Musang di Dalam Kandang: Rasulullah ﷺ dan Kecerdasan Kontra Intelijen Umat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Dalam sejarah umat Islam, musuh dari luar memang menakutkan. Tapi musuh dari dalam? Mereka lebih mematikan. Mereka ikut salat, ikut perang, ikut dalam barisan Nabi ﷺ, tapi diam-diam mengasah belati di balik sorban. Mereka bukan sekadar mata-mata; mereka adalah racun yang disusupkan ke dalam darah perjuangan.
Namun justru di titik paling gelap itu, kecemerlangan strategi Rasulullah ﷺ bersinar. Beliau tidak hanya membentuk pasukan yang kuat, tetapi juga komunitas yang tahan infiltrasi, masyarakat yang memiliki daya imunitas ideologis dan sosial, serta sistem kewaspadaan moral yang hidup dari dalam. Inilah kisahnya.
Aqabah: Kudeta Gagal yang Ditelan Malam
Perjalanan pulang dari Tabuk seharusnya menjadi kemenangan moral. Tapi di tengah sunyi malam, saat Nabi ﷺ memilih jalan terjal bernama Aqabah, 12 orang munafik dengan wajah tertutup menyusup, mengincar nyawa beliau.
Mereka merencanakan sebuah "kecelakaan": menakut-nakuti unta Nabi agar terjatuh ke jurang. Tapi mereka tak tahu, Rasulullah ﷺ tak pernah sendirian. Hudzaifah bin Al-Yaman dan Ammar bin Yasir ada di sana — dua sahabat yang tak hanya menjaga tubuh Nabi, tapi juga menjaga detak nadi peradaban.
Dengan pedang dan keberanian, para penyusup dihalau. Nabi ﷺ tidak bereaksi keras, tidak gegabah mengeksekusi mereka. Nama-nama mereka diserahkan diam-diam kepada Hudzaifah. Maka Hudzaifah pun dikenal sepanjang zaman sebagai: Shahibu Sirri Rasulillah ﷺ — sang pemegang rahasia Nabi.
Mengapa Nabi ﷺ tidak mengumumkan mereka? Karena pemimpin sejati tidak memimpin dengan amarah, tapi dengan visi. Bukan sekadar ingin menyingkirkan pengkhianat, tapi ingin menjaga umat agar tidak terbelah karena fitnah. Rasulullah ﷺ tahu: ada waktu untuk membongkar, ada waktu untuk membiarkan sejarah yang menyingkapkan.
Bani Musthaliq: Satu Kalimat yang Hampir Memecah Umat
Setelah Perang Bani Musthaliq, saat pasukan sedang dalam perjalanan pulang, pertengkaran kecil antara seorang Muhajirin dan Anshar dimanfaatkan oleh Abdullah bin Ubay, tokoh utama kaum munafik.
Ia berkata lantang:
“Jika kita kembali ke Madinah, yang mulia (yakni dirinya) akan mengusir yang hina (yakni Rasulullah)!”
Ini bukan sekadar penghinaan, ini adalah retorika kudeta politik. Dan Umar pun naik pitam. “Izinkan aku memenggal kepalanya, ya Rasulullah!” Tapi Rasulullah ﷺ menolak.
“Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”
Di sinilah kejeniusan kenabian tampil. Rasulullah tidak memberi musuh amunisi opini. Beliau biarkan waktu dan peristiwa menghakimi. Dan betul — tak lama setelah itu, putra Abdullah bin Ubay sendiri, yang bernama Abdullah, menghadang ayahnya di pintu Madinah dan berkata:
“Engkau tak boleh masuk sebelum Rasulullah mengizinkan.”
Kita belajar: Rasulullah tidak perlu membungkam para penyusup dengan pedang, cukup dengan membuka mata masyarakat agar mereka tersingkir oleh keadilan sosial.
Masjid Dhirar: Di Balik Kubah, Ada Konspirasi
Kaum munafik bahkan sempat membangun masjid. Masjid Dhirar — dibangun bukan untuk shalat, tapi untuk makar. Mereka ingin menjadikannya pusat propaganda anti-Rasulullah ﷺ.
Namun Allah membongkar tipu daya itu:
“Dan (ada pula) orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan, kekafiran, dan memecah belah orang-orang mukmin…”
(QS. At-Taubah: 107)
Rasulullah ﷺ pun tak ragu: beliau perintahkan masjid itu dihancurkan.
Ya, jika masjid berubah menjadi ruang konspirasi, maka menghancurkannya adalah jihad. Islam bukan soal simbol, tapi soal substansi. Dan substansi Islam adalah kebenaran, bukan kedok untuk kebusukan.
Hatib bin Abi Balta’ah: Surat Rahasia yang Dimaafkan
Sebelum Fathul Makkah, seorang sahabat bernama Hatib bin Abi Balta’ah mengirim surat rahasia kepada Quraisy, memberitahukan rencana Nabi. Sebuah pelanggaran serius. Namun saat ia dipanggil dan diinterogasi, Hatib berkata:
“Aku tidak berkhianat karena benci Islam, tapi karena ingin melindungi keluargaku yang tak berdaya di Makkah.”
Ali pun siap mengayunkan pedang. Tapi Nabi ﷺ bersabda:
“Dia ikut perang Badar. Siapa tahu Allah telah mengampuni seluruh pejuang Badar.”
Pelajaran penting: tidak semua penyusup adalah musuh. Sebagian adalah orang lemah yang salah jalan. Rasulullah ﷺ memisahkan antara pengkhianat dan yang sedang diuji imannya. Beliau adil, bukan brutal.
Strategi Rasulullah ﷺ: Mendeteksi, Menyaring, Bukan Membabi Buta
Rasulullah ﷺ tahu bahwa pasukan tidak hanya butuh pedang, tapi juga imunitas sosial dan spiritual. Beliau membiarkan medan tempur, musim panas, dan jarak perjalanan sebagai alat penyaring. Tabuk adalah contohnya. Mereka yang malas, ragu, atau punya niat busuk — gugur sendiri sebelum panah dilepaskan.
Dan mereka yang tetap ikut perang walau kelelahan, walau miskin — mereka itulah yang disebut dalam Al-Qur’an:
“Tidak ada dosa atas orang yang tidak ikut perang karena lemah atau miskin, selama mereka tulus kepada Allah dan Rasul-Nya...”
(QS. At-Taubah: 91)
Musuh sejati bukan di luar. Musuh sejati adalah ketidakjujuran dalam niat. Dan Rasulullah ﷺ membongkarnya bukan dengan brutalitas, tapi dengan hikmah, observasi sosial, dan kontrol narasi.
Ketika Musuh di Dalam Lebih Bahaya dari yang di Luar
Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa perang melawan penyusup bukan sekadar perang senjata, tapi perang akal dan nurani. Beliau membangun umat dengan kejujuran, memperkuat barisan dengan kesetiaan, dan menghadapi pengkhianat dengan strategi yang melampaui emosi.
“Umat ini tidak akan tumbang karena musuh dari luar, tapi akan luluh jika penyusup dari dalam dibiarkan tumbuh tanpa perlawanan.”
Kini, saat kita dikepung oleh infiltrasi media, fitnah digital, dan tokoh yang berpura-pura mencintai Islam — pelajaran dari Rasulullah ﷺ menjadi lebih relevan dari sebelumnya.
Bangkitkan mata yang jernih. Hidupkan jiwa yang tajam. Dan jangan biarkan barisan suci ini dikoyak dari dalam.
0 komentar: