Runtuh dengan Sendirinya: Analisis Struktur Masyarakat Penjajah Israel yang Rapuh
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Kekuatan sebuah negara dibangun dari kekokohan masyarakatnya. Sebaliknya, kehancuran muncul dari dalam: dari retakan sosial, konflik internal, dan rapuhnya ikatan kolektif. Al-Qur’an menunjukkan bagaimana Bani Israil runtuh bukan karena musuh luar semata, melainkan karena kerusakan internal mereka sendiri. Hukum ini tidak berubah; ia berlaku lintas zaman.
Bagaimana dengan Israel hari ini—negara kolonial yang berdiri di atas tanah pendudukan Palestina? Mari kita telaah struktur sosial masyarakatnya. Apakah mereka kokoh di dalam? Atau justru menyimpan bibit keruntuhan?
Empat Kelompok Utama dalam Masyarakat Israel
Struktur sosial Israel terdiri dari empat kelompok besar yang hidup berdampingan, namun tidak sepenuhnya bersatu. Hubungan masing-masing terhadap negara sangat beragam, bahkan kontradiktif.
1. Yahudi Sekuler dan Nasionalis (40–45%)
Kelompok ini, mayoritas berasal dari kalangan Ashkenazi (Eropa Timur), adalah pendiri dan pendukung utama proyek Zionisme sekuler. Mereka loyal terhadap negara, bangga terhadap militer (IDF), dan rela membayar pajak serta menyumbangkan anak-anaknya ke wajib militer.
Namun belakangan, mereka mulai pesimis terhadap masa depan Israel karena beberapa faktor:
Ancaman demografis dari komunitas Haredim yang berkembang cepat tapi tidak berkontribusi secara militer dan ekonomi.
Krisis legitimasi politik, terutama menyangkut Mahkamah Agung dan konflik eksekutif-yudikatif.
Perpecahan internal, polarisasi ideologis, dan isolasi diplomatik di mata dunia.
2. Yahudi Religius Ultra-Ortodoks (Haredim) (10–15%)
Kelompok ini memiliki ikatan ideologis yang lemah terhadap negara. Mereka tidak percaya pada Zionisme sekuler, dan bahkan sebagian besar menolak keberadaan negara Israel sebelum datangnya "Mesias".
Ciri khas mereka:
Tidak ikut wajib militer.
Hidup dari subsidi negara.
Sering melakukan demonstrasi menentang kebijakan pemerintah.
Secara ideologis mereka menolak, tapi secara praktis mereka bergantung pada negara. Inilah yang membuat posisi mereka ambivalen: menolak dengan mulut, menerima dengan tangan.
3. Warga Arab Palestina (±20%)
Secara hukum mereka adalah warga negara Israel, namun secara nyata mereka mengalami diskriminasi sistemik:
Terpinggirkan dalam sektor pendidikan, pekerjaan, dan kepemilikan tanah.
Representasi politik terbatas dan sering dicurigai tidak loyal.
Meski demikian, sebagian dari mereka tetap berjuang memperjuangkan hak-hak secara legal dan sipil, serta mencoba hidup berdampingan secara damai.
4. Pemukim Yahudi Radikal (6–7%)
Banyak dari mereka merupakan imigran dari AS dan Eropa yang tinggal di wilayah pendudukan Tepi Barat. Mereka sangat fanatik terhadap ideologi Zionisme religius dan lebih loyal kepada tafsir agama daripada kepada hukum negara Israel.
Dalam praktiknya:
Sering bertindak brutal terhadap warga Palestina.
Kerap menolak perintah IDF, bahkan menyerang tentara Israel jika dianggap menghambat misi mereka.
Menjadi sumber ketegangan antara hukum negara dan gerakan kolonialisme religius.
Antara Retak Sosial dan Kesetiaan yang Bersyarat
Di antara keempat kelompok tersebut, tidak ada ikatan ideologis yang benar-benar menyatukan. Mereka datang dari berbagai latar belakang budaya, tradisi, bahkan bahasa yang berbeda. Ikatan kebangsaan bukan dibentuk dari cinta tanah air, melainkan dari satu faktor tunggal: ketakutan terhadap ancaman eksternal.
Konflik antara kelompok pun makin terang:
Yahudi Sekuler merasa dibebani oleh Haredim yang tidak bekerja namun menikmati subsidi dan bebas dari wajib militer.
Haredim merasa berhak atas kekuasaan politik dan anggaran negara karena pertumbuhan demografi dan dominasi di parlemen.
Warga Arab terus dipinggirkan dan diawasi dengan penuh kecurigaan.
Pemukim ilegal bertindak seolah-olah mereka memiliki hukum sendiri, sering berbenturan dengan militer Israel.
Fenomena Kewarganegaraan Ganda: Simbol Loyalitas Sementara
Fakta penting yang menunjukkan kerapuhan internal Israel adalah fenomena kewarganegaraan ganda, terutama di kalangan Yahudi Sekuler dan pemukim ilegal:
Banyak dari mereka tetap memegang paspor asing (AS, Kanada, Prancis, dll.) sebagai “asuransi geopolitik”.
Jika Israel goyah akibat perang, kekacauan politik, atau isolasi global, mereka sudah menyiapkan jalan keluar.
Hal ini terbukti saat serangan rudal dari Iran membuat bandara Israel ditutup, namun banyak warga tetap melarikan diri melalui laut, meski telah dilarang pemerintah.
Dengan kata lain, kesetiaan terhadap negara bersifat kondisional. Jika negara aman, mereka tinggal. Jika terancam, mereka pergi.
Negara yang Tergantung pada Ketakutan
Selama ini, yang menyatukan mereka hanyalah rasa takut. Ketika tekanan eksternal menurun, retakan internal makin terlihat. Sejak gelombang perlawanan Al-Aqsha, ketegangan antar kelompok meningkat drastis. Semakin banyak yang meninggalkan Israel, baik secara fisik maupun ideologis.
Masyarakat yang berdiri di atas dominasi, ketimpangan, dan loyalitas semu—hanya menunggu waktu untuk runtuh dari dalam.
0 komentar: