kekayaannya tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh bersama sejarah ekonomi dan politik India pasca-Perang Dingin, ketika nasionalisme Hindu menjelma menjadi agama pasar, dan Bollywood menjadi liturgi baru bagi kapitalisme yang berselimutkan patriotisme.

Dalam kisah besar itu, Shah Rukh Khan tampil bukan hanya sebagai aktor—tapi simbol: seorang Muslim yang menenangkan mayoritas Hindu bahwa Islam bisa jinak, bisa tersenyum, bisa menjual mimpi tanpa menantang kekuasaan. Ia adalah jembatan antara tradisi dan globalisasi, antara spiritualitas dan merek dagang, antara cinta dan kepatuhan.

Ia menawan dunia, tapi dunia juga menawannya.


---

Dari Raj Hingga Rahul: Mitos yang Menidurkan Nurani

Sejak 1990-an, setiap film Shah Rukh Khan adalah dongeng yang menenangkan hati bangsa yang guncang. Ia menjadi Raj yang romantis, Rahul yang manis, Veer yang heroik—nama-nama yang menutupi luka lama: kasta, kolonialisme, ketidakadilan. Ia meyakinkan rakyat bahwa kesuksesan adalah urusan individu, bukan struktur. Bahwa cinta bisa mengatasi diskriminasi, bahwa keberhasilan menunggu siapa pun yang bekerja keras.

“Dia membuat kami percaya bahwa siapa pun bisa jadi orang India sejati,” tulis seorang kolumnis hiburan.

Namun di balik layar, India berubah. Kesenjangan tumbuh, politik identitas mengeras, dan nasionalisme Hindu merasuki segala lini kehidupan. Ketika Modi naik ke tampuk kekuasaan, Hindutva bukan lagi ideologi; ia menjadi atmosfer.

Dan Khan? Ia memilih diam.

Ketika intoleransi meningkat, ketika warga Muslim dihakimi di jalan, ketika universitas dibungkam dan Kashmir dijerat, ia hanya berbisik pelan tentang “kekhawatiran terhadap intoleransi”—lalu segera menarik kembali ucapannya. Dunia mengingat: sang raja ternyata tahu batas wilayah istana.


---

Keheningan yang Mahal Harganya

Setelah tahun 2015, kebisuannya menjadi mata uang. Setiap diam, ada dividen. Setiap senyum netral, ada kontrak baru.
Perusahaan produksinya, Red Chillies Entertainment, berkembang pesat. Tim kriketnya, Kolkata Knight Riders, terus mencetak keuntungan. Istrinya, Gauri Khan, memperluas kerajaan bisnis dari properti hingga kafe artisanal.

Rumah tangga Khan menjadi ekosistem kapitalisme yang sempurna—dari KidZania hingga Oyo, dari Chupps hingga Subko Coffee. Ia tak hanya menjual wajahnya di layar, tapi juga kesetiaan pada sistem yang melahirkannya.

Bahkan produk-produk yang ia wakili menghubungkannya dengan kekuasaan yang lebih gelap. Ia menjadi duta untuk perusahaan yang memiliki hubungan dengan kompleks industri-militer Israel—dari Tata dan Reliance hingga Hyundai dan Castrol Oil milik BP, yang tahun ini mendapat izin dari Israel untuk mengeksplorasi gas di Mediterania.

Di satu sisi dunia, mesin yang ia iklankan menghancurkan rumah-rumah Palestina. Di sisi lain, wajahnya tersenyum di papan iklan Mumbai: Be a better person.

Ironi itu bahkan terlalu pahit untuk disebut satire.


---

Ketika Kekayaan Menjadi Benteng

Dalam diamnya, Khan menemukan stabilitas yang tak bisa dibeli dengan keberanian. Di negeri di mana Muslim semakin kehilangan ruang, ia menemukan tempat aman dalam ketidakberpihakan. Ia menjadi warga kehormatan dari dua dunia: dunia mayoritas yang memaafkannya karena patuh, dan dunia liberal yang memujanya karena “toleran”.

Namun di bawah permukaan, terjadi barter diam-diam antara iman dan kenyamanan. Keberhasilannya menjadi bukti bahwa seorang Muslim bisa diterima—asal tidak berbicara. Bahwa seseorang bisa memeluk ketenaran—asal tidak memeluk kebenaran.

Sebuah transaksi yang, bagi banyak orang, tampak seperti kemenangan.
Tapi bagi sebagian lain, seperti kehilangan jiwa.


---

 Ketika Dunia Terbakar

Saat Gaza terbakar, ketika anak-anak mati kelaparan dan jurnalis dibunuh di depan kamera, dunia seni bersuara: mahasiswa di New York, sutradara di Paris, musisi di London, bahkan influencer di Jakarta.

Tapi di Mumbai, sang raja memilih diam.

Sementara di India, umat Muslim yang berani berbicara untuk Palestina dipukuli, ditangkap, dibungkam. Para aktivis ditahan, pengunjuk rasa diusir dari kampus, dan bendera Palestina dianggap provokasi.

Di tengah itu semua, Shah Rukh Khan muncul di Met Gala—berbalut mantel hitam rancangan Sabyasachi, dilapisi perhiasan berkilau di leher.
Di luar gedung, demonstran berteriak memprotes genosida Gaza.
Di dalam, ia berpose di bawah lampu.

Dan dunia kembali bertepuk tangan.
Tak satu pun media besar India menyinggung konteksnya—semuanya sibuk menulis tentang “penampilan bersejarah”.


---

Antara Kekuasaan dan Kekosongan

Kebisuannya bukan sekadar sikap, melainkan strategi bertahan. Di negeri yang kini mengagungkan Modi seperti nabi baru, Khan bahkan ikut memberi selamat pada ulang tahun ke-75 sang perdana menteri.

 “Perjalanan Anda dari kota kecil ke panggung dunia sangat menginspirasi,” tulisnya di X.
“Energi Anda di usia 75 tahun bahkan mengalahkan anak muda seperti kami.”

Ucapan itu viral, bukan karena hangat, tapi karena dinginnya terasa menusuk.
Mungkin ia tulus, mungkin juga sekadar wajib sosial bagi mereka yang hidup dari kamera dan kapital. Tapi di mata mereka yang kehilangan rumah di Gujarat, Kashmir, dan Gaza—kalimat itu terdengar seperti jarak yang tak bisa dijembatani lagi.

Dan ketika gencatan senjata palsu diumumkan di Gaza pada Oktober, Shah Rukh Khan muncul bersama dua “Khan” lainnya—Aamir dan Salman—di Joy Festival di Arab Saudi.
Tiga raja Bollywood, tersenyum di hadapan para bangsawan dan investor.
Di luar istana, dunia masih menangis.


---

Di Antara Dua Dunia: Seni, Kekuasaan, dan Hati Nurani

Mungkin seseorang bisa berargumen bahwa aktor bukan nabi, dan selebritas tidak wajib menyelamatkan dunia. Tapi seni sejati—yang lahir dari nurani—selalu punya sisi moral. Film-film Khan dulu memuja cinta dan kemanusiaan, tapi kini cinta itu terkurung dalam bingkai layar, tak lagi hidup dalam tindakannya.

Ada dialog tak terucap antara dunia dan dirinya:

Dunia: “Engkau membangkitkan air mata kami di layar, tapi di luar layar engkau menutup mata.”
Shah Rukh: “Aku hanya aktor, bukan politikus.”
Dunia: “Tapi bukankah diam juga pilihan politik?”

Ketenaran adalah kekuasaan, dan kekuasaan selalu menuntut tanggung jawab.
Namun bagi banyak bintang besar dunia modern, diam lebih aman daripada jujur. Karena di dunia yang diatur oleh pasar, keberanian bisa menurunkan nilai saham.


---

 Refleksi: Di Antara Doa dan Debu

Mungkin Shah Rukh Khan tidak jahat. Mungkin ia hanya takut.
Takut kehilangan segalanya yang telah ia bangun dengan keras—film, bisnis, pengaruh, keluarga.
Tapi di dunia di mana keadilan sedang direnggut, ketakutan para berkuasa adalah bahan bakar bagi kejahatan.

Kita hidup di zaman ketika diam dianggap netral, padahal diam sering kali berpihak pada yang kuat. Ketika selebritas yang bersuara dicap “terlalu politis”, padahal yang tak bersuara ikut melanggengkan status quo.

Dan pada akhirnya, inilah ironi paling tragis dari abad ini:

Orang yang paling dicintai oleh rakyat jelata kini berdiri paling jauh dari penderitaan mereka.

Kekayaannya menjadi cermin yang memantulkan wajah zaman—zaman di mana hati bisa dibeli, dan keheningan bisa dihargai lebih mahal dari kejujuran.


---

Penutup: Antara Cahaya dan Bayangan

Ketika malam tiba di Mumbai dan suara sorak dari pesta ulang tahunnya perlahan meredup, mungkin Shah Rukh Khan duduk sendirian di balkon rumah mewahnya di Mannat, menatap laut hitam yang sama yang dulu ia tatap saat masih muda dan miskin.

Mungkin ia bertanya dalam hati:

 “Apakah ini arti kemenangan?”
“Apakah ini harga dari menjadi legenda?”

Di luar sana, laut yang sama membawa gelombang ke Gaza—membelai pantai yang kini berwarna abu.
Di sana, seorang ayah menggali dengan tangan kosong, mencari anaknya di bawah reruntuhan.
Di sini, seorang bintang menatap cermin, melihat dirinya yang dulu dan kini—dan mungkin, untuk sesaat, sadar bahwa semua kilau di dunia tak bisa menutupi bayangan dari hati yang diam terlalu lama.


---

“Seorang aktor bisa membuat jutaan orang menangis,” tulis seorang penyair,
“tapi hanya manusia yang berani yang bisa membuat dunia menangis karena kebenaran.”

Mungkin Shah Rukh Khan lupa baris itu.
Atau mungkin, ia sedang berlatih mengucapkannya di film berikutnya.
Hanya saja kali ini—penontonnya bukan bangsa India, tapi nuraninya sendiri.

Bosaso, Emas Darfur, Tentara Bayaran Kolombia dan Ambisi UEA di Sudan Pendahuluan: Suara Pesawat di Bosaso Di pelabuhan udara Bo...



Bosaso, Emas Darfur, Tentara Bayaran Kolombia dan Ambisi UEA di Sudan


Pendahuluan: Suara Pesawat di Bosaso

Di pelabuhan udara Bosaso, pinggir laut Teluk Aden, suara gemuruh pesawat angkut berat menggema menjelang senja: sebuah Ilyushin-76 putih mendarat perlahan, bergerak ke hangar yang tampak memperlihatkan bayangan operasi besar.

Penduduk setempat, yang dua tahun lalu jarang melihat kegiatan seperti ini, kini menyaksikan pendaratan rutin, bongkar muat kontainer bertanda “berbahaya”, dan pengamanan ketat yang membuat mereka mengernyit — apa yang tengah terjadi di Bosaso?

Menurut komandan senior Pasukan Polisi Maritim Puntland (PMPF) yang berbicara dengan kondisi anonim, “logistik segera dipindahkan ke pesawat lain yang siap terbang menuju Sudan dan RSF.”Sumber ini memberi tahu bahwa asal pesawat dan muatannya jelas: UEA.

Operasi ini bukan hanya pengiriman barang—melainkan sebuah urat nadi logistik militer yang menghubungkan tiga wilayah: Horn of Africa, Sudan, dan Teluk Arab.


Jejak Pengiriman Rahasia: Logistik, Radar, Kontainer

Investigasi berbasis pelacakan penerbangan, citra satelit, dan sumber diplomatik regional mengungkap pola yang sistematis. Beberapa fakta kunci:

Data lalu lintas udara menunjukkan peningkatan signifikan pendaratan pesawat kargo besar di Bosaso sejak awal 2024, sebagian besar menggunakan rute UEA → Puntland → Sudan.

Citra satelit (5 Maret 2025) memperlihatkan radar buatan Israel—sistem ELM-2084 3D AESA—terpasang dekat landasan utama Bosaso Airport. Radar ini dikenal sebagai elemen pertahanan udara canggih. 

Kontainer yang dibongkar ditandai “berbahaya”, tanpa rincian resmi, dan segera dilewati ke transportasi udara menuju Sudan. Seorang manajer senior pelabuhan menyebutkan “lebih dari 500.000 kontainer” dilintaskan melalui Bosaso dalam dua tahun terakhir.

Sumber Somali menyebut setidak-nya satu kamp militer para tentara bayaran Kolombia berdiri di dekat Bosaso, digunakan sebagai transit sebelum dikirim ke Sudan. 

Dengan demikian, Bosaso tampak bukan hanya sebagai pelabuhan pelindung anti-pembajakan atau pintu masuk bantuan kemanusiaan seperti yang dinyatakan secara publik. Ia telah berubah menjadi hub logistik militer tak resmi, memperkuat RSF di Sudan.


Tentara Bayaran Kolombia: Dari Bogotá ke Darfur

Skenario ini menjadi lebih nyata ketika laporan dari Sudan, Kolombia, dan Somalia menemukan bahwa ratusan mantan tentara Kolombia—dengan kontrak yang menjanjikan “keamanan dan perlindungan” di kawasan Teluk—malah dikirim ke Sudan untuk berperang bersama RSF.
Seorang mantan prajurit Kolombia yang diwawancarai secara anonim mengatakan:

 “Saya pikir saya akan menjaga ladang atau proyek di Teluk. Tidak pernah diberitahu bahwa saya akan mendarat di Bosaso, kemudian Nyala di Darfur, berhadapan dengan rudal dan pembantaian.”
Laporan resmi Sudan kepada PBB menyebut UEA mendukung perekrutan “Desert Wolves” Kolombia untuk RSF. 



Bongkar muat logistik, pesawat IL-76, kontainer “berbahaya”, dan prajurit bayaran—tapak-tapak ini membentuk mosaik yang menegaskan bahwa Bosaso menjadi transit penting. Apalagi ketika radar dan fasilitas bawah-radar lainnya menunjukkan bahwa UEA bukan hanya memfasilitasi muatan, tapi juga membangun infrastruktur pertahanan di sana. 


Politik Regional: Puntland, Mogadishu, dan Kedaulatan yang Dikecilkan

Wilayah Puntland secara resmi adalah bagian dari Somalia, namun hubungan langsungnya dengan UEA memunculkan masalah kedaulatan. Sumber resmi Puntland dan nasional mengaku tidak terlibat dalam persetujuan formal aktivitas militer UEA di Bosaso. Seorang mantan Menteri Luar Negeri Somalia, Abdisalan Muse Ali, berkata:

“Kalau bandara kami digunakan untuk penerbangan senjata menuju Sudan tanpa persetujuan Mogadishu, maka kami bisa menjadi bagian dari pelanggaran hukum internasional.” 

Presiden Puntland, Said Abdullahi Deni, dianggap sebagai sekutu dekat UEA, meski banyak aktivitas berlangsung tanpa persetujuan parlemen regional maupun pemerintah federal Somalia. 
Hal ini menimbulkan dilema: sementara Somalia membutuhkan dukungan luar untuk keamanan dan melawan al-Shabaab, kerja sama semacam ini justru meruntuhkan prinsip kedaulatan dan membuat Somalia sebagai arena proxy konflik regional.


Kepentingan Emas Darfur dan Jalur Laut Merah

Mengapa UEA melakukan semua ini? Di balik operasi logistik ada campuran motif ekonomi dan geopolitik. Darfur dan wilayah Sudan bagian barat kaya akan emas dan logam langka. RSF—yang awalnya bagian dari Janjaweed—mengendalikan sebagian besar tambang emas ilegal selama konflik Sudan. 
UEA melalui Dubai dianggap sebagai salah satu destinasi ekspor emas dari Sudan—sering kali tanpa transparansi. Dengan memastikan RSF tetap kuat, UEA menjaga aliran emas, sambil memperkuat posisinya di sepanjang jalur strategis Teluk Aden dan Laut Merah. 

Bosaso sebagai hub sangat ideal: dekat dengan Semenanjung Arab, relatif jauh dari kontrol reguler Mogadishu, dan sudah memiliki kehadiran militer UEA sejak lama (untuk pelatihan anti-pembajakan). Dengan tambahan radar dan fasilitas logistik, transport senjata dan personel melalui Bosaso menjadi lebih mudah dan tertutup.


Dampak Humaniter: Darfur, RSF, dan Runtuhnya Nurani

Sementara logistik dan strategi berjalan, di Darfur, korban berguguran. RSF yang diperkuat armada, bayaran, drone, dan logistik (sebagian dari rute Bosaso) telah dituduh melakukan eksekusi massal, pembantaian warga sipil, dan memblokir bantuan kemanusiaan. Laporan PBB dan kelompok HAM menyebut ada “alasan yang masuk akal untuk meyakini” kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi. 

Operasi logistik melalui Bosaso bukan hanya soal senjata—ia adalah jaringan yang memungkinkan kekerasan terstruktur. Ketika kontainer tanpa penjelasan dibongkar dan pesawat angkut tak diberi waktu untuk pendaratan pengintaian, angka korban meningkat—rumah sakit di el-Fasher dipenuhi korban, banyak di antaranya terekam dieksekusi oleh RSF.


Mekanisme Kelangsungan Perang: Mengapa “Bumi Hangus” Tak Pernah Berhenti

Konsep kita di sini mirip dengan strategi “bumi hangus” yang digunakan dalam sejarah: menghancurkan agar lawan tidak pernah bangkit. Namun adaptasi modern berbeda: bukan kota yang dibakar, melainkan fasilitas logistik, jaringan finansial, dan hukum internasional yang dipinggirkan.
Dengan hub seperti Bosaso, UEA dan RSF menciptakan mekanisme perang berkelanjutan:

Personel dibawa dari Kolombia,

Senjata diterbangkan melalui Somalia ke Sudan,

Kemenangan RSF di Darfur memperkuat posisi mereka,

Teluk Aden dan Laut Merah menjadi koridor senjata dan emas.


Dengan demikian, konflik bukan sekadar pertempuran di lapangan — ia menjadi ekonomi tertutup yang bergantung pada keberlanjutan mesin perang.


Kontradiksi Kekuatan: Ketahanan yang Melelahkan

Namun seperti strategi bumi hangus yang akhirnya gagal karena tidak meninggalkan fondasi peradaban, aliansi ini juga punya retakan. UEA bisa memasok senjata, tapi membiayai keberlanjutan konflik berarti beban diplomatik dan moral.

Somalia menghadapi risiko kedaulatan; Sudan mengalami penderitaan berkepanjangan; dunia Islam melihat bagaimana wilayah Afrika menjadi papan catur kekuatan besar.

Seperti yang ditulis sejarawan Arnold Toynbee:

“Peradaban tidak mati karena dibunuh; ia mati karena bunuh diri moral.”

Aliansi yang bergantung pada ekstaksi emas, senjata, dan bayaran tentara bayaran akhirnya membayar sendiri. UEA bisa tinggal jauh dari medan perang, tetapi nama-baiknya terancam—sedangkan RSF bisa menang tempur, tetapi kehilangan legitimasi.


Refleksi Akhir: Urusan Nurani dan Uranus Global

Operasi Bosaso adalah sebuah pentas kecil dari geopolitik besar: ketika sebuah bandara di Somalia digunakan sebagai pangkalan senjata ke Sudan, maka dunia melihat benang penghubung antara kekuasaan, sumber daya, dan kerusakan kemanusiaan.

Penutup ini mengajak kita bertanya: siapa yang menanggung biaya perang? Jawabannya: bukan hanya korban di Darfur, tetapi masyarakat global yang kehilangan norma, kedaulatan lokal yang dikorbankan, dan generasi yang mati tanpa kesempatan.

Kita diundang untuk menyaksikan bukan hanya statistik, tetapi hati nurani yang dipertaruhkan. Karena ketika operasi rahasia berhasil dalam gelap, ia tetap membiarkan cahaya nurani manusia bertanya—dan sejarah mendengarkan.

Israel: "Hakim, Juri, dan Algojo Sekaligus, Atas Gencatan Senjata yang Disepakati Sendiri" 1. Keheningan yang Palsu Ha...


Israel: "Hakim, Juri, dan Algojo Sekaligus, Atas Gencatan Senjata yang Disepakati Sendiri"


1. Keheningan yang Palsu

Hari itu, langit Gaza tampak seolah tenang. Suara drone berhenti sejenak, debu reruntuhan mulai mengendap, dan orang-orang mencoba menyalakan kompor kecil di antara puing. Tapi seperti yang dikatakan seorang ibu di Khan Younis kepada Al Jazeera, “setiap kali kami mencoba bernapas, ada suara peluru yang memotong udara.”

Gencatan senjata — katanya — hanyalah jeda yang dibuat agar dunia kembali diam.

Namun, bahkan dalam keheningan itu, kematian tidak berhenti. Israel masih menembaki rumah-rumah yang tersisa, membatasi makanan, memblokir obat-obatan, dan menutup jalan bantuan kemanusiaan. Seolah-olah damai hanyalah taktik baru perang: perang terhadap kelaparan, penyakit, dan waktu.


---

2. “Hakim, Juri, dan Algojo Sekaligus”

Dalam laporannya dari Yordania — sebab Al Jazeera kini dilarang melaporkan langsung dari Israel dan Tepi Barat — jurnalis Nour Odeh menyebut Israel sebagai pihak yang “bertindak sebagai hakim, juri, dan algojo” atas gencatan senjata yang mereka sepakati sendiri.

Perjanjian itu tidak memiliki tenggat waktu untuk pemulangan jenazah sandera. Namun, Israel kini menggunakan isu tersebut untuk menekan pihak lawan dan menjustifikasi pemblokiran bantuan.

Sebagaimana disebutkan dalam laporan, lebih dari 55 juta ton puing menutupi Gaza, dan lebih dari 10.000 orang masih tertimbun di bawahnya. Agar jenazah para sandera dapat ditemukan pun, Israel harus mengizinkan alat berat masuk — namun izin itu sengaja ditahan.

Sementara itu, bantuan kemanusiaan dibatasi. Truk-truk bantuan yang seharusnya berjumlah 600 per hari hanya diizinkan 173 truk, menurut laporan OCHA dan Pemerintah Media Gaza. Jumlah yang bahkan “tidak mencukupi kebutuhan minimum populasi.”


---

3. “Membunuh Tanpa Peluru”

Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui UNRWA, menegaskan pada 15 Oktober 2025 bahwa Israel masih memblokir bantuan meskipun gencatan senjata telah disepakati sejak Jumat sebelumnya.

Lebih dari 12.000 staf UNRWA di Gaza tidak dapat menyalurkan logistik, padahal ratusan ribu ton makanan dan bahan bangunan telah menumpuk di Rafah, siap disalurkan untuk tiga bulan ke depan.

 “Pembatasan yang berkepanjangan ini berisiko memperburuk kondisi yang sudah sangat buruk,” tulis UNRWA.

Foto-foto dari AFP menunjukkan truk bantuan yang berbaris di sisi Mesir, menunggu izin dari Israel untuk melintas. Sementara dari sisi Palestina, anak-anak berdiri di jalanan yang rusak, memegang wadah kosong, menunggu air yang tak kunjung datang.

Mereka bukan dibunuh oleh peluru — tetapi oleh kelaparan yang sengaja diciptakan.


---

4. Genosida dengan Bahasa Diplomasi

Tulisan Ramona Wadi di Middle East Monitor mengungkap bahwa Israel tidak hanya melanggar gencatan senjata, tetapi juga mengubah bentuk perang itu sendiri.

 “Kelaparan kini dijadikan sarana genosida — dan itu menghancurkan seluruh paradigma kemanusiaan.”

Pernyataannya tegas: diplomasi internasional justru memelihara kekaburan. Amerika Serikat dengan bangga menandatangani perjanjian di Sharm el-Sheikh, menyebutnya sebagai “kesepakatan damai”, padahal itu hanya memberi ruang bagi Israel untuk melanjutkan dominasi dengan cara yang lebih halus.

Uni Eropa, yang merasa “tersisih” dari peran politik Timur Tengah oleh Presiden Trump, kini berusaha menegaskan dirinya sebagai “penjaga perdamaian”. Namun, sebagaimana dikutip Ramona, “pengaruh politik mereka lebih besar pada Israel dan kaki tangannya, bukan pada rakyat Palestina.”

Eropa ingin duduk di Dewan Pengawas Perdamaian, tetapi tak ada yang berani mengucap kata yang paling penting dalam konflik ini: dekolonisasi.


---

5. Rencana Dua Negara: Sebuah Penipuan Lama

Wadi melanjutkan analisanya bahwa rencana dua negara yang diulang-ulang sejak Perjanjian Oslo hanyalah ilusi. Paradigma itu dibangun di atas Rencana Pembagian 1947 — bukan untuk membentuk negara Palestina, tetapi untuk mencegahnya lahir selamanya.

 “Satu-satunya negara Palestina yang diakui dunia hanyalah negara simbolis yang tidak pernah ada,” tulisnya.

Rencana Trump yang kini direvisi pasca-genosida Gaza masih memuat pola yang sama: menunda kenegaraan Palestina tanpa pernah menutupnya secara resmi. Sebuah penundaan permanen agar Israel bisa terus membangun permukiman di atas reruntuhan rumah orang-orang Gaza.

Dan dunia — yang katanya mencintai perdamaian — memilih untuk membisu, atau paling jauh, menulis laporan.


---

6. Luka yang Terus Dihitung

Dalam laporan Anadolu Agency, disebutkan bahwa sejak awal gencatan senjata, Israel telah melakukan 37 pelanggaran tembak-menembak kecil, terutama di Beit Hanoun dan Rafah. Di antaranya menewaskan dua anak.

Bagi dunia, itu “pelanggaran kecil”.
Bagi keluarga korban, itu adalah dunia yang runtuh.

Sementara di pihak Israel, para keluarga sandera yang tak kunjung dipulangkan mulai menekan pemerintahnya untuk “kembali berperang.” Tekanan internal ini — menurut Nour Odeh — digunakan Netanyahu sebagai dalih untuk menunda pelaksanaan penuh perjanjian. Ia tahu bahwa rakyatnya haus akan kepastian, dan kepastian itu hanya datang dari perang.


---

7. Narasi Barat dan Amnesia Dunia

BBC dan The Guardian melaporkan pergeseran opini publik di Eropa dan Amerika. Dukungan terhadap Israel mulai menurun, tetapi tak diikuti dengan kebijakan nyata. Pemerintah masih mengirimkan senjata, masih menyebut Israel “berhak membela diri.”

Apakah dunia sedang lupa, atau berpura-pura tidak tahu?

Sosiolog Prancis Jean Baudrillard pernah menulis, “Perang modern tidak lagi berakhir dengan kemenangan atau kekalahan, tapi dengan kebingungan moral yang menjadi konsumsi media.”
Begitulah Gaza hari ini. Sebuah perang yang tidak dimenangkan siapa pun — kecuali kamera, algoritma, dan narasi.


---

8. Suara yang Tersisa: Nurani

Dalam salah satu khutbahnya, Nabi ï·º bersabda:

 “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya — dan itu selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)

Gaza mungkin kini hanya tersisa pada tahap ketiga: iman yang bergetar dalam diam.
Mereka tak punya tangan untuk melawan, tak punya suara untuk didengar. Tetapi hati mereka tetap hidup — dan itulah yang ditakuti oleh penjajah mana pun.


---

9. Tafsir Jiwa: Ketika Hati Menolak Mati

Seorang pakar psikologi trauma dari Universitas Harvard, Dr. Richard Mollica, dalam wawancaranya dengan Psychology Today, menyebut bahwa manusia bisa bertahan dalam kondisi ekstrem “selama masih memiliki makna.”

Makna — bukan makanan — yang membuat manusia tetap hidup di kamp konsentrasi, di ruang penyiksaan, di reruntuhan kota.
Dan bagi rakyat Gaza, makna itu jelas: bertahan adalah bentuk ibadah.

Seorang pemuda Palestina pernah berkata kepada Reuters:

 “Kami tidak mati karena kelaparan. Kami hidup karena iman.”

Itulah jenius spiritual umat yang tak tunduk pada logika kekuasaan.


---

10. Seruan dari Debu

Maka, apakah gencatan senjata ini sungguh damai?
Ataukah hanya ruang bagi Israel untuk mengatur ulang peluru dan retorikanya?

Dunia boleh menyebutnya truce, ceasefire, atau peace process — tetapi di jalanan Rafah, anak-anak tahu bahwa kedamaian sejati hanya datang dari Allah, bukan dari resolusi Dewan Keamanan.

Sebagaimana firman-Nya:

“Dan apabila mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Al-Anfal: 61)

Namun Allah juga memperingatkan:

“Dan janganlah kamu lemah menghadapi kaum yang berkhianat.”
(QS. Al-Anfal: 58)

Maka, antara ayat 61 dan 58 itu, umat beriman berdiri: bukan sebagai pihak yang pasrah, tetapi yang sabar dan sadar. Karena sabar tidak berarti diam.


---

11. Penutup: Damai yang Belum Datang

Kini, langit Gaza kembali redup oleh asap, bukan senja. Dunia menulis laporan baru tentang pelanggaran baru, seolah sejarah bisa disembunyikan di balik laporan harian.

Tetapi, seperti kata penyair Mahmoud Darwish:

 “Mereka bisa menghancurkan rumahku, tetapi tidak bisa menghancurkan aku yang di dalamnya.”

Itulah paradoks gencatan senjata Israel: menghentikan bom, tetapi tidak menghentikan kejahatan. Mengizinkan diplomasi, tetapi menolak kemanusiaan.

Dan di tengah reruntuhan itu, seorang anak kecil masih menulis di dinding bata:

 “Kami belum kalah.”

Algoritma dan Metrik Interaksi Media Sosial Agar  Dunia Tak Mempercayai Genosida di Gaza  1. Dialog Batin Pemuda: “Apakah Ini Be...


Algoritma dan Metrik Interaksi Media Sosial Agar  Dunia Tak Mempercayai Genosida di Gaza 


1. Dialog Batin Pemuda: “Apakah Ini Benar Genosida?”

Di ruang-ruang chat malam, di pojok pekat media sosial, seorang pemuda mengetik:

> “Gencatan senjata sudah diumumkan — lalu kenapa masih ada bom atau nyawa melayang? Apakah ini benar genosida atau propaganda?”



Banyak di antara generasi muda tumbuh di antara berita instan, video viral, dan narasi yang disaring oleh algoritma. Mereka rentan terhadap distorsi, “kebenaran tersaring”, dan manipulasi media. Israel — baik secara diplomatis maupun digital — tampaknya sangat menyadari hal ini: bahwa kemenangan narasi bisa lebih mudah diraih daripada kemenangan militer.

Mereka membangun peta perang baru: mematahkan kepercayaan, menyamarkan bukti, mengalihkan perhatian.
Maka muncul propaganda bahwa apa yang terjadi adalah “kegagalan logistik”, “korban perang tak sengaja”, “kecelakaan dalam perang terbatas”, bukan genosida yang disengaja.


---

2. Strategi Propaganda: Memutarbalik Fakta dan Memblokir Akses

a. Disinformasi & Narasi Alternatif

Platform media sosial dan kanal diplomatik Israel serta pendukungnya acap menyebarkan narasi tandingan:

Tuduhan bahwa korban Palestina berpura-pura agar menarik simpati

Penekanan bahwa kematian terjadi akibat kesalahan Hamas sendiri

Mengontraskan penderitaan rakyat Israel sebagai korban yang “patut disimpatikkan”


Menurut laporan Atlantic Council tentang konflik Israel-Hamas, platform seperti X, TikTok, Telegram telah didesain sehingga konten yang mendukung Israel lebih cepat naik ke permukaan — sedangkan konten pro-Palestina sering kali di-moderasi lebih ketat atau disensor. 
Penelitian dari ISD juga menyebut bahwa narasi kebencian dan disinformasi ditargetkan khusus ke audiens Muslim dan Eropa, untuk melemahkan empati terhadap Palestina. 

b. Membatasi Akses Bantuan Kemanusiaan sebagai Taktik Tekanan

Israel memegang kunci perbatasan dan rute bantuan. Meskipun gencatan senjata telah disepakati, Israel tetap mengurangi jumlah truk bantuan, menutup Rafah, dan menuntut agar jenazah sandera dipulangkan sebagai kondisi agar bantuan diringankan. 

UNRWA menegaskan bahwa Israel terus memblokir suplai makanan dan barang penting ke Gaza meski sudah ada gencatan senjata. 
Sebelumnya, Israel juga pernah menghentikan semua suplai sejak 2 Maret 2025 sebagai tekanan diplomatik. 

Dengan membiarkan warga lapar dan hidup dalam kekosongan berita, Israel berharap kekacauan akan membuat klaim genosida tampak hiperbolis atau tak masuk akal bagi generasi muda yang “terputus” dari narasi lapangan.


---

3. Pernyataan Ambigu & Penyangkalan Resmi

Israel sering mengganti narasi ketika difokuskan:

Ketika jenazah sandera dikembalikan, mereka mengklaim salah satu bukan sandera sama sekali. 

Ketika bantuan ditolak, mereka menyalahkan keterlambatan Hamas dalam menyerahkan jenazah. 

Ketika serangan terjadi di zona “larangan bergerak”, mereka menyebut korban memasuki zona ilegal dan “menjadi target” — mendefinisikan ulang batas secara sepihak. 


Narasi semacam ini menanam keraguan di benak pemuda: “Kalau mereka tidak mau mengakui, apakah benar-benar terjadi kejahatan besar?”


---

4. Algoritma yang Memihak & Efek Resonansi Media

Media sosial tidak netral. Algoritma dan metrik interaksi (like, share) memperkuat konten yang mengundang emosi kuat — sering kali konten provokatif dan polarizing. (Penelitian Avram et al.) 
Platform juga mengubah kebijakan moderasi yang melemahkan kemampuan untuk mendeteksi disinformasi konflik. 
Narasi tandingan yang pro-Israel sering mendapatkan prioritas visibilitas, sementara konten kemanusiaan Palestina disensor atau dibungkam lebih cepat. 

Akibatnya, pemuda yang mencari jawaban melalui media sosial bisa “terjebak” dalam gelembung informasi terfilter — di mana mereka hanya melihat sudut pandang minimal dan terdistorsi.


---

5. Kelelahan Emosi & Silau Konflik

Studi terhadap pemuda Muslim yang mengonsumsi berita konflik secara intensif menunjukkan dampak psikologis: kelelahan berita (news fatigue), keraguan terhadap kebenaran, dan emosi yang mati rasa. 
Banyak yang mengatakan: “Kadang saya ragu apa yang saya baca itu benar — bisa jadi propaganda musuh.” 

Karena kelelahan itu, narasi yang lebih sederhana dan “tak kontroversial” (bahwa konflik sudah selesai, “damai tercapai”) terasa lebih aman dan diterima, bahkan jika hati tahu ada yang salah.


---

6. Memori yang Dihapus, Bukti yang Dikubur

Menghapus ingatan adalah bagian dari strategi pemupukan amnesia kolektif. Israel memberi tekanan agar dokumentasi korban dan laporan investigasi tidak kuat disebarluaskan.

Contohnya: tuduhan bahwa foto korban direkayasa, video palsu, atau alat propaganda “Pallywood” digunakan untuk mencemarkan narasi Palestina. 
Identifikasi korban juga sengaja dirahasiakan atau dibatasi. Ketika jenazah dikembalikan, banyak yang tidak diidentifikasi atau cedera parah. 

Tanpa bukti visual yang kuat, generasi muda bisa menolak klaim genosida sebagai “berlebihan”, “tak terbukti”, atau “propaganda ekstrem.”


---

7. Narasi “Perang Sudah Berakhir” sebagai Manipulasi

Israel dan pendukungnya menyebarkan klaim bahwa gencatan senjata berarti perang selesai. Seolah konflik kritis telah “ditangani”.
Artikel Arwa Mahdawi menyindir ini sebagai gestur diplomatik: kita diharapkan berterima kasih bahwa bom tidak jatuh hari ini.

Namun fakta di lapangan menolak itu: bahkan di masa gencatan senjata, setidaknya 3 warga Palestina tewas akibat tembakan Israel menurut Al Jazeera. 

Pengumuman “perdamaian” dini ini bertujuan mengaburkan bahwa perang mitos mungkin hanya diganti dengan perang bentuk lain: kelaparan, pembatasan, kontrol populasi.


---

8. Refleksi Antara Hati & Batin: Bisikan Lurus di Tengah Kebisingan

Generasi muda yang berpikir kritis harus dilatih “membaca sela-sela narasi”—tanpa panik, tetapi dengan hati waspada.
Ketika dunia mengatakan “damai tercapai”, hati bisa bertanya: “Kalau korban masih jatuh, kalau bantuan diblokir, kalau mereka menyebut korban bukan korban — maka di mana damai itu?”

Allah berfirman:

> “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya — dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)



Pemuda harus menjaga hati mereka tetap sebagai ruang paling suci — tempat pertanyaan benar dan nurani menolak berkompromi dengan kezaliman.

Dukungan Militer dan Non Militer Amerika dan Eropa kepada Israel untuk Mengenosida Gaza  “Perang bukan sekadar pertempuran di me...


Dukungan Militer dan Non Militer Amerika dan Eropa kepada Israel untuk Mengenosida Gaza


 “Perang bukan sekadar pertempuran di medan, tetapi—terutama—pertarungan sumber daya, legitimasi, dan dukungan di balik layar.”

Konflik Israel–Gaza bersama eskalasi regional yang sering disebut “Badai Al-Aqsha” atau operasi militer besar Israel setelah 7 Oktober 2023 menimbulkan kerugian yang amat besar—baik dalam hal manusia maupun finansial. Di balik rontoknya gedung, hancurnya infrastruktur, dan nyawa yang hilang, muncul pertanyaan: Siapa yang membayar perang ini? Dan seberapa besar beban yang ditanggung oleh Israel sendiri dibandingkan dukungan luar?

Tulisan ini mencoba menyajikan struktur biaya perang Israel pasca Al-Aqsha: (1) biaya dari anggaran negara sendiri, (2) komponen militer, (3) bantuan Amerika Serikat (militer & non), (4) kontribusi diaspora Yahudi global, (5) dukungan perusahaan-perusahaan global, (6) bantuan dan penjualan senjata dari Eropa/negara lain, dan (7) dukungan infrastruktur militer


---

1. Biaya dari Anggaran Negara Israel Sendiri

1.1. Skala Anggaran Tambahan dan Dana Darurat

Israeli Kementerian Keuangan dan Bank of Israel telah secara terbuka menyatakan bahwa perang menuntut alokasi tambahan anggaran besar di luar rencana anggaran tahunan biasa. Dalam laporan & wawancara publik, Gubernur Bank of Israel menyebut bahwa anggaran perang selama 2024 telah melonjak secara drastis, dan tahun 2025 juga menghadapi tekanan yang sama.

Secara konkret, pada tahun 2024 tambahan “supplementary budgets” yang disetujui Knesset mencapai 112 miliar NIS khusus untuk perang (termasuk operasi militer, perlindungan sipil, pengungsi internal, dan biaya operasional).

1.2. Komponen Pengeluaran Internal

Pengeluaran internal Israel mencakup sejumlah elemen kritis:

Operasi militer & amunisi: produksi ulang atau pembelian amunisi, senjata, kendaraan militer.

Gaji dan kompensasi reservis: mobilisasi cadangan (reservists) memerlukan pembayaran besar untuk personel yang keluar dari pekerjaan sipil.

Biaya perlindungan sipil & evakuasi: pembangunan tempat perlindungan (shelter), evakuasi masyarakat yang terkena serangan rudal, penyediaan kebutuhan dasar di daerah terdampak.

Dampak ekonomi domestik: kehilangan pendapatan pajak karena perekonomian melambat, bantuan ekonomi untuk daerah-daerah terdampak, subsidi, pemulihan infrastruktur kota.

Kompensasi infrastruktur rusak: memperbaiki jalan, listrik, saluran air, fasilitas publik yang hancur akibat perang.

Jika digabungkan, estimasi total biaya dari anggaran Israel sendiri mencapai puluhan hingga ratusan miliar NIS (tergantung cakupan waktu). Laporan-laporan awal memperkirakan bahwa hingga akhir 2024, Israel telah menanggung sendiri pengeluaran dekat 170 miliar NIS. (Catatan: angka ini di-updated dan bisa berbeda dalam laporan resmi berikutnya.)


---

2. Bantuan Amerika Serikat untuk Israel (Militer & Non)

2.1. Bantuan Militer Langsung

AS merupakan penyuplai utama militer Israel sejak dekade lalu, dan dalam konteks perang ini kontribusi AS melonjak:

Kontrak bantuan militer / pengeluaran FMS / drawdowns kepada Israel dalam periode konflik (2023–2025) mencapai US$17.9 miliar atau lebih menurut laporan awal beberapa media.

Bantuan tersebut mencakup amunisi, suku cadang, kendaraan militer, sistem pertahanan udara (seperti Iron Dome), logistik, dan dukungan teknologi militer (intelligence, satelit, sistem komunikasi).

Lebih dari itu, AS sering melakukan drawdowns dari stok militer AS internal untuk memenuhi kebutuhan Israel tanpa menunggu produksi baru.


2.2. Bantuan Non-Militer AS

Selain persenjataan, AS juga memberikan dukungan non-militer:

Dukungan intelijen dan keamanan: akses satelit, data ISR (Intelligence, Surveillance, Reconnaissance), pembagian intelijen kontra-terorisme.

Bantuan diplomatik dan jaminan politik (misalnya jembatan diplomasi, veto di PBB, dukungan moral konsensus AS).

Kemungkinan bantuan keuangan tidak langsung (garansi hutang, pinjaman, stabilisasi mata uang) untuk membantu Israel menanggung beban perang.



---

3. Bantuan Diaspora Yahudi Global

Diaspora Yahudi di AS, Eropa, Kanada, Australia, dan tempat lain memainkan peran penting dalam pendanaan sosial, kemanusiaan, dan dukungan sipil untuk Israel.

Jewish Federations / federasi Yahudi di AS melaporkan penggalangan dana besar: misalnya laporan menunjukkan telah terkumpul > US$833 juta sampai Juli 2024 untuk dukungan kepada Israel, keluarga korban, dan proyek sosial.

Pemerintah Israel sendiri mengumumkan bahwa sumbangan global diaspora, lembaga filantropi dan yayasan Yahudi secara kolektif sudah mencapai > US$1,4 miliar selama fase awal konflik.

Sumbangan ini tidak selalu militer — banyak dialokasikan ke bidang humaniter, kesehatan, rehabilitasi masyarakat Israel terdampak, NGO lokal, rumah sakit, dan dukungan psikososial.

Diaspora menyediakan “modal moral & keuangan tidak langsung” yang membantu meringankan beban negara bagian Israel dalam konteks sosial dan domestik.


---

4. Bantuan / Kontrak Perusahaan Global ke Israel

Perusahaan-perusahaan besar global ikut terlibat dalam berbagai level:

Teknologi dan layanan sipil: banyak perusahaan besar (cloud, TI, komunikasi) menyediakan layanan untuk institusi Israel (cloud hosting, data centers, sistem komunikasi) — beberapa laporan menyebut bahwa layanan infrastruktur IT digunakan oleh lembaga keamanan Israel.

Kontrak pertahanan / suku cadang militer: meskipun tidak selalu jelas secara publik, sejumlah lembaga advokasi menyebut daftar perusahaan-perusahaan yang diduga memasok komponen sistem militer ke Israel (komponen drone, sensor, sistem elektronik). Laporan UN rapporteur & NGO mempublikasikan daftar perusahaan “komplicity” (terlibat) dalam konflik.

Maintenance dan dukungan teknis: perusahaan luar negeri juga menyediakan perawatan dan dukungan teknis untuk sistem-sistem militer Israel (misalnya integrasi perangkat, software, komponen jaringan kompleks) berdasarkan kontrak besar pertahanan.

Perlu dicatat bahwa beberapa perusahaan menghadapi tekanan boikot dan kampanye publik karena hubungan mereka dengan aktivitas militer Israel.


---

5. Bantuan & Penjualan Senjata dari Eropa / Negara Lain

5.1. Penjualan / Eksport Senjata ke Israel

AS tetap pemasok utama senjata besar ke Israel (jet tempur, rudal, sistem pertahanan).

Eropa: Beberapa negara Eropa (Jerman, Inggris, Prancis) selama berdekade memiliki kontrak ekspor sistem pertahanan ke Israel. Namun sejak eskalasi konflik 2024–2025, beberapa negara meninjau/menangguhkan lisensi ekspor senjata ke Israel karena tekanan publik dan kebijakan domestik. Laporan Reuters & SIPRI mencatat beberapa negara yang membekukan atau membatasi ekspor senjata ke Israel.

India: hubungan industri pertahanan Israel–India kuat, tetapi penjualan senjata dari India ke Israel kurang dipublikasikan secara luas sebagai kontribusi khusus konflik.

Negara lain: negara-negara yang memiliki industri pertahanan (Rusia, Ukraina, dll.) sebagian berkontrak dengan Israel dalam simpul-simpul bisnis militer, tetapi volume langsung ke konflik perlu diverifikasi lewat database SIPRI.


5.2. Bantuan Infrastruktur Militer (Eropa & AS)

AS: mendukung pembangunan infrastruktur militer Israel melalui penyediaan suku cadang, depot logistik, sistem pendukung, pemeliharaan yang dilakukan oleh perusahaan AS atau kontraktor yang berafiliasi.

Eropa: beberapa negara Eropa menyumbang komponen sistem (mesin, elektronik, sensor) dan dukungan teknis; sebagian negara menangguhkan ekspor sistem ofensif, tetapi masih menyuplai bagian non-ofensif (komponen elektronik, radar, sistem komunikasi).

Kontrak pemeliharaan antara Israel dan perusahaan global (misalnya perusahaan asal Eropa / AS) untuk sistem pertahanan (radar, sistem kendali, perangkat optik) juga tercatat dalam dokumen tender pertahanan regional.


---

6. Rangkuman Proporsi dan Tantangan

Mayoritas biaya militer dan operasional langsung dibiayai oleh Israel sendiri melalui anggaran tambahan.

Amerika Serikat adalah pemasok help terbesar dalam dukungan persenjataan, logistik militer, dan jaminan politik.

Diaspora Yahudi global mentransfer ratusan juta hingga miliaran USD terutama untuk keperluan sipil, bantuan masyarakat, dan organisasi non-militer di Israel.

Perusahaan global turut berperan dalam layanan teknologi & dukungan militer tidak langsung, seringkali lewat kontrak privat dan pemasokan komponen.

Negara Eropa & ekspor senjata ke Israel masih signifikan historis, tapi sejak eskalasi konflik beberapa negara menahan ekspor senjata ofensif demi pertimbangan politik dan tekanan publik.

Infrastruktur militer dan maintenance disokong juga oleh perusahaan dan negara yang memiliki teknologi tinggi, sebagian melalui kerjasama teknologi bilateral.

Tantangan terbesarnya adalah transparansi. Banyak kontrak pertahanan dan transfer senjata disamarkan melalui perjanjian rahasia atau keamanan nasional, sehingga publik kesulitan memastikan angka tepat dan proporsinya.

Jadi siapa yang bertanggung jawab terhadap genosida di Gaza, bila Amerika dan Eropa terlibat? Wajar bila hukum internasional mandul.

Jadi, apakah Israel itu negara hebat?

Perjuangan Petani Palestina: Dari Perjanjian Balfour hingga Badai Al-Aqsha Surat untuk Kekaisaran yang Menjual Sebidang Surga Ha...


Perjuangan Petani Palestina: Dari Perjanjian Balfour hingga Badai Al-Aqsha


Surat untuk Kekaisaran yang Menjual Sebidang Surga

Hai Inggris, apakah engkau tahu?
Pada pagi 2 November 1917, pena di tanganmu tak hanya menulis surat diplomatik. Ia menulis luka yang akan berdarah seabad lamanya. Kalimat pendekmu—“Pemerintah Yang Mulia memandang dengan baik pendirian sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi di Palestina”—adalah kontrak kematian bagi ladang-ladang zaitun, bagi petani yang menanam gandum di bawah matahari Yerusalem, bagi desa-desa yang telah hidup berabad-abad dalam damai sederhana.

Engkau mungkin mengira sedang menulis sejarah kebesaranmu, padahal engkau sedang menandatangani pengkhianatan paling halus: menjual tanah yang bukan milikmu, untuk membayar utang perangmu sendiri. Dalam satu kalimat, engkau memindahkan langit dari atas kepala rakyat Palestina.

Balfour tidak sedang menulis ayat keagamaan, tetapi nota dagang.
Zionisme tidak lahir dari doa, melainkan dari kalkulasi: Inggris membutuhkan dana, Zionis membutuhkan tanah. Maka yang satu menjual kehormatan, dan yang lain membeli surga orang lain dengan emas.

Dan di ladang-ladang itu, para petani belum tahu bahwa hidup mereka baru saja dijual di meja makan di London.


---

Dari Ladang ke Peta Kekuasaan

Ketika Perang Dunia I berakhir dan Ottoman jatuh, Inggris datang membawa bendera kemenangan dan retorika “peradaban.” Mereka menyebut dirinya pembawa hukum dan kemajuan. Tapi bagi para petani Palestina, kemajuan itu datang dengan serdadu dan peta baru.

Di bawah Mandat Liga Bangsa-Bangsa tahun 1922, Inggris berjanji akan “mempersiapkan rakyat Palestina menuju pemerintahan sendiri.” Tapi janji itu kosong. Di tangan birokrat kolonial, tanah yang selama ini menjadi warisan keluarga dan komunitas mulai dipetakan ulang menjadi sertifikat individu.
Dan hukum baru itu seperti jebakan: tanah yang tak bersertifikat resmi—karena tradisi Palestina berbasis kepemilikan bersama—dianggap “tanah negara” dan dapat dijual atau dialihkan kepada lembaga-lembaga Zionis.

Maka muncullah Palestine Land Development Company dan Jewish National Fund, membeli lahan dari tuan-tuan tanah Arab yang tinggal jauh di Beirut atau Damaskus.
Para petani penggarap yang telah menanam beras, gandum, dan zaitun selama puluhan tahun—dipaksa hengkang.
Mereka tidak paham surat jual-beli, tidak punya pengacara, tidak tahu bahwa “modernisasi tanah” berarti kehilangan tanah itu selamanya.

Sejarawan Ilan Pappé mencatat: “Ribuan keluarga terusir bukan oleh perang, tetapi oleh pena dan stempel.”
Dari sinilah kolonialisme Inggris menunjukkan bentuknya yang paling dingin: tidak dengan senapan, tapi dengan hukum.


---

Kolonialisme dengan Bahasa Kemajuan

Inggris menyebutnya reformasi agraria.
Zionis menyebutnya pembangunan tanah air.
Tapi bagi petani Palestina, itu berarti satu hal: perampasan.

Sistem pajak kolonial mencekik desa-desa Arab. Tanah yang dulu mereka kelola bersama dikenai tarif tinggi atas nama “efisiensi ekonomi.”
Yang tak mampu membayar, tanahnya disita.
Yang mencoba bertahan, dihukum oleh mekanisme utang yang menjerat.
Kolonialisme kini mengenakan jas rapi dan berbicara dengan bahasa administrasi.

Di sisi lain, pemerintah Inggris memberikan izin konsesi luas kepada lembaga-lembaga Zionis untuk membangun jaringan listrik, air, dan irigasi. Mereka menyebutnya “modernisasi.”
Namun akses air dibatasi; petani Palestina tak bisa menyalurkan irigasi tanpa izin.
Pertanian yang dulu swasembada berubah menjadi ladang upahan bagi koloni baru.

Polisi kolonial dilatih bukan untuk menjaga rakyat, tapi melindungi proyek-proyek Zionis.
Milisi Haganah mendapatkan senjata dan pelatihan; sementara demonstrasi petani Palestina dibubarkan dengan tembakan.
Laporan Colonial Office tahun 1930 mencatat secara dingin: “Migrasi Yahudi meningkat, tanah Arab berkurang cepat, ketegangan memuncak.”

Namun di luar statistik itu, ada sesuatu yang tak bisa dihitung: kehilangan martabat.
Sebab bagi petani, tanah bukan hanya sumber hidup—tanah adalah identitas.


---

1936: Revolusi dari Ladang yang Hilang

Mereka yang dianggap lemah mulai bangkit.
Petani yang selama ini diam mulai menulis sejarahnya sendiri dengan darah.

Pada April 1936, Palestina meledak. Petani menyerang jalur kereta, memboikot produk Inggris, menolak membayar pajak.
Dari desa ke desa, dari lembah ke gunung, revolusi bergelora: “Kembalikan tanah kami!”
Selama tiga tahun penuh (1936–1939), Inggris memerangi rakyatnya sendiri.
Pasukan kolonial menghancurkan rumah, membakar desa, dan menembak para pemimpin desa yang dianggap pemberontak.

Surat kabar The Guardian tahun 1938 menulis:

> “Pasukan Inggris memerangi pemberontak Palestina dengan cara yang hanya dapat dibandingkan dengan operasi di koloni Afrika. Desa-desa dibakar, ladang dibumihanguskan.”



Ratusan desa rata dengan tanah.
Tapi semangat itu tak padam.
Dari revolusi petani inilah muncul generasi baru perlawanan, yang kelak melahirkan nama-nama seperti Abd al-Qadir al-Husayni dan Haj Amin al-Husayni—para pemimpin nasionalis yang memadukan agama, tanah, dan harga diri dalam satu kalimat: Palestina adalah amanah.


---

Inggris Mundur, Tapi Dosa Tak Pergi

Ketika Perang Dunia II usai, Inggris adalah kerajaan lelah yang kehilangan darah dan makna.
Arnold Toynbee menulis, “Kekaisaran Inggris memenangkan perang, tapi kehilangan dunianya.”
Di tanah Palestina, kekalahan moral itu bahkan lebih nyata.

Pada tahun 1947, Inggris menyerahkan “masalah Palestina” kepada PBB—bukan karena keadilan, tapi karena kehabisan tenaga.
Ia meninggalkan ladang-ladang yang telah direbut, meninggalkan senjata di tangan milisi Zionis, meninggalkan rakyat Palestina tanpa tanah dan pemerintahan.

Setahun kemudian, tragedi Nakba terjadi.
Lebih dari 700 ribu warga Palestina terusir dari rumah mereka.
Kota-kota tua seperti Haifa dan Jaffa dikosongkan.
Desa-desa hancur, ladang dibakar.
Dan ketika Israel berdiri pada 1948, Inggris menyebutnya “proses transisi yang sulit.”
Tapi bagi rakyat Palestina, itu bukan transisi—itu penghapusan.

Sejarawan Avi Shlaim menulis dengan getir:

> “Inggris bukan mediator antara dua bangsa, melainkan bidan yang melahirkan Israel di atas reruntuhan Palestina.”




---

Dari Pengungsian ke Ketabahan

Setelah 1948, dunia petani berubah menjadi dunia pengungsi.
Orang-orang yang dulu menanam zaitun kini menanam harapan di kamp-kamp tenda: Jenin, Nablus, Gaza, Shatila.
Mereka membawa kunci rumah—simbol bahwa rumah itu masih ada, meski tak bisa ditinggali.

Sosiolog Palestina, Salim Tamari, menulis:

> “Petani berubah menjadi bangsa tanpa ladang, buruh tanpa rumah.”



Namun dari kehilangan itu tumbuh kata yang kini menjadi simbol Palestina: sumud—keteguhan, bertahan meski tanpa tanah, tanpa senjata, tanpa negara.
Mereka tetap menanam, tetap menolak meninggalkan ladang, bahkan ketika tentara Israel membangun pos militer di tengah desa.
Setiap kali pohon zaitun ditebang, mereka menanam dua pohon baru.
Setiap kali tembok pemisah dibangun, mereka menggali sumur baru di sisi lain.

Bagi dunia, mereka tampak kalah.
Tapi dalam kesetiaan mereka pada tanah, ada kemenangan yang lebih besar daripada segala kemenangan militer: kemenangan untuk tetap manusia.


---

Kapitalisme dan Pendudukan: Warisan Kolonial yang Hidup

Seabad setelah Balfour, kolonialisme berganti baju.
Kini bukan lagi Inggris dengan seragam kolonial, melainkan jaringan global: bank, korporasi, dan diplomasi.

Laporan The New Arab tahun 2023 menyebut bahwa lebih dari enam puluh perusahaan Eropa dan Amerika masih aktif mendukung proyek militer dan teknologi Israel di wilayah pendudukan—dengan dalih “pembangunan pasca-konflik.”
Bahkan, beberapa perusahaan pertanian Eropa memasok benih dan pupuk kepada permukiman ilegal, sementara petani Palestina dihalangi dari sumber air.

Kapitalisme menjadi perpanjangan tangan kolonialisme.
Di bawahnya, sistem lama masih hidup: hukum tanah yang berat sebelah, perizinan yang diskriminatif, ekonomi yang meminggirkan.
Inilah Balfour modern—tanpa surat, tanpa tinta, tapi dengan kesepakatan dagang dan sanksi ekonomi.


---

Dari Ladang Balfour ke Langit Gaza

Kini, di abad ke-21, Gaza berdiri sebagai simbol terakhir dari perlawanan agraria yang berubah menjadi perjuangan eksistensial.
Pesawat-pesawat F-16 menggantikan pasukan kolonial Inggris, tapi esensinya sama: menghancurkan kehidupan dari udara agar dunia tak melihat darah di tanah.

Namun Gaza bukan hanya perang militer. Ia adalah kelanjutan dari satu garis sejarah: dari petani yang diusir pada 1930-an, ke keluarga yang kehilangan rumah pada 1948, ke anak-anak yang kini menggenggam batu dan memelihara harapan.
Mereka yang dulu menanam gandum kini menanam keberanian.
Dan setiap kali dunia berkata, “Palestina kalah,” tanah itu sendiri menjawab, “Tidak. Aku masih di sini.”


---

Refleksi: Tanah yang Lebih Luas dari Dunia

Hai Inggris, lihatlah apa yang telah terjadi pada peta yang dulu kau coret di mejamu.
Kini garis-garis itu menjadi tembok, izin, blokade, dan checkpoint.
Tapi lihat pula apa yang tidak bisa kau hapus: tekad manusia untuk tetap mencintai tanahnya.

Engkau mengira telah memenangkan perang dengan pena, tapi kalah di hati sejarah.
Sebab sejarah tak mencatat siapa yang menang, melainkan siapa yang tetap berpegang pada kebenaran saat segalanya runtuh.

Petani Palestina tak punya universitas besar, tak punya tentara, tapi mereka punya keteguhan yang membuat imperium-imperium runtuh malu.
Mereka mengajarkan kepada dunia arti sejati dari kemerdekaan: bukan memiliki tanah, tapi menolak menyerah walau tanah direbut.


---

Epilog: Surat yang Belum Selesai

Hai Inggris, engkau menulis suratmu dengan tinta diplomatik.
Tapi lihatlah—setelah seratus tahun, surat itu belum selesai dibaca.
Masih ada bab yang belum engkau pahami: bahwa tanah yang ditulis dengan ketidakadilan tidak akan pernah menjadi milik siapa pun.

Engkau menjual sebidang tanah, tapi yang kau lukai adalah sejarah manusia.
Namun sejarah memiliki cara sendiri untuk menulis ulang dirinya.
Setiap generasi petani yang menolak pergi adalah kalimat baru dalam surat panjang Palestina kepada dunia.
Dan surat itu akan terus dibaca, sampai tinta terakhir dari penindasanmu mengering.

Sebab tanah Palestina bukan sekadar bumi—ia adalah jiwa yang tak bisa dipindahkan.
Ia menolak mati karena ia ditanam dengan air mata, kesabaran, dan keyakinan.
Dan pada akhirnya, seperti semua kekaisaran sebelum engkau, Inggris, kau akan terlupakan.
Tapi setiap musim semi, saat bunga zaitun kembali mekar di Nablus, dunia akan tahu:
masih ada bangsa yang bertani di antara puing-puing sejarah—
dan menanam bukan sekadar gandum,
tetapi keadilan.

Mengukur Efektivitas Demonstrasi Global Melawan Genosida Gaza: Antara Eropa dan Negri Muslim  --- 1. Ketika Nurani Bergerak, Dun...


Mengukur Efektivitas Demonstrasi Global Melawan Genosida Gaza: Antara Eropa dan Negri Muslim 


---

1. Ketika Nurani Bergerak, Dunia Terbelah

Musim dingin 2023 mencatat pemandangan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya di jantung peradaban Barat: jutaan manusia turun ke jalan di London, Paris, Berlin, Madrid, New York, dan Sydney—bukan untuk menuntut upah, bukan untuk memprotes inflasi, tapi untuk membela Gaza. Mereka membawa poster bertuliskan “Ceasefire Now”, “Stop the Genocide”, dan “From the River to the Sea, Palestine Will Be Free.”

Dari Trafalgar Square hingga Times Square, dari Melbourne hingga Marseille, lautan manusia yang beragam warna kulit dan keyakinan bersatu menolak diam di hadapan kekejaman. Di Inggris, menurut Reuters (November 2023), lebih dari satu juta orang turun ke jalan—demonstrasi terbesar sejak perang Irak 2003. Di New York, Al Jazeera mencatat barisan panjang mahasiswa, pemuka agama Yahudi anti-Zionis, dan warga kulit hitam yang menyebut Palestina “the moral question of our generation.”

Namun di saat yang sama, di dunia Muslim—yang secara emosional dan spiritual lebih dekat dengan Gaza—pemandangan itu tak sebanding. Kairo sunyi. Riyadh hening. Amman diam. Di Jakarta dan Istanbul, massa memang turun, tetapi energi itu cepat padam tanpa arah politik yang jelas.

Dunia terbelah antara mereka yang bersuara dan mereka yang berdiam, antara yang menekan kekuasaan dan yang dibungkam oleh kekuasaan. Lalu muncul pertanyaan yang menggigit: mengapa suara nurani justru lebih nyaring di jantung peradaban Barat ketimbang di negeri-negeri Muslim sendiri?


---

2. Ledakan Moral di Barat: Ketika Publik Menantang Kekuasaan

Demonstrasi besar-besaran di Eropa dan Amerika bukan sekadar luapan emosi. Ia adalah ekspresi politik moral yang menantang paradigma lama—bahwa dukungan terhadap Israel adalah harga wajib bagi stabilitas Barat.

The New Arab (Desember 2023) menulis:

“Untuk pertama kalinya sejak dekade 1970-an, narasi publik di Barat bergeser dari keamanan Israel menuju penderitaan Palestina. Ini bukan lagi gerakan Arab, melainkan gerakan manusia.”

Di Inggris, barisan demonstran membentang dari Whitehall ke Hyde Park. BBC News mencatat bahwa protes 11 November 2023 di London melibatkan lebih dari 1,2 juta orang—terbesar dalam sejarah modern Inggris. Di antara mereka ada anggota parlemen, serikat buruh, akademisi, hingga keluarga tentara Inggris yang menolak pendudukan.

Di Amerika Serikat, Associated Press menyoroti gelombang demonstrasi kampus yang mengguncang universitas-universitas ternama: Columbia, Harvard, UCLA, dan Stanford. Mahasiswa mendirikan “Gaza Solidarity Encampments” dan menolak keluar hingga universitas menghentikan investasi pada perusahaan yang terlibat dalam industri senjata Israel.

Gelombang itu kemudian menjalar ke ruang politik. The Washington Post (Mei 2024) mencatat bahwa tekanan mahasiswa dan komunitas progresif memaksa Partai Demokrat untuk pertama kali dalam sejarah mempertanyakan bantuan militer senilai USD 14 miliar bagi Israel.

Di Australia, ABC News melaporkan ribuan orang berunjuk rasa setiap pekan di Sydney dan Melbourne. Beberapa gereja dan komunitas Yahudi liberal ikut bergabung, menuntut pemerintah menghentikan ekspor suku cadang senjata ke Tel Aviv.

Inilah kekuatan demonstrasi di Barat: ia menembus struktur kekuasaan melalui opini publik, media, dan ekonomi politik.


---

3. Dunia Muslim: Antara Solidaritas dan Sensor

Sementara itu, di dunia Muslim, jalan-jalan besar yang dahulu menjadi panggung revolusi kini senyap atau dikontrol ketat.

Di Mesir, Middle East Eye (Oktober 2023) melaporkan bahwa aparat keamanan menahan ratusan aktivis yang mencoba menggelar aksi solidaritas di Kairo. Demonstrasi diizinkan hanya di wilayah tertentu dan di bawah pengawasan intelijen. Di Yordania, ribuan warga berusaha menuju perbatasan Israel namun diblokade. Di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, protes dilarang total—bahkan doa berjamaah yang menyinggung Gaza bisa diawasi.

Turki dan Indonesia menjadi dua pengecualian yang relatif bebas. Di Istanbul, jutaan orang berkumpul di bawah seruan Presiden ErdoÄŸan yang menyebut Israel “teroris negara.” 

Di Jakarta, aksi “Bela Palestina” di Monas dan Senayan berlangsung damai, dihadiri tokoh-tokoh ormas dan ulama besar. Namun, seperti dicatat The Jakarta Post (Desember 2023), “protes besar ini tidak disertai tekanan diplomatik atau langkah konkret dari pemerintah Indonesia, yang tetap memilih jalur simbolik.”

Fenomena ini menunjukkan pola yang dalam: di dunia Muslim, solidaritas moral tak memiliki kanal politik. Kekuasaan tersentralisasi, masyarakat sipil lemah, dan ruang publik dikontrol oleh negara.


---

4. Siapa yang Lebih Efektif? Antara Simbol dan Struktur

Efektivitas demonstrasi tidak hanya diukur dari jumlah massa, tetapi dari dampaknya terhadap sistem kekuasaan.

Di Barat, demonstrasi pro-Palestina berhasil mengguncang legitimasi politik pemerintah. Menurut survei YouGov (April 2024), dukungan terhadap Israel di kalangan warga Inggris turun dari 41% menjadi hanya 22% sejak dimulainya perang Gaza. Di AS, jajak pendapat Pew Research Center menunjukkan perubahan tajam di kalangan pemilih muda: 60% menganggap Israel melakukan kejahatan perang.

Sementara itu, di dunia Muslim, demonstrasi berfungsi sebagai pemersatu moral, tetapi tidak menghasilkan tekanan kebijakan. Tak ada embargo, tak ada sanksi, tak ada konsensus diplomatik yang kuat. Bahkan negara-negara Arab yang dahulu lantang kini justru menormalisasi hubungan dengan Israel dalam bingkai ekonomi Abraham Accords.

Refleksi geopolitik menunjukkan perbedaan mendasar: di Barat, sistem demokrasi memberikan ruang bagi tekanan publik; di dunia Muslim, sistem otoritarian menyalurkan aspirasi moral menjadi ritual emosional.


---

5. Tekanan Ekonomi dan Narasi Global

Kekuatan demonstrasi di Barat juga tampak dalam sektor ekonomi.

Laporan The Guardian (Januari 2024) menyebut bahwa tekanan publik memaksa perusahaan besar seperti Barclays dan AXA menghadapi boikot internasional karena investasi mereka di industri senjata Israel. Di Prancis, serikat buruh CGT menyerukan penghentian semua ekspor senjata ke Israel.

The New Arab (Februari 2024) mencatat gerakan “#BoycottGenocide” yang mendorong kampanye digital menargetkan merek-merek global seperti HP, McDonald’s, dan Puma. Beberapa perusahaan kemudian merespons dengan menghapus logo atau cabang di Israel untuk meredam protes.

Di Amerika, tekanan moral dari kampus dan lembaga sosial mengubah lanskap politik. Menurut Politico (Mei 2024), Gedung Putih terpaksa menunda pengiriman sebagian paket amunisi ke Israel karena “kekhawatiran atas dampak politik dalam negeri.”

Sebaliknya, di dunia Muslim, boikot lebih bersifat individual. Meskipun gerakan #BoikotIsrael viral di media sosial Indonesia dan Malaysia, tidak ada kebijakan resmi yang mengikat sektor ekonomi. Negara-negara Teluk bahkan tetap menjadi investor besar di perusahaan teknologi yang terafiliasi dengan Israel.

Inilah perbedaan paling tajam: di Barat, gerakan moral mengarah pada tekanan sistemik; di dunia Muslim, ia berhenti di kesadaran emosional.


---

6. Renungan Geopolitik: Antara Nurani dan Struktur

Ada ironi sejarah yang mencolok di sini. Seratus tahun lalu, kolonialisme Eropa-lah yang menciptakan luka Palestina melalui Deklarasi Balfour dan mandat Inggris. Kini, masyarakat Eropa-lah yang memenuhi jalanan menuntut keadilan bagi rakyat yang sama.

Sementara dunia Muslim—yang seharusnya menjadi penjaga pertama kehormatan Al-Aqsha—terjebak dalam fragmentasi politik, ketergantungan ekonomi, dan kalkulasi diplomatik.

Menurut analisis Rashid Khalidi dalam The Hundred Years’ War on Palestine (2020), kegagalan dunia Arab bukan karena kurangnya simpati, tetapi karena “kehilangan otonomi strategis.” Negara-negara Muslim bergantung pada Barat untuk keamanan, energi, dan legitimasi internasional, sehingga tak mampu menentang struktur yang sama yang menopang Israel.

Di sisi lain, sosiolog Prancis Olivier Roy menyebut fenomena protes di Eropa sebagai “renaissance of moral politics”—kebangkitan politik nurani yang lahir dari rasa bersalah kolonial dan trauma kemanusiaan. Ia menulis, “Ketika institusi politik bisu, nurani kolektif mengambil alih fungsi negara.”

Barangkali di sinilah letak perbedaan besar: Barat memiliki struktur politik yang bisa ditantang; dunia Muslim memiliki struktur kekuasaan yang menantang rakyatnya.


---

7. Dari Toynbee ke Ibn Khaldun: Siklus Kekuasaan dan Kesadaran

Arnold Toynbee dalam A Study of History pernah menulis bahwa peradaban runtuh bukan karena serangan luar, melainkan karena hilangnya moral challenge dari dalam. Ibn Khaldun menyebutnya hilangnya asabiyyah—rasa solidaritas yang mempersatukan rakyat dan pemimpinnya.

Hari ini, dunia Muslim hidup dalam paradoks itu. Solidaritas untuk Palestina tetap kuat di hati rakyat, tetapi tercerai di tangan penguasa. Pemerintah berbicara dengan bahasa diplomasi, sementara rakyat berbicara dengan bahasa iman. Tidak ada jembatan di antara keduanya.

Sementara itu, di Barat, rakyat menantang negara mereka dengan moralitas yang justru dekat dengan nilai-nilai Islam: menolak penindasan, membela yang tertindas, dan menegakkan keadilan meski melawan arus kekuasaan.

Inilah momen reflektif geopolitik yang penting: gerakan pro-Palestina di Barat adalah cermin bagi dunia Muslim—bahwa kekuatan sejati tak hanya terletak pada iman, tapi juga pada keberanian menantang sistem.


---

8. Kemenangan yang Tak Diukur dengan Bom

Apakah demonstrasi di London dan New York bisa menghentikan genosida Gaza? Tidak secara langsung. Tapi ia mengubah arus opini dunia. Ia mengguncang legitimasi moral Israel, menekan elite politik Barat, dan menumbuhkan generasi baru aktivis global yang menolak logika perang dan kolonialisme.

Dan di dunia Muslim, meski demonstrasi terbatas, ia menjaga bara spiritual solidaritas agar tak padam. Dalam setiap doa, bendera, dan seruan di jalan, umat menegaskan bahwa Palestina bukan isu politik, melainkan cermin kemanusiaan.

Namun efektivitas moral tak bisa berhenti di simbol. Dunia Muslim memerlukan transformasi struktural agar suara rakyat bisa menjadi kekuatan kebijakan, bukan hanya gema spiritual.


---

9. Epilog: Ketika Barat Menangis dan Timur Membisu

Suatu hari di London, seorang ibu Yahudi memegang papan bertuliskan: “Never Again—For Anyone.” Di belakangnya, seorang pemuda Muslim memegang poster: “You bomb Gaza, you kill your own humanity.” Mereka berjalan bersama di tengah hujan.

Pemandangan itu lebih kuat daripada seribu pertemuan diplomatik. Sebab di sana, nurani manusia melampaui politik, ras, dan agama.

Dunia Muslim perlu belajar kembali bahwa solidaritas sejati bukan hanya tentang berbicara, tetapi berani menantang struktur yang melahirkan ketidakadilan. Dan Barat, dalam rasa bersalah kolonialnya, sedang menemukan kembali makna kemanusiaan yang universal.

Mungkin di sinilah takdir sejarah berpindah: yang beragama belajar dari yang sekuler tentang moralitas, dan yang sekuler belajar dari yang beragama tentang harapan.

Ketika jalan-jalan di Eropa, Amerika, dan Australia bergemuruh dengan suara Gaza, dunia Muslim seharusnya bertanya pada dirinya sendiri:
apakah kita masih memiliki keberanian untuk menjadikan doa menjadi kebijakan, dan solidaritas menjadi kekuatan?

Sebab pada akhirnya, kemenangan Gaza bukan hanya kemenangan rakyat yang terjajah—tetapi kemenangan nurani dunia terhadap sistem yang mematikan rasa.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (361) Al-Qur’an (6) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (568) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (260) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah penguasa (6) Sirah Penguasa (243) sirah Sahabat (2) Sirah Sahabat (160) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (21) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)