Ketika Rasulullah ﷺ Memilih Panglima dan Menentukan Jumlah Pasukan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Dalam catatan sejarah militer Islam, kemenangan bukan semata soal banyaknya pasukan atau kekuatan senjata. Rasulullah ﷺ menunjukkan kepada dunia bahwa strategi, visi, dan pembinaan sumber daya manusia jauh lebih menentukan hasil sebuah pertempuran daripada jumlah kepala dan bilah pedang. Di balik setiap ekspedisi dan perang yang beliau pimpin atau delegasikan, selalu ada kalkulasi matang, pertimbangan spiritual, dan misi pendidikan yang tersembunyi namun sangat menentukan masa depan umat.
Di sinilah letak seni strategi Rasulullah ﷺ. Tidak semua pasukan harus besar. Tidak semua panglima harus beliau sendiri. Tidak semua keputusan harus diambil satu arah. Ada ruang untuk pelatihan. Ada momen untuk regenerasi. Ada saatnya beliau memimpin sendiri. Dan ada waktunya beliau membiarkan para sahabat memilih pemimpin mereka sendiri di tengah kekacauan.
Pasukan Kecil: Mobilitas Tinggi, Tugas Spesifik
Dalam tahun-tahun awal hijrah, Rasulullah ﷺ mulai mengirim ekspedisi militer kecil. Jumlahnya kadang hanya 12, 30, atau 60 orang. Tujuannya bukan untuk perang terbuka, melainkan untuk pengintaian, pengamanan jalur dagang, atau menekan psikologi musuh.
Contohnya, pada tahun 1 Hijriah, Rasulullah ﷺ sendiri memimpin Ekspedisi Saif al-Bahr, dengan sekitar 30 orang menuju Laut Merah, untuk menyergap kafilah Quraisy. Dalam waktu berdekatan, beliau juga mengirimkan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ubaidah bin al-Harits masing-masing dengan 30–60 pasukan, dengan misi serupa. Kemudian Abdullah bin Jahsy ditugaskan memimpin 12 orang dalam operasi intelijen ke Nakhlah.
Ciri umum ekspedisi kecil ini: panglima selalu ditunjuk langsung oleh Rasulullah ﷺ, karena misi mereka sangat spesifik, rawan diplomatik, dan butuh orang yang sangat beliau percayai. Tidak ada data bahwa pasukan sekecil ini pernah memilih pemimpin mereka sendiri. Disiplin dan kecepatan lebih penting daripada musyawarah panjang.
Pasukan Besar: Konfrontasi dan Konsolidasi Kekuatan
Ketika situasi menuntut perang terbuka atau konsolidasi kekuatan politik, Rasulullah ﷺ mengirim pasukan besar, bisa mencapai ratusan hingga puluhan ribu. Dalam Perang Badar (2 H), beliau memimpin langsung 313 orang untuk menghadapi 1.000 pasukan Quraisy. Di Perang Uhud, pasukannya berjumlah sekitar 700. Dalam Perang Khandaq, jumlahnya melonjak jadi 3.000. Dan pada Perang Tabuk, Rasulullah ﷺ mengerahkan 30.000 pasukan sebagai manuver politik terhadap Byzantium.
Namun, tidak semua ekspedisi besar dipimpin langsung. Dalam Perang Mu’tah (8 H), Rasulullah ﷺ menunjuk panglima secara berjenjang: Zaid bin Haritsah, jika gugur digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib, lalu Abdullah bin Rawahah. Setelah tiga-tiganya gugur, pasukan di medan perang bermusyawarah dan memilih Khalid bin Walid sebagai panglima baru. Itu menjadi preseden penting: bahwa dalam situasi darurat, pasukan Muslim boleh dan mampu memilih pemimpinnya sendiri.
Dalam Ekspedisi Usamah bin Zaid (11 H), Rasulullah ﷺ menunjuk seorang panglima muda berusia 18 tahun, untuk memimpin pasukan besar yang berisi sahabat senior. Ini bukan semata soal taktik, melainkan pendidikan regenerasi: Islam tidak mengenal aristokrasi usia atau kasta darah. Yang penting adalah kapasitas dan kepercayaan.
Kapan Kecil, Kapan Besar?
Keputusan mengirim pasukan kecil atau besar selalu didasarkan pada tiga pertimbangan utama:
1. Skala ancaman dan jenis misi. Jika hanya pengintaian atau pengamanan, cukup dengan 10–30 orang. Jika menghadapi konfrontasi terbuka, maka dibutuhkan ratusan bahkan ribuan.
2. Letak geografis. Misi ke daerah terpencil dengan medan berat lebih cocok dengan pasukan kecil dan cepat.
3. Pesan politik dan spiritual. Kadang, mengerahkan pasukan besar bukan untuk perang, tapi untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan (seperti Perang Tabuk).
Mengapa Ada yang Dipimpin Langsung, Ditunjuk, atau Dimusyawarahkan?
Ketika Rasulullah ﷺ memimpin langsung, biasanya itu karena misi sangat strategis dan bernilai simbolik tinggi. Beliau ingin membangkitkan semangat, membuktikan kesatuan umat, dan menjadi teladan langsung di tengah pertempuran.
Namun ketika misi berada jauh, atau bersifat khusus, beliau menunjuk panglima. Dalam penunjukan ini, ada pesan kepercayaan dan pelatihan. Rasulullah ﷺ tidak hanya membentuk pasukan, tapi juga membentuk pemimpin.
Dan ketika kondisi benar-benar mendesak—panglima gugur di medan perang, dan tidak ada perintah lanjutan—maka musyawarah dipersilakan. Ini bukan kelemahan, tapi justru kematangan: pasukan Islam mampu mandiri dan solid bahkan tanpa instruksi pusat. Itulah yang terjadi di Mu’tah.
Kriteria Panglima Pilihan Rasulullah ﷺ
Dari sejarah ekspedisi yang ditugaskan Rasulullah ﷺ, kita bisa melihat pola jelas dalam pemilihan panglima:
Integritas spiritual: bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga kokoh imannya.
Kepercayaan Rasulullah ﷺ: biasanya para panglima adalah sahabat yang sangat dekat dan loyal.
Kemampuan strategi dan komunikasi: bisa menyusun taktik dan mengendalikan pasukan dari berbagai suku.
Kepemimpinan moral: mereka bukan hanya komandan, tapi teladan.
Penunjukan Usamah bin Zaid sebagai panglima adalah contoh paling tegas dari prinsip meritokrasi dalam Islam. Ia bukan dari kabilah terkemuka, bukan orang tua, tapi dipilih karena integritas dan kecakapannya.
Musyawarah: Bukan Alternatif, Tapi Bukti Kedewasaan
Musyawarah memilih panglima bukan rencana cadangan. Ia adalah bukti bahwa sistem pendidikan Rasulullah ﷺ berhasil. Ketika pasukan Muslim di Mu’tah bermusyawarah dalam keadaan genting dan menunjuk Khalid bin Walid, itu menunjukkan bahwa mereka sudah matang—secara akal, akhlak, dan kepemimpinan.
Rasulullah ﷺ tidak membentuk pasukan yang bergantung padanya. Beliau membentuk umat yang siap tegak tanpa beliau.
Strategi Rasulullah ﷺ adalah Pendidikan Kepemimpinan
Dalam strategi militer Rasulullah ﷺ, jumlah pasukan dan siapa yang memimpin bukan sekadar pilihan teknis. Di balik semua itu ada logika pendidikan, pelatihan, dan regenerasi. Umat Islam tidak hanya diajarkan untuk taat pada satu pemimpin, tapi juga untuk siap menjadi pemimpin ketika keadaan menuntut. Rasulullah ﷺ membentuk sistem yang hidup—yang tahu kapan mendengar, kapan memimpin, dan kapan bermusyawarah.
Di zaman ketika regenerasi kepemimpinan menjadi isu besar di banyak bangsa dan organisasi, strategi Rasulullah ﷺ ini memberi pelajaran penting: bahwa kepemimpinan adalah hasil dari kepercayaan, pelatihan, dan pemberdayaan. Ia bukan diwariskan, bukan dipaksakan, dan bukan pula dikultuskan.
Dan karena itulah, Rasulullah ﷺ tidak hanya memenangkan perang. Beliau memenangkan masa depan.
0 komentar: