Shah Rukh Khan: Apa Artinya Menjadi Miliarder di Tengah Genosida?
Pada suatu masa, di dunia yang retak antara sorak dan tangis, lahirlah sebuah paradoks: seorang aktor Muslim paling dicintai di India merayakan miliarnya, sementara di Gaza, ribuan Muslim dikubur di bawah reruntuhan.
Dunia bersorak, dunia berduka. Di antara keduanya—Shah Rukh Khan berdiri diam.
---
Raja yang Menjadi Cermin Dunia
Ketika Shah Rukh Khan meniup lilin ulang tahunnya yang ke-60, India bergetar dengan kebanggaan. “Raja Bollywood kini miliarder,” tulis India Today dengan kagum. The Economic Times memujinya sebagai bukti bahwa “kerja keras, investasi cerdas, dan warisan budaya bisa mengalahkan batas”.
Tapi di balik kemilau itu, pertanyaan kecil muncul, getir dan sunyi:
Apa artinya menjadi miliarder di tahun 2025—di India yang kian timpang, di dunia yang tengah terbakar, di Gaza yang dilumat bom, di Kashmir yang sunyi di bawah bayonet?
Menurut Daftar Orang Kaya India Harun, Khan kini termasuk dalam 0,00004 persen manusia di bumi—klub kecil para pemilik dunia. Namun kekayaannya tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh bersama sejarah ekonomi dan politik India pasca-Perang Dingin, ketika nasionalisme Hindu menjelma menjadi agama pasar, dan Bollywood menjadi liturgi baru bagi kapitalisme yang berselimutkan patriotisme.
Dalam kisah besar itu, Shah Rukh Khan tampil bukan hanya sebagai aktor—tapi simbol: seorang Muslim yang menenangkan mayoritas Hindu bahwa Islam bisa jinak, bisa tersenyum, bisa menjual mimpi tanpa menantang kekuasaan. Ia adalah jembatan antara tradisi dan globalisasi, antara spiritualitas dan merek dagang, antara cinta dan kepatuhan.
Ia menawan dunia, tapi dunia juga menawannya.
---
Dari Raj Hingga Rahul: Mitos yang Menidurkan Nurani
Sejak 1990-an, setiap film Shah Rukh Khan adalah dongeng yang menenangkan hati bangsa yang guncang. Ia menjadi Raj yang romantis, Rahul yang manis, Veer yang heroik—nama-nama yang menutupi luka lama: kasta, kolonialisme, ketidakadilan. Ia meyakinkan rakyat bahwa kesuksesan adalah urusan individu, bukan struktur. Bahwa cinta bisa mengatasi diskriminasi, bahwa keberhasilan menunggu siapa pun yang bekerja keras.
“Dia membuat kami percaya bahwa siapa pun bisa jadi orang India sejati,” tulis seorang kolumnis hiburan.
Namun di balik layar, India berubah. Kesenjangan tumbuh, politik identitas mengeras, dan nasionalisme Hindu merasuki segala lini kehidupan. Ketika Modi naik ke tampuk kekuasaan, Hindutva bukan lagi ideologi; ia menjadi atmosfer.
Dan Khan? Ia memilih diam.
Ketika intoleransi meningkat, ketika warga Muslim dihakimi di jalan, ketika universitas dibungkam dan Kashmir dijerat, ia hanya berbisik pelan tentang “kekhawatiran terhadap intoleransi”—lalu segera menarik kembali ucapannya. Dunia mengingat: sang raja ternyata tahu batas wilayah istana.
---
Keheningan yang Mahal Harganya
Setelah tahun 2015, kebisuannya menjadi mata uang. Setiap diam, ada dividen. Setiap senyum netral, ada kontrak baru.
Perusahaan produksinya, Red Chillies Entertainment, berkembang pesat. Tim kriketnya, Kolkata Knight Riders, terus mencetak keuntungan. Istrinya, Gauri Khan, memperluas kerajaan bisnis dari properti hingga kafe artisanal.
Rumah tangga Khan menjadi ekosistem kapitalisme yang sempurna—dari KidZania hingga Oyo, dari Chupps hingga Subko Coffee. Ia tak hanya menjual wajahnya di layar, tapi juga kesetiaan pada sistem yang melahirkannya.
Bahkan produk-produk yang ia wakili menghubungkannya dengan kekuasaan yang lebih gelap. Ia menjadi duta untuk perusahaan yang memiliki hubungan dengan kompleks industri-militer Israel—dari Tata dan Reliance hingga Hyundai dan Castrol Oil milik BP, yang tahun ini mendapat izin dari Israel untuk mengeksplorasi gas di Mediterania.
Di satu sisi dunia, mesin yang ia iklankan menghancurkan rumah-rumah Palestina. Di sisi lain, wajahnya tersenyum di papan iklan Mumbai: Be a better person.
Ironi itu bahkan terlalu pahit untuk disebut satire.
---
Ketika Kekayaan Menjadi Benteng
Dalam diamnya, Khan menemukan stabilitas yang tak bisa dibeli dengan keberanian. Di negeri di mana Muslim semakin kehilangan ruang, ia menemukan tempat aman dalam ketidakberpihakan. Ia menjadi warga kehormatan dari dua dunia: dunia mayoritas yang memaafkannya karena patuh, dan dunia liberal yang memujanya karena “toleran”.
Namun di bawah permukaan, terjadi barter diam-diam antara iman dan kenyamanan. Keberhasilannya menjadi bukti bahwa seorang Muslim bisa diterima—asal tidak berbicara. Bahwa seseorang bisa memeluk ketenaran—asal tidak memeluk kebenaran.
Sebuah transaksi yang, bagi banyak orang, tampak seperti kemenangan.
Tapi bagi sebagian lain, seperti kehilangan jiwa.
---
Ketika Dunia Terbakar
Saat Gaza terbakar, ketika anak-anak mati kelaparan dan jurnalis dibunuh di depan kamera, dunia seni bersuara: mahasiswa di New York, sutradara di Paris, musisi di London, bahkan influencer di Jakarta.
Tapi di Mumbai, sang raja memilih diam.
Sementara di India, umat Muslim yang berani berbicara untuk Palestina dipukuli, ditangkap, dibungkam. Para aktivis ditahan, pengunjuk rasa diusir dari kampus, dan bendera Palestina dianggap provokasi.
Di tengah itu semua, Shah Rukh Khan muncul di Met Gala—berbalut mantel hitam rancangan Sabyasachi, dilapisi perhiasan berkilau di leher.
Di luar gedung, demonstran berteriak memprotes genosida Gaza.
Di dalam, ia berpose di bawah lampu.
Dan dunia kembali bertepuk tangan.
Tak satu pun media besar India menyinggung konteksnya—semuanya sibuk menulis tentang “penampilan bersejarah”.
---
Antara Kekuasaan dan Kekosongan
Kebisuannya bukan sekadar sikap, melainkan strategi bertahan. Di negeri yang kini mengagungkan Modi seperti nabi baru, Khan bahkan ikut memberi selamat pada ulang tahun ke-75 sang perdana menteri.
“Perjalanan Anda dari kota kecil ke panggung dunia sangat menginspirasi,” tulisnya di X.
“Energi Anda di usia 75 tahun bahkan mengalahkan anak muda seperti kami.”
Ucapan itu viral, bukan karena hangat, tapi karena dinginnya terasa menusuk.
Mungkin ia tulus, mungkin juga sekadar wajib sosial bagi mereka yang hidup dari kamera dan kapital. Tapi di mata mereka yang kehilangan rumah di Gujarat, Kashmir, dan Gaza—kalimat itu terdengar seperti jarak yang tak bisa dijembatani lagi.
Dan ketika gencatan senjata palsu diumumkan di Gaza pada Oktober, Shah Rukh Khan muncul bersama dua “Khan” lainnya—Aamir dan Salman—di Joy Festival di Arab Saudi.
Tiga raja Bollywood, tersenyum di hadapan para bangsawan dan investor.
Di luar istana, dunia masih menangis.
---
Di Antara Dua Dunia: Seni, Kekuasaan, dan Hati Nurani
Mungkin seseorang bisa berargumen bahwa aktor bukan nabi, dan selebritas tidak wajib menyelamatkan dunia. Tapi seni sejati—yang lahir dari nurani—selalu punya sisi moral. Film-film Khan dulu memuja cinta dan kemanusiaan, tapi kini cinta itu terkurung dalam bingkai layar, tak lagi hidup dalam tindakannya.
Ada dialog tak terucap antara dunia dan dirinya:
Dunia: “Engkau membangkitkan air mata kami di layar, tapi di luar layar engkau menutup mata.”
Shah Rukh: “Aku hanya aktor, bukan politikus.”
Dunia: “Tapi bukankah diam juga pilihan politik?”
Ketenaran adalah kekuasaan, dan kekuasaan selalu menuntut tanggung jawab.
Namun bagi banyak bintang besar dunia modern, diam lebih aman daripada jujur. Karena di dunia yang diatur oleh pasar, keberanian bisa menurunkan nilai saham.
---
Refleksi: Di Antara Doa dan Debu
Mungkin Shah Rukh Khan tidak jahat. Mungkin ia hanya takut.
Takut kehilangan segalanya yang telah ia bangun dengan keras—film, bisnis, pengaruh, keluarga.
Tapi di dunia di mana keadilan sedang direnggut, ketakutan para berkuasa adalah bahan bakar bagi kejahatan.
Kita hidup di zaman ketika diam dianggap netral, padahal diam sering kali berpihak pada yang kuat. Ketika selebritas yang bersuara dicap “terlalu politis”, padahal yang tak bersuara ikut melanggengkan status quo.
Dan pada akhirnya, inilah ironi paling tragis dari abad ini:
Orang yang paling dicintai oleh rakyat jelata kini berdiri paling jauh dari penderitaan mereka.
Kekayaannya menjadi cermin yang memantulkan wajah zaman—zaman di mana hati bisa dibeli, dan keheningan bisa dihargai lebih mahal dari kejujuran.
---
Penutup: Antara Cahaya dan Bayangan
Ketika malam tiba di Mumbai dan suara sorak dari pesta ulang tahunnya perlahan meredup, mungkin Shah Rukh Khan duduk sendirian di balkon rumah mewahnya di Mannat, menatap laut hitam yang sama yang dulu ia tatap saat masih muda dan miskin.
Mungkin ia bertanya dalam hati:
“Apakah ini arti kemenangan?”
“Apakah ini harga dari menjadi legenda?”
Di luar sana, laut yang sama membawa gelombang ke Gaza—membelai pantai yang kini berwarna abu.
Di sana, seorang ayah menggali dengan tangan kosong, mencari anaknya di bawah reruntuhan.
Di sini, seorang bintang menatap cermin, melihat dirinya yang dulu dan kini—dan mungkin, untuk sesaat, sadar bahwa semua kilau di dunia tak bisa menutupi bayangan dari hati yang diam terlalu lama.
---
“Seorang aktor bisa membuat jutaan orang menangis,” tulis seorang penyair,
“tapi hanya manusia yang berani yang bisa membuat dunia menangis karena kebenaran.”
Mungkin Shah Rukh Khan lupa baris itu.
Atau mungkin, ia sedang berlatih mengucapkannya di film berikutnya.
Hanya saja kali ini—penontonnya bukan bangsa India, tapi nuraninya sendiri.
0 komentar: