Abu Ubaidah bin Al-Jarrah: Amanah dalam Perang, Zuhud dalam Harta
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ra. adalah sahabat pilihan yang dijamin surga. Rasulullah ï·º pernah bersabda:
“Setiap umat memiliki penjaga kepercayaannya, dan penjaga kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ia adalah panglima militer yang menaklukkan wilayah Syam, gubernur agung di masa Umar, dan pemimpin pasukan dalam banyak kemenangan. Namun di balik kepemimpinan besar itu, ia menjalani hidup yang sangat sederhana—seolah tak memiliki apa-apa.
Inilah teladan Abu Ubaidah dalam mengelola uang dan harta:
1. Mengelola Uang di Keluarga: Sederhana dan Bertanggung Jawab
Meski menjabat sebagai gubernur Syam dan pemimpin pasukan Islam, Abu Ubaidah tetap hidup sangat sederhana. Ia menolak fasilitas mewah dari negara. Ketika Umar bin Khattab berkunjung ke rumahnya, ia hanya mendapati:
Sebuah tikar dari kulit
Sebuah kendi air
Sebilah pedang tergantung di dinding
Umar berkata sambil menangis:
“Semua ini sudah cukup bagimu, wahai Abu Ubaidah?”
Ia tetap mencukupi keluarganya, tetapi tidak berlebih dalam memberi. Ia ingin keluarganya merasakan keberkahan dari kesederhanaan dan tidak terlena oleh kekuasaan atau harta.
2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Tidak Banyak Berbisnis, Fokus pada Layanan Publik
Abu Ubaidah tidak dikenal sebagai pedagang atau pengusaha seperti sahabat lain (misalnya Abdurrahman bin Auf atau Utsman bin Affan). Fokus hidupnya adalah:
Jihad fi sabilillah
Mengatur wilayah Syam sebagai gubernur
Menjadi pemimpin militer yang bersih dan adil
Ia tidak menimbun kekayaan dari jabatannya. Meski berpeluang mengembangkan kekayaan dari berbagai penaklukan, ia menjauhi dunia.
Ketika Umar memintanya menyampaikan laporan keuangan, harta pribadinya nyaris tidak ada.
3. Mengelola Uang Soal Utang: Hati-Hati, Tidak Membebani
Abu Ubaidah dikenal tidak berutang, dan tidak berfoya-foya. Ia hidup dalam batas kebutuhan pokok.
Tidak ditemukan riwayat besar bahwa ia meninggal dalam keadaan punya utang. Sebaliknya, ia selalu berusaha mencukupi dirinya tanpa menyusahkan orang lain.
Jika ada utang untuk kebutuhan jihad atau rakyat, ia mencatatnya dengan disiplin dan bertanggung jawab. Tapi untuk pribadi, ia menghindari segala bentuk pemborosan.
4. Mengelola Uang di Kas Negara: Bersih, Amanah, dan Tegas
Abu Ubaidah adalah teladan utama dalam mengelola uang negara. Ketika Umar menunjuknya menjadi gubernur agung Syam, ia diberi wewenang penuh atas administrasi, militer, dan fiskal.
Namun Umar tetap mengawasi, karena takut Abu Ubaidah "terlalu jujur untuk menolak uang, tapi terlalu zuhud untuk mengatur kekayaan." Tapi Abu Ubaidah membuktikan, ia mampu menolak, dan mampu mengatur.
Ia memastikan:
Tidak satu dirham pun dari kas negara digunakan untuk kepentingan pribadi
Pajak tidak memberatkan rakyat
Harta rampasan perang disalurkan secara adil
Dana publik disimpan dan digunakan dengan penuh tanggung jawab
Ia menolak hadiah pribadi dari bawahannya, karena khawatir itu menjadi sumber fitnah.
5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Cukupkan dengan yang Ada
Sebagai gubernur, Abu Ubaidah menerima tunjangan dari negara. Tapi ia selalu meminta jumlah minimal, hanya sekadar cukup untuk makan dan nafkah keluarga.
Ketika Umar hendak menambah tunjangan karena beratnya tugas Abu Ubaidah, ia menolak dengan berkata:
“Aku khawatir kenyamanan dunia ini melemahkan tekadku dalam jihad.”
Ia lebih memilih hidup apa adanya, bahkan kadang menyerahkan kembali gaji yang tidak ia gunakan ke kas negara.
6. Wasiat Uang Saat Wafat: Sedikit Harta, Banyak Doa
Abu Ubaidah wafat pada tahun 18 H karena wabah Tha’un ‘Amwas di Syam. Saat wafat, ia tidak meninggalkan banyak harta. Sebagian riwayat menyebutkan:
Ia hanya meninggalkan seekor unta
Sebilah pedang
Sebuah pelana tua
Namun yang ia wariskan adalah nama yang harum, reputasi yang bersih, dan semangat kepemimpinan yang adil.
Ia berpesan kepada rakyat Syam:
“Aku tinggalkan kalian dalam keadaan aku tidak mengambil apa pun dari harta kalian. Aku telah melayani, bukan mengambil. Jika kalian temukan diriku menyimpang, maafkan aku dan doakan aku.”
Dan rakyat pun menangis saat melepasnya. Bukan karena kehilangan uang, tapi karena kehilangan pemimpin yang jujur, tulus, dan suci hatinya.
Penutup: Amanah yang Menjadi Warisan
Abu Ubaidah adalah contoh sempurna bahwa jabatan dan harta tidak harus mengotori jiwa. Ia memimpin tanpa korupsi, memberi tanpa menuntut kembali.
Ia tidak kaya harta, tapi kaya kehormatan.
Ia tidak meninggalkan warisan dunia, tapi meninggalkan jejak surgawi.
Dunia Islam hari ini sangat butuh sosok seperti Abu Ubaidah: tegas, bersih, dan zuhud. Karena dari tangannya, negara bisa maju—dan dari ketulusannya, umat bisa hidup damai.
0 komentar: