basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Dari Mu’tah ke Gaza: Ketika Panglima Gugur, Perlawanan Justru Bangkit Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel membunuh para pemimpin G...

Dari Mu’tah ke Gaza: Ketika Panglima Gugur, Perlawanan Justru Bangkit

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Israel membunuh para pemimpin Gaza, berharap perlawanan padam. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: lahir generasi baru, lebih cerdas, lebih berani, dan lebih mematikan

Dalam sejarah militer Islam, Perang Mu’tah adalah pelajaran besar tentang krisis dan kebangkitan. Ketika tiga panglima Muslim gugur secara beruntun—Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah—pasukan Islam tidak lumpuh. Mereka bermusyawarah, menunjuk pemimpin baru di tengah kobaran perang, dan terus melanjutkan perjuangan. Dari situ lahirlah Khalid bin Walid, panglima muda yang cerdas dan taktis, yang menyelamatkan pasukan dari kehancuran total melalui manuver mundur strategis.

1.400 tahun kemudian, sejarah itu seperti berulang. Di Gaza—tanah yang tidak jauh dari tapal batas Mu’tah—para pemimpin perlawanan Palestina dibunuh satu per satu oleh Israel. Dari Syekh Ahmad Yasin, Dr. Rantisi, Abu al-Ata, hingga puluhan komandan Al-Qassam dan Saraya Al-Quds, tak satu pun dibiarkan hidup lama. Tapi alih-alih perlawanan melemah, Gaza justru menjadi lebih berani, lebih terorganisir, dan lebih canggih dalam taktik perang kota dan infiltrasi.



Mu’tah dan Gaza: Dua Medan, Satu Spirit

Mu’tah dan Gaza mungkin berbeda zaman, tapi keduanya menyimpan semangat yang sama: ketika panglima gugur, ruh perjuangan justru menyala.

Di Mu’tah, 3.000 pasukan Muslim menghadapi lebih dari 100.000 pasukan Romawi dan Arab Kristen. Ketika tiga pemimpin syahid, para sahabat tidak menunggu perintah pusat. Mereka bermusyawarah di medan perang dan memilih Khalid bin Walid, pemuda yang bahkan belum lama masuk Islam. Hasilnya luar biasa: bukan hanya keselamatan pasukan, tapi munculnya strategi militer Islam yang fleksibel dan adaptif.

Di Gaza, strategi serupa hidup kembali dalam bentuk modern. Israel menyangka bahwa dengan membunuh tokoh sentral, mereka bisa mematikan arah. Tapi Gaza telah menyiapkan sistem regenerasi jauh lebih cepat dari kecepatan rudal. Saat satu pemimpin gugur, sepuluh lainnya sudah selesai dilatih di terowongan, di masjid, di ruang bawah tanah yang sunyi tapi penuh tekad.



Israel Membunuh, Tapi Tak Memahami

Israel percaya pada dogma militer konvensional: kill the commander, collapse the troops. Tapi sistem Islam tidak bekerja seperti itu. Kepemimpinan bukan terpusat pada satu figur. Ia terdistribusi dalam kesadaran umat.

Di Gaza, perlawanan tidak dibangun di atas figur, tapi pada jaringan, musyawarah, dan kesadaran akidah. Mereka tidak hanya mengganti panglima, tapi melahirkan pola perlawanan baru: sistem shura internal, kaderisasi militer organik, dan keahlian teknologi tempur yang terus berkembang—dari roket jarak menengah, drone penyusup, hingga sabotase jaringan komunikasi dan penyergapan urban.

Sementara itu, ironisnya, Israel justru mengalami krisis mobilisasi. Rakyatnya ogah direkrut. Tentara muda dilanda trauma karena membunuh anak-anak. Para pemimpin politik mereka sibuk bertengkar, saling menyalahkan. Negara yang membunuh panglima lawan, justru tak mampu mencetak prajurit sendiri.



Kesamaan yang Tak Terbantahkan

Mu’tah dan Gaza sama-sama memperlihatkan bahwa kekuatan Islam terletak pada jiwa kolektif yang sadar dan siap berkorban.

Di Mu’tah, pasukan selamat bukan karena jumlah, tapi karena kesatuan hati dan kecerdasan kolektif. Di Gaza, perlawanan bertahan bukan karena senjata, tapi karena kesadaran jihad yang hidup di dada rakyatnya.

Di Mu’tah, taktik Khalid bin Walid menyelamatkan pasukan dari kehancuran total. Di Gaza, taktik gabungan para komandan muda menghasilkan operasi-operasi spektakuler seperti Tufan al-Aqsa, penyergapan pasukan elite Israel, dan penguasaan wilayah yang tak disangka.

Di Mu’tah, lawannya adalah Byzantium, superpower abad ke-7. Di Gaza, lawannya adalah Israel, negara nuklir dengan teknologi tempur tercanggih di Timur Tengah. Tapi keduanya sama-sama terbentur pada satu tembok tak kasat mata: ruh jihad dan semangat yang tidak bisa dihancurkan dengan senjata.



Kemenangan yang Lahir dari Kesadaran

Apa yang menyatukan Mu’tah dan Gaza bukan hanya sejarah, tapi model peradaban kepemimpinan Islam.

Rasulullah ï·º tidak membangun umat yang bergantung pada satu tokoh. Beliau membangun sistem: jika pemimpin gugur, maka umat siap melahirkan pemimpin baru dari barisan. Gaza adalah pengejawantahan modern dari sistem itu: tanpa negara, tanpa senjata canggih, tapi dengan kesadaran jihad yang diwariskan secara ruhiyah.

Israel menghancurkan rumah-rumah, tapi tidak bisa menghancurkan cita-cita. Mereka membunuh para komandan, tapi tidak bisa membunuh keyakinan. Mereka meledakkan markas, tapi tidak tahu bahwa basis perlawanan sejati hidup di dada anak-anak yang kehilangan ayahnya.



Jika Panglima Gugur, Siapa yang Bangkit?

Di Mu’tah, yang bangkit adalah Khalid bin Walid.
Di Gaza, yang bangkit adalah ribuan Khalid—tanpa nama, tanpa pangkat, tapi dengan kecerdasan dan keimanan.

Perlawanan bukan di tangan satu orang. Tapi di dada setiap yang beriman.
Dan selagi ruh itu hidup, perang belum berakhir—karena jiwa umat tak bisa dibunuh.

Jika dunia bertanya, mengapa Gaza tidak tumbang meski pemimpinnya terus dibunuh, maka jawablah:
Karena mereka tidak dipimpin oleh satu komandan. Mereka dipimpin oleh kesadaran.
Dan kesadaran, tidak bisa dibunuh dengan drone.

Ketika Rasulullah ï·º Memilih Panglima dan Menentukan Jumlah Pasukan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam catatan sejarah militer Isla...

Ketika Rasulullah ï·º Memilih Panglima dan Menentukan Jumlah Pasukan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Dalam catatan sejarah militer Islam, kemenangan bukan semata soal banyaknya pasukan atau kekuatan senjata. Rasulullah ï·º menunjukkan kepada dunia bahwa strategi, visi, dan pembinaan sumber daya manusia jauh lebih menentukan hasil sebuah pertempuran daripada jumlah kepala dan bilah pedang. Di balik setiap ekspedisi dan perang yang beliau pimpin atau delegasikan, selalu ada kalkulasi matang, pertimbangan spiritual, dan misi pendidikan yang tersembunyi namun sangat menentukan masa depan umat.

Di sinilah letak seni strategi Rasulullah ï·º. Tidak semua pasukan harus besar. Tidak semua panglima harus beliau sendiri. Tidak semua keputusan harus diambil satu arah. Ada ruang untuk pelatihan. Ada momen untuk regenerasi. Ada saatnya beliau memimpin sendiri. Dan ada waktunya beliau membiarkan para sahabat memilih pemimpin mereka sendiri di tengah kekacauan.



Pasukan Kecil: Mobilitas Tinggi, Tugas Spesifik

Dalam tahun-tahun awal hijrah, Rasulullah ï·º mulai mengirim ekspedisi militer kecil. Jumlahnya kadang hanya 12, 30, atau 60 orang. Tujuannya bukan untuk perang terbuka, melainkan untuk pengintaian, pengamanan jalur dagang, atau menekan psikologi musuh.

Contohnya, pada tahun 1 Hijriah, Rasulullah ï·º sendiri memimpin Ekspedisi Saif al-Bahr, dengan sekitar 30 orang menuju Laut Merah, untuk menyergap kafilah Quraisy. Dalam waktu berdekatan, beliau juga mengirimkan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ubaidah bin al-Harits masing-masing dengan 30–60 pasukan, dengan misi serupa. Kemudian Abdullah bin Jahsy ditugaskan memimpin 12 orang dalam operasi intelijen ke Nakhlah.

Ciri umum ekspedisi kecil ini: panglima selalu ditunjuk langsung oleh Rasulullah ï·º, karena misi mereka sangat spesifik, rawan diplomatik, dan butuh orang yang sangat beliau percayai. Tidak ada data bahwa pasukan sekecil ini pernah memilih pemimpin mereka sendiri. Disiplin dan kecepatan lebih penting daripada musyawarah panjang.



Pasukan Besar: Konfrontasi dan Konsolidasi Kekuatan

Ketika situasi menuntut perang terbuka atau konsolidasi kekuatan politik, Rasulullah ï·º mengirim pasukan besar, bisa mencapai ratusan hingga puluhan ribu. Dalam Perang Badar (2 H), beliau memimpin langsung 313 orang untuk menghadapi 1.000 pasukan Quraisy. Di Perang Uhud, pasukannya berjumlah sekitar 700. Dalam Perang Khandaq, jumlahnya melonjak jadi 3.000. Dan pada Perang Tabuk, Rasulullah ï·º mengerahkan 30.000 pasukan sebagai manuver politik terhadap Byzantium.

Namun, tidak semua ekspedisi besar dipimpin langsung. Dalam Perang Mu’tah (8 H), Rasulullah ï·º menunjuk panglima secara berjenjang: Zaid bin Haritsah, jika gugur digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib, lalu Abdullah bin Rawahah. Setelah tiga-tiganya gugur, pasukan di medan perang bermusyawarah dan memilih Khalid bin Walid sebagai panglima baru. Itu menjadi preseden penting: bahwa dalam situasi darurat, pasukan Muslim boleh dan mampu memilih pemimpinnya sendiri.

Dalam Ekspedisi Usamah bin Zaid (11 H), Rasulullah ï·º menunjuk seorang panglima muda berusia 18 tahun, untuk memimpin pasukan besar yang berisi sahabat senior. Ini bukan semata soal taktik, melainkan pendidikan regenerasi: Islam tidak mengenal aristokrasi usia atau kasta darah. Yang penting adalah kapasitas dan kepercayaan.

Kapan Kecil, Kapan Besar?

Keputusan mengirim pasukan kecil atau besar selalu didasarkan pada tiga pertimbangan utama:

1. Skala ancaman dan jenis misi. Jika hanya pengintaian atau pengamanan, cukup dengan 10–30 orang. Jika menghadapi konfrontasi terbuka, maka dibutuhkan ratusan bahkan ribuan.

2. Letak geografis. Misi ke daerah terpencil dengan medan berat lebih cocok dengan pasukan kecil dan cepat.

3. Pesan politik dan spiritual. Kadang, mengerahkan pasukan besar bukan untuk perang, tapi untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan (seperti Perang Tabuk).



Mengapa Ada yang Dipimpin Langsung, Ditunjuk, atau Dimusyawarahkan?

Ketika Rasulullah ï·º memimpin langsung, biasanya itu karena misi sangat strategis dan bernilai simbolik tinggi. Beliau ingin membangkitkan semangat, membuktikan kesatuan umat, dan menjadi teladan langsung di tengah pertempuran.

Namun ketika misi berada jauh, atau bersifat khusus, beliau menunjuk panglima. Dalam penunjukan ini, ada pesan kepercayaan dan pelatihan. Rasulullah ï·º tidak hanya membentuk pasukan, tapi juga membentuk pemimpin.

Dan ketika kondisi benar-benar mendesak—panglima gugur di medan perang, dan tidak ada perintah lanjutan—maka musyawarah dipersilakan. Ini bukan kelemahan, tapi justru kematangan: pasukan Islam mampu mandiri dan solid bahkan tanpa instruksi pusat. Itulah yang terjadi di Mu’tah.



Kriteria Panglima Pilihan Rasulullah ï·º

Dari sejarah ekspedisi yang ditugaskan Rasulullah ï·º, kita bisa melihat pola jelas dalam pemilihan panglima:

Integritas spiritual: bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga kokoh imannya.

Kepercayaan Rasulullah ï·º: biasanya para panglima adalah sahabat yang sangat dekat dan loyal.

Kemampuan strategi dan komunikasi: bisa menyusun taktik dan mengendalikan pasukan dari berbagai suku.

Kepemimpinan moral: mereka bukan hanya komandan, tapi teladan.


Penunjukan Usamah bin Zaid sebagai panglima adalah contoh paling tegas dari prinsip meritokrasi dalam Islam. Ia bukan dari kabilah terkemuka, bukan orang tua, tapi dipilih karena integritas dan kecakapannya.



Musyawarah: Bukan Alternatif, Tapi Bukti Kedewasaan

Musyawarah memilih panglima bukan rencana cadangan. Ia adalah bukti bahwa sistem pendidikan Rasulullah ï·º berhasil. Ketika pasukan Muslim di Mu’tah bermusyawarah dalam keadaan genting dan menunjuk Khalid bin Walid, itu menunjukkan bahwa mereka sudah matang—secara akal, akhlak, dan kepemimpinan.

Rasulullah ï·º tidak membentuk pasukan yang bergantung padanya. Beliau membentuk umat yang siap tegak tanpa beliau.



Strategi Rasulullah ï·º adalah Pendidikan Kepemimpinan

Dalam strategi militer Rasulullah ï·º, jumlah pasukan dan siapa yang memimpin bukan sekadar pilihan teknis. Di balik semua itu ada logika pendidikan, pelatihan, dan regenerasi. Umat Islam tidak hanya diajarkan untuk taat pada satu pemimpin, tapi juga untuk siap menjadi pemimpin ketika keadaan menuntut. Rasulullah ï·º membentuk sistem yang hidup—yang tahu kapan mendengar, kapan memimpin, dan kapan bermusyawarah.

Di zaman ketika regenerasi kepemimpinan menjadi isu besar di banyak bangsa dan organisasi, strategi Rasulullah ï·º ini memberi pelajaran penting: bahwa kepemimpinan adalah hasil dari kepercayaan, pelatihan, dan pemberdayaan. Ia bukan diwariskan, bukan dipaksakan, dan bukan pula dikultuskan.

Dan karena itulah, Rasulullah ï·º tidak hanya memenangkan perang. Beliau memenangkan masa depan.

Gerbong yang Tidak Pernah Dihentikan: Mengapa Munafikin Dibiarkan dalam Barisan Umat? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di antara lemba...

Gerbong yang Tidak Pernah Dihentikan: Mengapa Munafikin Dibiarkan dalam Barisan Umat?


Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di antara lembaran perang dan wahyu, ada satu bab yang tak pernah ditutup: gerbong kaum munafik. Mereka tidak pernah memulai perang besar, tapi selalu menjadi luka kecil yang tak sembuh-sembuh. Mereka tidak memikul pedang, tapi melumpuhkan daya tempur. Tidak mengangkat panji, tapi menggoyahkan semangat. Mereka bukan kafir terang-terangan. Mereka lebih licik: bersembunyi di balik takbir dan saf shalat.

Yang mencengangkan: Rasulullah ï·º membiarkan mereka tetap dalam barisan. Bahkan setelah mereka:

1. Melemahkan daya tempur dalam setiap ekspedisi (Uhud, Tabuk)

2. Merancang pembunuhan terhadap Nabi ï·º (Peristiwa Aqabah)

3. Menyebar fitnah kehormatan terhadap Aisyah RA (Haditsul Ifki)

4. Mendirikan masjid makar (Masjid Dhirar)

5. Bersekongkol dengan Yahudi dan Quraisy dalam senyap

Mengapa tidak ada gelombang penangkapan? Mengapa tidak ada eksekusi? Mengapa nama-nama mereka hanya dipegang oleh satu sahabat: Hudzaifah bin Al-Yaman—dan tidak diumumkan ke publik?

Ini bukan kelemahan strategi. Ini adalah strategi kenabian tingkat tinggi, melampaui logika kekuasaan dan dendam politik. Ini adalah senyap yang menyelamatkan umat dari ledakan fitnah internal.



Kaum Munafik: Musuh yang Tidak Pernah Diusir

Mereka bukan orang luar. Mereka bagian dari masyarakat Muslim. Mereka ikut perang, ikut majelis, bahkan menjadi juru bicara komunitas. Tapi mereka punya misi terselubung: melemahkan dari dalam.

1. Di Tabuk, mereka menyebarkan ketakutan dan rasa malas:

“Jangan pergi dalam panas ini!” (QS. At-Taubah: 81)

2. Di Aqabah, mereka menyusun rencana pembunuhan Nabi ï·º—menyusup malam hari dan mencoba menjatuhkan unta beliau dari celah gunung.

3. Di Madinah, mereka membangun Masjid Dhirar—bukan untuk shalat, tapi untuk menyusun konspirasi.

4. Dalam peristiwa Haditsul Ifki, mereka menebar gosip keji terhadap Aisyah RA, istri Nabi ï·º, untuk menghancurkan reputasi beliau dari dalam rumah.

5. Dalam perang-perang besar, mereka kerap menyebar desersi, menggembosi semangat, dan membocorkan informasi ke musuh.



Mengapa Rasulullah ï·º Tidak Mengumumkan Nama-Nama Mereka?

Dalam tekanan situasi dan tuntutan sahabat, Nabi ï·º tetap merahasiakan identitas kaum munafik. Hanya satu orang yang diberi daftar nama: Hudzaifah bin Al-Yaman.

Umar bin Khattab RA yang tegas pun bertanya:
“Apakah aku termasuk?”

Bahkan saat memilih pejabat, Umar mengamati siapa yang dishalatkan oleh Hudzaifah—dan siapa yang tidak. Tapi Hudzaifah tetap menjaga rahasia. Ini bukan soal individu. Ini adalah proyek besar menjaga kohesi umat.

Nabi ï·º bersabda:

“Jika aku membunuh mereka, orang-orang akan berkata: Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”
(HR. Bukhari)

Bayangkan efek sosialnya: runtuhnya kepercayaan publik, fitnah massal, dan kekacauan internal. Nabi ï·º tidak sedang menyelamatkan dirinya—beliau sedang menyelamatkan masa depan umat.



Ini Bukan Kelemahan—Ini Strategi Kelas Tertinggi

Rasulullah ï·º tidak membiarkan pengkhianat hidup tanpa sebab. Beliau:

1. Mengawasi dengan cermat
2. Mencatat secara pribadi
3. Menunggu waktu hingga masyarakat sendiri menyaksikan kontradiksi dan kelicikan mereka

Inilah strategi “exposure through contradiction”—membiarkan mereka terbongkar oleh diri mereka sendiri.

Seperti dalam kasus Abdullah bin Ubay bin Salul, yang berkata:

“Jika kita kembali ke Madinah, yang mulia akan mengusir yang hina.”

Tapi justru anak kandungnya sendiri yang menghadangnya dan berkata:

“Engkau tidak akan masuk Madinah kecuali dengan izin Rasulullah ï·º.”

Itu pukulan moral yang lebih telak daripada pedang.



Membangun Imunitas Moral, Bukan Membunuh Virusnya

Rasulullah ï·º mengajarkan:

“Bangun masyarakat yang tahan terhadap racun. Bukan hanya membunuh peracun satu per satu.”

Andai Nabi ï·º mengeksekusi satu munafik hari ini, besok bisa lahir dua, karena umat mulai saling curiga. Tapi jika umat dibangun dengan:

1. Pendidikan iman
2. Kecerdasan akal
3. Kepekaan sosial
4. Kebersihan hati

Maka racun akan ditolak otomatis. Umat akan membentengi dirinya sendiri.



Refleksi Zaman Ini: Siapa Munafik Hari Ini?

Mereka tidak selalu berpakaian aneh. Kadang berjubah, bersorban, lantang bicara tentang keadilan—tapi menjadi agen pembusukan dari dalam.
Kadang mereka membangun “masjid” bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk platform digital, media, forum, atau LSM yang menyebarkan keraguan terhadap Islam.

Mereka tidak frontal, tapi menyusup, menggoyahkan kepercayaan umat, menyuntikkan ideologi musuh lewat kanal yang "halal".

Dan sayangnya, kita sibuk memburu kafir di luar, tapi lalai membaca gerbong pengkhianat di dalam.



Utsman bin ‘Affan: Mewarisi Strategi Kenabian

Gerbong ini tak berhenti di zaman Nabi ï·º. Di masa Khalifah Utsman bin ‘Affan RA, kaum munafik berwajah revolusioner kembali bergerak.

Mereka menyebar propaganda dari Mesir, Kufah, dan Basrah. Merekayasa dokumen, menyebarkan fitnah, dan memprovokasi opini publik.
Tapi Utsman RA tidak memerintahkan penumpasan massal. Ketika para sahabat menyarankan untuk membunuh para pemberontak, beliau menjawab:

“Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang menumpahkan darah kaum Muslimin.”

Tapi Utsman RA juga tidak menyerahkan kekuasaan kepada mereka. Ia tetap bertahan di rumahnya, menjaga legitimasi kekhalifahan. Ia memilih mati syahid dalam sabar, bukan menyerahkan kekuasaan kepada kaum pengacau yang menyamar sebagai penuntut kebenaran.

Beliau memegang amanah Nabi ï·º:

“Akan datang suatu masa, engkau (wahai Utsman) akan diperintahkan untuk melepas baju yang Allah pakaikan kepadamu. Tapi jangan lepaskan.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban)



Gerbong Ini Masih Berjalan—Apakah Kita Sadar?

“Umat ini tidak akan tumbang oleh tentara kafir, tapi akan remuk oleh racun yang disebar dari dalam, jika tak ada yang menjaga kesadaran.”

Gerbong munafikin masih diluncurkan. Tapi strategi Rasulullah ï·º dan para Khulafaur Rasyidin masih hidup:

1. Menjaga rahasia, bukan membabi buta
2. Menahan emosi, bukan reaktif membakar
3. Membangun benteng iman, bukan paranoia
4. Melatih kesadaran umat, bukan kultus kepemimpinan



Bukan Lagi Pertanyaan: Siapa Munafik Hari Ini?

Pertanyaannya adalah:

Apakah kita sudah membangun masyarakat yang kebal terhadap pengkhianatan?
Atau justru membuka pintu dan membiarkan gerbong itu lewat, lengkap dengan sambutan dan karpet merah?

Gerbong ini tidak pernah berhenti. Tapi kita bisa memilih:
Menjadi penumpang yang tertipu...
atau menjadi penjaga yang sadar.

Mata yang Tidak Tidur: Intelijen Rasulullah ï·º dan Rahasia Keunggulan Strategis Islam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam diamnya ma...

Mata yang Tidak Tidur: Intelijen Rasulullah ï·º dan Rahasia Keunggulan Strategis Islam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Dalam diamnya malam, pasukan tidur, pemimpin pun beristirahat. Tapi ada satu orang yang tetap terjaga: Rasulullah ï·º. Ia tidak hanya menjaga shalat malamnya, tapi juga menjaga umatnya dari kebutaan strategi. Ia bukan hanya nabi yang membawa wahyu, tapi juga panglima yang membaca medan. Dan salah satu keunggulan terbesarnya adalah: kekuatan intelijen—membaca musuh bahkan sebelum mereka menyerang.



1. Menyusup Tanpa Terdeteksi: Abbas bin Abdul Muththalib dan Quraisy

Sebelum Perang Badar, Rasulullah ï·º menerima surat rahasia dari seseorang di Mekkah. Isinya mengejutkan: jumlah pasukan Quraisy, senjata mereka, arah perjalanan, dan waktu keberangkatan. Penulisnya? Abbas bin Abdul Muththalib, paman beliau sendiri, yang kala itu belum hijrah.

“Wahai keponakanku,” tulis Abbas dalam surat itu, “mereka tidak datang untuk berdagang. Mereka datang untuk memadamkan cahayamu. Hati-hatilah, dan bertindaklah sebelum terlambat.”

Rasulullah ï·º tidak menyia-nyiakan informasi ini. Ia mengubah arah perjalanan, menutup semua rute agar Quraisy tak bisa lari, dan akhirnya meraih kemenangan pertama besar: Badr.

Inilah keunggulan intelijen: menang sebelum bertempur.



2. Dialog Diam-Diam: Hudzaifah bin Al-Yaman di Perkemahan Abu Sufyan

Dalam Perang Khandaq, Madinah dikepung ribuan pasukan koalisi. Tapi dalam kondisi genting itu, Rasulullah ï·º tidak hanya berdoa. Ia memanggil Hudzaifah bin Al-Yaman dan berbisik:

"Pergilah ke tengah perkemahan musuh, lihat keadaan mereka, lalu kembali tanpa membuat mereka tahu bahwa engkau dari pihak kita."

Hudzaifah menyelinap malam-malam, dingin menggigit, nyawa di ujung tombak. Tapi ia berhasil kembali dan berkata:

"Ya Rasulullah, mereka gelisah, mereka kelaparan, dan mereka akan mundur karena cuaca buruk dan ketidaksepakatan."

Dengan satu misi, Rasulullah ï·º tahu bahwa Ahzab akan bubar. Dan benar: esok harinya, pasukan koalisi tercerai-berai tanpa satu panah pun diluncurkan dari Madinah.



3. Abdullah bin Jahsy: Mata yang Mengawali Perang Badr

Beberapa minggu sebelum Badar, Rasulullah ï·º mengirim Abdullah bin Jahsy dengan pesan tertutup:

“Bukalah surat ini setelah dua hari perjalanan, dan jangan paksakan siapa pun ikut jika mereka tak sanggup.”

Isinya singkat tapi strategis:

"Amati rute dagang Quraisy, jangan serang, tapi laporkan semuanya."

Abdullah memata-matai rute dagang Abu Sufyan yang membawa harta kekayaan besar dari Syam. Misi ini membuka jalan besar: ekonomi Quraisy terguncang, dan Perang Badr pun pecah karena mereka ingin membalas.



4. Bertanya pada Orang Biasa: Kenapa?

Mengapa Rasulullah ï·º bertanya pada pedagang, musafir, orang tua, bahkan wanita dari kafilah dagang?

Karena data tidak selalu datang dari tentara. Kadang para pedagang lebih tahu kondisi pasar senjata, kabilah lebih tahu pergeseran aliansi, musafir mendengar obrolan antara pemimpin. Rasulullah ï·º tahu: semua orang adalah potensi intelijen.

Dalam sirah disebutkan, Nabi ï·º pernah bertanya kepada seorang wanita dari Makkah tentang keadaan kampungnya. Ia menjawab santai:

“Orang-orang Quraisy sedang menyiapkan sesuatu. Aku tak tahu pasti, tapi kudengar banyak orang keluar masuk rumah Abu Jahl.”

Kalimat sederhana itu cukup bagi Nabi ï·º memahami: ada konspirasi besar yang sedang disusun.



5. Surat-Surat Rahasia Rasulullah ï·º

Rasulullah ï·º tidak hanya menyadap, tapi juga membangun perang informasi melalui surat diplomatik. Bahkan ini jadi strategi untuk menyusupkan pengaruh Islam ke dalam benak para pemimpin besar.

Surat kepada Heraklius (Romawi):

"Masuk Islamlah, engkau akan selamat. Jika engkau menolak, maka dosa seluruh rakyatmu atasmu."

Surat ini membuat Heraklius memanggil Abu Sufyan (yang belum masuk Islam) dan menanyainya panjang lebar. Heraklius akhirnya berkata:

“Jika apa yang kau katakan benar, maka orang itu (Muhammad) akan menguasai tempat di bawah kakiku ini.”
(HR. Bukhari)

Sungguh, surat itu adalah senjata psikologis yang menanamkan keraguan di jantung Romawi.



6. Mengawasi Kaum Munafik: Abdullah bin Ubay

Rasulullah ï·º tahu siapa tokoh munafik. Tapi beliau tak sembarang menindak. Beliau sabar mengamati hingga terbongkar sendiri.

Dalam Perang Tabuk, Abdullah bin Ubay menghasut orang agar tidak ikut. Tapi Nabi tidak menahannya langsung. Beliau biarkan publik melihat siapa yang berani datang ke medan dan siapa yang sembunyi.

Ketika wahyu turun membongkar tipu daya mereka, Rasulullah ï·º telah memiliki bukti-bukti sosial, bukan hanya prasangka.



7. Ekspedisi Tabuk: Menyusup ke Syam Sebelum Pasukan Berangkat

Rasulullah ï·º menugaskan para sahabat untuk mengamati Syam dari jauh:

Amr bin Umayyah dikirim menyamar sebagai pedagang

Salman Al-Farisi menggali informasi dari hubungan lamanya di perbatasan


Maka ketika Tabuk digelar, Rasulullah ï·º tahu bahwa Romawi tak akan datang karena sedang menghadapi krisis dalam negeri.

Itu sebabnya beliau tetap berangkat, bukan untuk perang fisik, tapi untuk menunjukkan kekuatan politik dan moral. Itulah kemenangan psikologis Islam.



Kecerdasan Strategis Nabi ï·º: Perang adalah Tipu Daya, Tapi Tidak Berdusta

Rasulullah ï·º tak pernah menyebar hoaks, tapi mengolah kebenaran jadi kekuatan. Beliau menyadap bukan untuk menipu, tapi untuk mencegah tragedi.

"Perang adalah tipu daya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

"Barangsiapa menjaga rahasia, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan."
(HR. Thabrani)



Apa Pelajaran Kita Hari Ini?

Di zaman digital, kita punya semua alat canggih: drone, satelit, spyware. Tapi kecerdasan Rasulullah ï·º tetap tak tergantikan: menyaring, menyusun, dan menggerakkan informasi dengan hikmah dan nurani.

Jika kita ingin membangun kekuatan umat hari ini, kita tak cukup hanya orasi dan amarah. Kita butuh kekuatan intelijen, informasi, dan kesabaran—sebagaimana dicontohkan oleh panglima agung, Rasulullah ï·º.



Panglima yang Membaca, Bukan Hanya Menyerang

Dalam setiap pasukan, ada yang membawa pedang dan ada yang membawa mata. Rasulullah ï·º adalah keduanya. Dan beliau mewariskan kepada kita pelajaran penting: kemenangan diraih bukan hanya oleh keberanian, tapi oleh kecerdasan dan kesadaran.

Musang di Dalam Kandang: Rasulullah ï·º dan Kecerdasan Kontra Intelijen Umat Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam sejarah umat Islam, ...

Musang di Dalam Kandang: Rasulullah ï·º dan Kecerdasan Kontra Intelijen Umat


Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Dalam sejarah umat Islam, musuh dari luar memang menakutkan. Tapi musuh dari dalam? Mereka lebih mematikan. Mereka ikut salat, ikut perang, ikut dalam barisan Nabi ï·º, tapi diam-diam mengasah belati di balik sorban. Mereka bukan sekadar mata-mata; mereka adalah racun yang disusupkan ke dalam darah perjuangan.

Namun justru di titik paling gelap itu, kecemerlangan strategi Rasulullah ï·º bersinar. Beliau tidak hanya membentuk pasukan yang kuat, tetapi juga komunitas yang tahan infiltrasi, masyarakat yang memiliki daya imunitas ideologis dan sosial, serta sistem kewaspadaan moral yang hidup dari dalam. Inilah kisahnya.



Aqabah: Kudeta Gagal yang Ditelan Malam

Perjalanan pulang dari Tabuk seharusnya menjadi kemenangan moral. Tapi di tengah sunyi malam, saat Nabi ï·º memilih jalan terjal bernama Aqabah, 12 orang munafik dengan wajah tertutup menyusup, mengincar nyawa beliau.

Mereka merencanakan sebuah "kecelakaan": menakut-nakuti unta Nabi agar terjatuh ke jurang. Tapi mereka tak tahu, Rasulullah ï·º tak pernah sendirian. Hudzaifah bin Al-Yaman dan Ammar bin Yasir ada di sana — dua sahabat yang tak hanya menjaga tubuh Nabi, tapi juga menjaga detak nadi peradaban.

Dengan pedang dan keberanian, para penyusup dihalau. Nabi ï·º tidak bereaksi keras, tidak gegabah mengeksekusi mereka. Nama-nama mereka diserahkan diam-diam kepada Hudzaifah. Maka Hudzaifah pun dikenal sepanjang zaman sebagai: Shahibu Sirri Rasulillah ï·º — sang pemegang rahasia Nabi.

Mengapa Nabi ï·º tidak mengumumkan mereka? Karena pemimpin sejati tidak memimpin dengan amarah, tapi dengan visi. Bukan sekadar ingin menyingkirkan pengkhianat, tapi ingin menjaga umat agar tidak terbelah karena fitnah. Rasulullah ï·º tahu: ada waktu untuk membongkar, ada waktu untuk membiarkan sejarah yang menyingkapkan.



Bani Musthaliq: Satu Kalimat yang Hampir Memecah Umat

Setelah Perang Bani Musthaliq, saat pasukan sedang dalam perjalanan pulang, pertengkaran kecil antara seorang Muhajirin dan Anshar dimanfaatkan oleh Abdullah bin Ubay, tokoh utama kaum munafik.

Ia berkata lantang:

“Jika kita kembali ke Madinah, yang mulia (yakni dirinya) akan mengusir yang hina (yakni Rasulullah)!”

Ini bukan sekadar penghinaan, ini adalah retorika kudeta politik. Dan Umar pun naik pitam. “Izinkan aku memenggal kepalanya, ya Rasulullah!” Tapi Rasulullah ï·º menolak.

“Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”

Di sinilah kejeniusan kenabian tampil. Rasulullah tidak memberi musuh amunisi opini. Beliau biarkan waktu dan peristiwa menghakimi. Dan betul — tak lama setelah itu, putra Abdullah bin Ubay sendiri, yang bernama Abdullah, menghadang ayahnya di pintu Madinah dan berkata:

“Engkau tak boleh masuk sebelum Rasulullah mengizinkan.”

Kita belajar: Rasulullah tidak perlu membungkam para penyusup dengan pedang, cukup dengan membuka mata masyarakat agar mereka tersingkir oleh keadilan sosial.



Masjid Dhirar: Di Balik Kubah, Ada Konspirasi

Kaum munafik bahkan sempat membangun masjid. Masjid Dhirar — dibangun bukan untuk shalat, tapi untuk makar. Mereka ingin menjadikannya pusat propaganda anti-Rasulullah ï·º.

Namun Allah membongkar tipu daya itu:

“Dan (ada pula) orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan, kekafiran, dan memecah belah orang-orang mukmin…”
(QS. At-Taubah: 107)

Rasulullah ï·º pun tak ragu: beliau perintahkan masjid itu dihancurkan.

Ya, jika masjid berubah menjadi ruang konspirasi, maka menghancurkannya adalah jihad. Islam bukan soal simbol, tapi soal substansi. Dan substansi Islam adalah kebenaran, bukan kedok untuk kebusukan.



Hatib bin Abi Balta’ah: Surat Rahasia yang Dimaafkan

Sebelum Fathul Makkah, seorang sahabat bernama Hatib bin Abi Balta’ah mengirim surat rahasia kepada Quraisy, memberitahukan rencana Nabi. Sebuah pelanggaran serius. Namun saat ia dipanggil dan diinterogasi, Hatib berkata:

“Aku tidak berkhianat karena benci Islam, tapi karena ingin melindungi keluargaku yang tak berdaya di Makkah.”

Ali pun siap mengayunkan pedang. Tapi Nabi ï·º bersabda:

“Dia ikut perang Badar. Siapa tahu Allah telah mengampuni seluruh pejuang Badar.”

Pelajaran penting: tidak semua penyusup adalah musuh. Sebagian adalah orang lemah yang salah jalan. Rasulullah ï·º memisahkan antara pengkhianat dan yang sedang diuji imannya. Beliau adil, bukan brutal.



Strategi Rasulullah ï·º: Mendeteksi, Menyaring, Bukan Membabi Buta

Rasulullah ï·º tahu bahwa pasukan tidak hanya butuh pedang, tapi juga imunitas sosial dan spiritual. Beliau membiarkan medan tempur, musim panas, dan jarak perjalanan sebagai alat penyaring. Tabuk adalah contohnya. Mereka yang malas, ragu, atau punya niat busuk — gugur sendiri sebelum panah dilepaskan.

Dan mereka yang tetap ikut perang walau kelelahan, walau miskin — mereka itulah yang disebut dalam Al-Qur’an:

“Tidak ada dosa atas orang yang tidak ikut perang karena lemah atau miskin, selama mereka tulus kepada Allah dan Rasul-Nya...”
(QS. At-Taubah: 91)

Musuh sejati bukan di luar. Musuh sejati adalah ketidakjujuran dalam niat. Dan Rasulullah ï·º membongkarnya bukan dengan brutalitas, tapi dengan hikmah, observasi sosial, dan kontrol narasi.



Ketika Musuh di Dalam Lebih Bahaya dari yang di Luar

Rasulullah ï·º mengajarkan bahwa perang melawan penyusup bukan sekadar perang senjata, tapi perang akal dan nurani. Beliau membangun umat dengan kejujuran, memperkuat barisan dengan kesetiaan, dan menghadapi pengkhianat dengan strategi yang melampaui emosi.

“Umat ini tidak akan tumbang karena musuh dari luar, tapi akan luluh jika penyusup dari dalam dibiarkan tumbuh tanpa perlawanan.”

Kini, saat kita dikepung oleh infiltrasi media, fitnah digital, dan tokoh yang berpura-pura mencintai Islam — pelajaran dari Rasulullah ï·º menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Bangkitkan mata yang jernih. Hidupkan jiwa yang tajam. Dan jangan biarkan barisan suci ini dikoyak dari dalam.

Kepedihan Pengobar Semangat: Jika Rasulullah Gugur, Untuk Apa Kita Hidup? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam sejarah Islam, ada sa...

Kepedihan Pengobar Semangat: Jika Rasulullah Gugur, Untuk Apa Kita Hidup?



Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam sejarah Islam, ada saat-saat ketika kabar buruk justru melahirkan semangat paling dahsyat. Bukan karena para sahabat Rasulullah ï·º tidak berduka, tapi karena mereka tahu: bila kebenaran telah berdarah, maka tak ada lagi alasan untuk hidup dalam kemewahan, ketakutan, atau kompromi.

Di Perang Uhud, kabar gugurnya Nabi ï·º sempat tersebar. Di Perang Mu’tah, tiga panglima Islam benar-benar syahid satu per satu. Di Perang Hunain, pasukan Muslim tercerai-berai. Namun semua momen ini tidak membuat pasukan hancur—justru membangkitkan kekuatan spiritual yang lebih dalam: bahwa hidup hanya bermakna jika dilanjutkan untuk cita-cita yang telah diperjuangkan para syuhada.

Dan semangat ini tidak berhenti di abad ke-7. Hari ini, kita menyaksikan para pejuang Palestina terus bertempur meski istri, anak, orang tua, bahkan para komandan tertinggi mereka dibunuh satu per satu. Seolah mereka sedang berkata, seperti sahabat dahulu:

"Jika pemimpin kami gugur, maka biarlah kami menyambung jalan mereka dengan darah kami!"



Uhud: Ketika Kabar Syahid Rasulullah ï·º Menjadi Api Semangat

Saat pasukan Muslim hampir menang di Uhud, mereka lengah. Kemudian pasukan Quraisy menyerbu balik dari belakang bukit. Dalam kekacauan itu, Rasulullah ï·º terluka parah. Kabar tersebar: Muhammad telah gugur!

Namun inilah detik-detik lahirnya syahadat aksi para sahabat. Anas bin Nadhr, yang belum ikut Perang Badar, berkata dengan suara membakar:

"Wahai kaum Anshar! Jika Muhammad telah terbunuh, maka apa gunanya hidup sesudahnya? Bangkitlah! Mati sebagaimana ia mati!"
(HR. Muslim)

Dan Al-Qur’an mengabadikan semangat ini dalam bentuk peringatan ilahi:

"Dan Muhammad hanyalah seorang rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh, kamu akan berbalik ke belakang? Barang siapa yang berbalik, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun."
(QS. Ali Imran: 144)

Ini bukan sekadar ayat. Ini alarm iman. Bahwa perjuangan bukan untuk pribadi, tapi untuk risalah.



Mu’tah: Visualisasi Kematian yang Membakar Jiwa Kaum Beriman

Di medan perang Mu’tah, tiga panglima besar gugur berurutan: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Rasulullah ï·º tidak menyembunyikan tragedi ini. Di Madinah, beliau menyampaikan kejadian itu secara langsung:

"Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah dan ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Ja’far bin Abi Thalib dan ia terbunuh. Kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah dan ia terbunuh pula. Lalu panji itu diambil oleh pedang dari pedang-pedang Allah: Khalid bin al-Walid, dan Allah memberinya kemenangan."
(HR. Bukhari)

Bayangkan: Rasulullah ï·º menggambarkan satu demi satu sahabatnya gugur, bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk membakar semangat. Dan itu berhasil. Gugurnya tiga pemimpin besar tak menghentikan langkah, justru membentuk batu loncatan bagi kemenangan moral yang tak terlupakan.



Hunain: Pasukan Kocar-kacir, Tapi Alumni Badar Kembali Mengeras

Perang Hunain diawali dengan keunggulan jumlah. Namun jebakan lembah membuat pasukan Muslim porak-poranda. Rasulullah ï·º berdiri tegak, menyerukan:

"Aku adalah Nabi, tidak berdusta! Aku adalah anak Abdul Muthalib!"
(HR. Muslim)

Saat sebagian besar pasukan lari, yang bertahan adalah segelintir veteran Perang Badar. Mereka bukan pasukan elit secara fisik, tapi mereka punya kekuatan spiritual dan pengalaman darah. Mereka kembali membentuk barisan, dan seruan Rasul menjadi pusat gravitasi iman.

"Dan di hari Hunain, ketika jumlahmu yang banyak membuatmu bangga, namun itu tidak berguna sama sekali bagi kalian..."
(QS. At-Taubah: 25)

Allah mengingatkan: bukan jumlah, tapi keteguhan yang memberi kemenangan.



Gaza: Ketika Syahid Komandan dan Keluarga Menjadi Energi Perlawanan

Hari ini, kita menyaksikan ulang semangat itu. Saat Israel membunuh komandan-komandan Hamas, Jihad Islam, dan para tokoh perlawanan, semangat justru tidak padam. Ketika keluarga mereka dibantai—istri, anak, saudara—pejuang Palestina tidak meninggalkan medan. Mereka menatap kamera dan berkata:

"Kami mencintai syahid seperti musuh kami mencintai hidup."

Para pejuang itu tidak lahir dari pabrik militer, tapi dari reruntuhan rumah, dari jenazah ayah, dari tangisan adik. Mereka tidak butuh orasi panjang—cukup satu suara panggilan: "Ribath fi Sabilillah!"

Seorang anak pejuang Palestina yang kehilangan seluruh keluarganya berkata dalam wawancara:

"Jika ibu dan ayahku dibunuh karena mereka Muslim, maka biarlah aku meneruskan hidup mereka dengan senapan."

Ini adalah Mu’tah di abad ke-21. Ini adalah Uhud di bawah langit Rafah. Ini adalah Hunain yang tidak lagi memerlukan jumlah, tapi niat.



Mengapa Karakter Ini Bisa Lahir?

Karena tauhid bukan teori. Karena syahadat bukan sekadar dua kalimat. Ia adalah janji hidup dan mati. Rasulullah ï·º tidak membesarkan umat pengecut. Beliau menanamkan dalam dada para sahabat:

"Wahai manusia, janganlah kalian mengharap pertemuan dengan musuh, tapi jika kalian terpaksa bertemu, maka bersabarlah! Ketahuilah bahwa surga berada di bawah bayang-bayang pedang."
(HR. Bukhari)

Inilah kenapa mereka tidak gentar. Inilah kenapa Palestina tidak menyerah.



Jika Mereka Gugur, Mengapa Kita Diam?

Jika kabar syahid Rasulullah ï·º membakar semangat sahabat, jika kematian para panglima membuat barisan semakin padat, jika kehancuran di Hunain justru melahirkan kemenangan—maka apa alasan kita untuk tidak bergerak saat hari ini umat kembali berdarah?

Kita tak diminta berperang jika tak mampu. Tapi kita pasti diminta untuk tidak tinggal diam. Hati, doa, harta, dan suara—semuanya bisa jadi peluru.

Jangan hanya jadi penonton. Karena sejarah tidak menulis penonton. Sejarah hanya mencatat siapa yang bertahan di jalan Nabi, meski semua kabar di sekitarnya buruk.


"Jika Muhammad telah terbunuh, maka bangkitlah! Mati sebagaimana ia mati!"
— Anas bin Nadhr, Uhud

"Surga itu berada di bawah bayang-bayang pedang."
— HR. Bukhari

Perang Mu’tah, Video Hamas, Narasi IDF, dan Perang yang Tak Ingin Disaksikan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pada 10 Juli 2025, Hamas...

Perang Mu’tah, Video Hamas, Narasi IDF, dan Perang yang Tak Ingin Disaksikan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pada 10 Juli 2025, Hamas merilis sebuah video pendek namun menggemparkan. Isinya: serangan terhadap pasukan Israel di Khan Younis, Gaza selatan, sehari sebelumnya. Video ini langsung menjadi sorotan karena memperlihatkan peristiwa yang berbeda dari narasi resmi Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Bahkan Times of Israel—media arus utama Israel—mengakui adanya kontradiksi signifikan antara rekaman Hamas dan pernyataan militer Israel.

IDF menyebut bahwa Sersan Mayor (Purn.) Abraham Azulay, operator ekskavator tak bersenjata, diserang tiba-tiba oleh militan Hamas yang muncul dari terowongan, sempat melawan, namun gugur secara heroik. Namun video Hamas memperlihatkan proses panjang dan terencana: para pejuang mengintai dari reruntuhan bangunan, menyusup perlahan, lalu menembakkan RPG ke arah ekskavator. Tak tampak adanya duel senjata atau perlawanan dari sang prajurit. Bahkan jasad Azulay terlihat tak berdaya sebelum dua pejuang Hamas menyita senjatanya dan menembaknya kembali.

Apakah video itu bukti kemenangan Hamas atau manipulasi visual? Apapun itu, ia telah mengguncang bangunan naratif yang selama ini disusun rapi oleh militer Israel.



Sensor, Narasi, dan Ketakutan akan Kebenaran

Pertanyaan lebih besar segera muncul: mengapa informasi tentang Gaza sangat dibatasi, bahkan bagi jurnalis Israel sendiri?

Sejak meletusnya perang pada 7 Oktober 2023, pemerintah Israel secara aktif menutup akses media ke Jalur Gaza. Jurnalis asing, media independen, bahkan reporter dalam negeri dibatasi geraknya. Narasi tunggal dari IDF mendominasi pemberitaan, sementara gambar-gambar kehancuran di Gaza hanya datang dari pihak ketiga: LSM, warga sipil, atau—ironisnya—Hamas itu sendiri.

Apakah sensor seperti ini baru terjadi? Ternyata tidak. Sejak lama, Israel memiliki kebijakan military censorship yang mengatur ketat publikasi berita terkait keamanan nasional. Namun sejak 2023, intensitasnya meningkat drastis. Prof. Orna Ben-Naftali, pakar hukum internasional dari Israel, menyebut fenomena ini sebagai “penyusutan ruang demokratis saat perang berlangsung.” Jurnalis kawakan Amira Hass bahkan menyebut Israel kini lebih takut pada kebenaran visual daripada pada rudal Hamas.

Yang lebih aneh, IDF sendiri hampir tidak pernah merilis dokumentasi video dari serangan mereka ke Gaza. Padahal, dalam perang modern, video adalah alat propaganda yang ampuh. Mengapa ini tidak dilakukan? Beberapa analis menyebut: karena apa yang terjadi di Gaza bukan kemenangan visual, melainkan kehancuran moral. Jika disiarkan, ia akan membunuh legitimasi perang lebih cepat daripada peluru.



Dari Gaza ke Mu’tah: Ketika Kebenaran Tak Disembunyikan

Menariknya, perbandingan ini justru membawa kita pada sebuah peristiwa jauh di masa lalu: Perang Mu’tah. Sebuah ekspedisi militer kaum Muslimin ke wilayah Romawi yang berakhir dengan gugurnya tiga panglima utama: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.

Apa yang dilakukan Rasulullah ï·º saat itu? Beliau tidak menyembunyikan kabar buruk itu. Beliau mengumpulkan para sahabat dan menggambarkan jalannya pertempuran dengan jujur: bagaimana Zaid gugur, lalu panji diambil Ja’far yang juga syahid, lalu dipegang Abdullah hingga ia pun gugur. Tak ada sensor, tak ada narasi palsu.

Namun dari kejujuran itu, justru tumbuh semangat juang luar biasa. Rasulullah ï·º menyebut ketiganya sebagai syuhada dan memperlihatkan betapa agungnya kedudukan mereka di sisi Allah. Maka meski kabar itu menyayat hati, ia tak meruntuhkan semangat, justru membangkitkan ghirah jihad. Inilah bedanya pemimpin yang membangun peradaban, bukan sekadar mempertahankan kekuasaan.



Siapa yang Menang dalam Perang Narasi?

Hamas dan IDF bisa saling tuding soal siapa yang jujur dan siapa yang manipulatif. Namun ada satu kenyataan yang tak bisa dibantah: jika Israel memang di pihak benar, mengapa ia takut pada kamera? Jika Gaza hanya sarang teror, mengapa wartawan tak diizinkan masuk? Dan jika IDF benar bertempur demi membela rakyatnya, mengapa mereka sembunyikan setiap detil perangnya?

Pada akhirnya, dalam perang yang digerakkan oleh senjata dan dikendalikan oleh sensor, kebenaran bukan lagi soal siapa yang menang. Tapi soal siapa yang berani memperlihatkan luka dan mengakui duka.

Dan dalam hal ini, Israel tampaknya lebih takut pada kenyataan daripada pada musuhnya.

"Perang Mu’tah bukan kemenangan militer, tapi kemenangan moral umat Islam—karena kebenaran disampaikan tanpa sensor, dan keberanian ditanamkan lewat kejujuran, bukan ilusi."
— Refleksi dari Sirah Nabawiyah

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (504) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (489) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (249) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)