Perang Mu’tah, Video Hamas, Narasi IDF, dan Perang yang Tak Ingin Disaksikan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Pada 10 Juli 2025, Hamas merilis sebuah video pendek namun menggemparkan. Isinya: serangan terhadap pasukan Israel di Khan Younis, Gaza selatan, sehari sebelumnya. Video ini langsung menjadi sorotan karena memperlihatkan peristiwa yang berbeda dari narasi resmi Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Bahkan Times of Israel—media arus utama Israel—mengakui adanya kontradiksi signifikan antara rekaman Hamas dan pernyataan militer Israel.
IDF menyebut bahwa Sersan Mayor (Purn.) Abraham Azulay, operator ekskavator tak bersenjata, diserang tiba-tiba oleh militan Hamas yang muncul dari terowongan, sempat melawan, namun gugur secara heroik. Namun video Hamas memperlihatkan proses panjang dan terencana: para pejuang mengintai dari reruntuhan bangunan, menyusup perlahan, lalu menembakkan RPG ke arah ekskavator. Tak tampak adanya duel senjata atau perlawanan dari sang prajurit. Bahkan jasad Azulay terlihat tak berdaya sebelum dua pejuang Hamas menyita senjatanya dan menembaknya kembali.
Apakah video itu bukti kemenangan Hamas atau manipulasi visual? Apapun itu, ia telah mengguncang bangunan naratif yang selama ini disusun rapi oleh militer Israel.
Sensor, Narasi, dan Ketakutan akan Kebenaran
Pertanyaan lebih besar segera muncul: mengapa informasi tentang Gaza sangat dibatasi, bahkan bagi jurnalis Israel sendiri?
Sejak meletusnya perang pada 7 Oktober 2023, pemerintah Israel secara aktif menutup akses media ke Jalur Gaza. Jurnalis asing, media independen, bahkan reporter dalam negeri dibatasi geraknya. Narasi tunggal dari IDF mendominasi pemberitaan, sementara gambar-gambar kehancuran di Gaza hanya datang dari pihak ketiga: LSM, warga sipil, atau—ironisnya—Hamas itu sendiri.
Apakah sensor seperti ini baru terjadi? Ternyata tidak. Sejak lama, Israel memiliki kebijakan military censorship yang mengatur ketat publikasi berita terkait keamanan nasional. Namun sejak 2023, intensitasnya meningkat drastis. Prof. Orna Ben-Naftali, pakar hukum internasional dari Israel, menyebut fenomena ini sebagai “penyusutan ruang demokratis saat perang berlangsung.” Jurnalis kawakan Amira Hass bahkan menyebut Israel kini lebih takut pada kebenaran visual daripada pada rudal Hamas.
Yang lebih aneh, IDF sendiri hampir tidak pernah merilis dokumentasi video dari serangan mereka ke Gaza. Padahal, dalam perang modern, video adalah alat propaganda yang ampuh. Mengapa ini tidak dilakukan? Beberapa analis menyebut: karena apa yang terjadi di Gaza bukan kemenangan visual, melainkan kehancuran moral. Jika disiarkan, ia akan membunuh legitimasi perang lebih cepat daripada peluru.
Dari Gaza ke Mu’tah: Ketika Kebenaran Tak Disembunyikan
Menariknya, perbandingan ini justru membawa kita pada sebuah peristiwa jauh di masa lalu: Perang Mu’tah. Sebuah ekspedisi militer kaum Muslimin ke wilayah Romawi yang berakhir dengan gugurnya tiga panglima utama: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah.
Apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ saat itu? Beliau tidak menyembunyikan kabar buruk itu. Beliau mengumpulkan para sahabat dan menggambarkan jalannya pertempuran dengan jujur: bagaimana Zaid gugur, lalu panji diambil Ja’far yang juga syahid, lalu dipegang Abdullah hingga ia pun gugur. Tak ada sensor, tak ada narasi palsu.
Namun dari kejujuran itu, justru tumbuh semangat juang luar biasa. Rasulullah ﷺ menyebut ketiganya sebagai syuhada dan memperlihatkan betapa agungnya kedudukan mereka di sisi Allah. Maka meski kabar itu menyayat hati, ia tak meruntuhkan semangat, justru membangkitkan ghirah jihad. Inilah bedanya pemimpin yang membangun peradaban, bukan sekadar mempertahankan kekuasaan.
Siapa yang Menang dalam Perang Narasi?
Hamas dan IDF bisa saling tuding soal siapa yang jujur dan siapa yang manipulatif. Namun ada satu kenyataan yang tak bisa dibantah: jika Israel memang di pihak benar, mengapa ia takut pada kamera? Jika Gaza hanya sarang teror, mengapa wartawan tak diizinkan masuk? Dan jika IDF benar bertempur demi membela rakyatnya, mengapa mereka sembunyikan setiap detil perangnya?
Pada akhirnya, dalam perang yang digerakkan oleh senjata dan dikendalikan oleh sensor, kebenaran bukan lagi soal siapa yang menang. Tapi soal siapa yang berani memperlihatkan luka dan mengakui duka.
Dan dalam hal ini, Israel tampaknya lebih takut pada kenyataan daripada pada musuhnya.
"Perang Mu’tah bukan kemenangan militer, tapi kemenangan moral umat Islam—karena kebenaran disampaikan tanpa sensor, dan keberanian ditanamkan lewat kejujuran, bukan ilusi."
— Refleksi dari Sirah Nabawiyah
0 komentar: