basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Parlemen Israel Menyetujui Penjajahan di Tepi Barat: Bagaimana dengan Oslo, Mahkamah Internasional dan Abraham Accord? Di antara...


Parlemen Israel Menyetujui Penjajahan di Tepi Barat: Bagaimana dengan Oslo, Mahkamah Internasional dan Abraham Accord?



Di antara Gema Gencatan Senjata

“Perang sudah berakhir,” kata seorang anak kecil di Abu Falah kepada kakeknya, “bolehkah aku ikut memetik zaitun?”
Kakeknya terdiam. Di hadapannya, pohon-pohon zaitun yang diwariskan leluhur berdiri tanpa dahan. Beberapa telah dicabut akarnya. Sebagian lagi gosong, dibakar oleh para pemukim. Di tanah yang katanya “sudah damai”, mereka masih menghitung mayat, bukan panen.

Begitulah Tepi Barat menyambut gencatan senjata Gaza—dengan ironi. Saat dunia bersorak bahwa perang berhenti, di dataran antara Ramallah dan Nablus justru penjajahan meningkat. Tidak ada gencatan bagi yang hidup di bawah pagar baja, tembok setinggi tujuh meter, dan kebijakan apartheid yang kini disahkan oleh parlemen Israel sendiri.


---

Dua Dunia yang Tak Pernah Damai

Sepekan setelah pengumuman gencatan di Gaza, kehidupan di Tepi Barat tetap dililit oleh pos pemeriksaan. Di kota baru Rawabi, yang hanya sepuluh menit jarak ke Ramallah, penduduknya menghadapi empat gerbang besi, sebuah menara militer, dan sebuah pembatas — perjalanan sepuluh menit bisa memakan waktu berjam-jam.

Di seluruh Tepi Barat kini berdiri 916 barikade, pos, dan gerbang logam; 243 di antaranya dibangun setelah 7 Oktober 2023. Tentara Israel membuka dan menutupnya sesuka hati—kadang demi “keamanan”, kadang sekadar permainan kuasa.

Sejak 7 Oktober, lebih dari 7.100 serangan pemukim terjadi terhadap warga Palestina. Hampir seribu orang terbunuh, termasuk 212 anak-anak. 37.237 pohon zaitun dihancurkan—pohon yang bukan sekadar tumbuhan, tapi simbol keteguhan bangsa Palestina.

Bahkan udara malam tak memberi jeda. Tentara bisa datang kapan saja, menendang pintu, menyeret anak muda dari tempat tidur, lalu pergi tanpa penjelasan. Rumah yang semula tenang bisa berubah jadi penjara dalam lima menit.


---

Penjajahan yang Dilegalkan

Lalu datanglah berita dari Tel Aviv: Knesset menyetujui tahap pertama undang-undang pencaplokan Tepi Barat — 25 suara mendukung, 24 menolak. Tipis, tapi cukup untuk mengubah sejarah.

Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben‑Gvir, berkata lantang, “Waktunya memaksakan kedaulatan atas Tepi Barat telah tiba.” Kata “kedaulatan” di mulut penjajah selalu berarti kebebasan untuk menindas.

Dengan satu sidang parlemen, Perjanjian Oslo (1993) — yang menjanjikan otonomi bagi Palestina — digugurkan tanpa suara ledakan. Oslo membagi wilayah Tepi Barat menjadi Area A (18 %), Area B (22 %) dan Area C (60 %) di bawah kendali Israel. Namun kini Area C bukan sekadar wilayah militer — ia menjadi peta masa depan Israel Raya. Pemerintah mempercepat klaim atas area itu, menghancurkan desa-desa Badui, dan memindahkan warganya paksa. “Aneksasi diam-diam” telah berlangsung selama bertahun-tahun, kini menjadi hukum resmi negara.

Partai Likud menyebutnya “kedaulatan sejati”. Tapi di Ramallah, orang menyebutnya kematian diplomasi.


---

Perang yang Berubah Bentuk

Israel tidak lagi memerlukan tank untuk menaklukkan Palestina: ia hanya butuh bulldozer dan pena hukum. Dengan alasan “keamanan”, tentara menyita lebih dari 70.000 meter persegi tanah di provinsi Nablus pada Oktober 2025. Hanya dalam satu tahun, 53 perintah militer dikeluarkan untuk memperluas pemukiman Yahudi.

Menurut Komisi Kolonisasi Palestina, kini ada 710 pemukiman dan pos militer di Tepi Barat — rata-rata satu setiap delapan kilometer persegi. Peta Palestina tampak seperti kulit yang digerogoti lubang.

Dan setiap lubang membawa makna:

Lubang air yang dikuasai perusahaan Israel Mekorot — menyisakan warga Palestina dengan jatah air minim.

Lubang ekonomi, di mana tanah subur diubah menjadi zona militer.

Lubang spiritual, karena ribuan warga tak bisa lagi mencapai Masjid Al-Aqsa atau Gereja Makam Suci tanpa izin.


Di musim panas, ketika sumur-sumur kering, warga terpaksa membeli air mahal dari penjajah yang mencuri sumbernya. Air yang seharusnya menghidupi, kini menjadi alat penjajahan paling sunyi.


---

Janji Palsu Perdamaian

Di manakah letak Oslo, Mahkamah Internasional, dan Abraham Accord dalam situasi ini? Mereka berdiri seperti tugu yang retak: masih ada di atas kertas, tapi tak lagi punya jiwa.

Perjanjian Oslo, yang dahulu ditandatangani di halaman Gedung Putih, kini hanyalah simbol kegagalan dua generasi diplomat. Setiap peta yang dijanjikan “negara Palestina” kini tinggal arsip museum.

Mahkamah Internasional (ICJ) pada 19 Juli 2024 mengeluarkan opini hukum bahwa kehadiran Israel di wilayah pendudukan Palestina adalah ilegal — bahwa aneksasi, fragmentasi wilayah, penghalangan hak penentuan nasib sendiri rakyat Palestina, serta penguasaan sumber daya secara diskriminatif, semuanya melanggar hukum internasional. 
Mahkamah menegaskan bahwa bahkan tidak boleh ada aneksasi oleh Israel berdasarkan klaim keamanan, dan bahwa seluruh keberadaan Israel sebagai kekuatan pendudukan di wilayah tersebut adalah tindakan salah yang terus-menerus. 
Namun keputusan ini bersifat konsultatif (advisory) dan tidak memiliki mekanisme penegakan langsung — sehingga di lapangan, situasi tetap berjalan seperti sebelumnya.

Abraham Accords — perjanjian normalisasi antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) serta beberapa negara lainnya — didasari salah satu syarat penting: Israel menangguhkan rencana aneksasi Tepi Barat. 
UEA bahkan menyatakan bahwa setiap aneksasi Tepi Barat akan menjadi “garis merah” yang bisa merobohkan Accords tersebut. 
Namun ketika Knesset menyetujui undang-undang kedaulatan, maka janji bahwa aneksasi tidak akan terjadi menjadi retorika: realitas di lapangan bergerak ke arah sebaliknya.


---

Dunia yang Menonton

Di ruang sidang PBB, diplomat membaca naskah kecaman. Di jalan-jalan Ramallah, para ibu membaca daftar nama anak-anak yang ditangkap. Sejak dua tahun terakhir, lebih dari 20.000 warga Palestina ditahan, termasuk 1.600 anak-anak. Dunia bisa menghitung dan mencatat angka tersebut.

Mahkamah bisa menyebut “ilegal”. PBB bisa menyerukan “penghentian pemukiman”. Tapi di tanah yang retak oleh buldoser, hukum internasional tak punya bentuk.

Perdamaian tidak pernah gagal karena kekurangan dokumen; ia gagal karena kehilangan keberanian moral. Dunia lebih takut kehilangan hubungan dagang daripada kehilangan kemanusiaan.


---

Di Antara Pohon Zaitun yang Ditebang

Di Abu Falah, anak kecil itu masih menatap ladang kakeknya yang gersang. Ia bertanya lagi, “Kapan kita bisa memetik zaitun?”
Kakeknya menjawab perlahan, “Saat dunia berhenti memanggil penjajahan ini dengan nama perdamaian.”

Tepi Barat kini hidup dalam paradoks: dijanjikan negara, tapi dijadikan koloni; diberi peta, tapi dipagari; diberi air, tapi diputus kuotanya. Setiap undang-undang baru dari Tel Aviv menandai kematian sebatang pohon zaitun—dan sekaligus kelahiran perlawanan baru.

Karena tanah yang dicintai tak bisa ditinggalkan, bahkan jika pohonnya ditebang.

Israel mungkin berhasil menghapus garis batas Oslo, tapi tidak bisa menghapus memori orang-orang yang tertindas. Setiap akar zaitun yang tertimbun debu akan tumbuh lagi—entah di kebun Ramallah, di hati anak-anak Gaza, atau di doa jutaan orang yang masih percaya bahwa keadilan tak bisa selamanya disembunyikan di balik pagar baja.

Keteguhan Tepi Barat Menanam Zaitun “Suatu hari, jika kau ingin tahu seberapa dalam cinta seorang manusia pada tanahnya, lihatla...



Keteguhan Tepi Barat Menanam Zaitun


“Suatu hari, jika kau ingin tahu seberapa dalam cinta seorang manusia pada tanahnya, lihatlah bagaimana ia menanam pohon di tengah ancaman.”
— Catatan dari Bil’in, Tepi Barat



Pohon yang Menolak Mati

“Dengar,” kata seorang kakek di Al-Mughayyir kepada cucunya, “pohon zaitun ini lebih tua dari aku, dan mungkin akan hidup lebih lama darimu.”
Cucunya menatap batang tua yang retak, penuh luka bekas gergaji. Di sekelilingnya, tanah hangus, akar-akar mencuat seperti nadi yang disayat.

Beberapa hari sebelumnya, laporan Al Jazeera menyiarkan kabar itu ke dunia: militer Israel mencabut lebih dari 3.000 pohon zaitun di desa Al-Mughayyir, Ramallah. Operasi itu disebut sebagai bagian dari “keamanan nasional”.
Tetapi bagi warga desa, itu bukan operasi keamanan—melainkan operasi pencabutan kehidupan.

Sejak pendudukan 1967, ribuan kebun telah diratakan, ribuan batang tua ditebang. Bagi Israel, tanah adalah peta; bagi warga Palestina, tanah adalah ingatan.
Dan di antara keduanya, pohon zaitun menjadi saksi: teguh, diam, tapi berbicara dalam bahasa ketekunan.


---

Panen yang Menjadi Waktu Takut

Ketika musim gugur datang, daun zaitun biasanya bergetar lembut di bawah sinar matahari Tepi Barat. Di masa lalu, anak-anak berlari membawa keranjang, perempuan bernyanyi di antara barisan pohon, dan para lelaki memeras minyaknya dengan doa.

Kini, seperti dilaporkan Reuters, musim panen berubah menjadi musim ketakutan.
Seorang petani di Salfit menunjukkan batang pohon berusia lima abad. “Ia hidup lebih lama dari penjajahan mana pun,” katanya pelan, “tapi aku tak tahu apakah ia akan bertahan tahun depan.”

Pemukim bersenjata menunggu di bukit; pos militer berdiri di ladang. Setiap panen kini adalah pertaruhan hidup. Para petani harus mendapat izin untuk memetik buah dari pohon yang tumbuh di tanah mereka sendiri.

Dan izin itu, sering kali, tidak pernah datang.


---

Zaitun yang Didedikasikan untuk Perdamaian

Namun di tengah kegetiran, ada kisah lain yang lebih lembut.
Associated Press melaporkan bahwa di kota Tulkarem, Palestina menanam 250 pohon zaitun baru — bukan untuk panen, tapi sebagai penghormatan bagi Jimmy Carter, mantan Presiden AS yang dikenal kritis terhadap penjajahan Israel.

Di antara tanah retak dan kawat berduri, pohon-pohon muda itu berdiri, batangnya ramping, daunnya pucat.
“Satu hari nanti,” kata seorang perempuan tua sambil menimbun tanah di akarnya, “mereka akan tahu bahwa kita pernah menanam perdamaian, bahkan ketika dunia menanam diam.”

Begitulah Palestina hidup: dari tanah yang dikhianati, mereka terus menanam makna.


---

Ketika Dunia Melihat tapi Tidak Menyentuh

Menurut laporan The Guardian dan UN-OCHA, musim panen zaitun tahun 2025 diselimuti gelombang kekerasan baru.
Ratusan pohon dibakar dalam seminggu pertama panen. Para petani diserang ketika mencoba memasuki ladang mereka.

Dalam satu catatan OCHA disebut:

“Musim yang biasanya menjadi waktu sukacita dan doa, kini menjadi musim kehilangan dan ketakutan.”

Tapi barangkali inilah yang membuat Tepi Barat berbeda dari seluruh dunia: mereka tidak pernah berhenti datang ke ladang itu — bahkan ketika tahu pohonnya telah ditebang.
Mereka datang bukan hanya untuk memetik buah, tetapi untuk membuktikan keberadaan mereka di tanah sendiri.


---

Akar yang Menjadi Perlawanan

Dalam budaya Palestina, pohon zaitun bukan sekadar sumber minyak. Ia adalah simbol waktu dan warisan.
Banyak keluarga menanam pohon ini ketika anak lahir — tanda kehidupan yang tumbuh bersama usia manusia.
Ketika penjajah menebangnya, yang hilang bukan sekadar ekonomi, tapi silsilah spiritual.

Hampir sepertiga penduduk Tepi Barat menggantungkan hidup pada zaitun.
Namun setiap hektar ladang kini berada di bawah bayang-bayang pemukiman ilegal. Setiap jalur irigasi dapat ditutup kapan saja. Dan air — seperti yang dikuasai oleh perusahaan Israel Mekorot — kini menjadi barang mewah yang dijual kepada mereka yang sebelumnya pemilik sumbernya.

Dalam laporan UN-OCHA, satu kalimat mencolok:

“Menanam pohon di Area C hari ini adalah tindakan keberanian, bukan pertanian.”


---

Dalam Film dan Lensa Dunia

Beberapa seniman mencoba merekam keteguhan itu agar dunia tak lupa.

Dalam dokumenter The Color of Olives (2006), keluarga Amer di Tepi Barat hidup di kebun mereka yang terbelah oleh tembok pemisah. Mereka berjalan sejauh satu kilometer setiap hari untuk menyentuh pohon mereka.

Film 5 Broken Cameras (2011) merekam perjuangan desa Bil’in — kamera demi kamera rusak karena peluru, tapi petani terus menanam dan merekam lagi.
Where Olive Trees Weep (2024) menambahkan lapisan baru: trauma perempuan, kehilangan rumah, dan kekuatan akar budaya yang tak bisa dihapus oleh beton.

Ada pula Zeitounat (2002), karya dokumenter pendek yang memperlihatkan perempuan Palestina menanam kembali pohon yang dicabut, seolah sedang menanam kenangan ibunya sendiri.

Dalam semua karya itu, pohon zaitun bukan hanya tumbuhan — ia adalah karakter utama. Ia hidup, disakiti, dirindukan, dan disembah dengan air mata.


---

Zaitun dalam Puisi dan Doa

Mahmoud Darwish, penyair Palestina terbesar, pernah menulis:

“Kami adalah pohon zaitun yang dibakar, tapi masih berbuah di hati manusia.”

Banyak puisi Palestina modern menggambarkan zaitun sebagai ibu yang dipukul tapi tetap memberi susu.
Di situs-situs sastra Arab, bertebaran sajak seperti ini:

“Their spirits stamp loud footsteps on rot-brown grass,
a graveyard underneath the olive tree…”

Puisi-puisi itu bukan sekadar estetika; ia adalah surat panjang dari tanah kepada langit, agar dunia tahu bahwa penderitaan bukan sekadar statistik.


---

Dialog di Ladang yang Tersisa

Sore itu, di kaki bukit Salfit, dua generasi duduk di bawah pohon yang separuhnya gosong.
Anak muda itu bertanya, “Mengapa kakek terus menanam lagi, padahal mereka akan menebangnya?”
Sang kakek menjawab pelan, “Karena jika kita berhenti menanam, kita telah membantu mereka menebang.”

Dialog seperti ini terjadi di ratusan desa. Ia sederhana, tapi maknanya dalam:
menanam berarti menolak musnah.

Pohon zaitun tumbuh lambat — butuh puluhan tahun hingga berbuah. Tapi mungkin itulah sebabnya ia menjadi simbol Palestina: sabar, diam, dan abadi.


---

Ketika Dunia Diam, Akar Berbicara

Di ruang-ruang diplomasi, dunia masih bicara tentang “proses perdamaian” dan “solusi dua negara”.
Namun di ladang-ladang Tepi Barat, “proses” itu diterjemahkan dalam bunyi bulldozer dan api malam hari.

Pohon zaitun yang dicabut hari ini bukan sekadar kehilangan ekologis, melainkan penyiksaan spiritual terhadap bangsa.
Sebagaimana seseorang yang dicabut dari rumahnya, tanah pun kehilangan bahasa ketika akarnya hilang.

Namun ada sesuatu yang tidak bisa dicabut: memori.
Akar zaitun yang tertinggal di bawah tanah sering tumbuh lagi, menembus aspal dan pagar kawat.
Seperti doa yang tidak pernah berhenti dikirim.


---

Seni Bertahan di Tanah yang Disangkal

Pameran seni di Ramallah dan Jenin sering menampilkan patung, kanvas, dan instalasi bertema zaitun.
Dalam salah satu pameran di Birzeit, seorang seniman muda menggantungkan ranting-ranting kering di langit-langit ruangan, dengan tanah di bawahnya meneteskan air.
Judulnya: “We still water them.”

Ia berkata:

 “Ini bukan hanya tentang pohon. Ini tentang kami yang terus menyirami ingatan, bahkan ketika tanahnya tidak lagi milik kami.”

Seni, dalam konteks Palestina, bukan pelarian; ia adalah perlawanan spiritual yang tenang.


---

Sebuah Dunia dalam Setetes Minyak

Minyak zaitun Palestina terkenal di seluruh dunia karena warnanya yang keemasan dan rasa yang kuat.
Tapi bagi banyak keluarga, setetes minyak hari ini mewakili harga yang sangat mahal: perjalanan berjam-jam melewati pos pemeriksaan, izin yang bisa dibatalkan kapan saja, dan ketakutan bahwa panen tahun depan mungkin tak akan ada lagi.

Seorang petani di Jenin berkata kepada wartawan Reuters:

“Kami menekan buah zaitun dengan tangan yang gemetar, bukan karena lelah, tapi karena kami tidak tahu apakah kami akan bisa memetiknya lagi.”

Minyak itu, bagi mereka, adalah darah yang sah — hasil kerja keras yang lebih suci daripada emas.


---

Tanah sebagai Kitab yang Dibaca

Jika dunia modern menulis sejarah di atas kertas, Palestina menulisnya di atas tanah.
Setiap pohon yang ditanam adalah huruf, setiap akar adalah kata, dan setiap pembakaran adalah upaya menghapus kalimat kehidupan.

Namun sejarah yang tertulis di tanah tidak bisa dibakar. Ia akan muncul kembali di musim berikutnya, di batang-batang baru yang menembus reruntuhan.
Itulah sebabnya setiap penebangan selalu diikuti penanaman. Setiap kehancuran selalu disusul oleh benih baru.

Dan dari siklus itulah lahir istilah tak resmi di kalangan petani: “Intifadha Zaitun” — perlawanan dengan menanam.


---

Renungan di Bawah Cahaya Senja

Sore di Tepi Barat sering berwarna keemasan, mirip warna minyak zaitun.
Di desa Al-Khalil, seorang imam tua menulis di dinding masjid:

“Barangsiapa menanam zaitun dengan niat mempertahankan tanah, maka setiap buahnya adalah sedekah dan setiap akarnya adalah doa.”

Barangkali itulah bentuk ibadah paling senyap di dunia — menanam di tengah ancaman.
Ketika senjata diarahkan kepadamu, dan kau justru menunduk untuk menanam, itu artinya kau sedang menulis ayat keberanian.


---

Dunia yang Menonton

Sementara itu, di ruang-ruang konferensi internasional, para diplomat membahas laporan tahunan tentang “pelanggaran hak asasi manusia”.
Tapi di Ramallah, seorang ibu mencatat daftar anak-anak yang ditangkap.
Sejak dua tahun terakhir, lebih dari 20.000 warga Palestina ditahan — termasuk 1.600 anak-anak.

Mahkamah Internasional bisa menyebut “pendudukan ini ilegal”,
PBB bisa menyerukan “penghentian permukiman”,
namun di tanah yang retak oleh roda buldoser, hukum internasional tidak berwujud apa-apa.

Keadilan berhenti di atas kertas; keteguhan hidup di bawah akar.


---

Epilog: Akar yang Mengingat

Di desa Abu Falah, seorang anak menatap tanah kering tempat kakeknya dulu menanam zaitun.
Ia bertanya, “Kapan pohon kita tumbuh lagi, Kek?”
Sang kakek menjawab, “Saat dunia berhenti memanggil penjajahan ini dengan nama perdamaian.”

Itulah inti keteguhan Tepi Barat: mereka tidak menunggu keadilan datang, mereka menanamnya.
Setiap pohon adalah doa yang tumbuh perlahan,
setiap akar adalah ingatan yang menolak mati,
dan setiap buah adalah bukti bahwa kehidupan tak bisa sepenuhnya dijajah.

Israel mungkin berhasil mencabut pohon-pohon zaitun,
tapi tidak akan pernah bisa mencabut akar cinta dari tanah yang telah menyerap darah dan doa begitu lama.

Karena di Tepi Barat, bahkan tanah yang terbakar masih punya kehendak untuk menumbuhkan hijau.
Dan dari kehendak itulah lahir bangsa — bangsa yang menanam di bawah bayang-bayang senjata,
namun tetap memandang langit dengan tangan yang berlumur tanah, sambil berkata pelan:
“Kami masih di sini.”

Perlawanan Gaza Menggagalkan Tujuan Militer Israel — dan Dapatkah Mendorong Arab Lebih Berani terhadap Israel? Prolog – Ketika R...


Perlawanan Gaza Menggagalkan Tujuan Militer Israel — dan Dapatkah Mendorong Arab Lebih Berani terhadap Israel?



Prolog – Ketika Rencana Besar Bertemu Realitas

“Jika kemenangan diukur dengan jumlah tank dan bom, maka mengapa mereka belum menang?” tanya seorang pemuda Palestina kepada temannya di Gaza, di sela puing-puing dan suara sirene malam.
Temannya menjawab dengan lirih, “Karena ini bukan sekadar perang senjata — ini perang makna, akar, dan masa depan.”

Sementara dunia menyimak bagaimana kekuatan militer terbesar menunjukkan dominasinya, satu bagian dari konflik — di Gaza Strip — bertahan secara tak terduga. Meskipun mengalami kehancuran besar, faksi perlawanan berhasil menggagalkan sebagian besar tujuan militer Israel, bahkan membuat sebagian besar warga Israel percaya bahwa tujuan perang belum tercapai. 

Apa yang terjadi di Gaza? Dan lebih jauh: bagaimana kegagalan militer ini bisa memberi ruang bagi negara-Arab untuk bertindak lebih berani terhadap Israel? Mari kita telusuri dalam empat pilar: tiga faktor internal perlawanan Gaza, dan satu elemen eksternal yang memperkuat mereka — kemudian hubungkan dengan strategi Arab.


---

Faktor Internal 1 — Ideologi dan Doktrin yang Teguh

Menurut pengamat seperti Ahmad Abdul Rahman, doktrin tempur faksi perlawanan di Gaza sangat jelas: musuh utama adalah entitas Zionis, dan jalan maju hanya melalui kekuatan senjata, bukan kompromi.

Doktrin ini memunculkan tiga elemen yang saling menguatkan:

Musuh tunggal yang ditetapkan secara dogmatik, menjadikan moral perlawanan sangat kuat.

Penolakan kompromi sebagai pilihan utama, yang menolak jalan diplomasi sebagai pengganti perlawanan.

Konsistensi dan kontinuitas doktrin – artinya, meskipun pemimpin tertinggi gugur, gagasan tetap hidup.


Hasilnya: pejuang-pejuang yang menghadapi tank, senapan militer supermodern, malah dengan alat sederhana tetap bertahan. Mereka tidak hanya bertahan — mereka menolak tunduk.
Dalam konflik modern yang biasanya menunjukkan kemenangan untuk pihak superior secara militer, model ini membalik skenario. Sebuah survei menunjukkan hanya 4 % rakyat Israel merasa perang Gaza telah mencapai tujuannya. 

Refleksi: dalam peperangan, kekuatan fisik bisa dikalahkan oleh keteguhan moral dan doktrinal. Ketika satu pihak yakin bahwa hidup mereka bukan untuk menyerah tapi untuk berdiri — maka bentuk kekalahan menjadi berbeda.


---

Faktor Internal 2 — Ketahanan Struktural dan Adaptasi Organisasi

Faktor berikutnya adalah struktur organisasi yang tersembunyi namun sangat solid: faksi perlawanan di Gaza memiliki jaringan hierarkis yang telah dipersiapkan lama, sehingga ketika pemimpin tertinggi tertembak, generasi kader berikutnya langsung mengambil alih tanpa lumpuh.

Contoh nyata muncul ketika Israel kemudian menarik diri dari Koridor Netzarim di Gaza — yang oleh faksi perlawanan diklaim sebagai “kegagalan tujuan perang musuh”. 
Artinya: struktur organisasi perlawanan mampu memanfaatkan momentum strategis dan menghadapi krisis tanpa runtuh.

Strategi adaptasi ini muncul dalam berbagai literatur militer. Sebuah buku oleh Niccolò Petrelli (Israel, Strategic Culture and the Conflict with Hamas) menyebut bagaimana budaya strategi Israel kesulitan menghadapi adaptasi cepat Hamas dan perlawanan Palestina. 

Refleksi: dalam konflik yang diperhitungkan dari jumlah senjata, kecepatan adaptasi dan kesinambungan organisasi bisa menjadi keunggulan yang sering diabaikan.


---

Faktor Internal 3 — Basis Rakyat dan Persatuan Nasional

Faktor ketiga adalah basis dukungan yang tidak hanya pasif, tetapi aktif: penduduk Gaza, meskipun dikepung, mengalami kondisi ekstrem dan tetap bersatu dalam satu perjuangan.
Kendati upaya pengungsian dan pemiskinan telah lama menjadi bagian dari strategi musuh, namun solidaritas di dalam komunitas Gaza semakin kuat — sehingga banyak rencana Israel terkait “pembersihan” atau “pengungsian paksa” tergagalkan.

Di sisi diplomasi Arab, negara-negara seperti Mesir, Qatar, Saudi Arabia, Yordania menyatakan secara terbuka bahwa rakyat Palestina harus tetap tinggal di tanahnya. 
Artinya: fondasi sosial perlawanan tetap berlangsung, bahkan ketika infrastruktur hancur.

Refleksi: sebuah perjuangan yang memiliki basis sosial yang dalam tidak akan mudah dikalahkan hanya dengan senjata; dia memiliki akar sejarah, budaya, dan keinginan untuk bertahan.


---

Elemen Eksternal — Dukungan Regional dan Tekanan Diplomatis

Walaupun faktor internal dominan, dukungan eksternal juga sangat penting. Negara-negara Arab dan wilayah mendengar konteks ini dan mulai merespon — baik secara diplomatis maupun lewat tekanan bersama.
Contoh: pada 10 September 2025, pemimpin UEA menyebut serangan Israel terhadap Qatar sebagai “kriminal” dan mengancam bahwa praktik Israel dapat mengganggu stabilitas regional. 
Juga, pada 21 Februari 2025, bidang diplomasi Mesir memimpin pertemuan pemimpin Arab di Riyadh yang menghadirkan isu Israel-Palestina secara aktif, menunjukkan bahwa blok Arab mulai merasa perlu bertindak kolektif. 

Dengan demikian, Israel tidak menghadapi perlawanan Gaza saja — tetapi juga sebuah lingkungan regional yang menilai bahwa dominasi Israel tidak sepenuhnya bisa diimunisasi.

Refleksi: kekuatan eksternal sering tidak tampak seperti senjata – ia adalah tekanan politik, legitimasi moral, dan perubahan persepsi — namun bisa menjadi pembuka jalan untuk perubahan strategi yang lebih luas.


---

Mengapa Tujuan Militer Israel Tersandung?

Berdasarkan empat faktor di atas, ada beberapa alasan mengapa Israel gagal mencapai tujuannya secara strategis:

Tujuan perang Israel (mem-bongkar kapasitas Hamas, memulihkan keamanan mutlak, mengganti rezim kekuasaan di Gaza) tidak tercapai. Persentase kecil warga Israel yang mengklaim tujuan tercapai menunjukkan bahwa persepsi internal Israel adalah kegagalan. 

Strategi Israel terlalu mengandalkan alat konvensional yang tak tepat untuk medan gerilya dan urban seperti Gaza — tank, serangan udara besar, blokade — namun struktur perlawanan adaptif, tersembunyi, dan terintegrasi ke masyarakat.

Diplomasi dan moral global menggeser posisi Israel dari “penyerang tak terbantahkan” menjadi “penguasa yang diperhitungkan”. Hal ini mengurangi ruang manuver Israel dan meningkatkan biaya politiknya.

Regionalisasi konflik: ketika negara Arab mulai mengambil sikap lebih tegas (meskipun tidak langsung militer), Israel harus mempertimbangkan front yang lebih luas dan konsekuensi kebijakan militer jangka panjang.


---

Apakah Kegagalan Israel Memberi Arab Nyali Lebih Besar?

Jawabannya: Ya — dengan beberapa syarat.

A. Arab kini memiliki argumen moral dan strategis yang semakin kuat

Ketika perlawanan kecil (Gaza) mampu menahan kekuatan besar, maka narasi bahwa Israel tidak bisa menang sendirian menjadi nyata. Negara-Arab dapat menggunakan momentum ini untuk menegosiasikan syarat yang lebih kuat: penghentian aneksasi, pengakuan negara Palestina, atau dukungan internasional yang lebih tegas.
Contoh konkret: negara Arab yang turut mengecam Israel secara terbuka — seperti Saudi Arabia menuntut penghentian agresi di Gaza dan Lebanon. 

B. Negara Arab menunjukkan langkah kolektif yang lebih nyata

Pada summit Bahrain Mei 2024, blok Arab menyetujui posisi bersama: penarikan Israel, penyelesaian dua negara, dan misi penjaga perdamaian PBB. 
Ini menunjukkan bahwa negara Arab mulai keluar dari posisi pasif menjadi lebih proaktif.

C. Arab bisa memperkuat diplomasi mereka terhadap Israel

Kegagalan Israel membuka peluang diplomasi yang lebih seimbang: Arab tak hanya menerima tawaran Israel, tapi bisa menuntut perubahan konkret sebagai prasyarat normalisasi atau kerja sama.
Contoh: negara Arab menolak proposal untuk memindahkan populasi Palestina sebagai bagian dari rekonstruksi Gaza. Mereka meminta agar warga tetap di tanah mereka. 


---

Tantangan yang Masih Besar

Namun, keberanian Arab bukan tanpa risiko dan batasan:

Banyak negara Arab telah melakukan normalisasi dengan Israel, yang menimbulkan tekanan internal jika mereka tiba-tiba mengambil sikap keras.

Konflik militer masih sangat asimetris – Arab bukan dalam posisi militer langsung melawan Israel tanpa konsekuensi besar.

Stabilitas internal masing-masing negara Arab (ekonomi, politik) membuat mereka berhati-hati dalam tindakan yang terlalu agresif ke Israel.

Israel tetap memiliki dukungan besar dari sekutu global seperti Amerika Serikat, yang menjadi faktor pembatas bagi tindakan militer langsung dari Arab.


---

Kesimpulan Reflektif

Kegagalan strategi militer Israel di Gaza bukan hanya kegagalan di medan perang — ia adalah kegagalan moral, strategi, dan politis. Di satu sisi, perlawanan Gaza membuktikan bahwa narasi besar dan kekuatan besar tak selalu menjamin hasil besar. Di sisi lain, kegagalan ini menciptakan peluang baru — peluang bagi negara-negara Arab untuk menegosiasikan posisi mereka bukan sebagai pihak yang dilayani oleh Israel, tetapi sebagai pihak yang memiliki tarik-ulur sendiri.

Refleksi akhir:

Ketika sebuah kekuatan raksasa gagal di satu medan yang tampak lebih lemah, maka yang tampak lemah menjadi simbol kekuatan.
Dan ketika simbol itu tumbuh, maka yang tadinya dominan harus memilih: menerima status quo yang berubah, atau menghadapi gelombang keberanian yang bangkit.

Seorang diplomat Arab pernah berkata selepas pertemuan di Riyadh: “Kami tidak lagi ingin menjadi penonton sejarah; kami ingin menulis bagian kami sendiri.”
Dan ketika negara-negara Arab mulai menulis bagian mereka sendiri, maka panggung Timur Tengah pun berubah bukan hanya karena senjata, tetapi karena keputusan politik, kepada siapa manusia memberikan legitimasi, dan siapa yang akhirnya dianggap sebagai pemenang moral.

Tindakan, Propaganda Israel dan  Akibatnya bagi Dirinya Sendiri  “Barang siapa menanam darah dan air mata kaum tertindas, maka k...


Tindakan, Propaganda Israel dan  Akibatnya bagi Dirinya Sendiri


 “Barang siapa menanam darah dan air mata kaum tertindas, maka kelak ia akan menuai kehancuran yang nyata.”
— Renungan atas konflik Palestina-Israel


Ketika Bangunan Megah Menjadi Tanda Kehancuran

Di hadapan mata dunia, Israel membangun menara tinggi. Tapi bukan batu bata yang menjulang ke langit, melainkan sistem militer, pemukiman, blokade, propaganda. Seperti ­­Firaun zaman kuno yang berkata kepada Hāmān: “Bangunkanlah sebuah istana tinggi, agar aku sampai ke pintu-pintu langit.” (QS. 40:36) Israel modern pun tampak berkata: “Bangunkanlah menara keamanan dan superioritas, agar dunia menyerah pada posisiku.”

Namun kisah tempo dulu mengingatkan: menara kesombongan itu akhirnya runtuh — bukan oleh musuh yang kuat, tapi oleh kekuatan moral yang teguh. Begitulah narasi ini ingin membuka: bukan sekadar perincian politik, tetapi refleksi spiritual dan historis yang menuntun kita menatap lebih jauh dari puing-puing… ke akar kejadian.


---

Indah menurut Israel, Buruk menurut Dunia

Israel melakukan banyak tindakan yang dari sudut pandangnya adalah langkah sah, benar, dan bahkan mulia — namun dari kaca dunia global muncul penilaian berbeda, yang sering menyebutnya sebagai pelanggaran, kezaliman, atau tragedi.

1. Pengeboman “Presisi” terhadap sasaran militan

Versi Israel: “Operasi presisi menumpas terorisme, melindungi warga negara.”

Versi Dunia: Ribuan warga sipil tewas, rumah sakit hancur, anak-anak menjadi korban.
Analisis: Israel percaya teknologi superior akan menjamin moralitasnya. Dunia melihat bahwa keunggulan senjata tanpa kontrol moral mudah berubah menjadi pembantaian.


2. Blokade Gaza atas nama “keamanan nasional”

Versi Israel: “Kami melindungi diri dari ancaman terus-menerus dari Gaza.”

Versi Dunia: Dua juta warga hidup bagaikan di dalam penjara terbuka: listrik terbatas, air bersih langka, akses humaniter sulit.

Analisis: Sistem tahanan masif ini menimbulkan efek korban besar — bukan hanya materiil, tapi kemanusiaan yang rusak.


3. Pembangunan pemukiman di Tepi Barat

Versi Israel: “Hak historis bangsa Yahudi atas tanah leluhur.”

Versi Dunia: Pemukiman dianggap sebagai bentuk kolonialisasi modern yang melanggar hukum internasional.

Referensi: Ilan Pappé dalam The Idea of Israel menggambarkan bagaimana narasi Zionis mengkonstruksi pemukiman sebagai keharusan ideologis. 


4. Normalisasi dengan negara-Arab

Versi Israel: “Langkah diplomatis menuju perdamaian.”

Versi Dunia: Diplomasi yang dilakukan tanpa perbaikan hak Palestina cenderung dianggap sebagai upaya membungkam keadilan.

Analisis: Normalisasi tanpa perubahan nyata di lapangan adalah kesepakatan transaksi politik—karena korban tetap diabaikan.


5. Penggunaan kecerdasan buatan dan pengawasan biometrik

Versi Israel: “Inovasi keamanan untuk mencegah teror dan melindungi warga.”

Versi Dunia: Digambarkan sebagai “apartheid digital”—wajah dan gerak warga Palestina terrekam seperti objek bukan manusia.

Analisis: Teknologi bisa menjadi alat pembebasan atau penindasan—tergantung siapa yang mengendalikannya.


6. Serangan terhadap lembaga kemanusiaan

Versi Israel: “Badan-badan kemanusiaan ditunggangi oleh Hamas.”

Versi Dunia: Serangan terhadap dokter, rumah sakit, PBB menjadi bukti pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.

Referensi Berita: Vatikan menyebut kampanye Israel sebagai “pembantaian yang sedang berlangsung.” 


7. Penghancuran sekolah dan universitas di Gaza

Versi Israel: “Tempat persembunyian militan.”

Versi Dunia: Upaya mematikan masa depan bangsa—membunuh ilmu dan pendidikan demi dominasi.

Refleksi: Pendidikan adalah akar harapan; menghancurkannya berarti memutus generasi.


8. Kampanye media global dan propaganda

Versi Israel: “Perjuangan naratif untuk melawan disinformasi.”

Versi Dunia: Manipulasi wacana, sensor suara korban, dan normalisasi penindasan melalui budaya pop.

Analisis: Narasi adalah medan perang yang tak kalah penting daripada bom—merekalah yang menguasai persepsi dunia.


9. Penggunaan agama sebagai legitimasi perang

Versi Israel: “Tanah ini janji Tuhan kepada bangsa Yahudi.”

Versi Dunia: Memanfaatkan teks suci untuk menjustifikasi penindasan kaum tak berdaya.

Refleksi: Ketika agama dipakai sebagai senjata, maka bukan iman yang tumbuh—melainkan kesesatan yang diperkaya.


10. Menyebut perlawanan rakyat sebagai “terorisme”

Versi Israel: “Hamas dan siapa pun yang menentang kami adalah teroris.”

Versi Dunia: Provokasi pembenaran kekerasan negara terhadap bangsa yang dijajah.

Analisis: Labelisasi ekstrem ini memutarbalikkan subjek dan objek, menjadikan korban sebagai pelaku—itulah manipulasinya.


---

Refleksi Penutup bagian I:
Israel berdiri di tempat yang sama dengan Fir‘aun zaman dulu:

“Bangunkanlah menara tinggi agar aku bisa melihat Tuhan Musa.”

Semula tampak kuat, namun titik lemahnya adalah ketika menara itu ternyata dibangun di atas kesombongan dan penolakan kebenaran.


---

Tertutup dari Jalan yang Benar

Kita masuki tahap kedua: bukan hanya tindakan spesifik, tetapi tanda-tanda struktural bahwa Israel jalan tertutup. Tanda-tanda ini merujuk pada moral dan spiritual yang bersinggungan dengan konflik.


1. Kekuasaan dijadikan pengganti kebenaran

Israel percaya kemenangan akan meneguhkan kebenaran. Namun sejarah menunjukkan: kekuatan tanpa kebenaran justru kutukan.

Referensi: Samer Jaber menulis bahwa Israel kini menghadapi “kegagalan strategis” karena tidak mengakui hak orang lain. 


2. Keadilan hanya berlaku untuk diri sendiri

Hukum diskriminasi antara warga dan non-warga menunjukkan bahwa keadilan telah dipakai sebagai alat supremasi.

Referensi kitab: Zionist Israel and Apartheid South Africa oleh Amneh Badran mengeksplorasi persamaan sistem Israel dengan apartheid. 


3. Kebenaran dibelokkan melalui propaganda

Ketika pendudukan disebut pembelaan, dan korban disebut ancaman—itu narasi yang memutar balik moral.

Referensi empiris: analisis delegitimasi Israel dalam pidato Knesset meningkat. 


4. Agama dijadikan legitimasi kekuasaan

Mengklaim janji Tuhan tanpa menegakkan keadilan berarti memanfaatkan agama sebagai senjata.

Refleksi: Tahapan ini menunjukkan spiritualitas yang sudah rusak—agama dijual sebagai justifikasi bukan jalan damai.


5. Palestina digenosida, bukan  solusi dua negara 

Ketakutan kolektif membuat bangsa menjadi tertutup terhadap dialog dan kemanusiaan.

Ref: Survei Pew Research menunjukkan pandangan negatif terhadap Israel meningkat secara global. 


6. Hati menolak melihat luka yang mereka sebabkan

Penyesalan tanpa perubahan adalah kosmetik dosa. Bila tindakan kasihan tak diikuti aksi keadilan—itu hati yang tertutup.


7. Menolak mengakui keberadaan pihak yang mereka lukai

Misalnya, penolakan menyebut “Palestina” dan menghapus identitas — inilah tanda moral yang rusak.

Ref.: Sidang ICJ mendengar tuduhan Israel menciptakan sistem apartheid. 


8. Dunia mulai berbalik, tapi mereka tetap melangkah

Suara global telah berubah dari sekadar kecaman menjadi tindakan → Israel tetap melanjutkan operasi.

Ref.: Artikel Washington Post menyebut Israel “berpotensi menjadi paria global”. 


9. Mereka mengira bisa menundukkan langit

Sistem pengawalan, blokade, pemukiman: semua mengekspresikan ilusi kontrol penuh atas sejarah dan manusia. Ketika alam dan peradaban menunjukkan batasnya—itulah kesombongan yang diganjar kehancuran.


10. Mereka tak lagi mampu memahami doa

Anak Gaza berdoa, dunia mendengarkan. Israel menertawakan doa itu sebagai khayalan. Hari ini perlawanan bukan hanya senjata — itu doa dan keberadaan yang tak bisa dihancurkan.


---

Refleksi Penutup bagian II:
Tanda-tanda di atas adalah pengukuran bukan dari peluru, melainkan dari nurani. Ketika sebuah bangsa tertutup dari jalan yang benar, maka bukan hanya kesalahan strategis yang muncul — tetapi kesalahan ontologis: identitasnya sebagai umat yang hidup bukan menindas.


---

Semua yang Dilakukan Hanya Menambah Kerugian

Tahap ketiga: melihat bagaimana tindakan tersebut bukan hanya salah moral atau strategis — tetapi mendatangkan kerugian besar bagi Israel sendiri, dalam empat dimensi: moral, politik-diplomatik, militer-strategis, dan eksistensial.

1. Menang secara militer, kalah secara moral

Mereka menghancurkan banyak — tetapi kehilangan legitimasi moral dunia.

Ref.: Eks intelijen Israel Amos Yadlin menyebut bahwa “legitimasi Israel berada di titik terendah”. 


2. Menguasai tanah, kehilangan legitimasi

Pemukiman berekspansi → reputasi internasional menurun, hukuman politik meningkat.


3. Mengontrol narasi, tapi kalah di hati generasi

Algoritma mungkin mereka kuasai — tapi video anak-anak Gaza tersebar dan menggerakkan dunia.


4. Mengandalkan AS, kehilangan dunia

Ketergantungan militer-politik membuat Israel rentan jika dukungan Barat berubah.
Ref.: Jaber menulis bahwa dominasi Barat membuat Israel jadi “koloni strategis” yang tak berdaulat. 


5. Menutup Gaza, tapi membuka luka sendiri

Blokade menyebabkan trauma jangka panjang yang justru memperkuat perlawanan—bukan meredamnya.


6. Membungkam kritik, tapi melahirkan penentangan

Isolasi intelektual dan budaya muncul: boikot budaya meningkat. 


7. Menyalahgunakan sejarah, kehilangan masa depan

Menggunakan Holocaust sebagai pembenaran baru mengundang kritik generasi muda Yahudi dan non-Yahudi.


8. Menghancurkan Gaza, tapi menghancurkan dirinya sendiri

Bom-bom besar menimbulkan konsekuensi global: ancaman sanksi, reputasi runtuh. 


9. Menganggap dunia buta, tapi kini dunia melek

Survei Pew menunjukkan keyakinan Israel dipandang negatif dalam banyak negara. 


10. Mengira mereka dipilih, padahal tersesat

Ketika identitas “umat pilihan” berubah menjadi identitas “penindas”, maka bukan hanya eksistensi yang dipertanyakan—butuh taubat dan transformasi.


---

Refleksi Penutup bagian III:
Kerugian yang paling parah bukanlah tanah yang hilang, atau rumah yang runtuh. Kerugian yang paling dahsyat adalah jiwa yang hilang, suara yang tertutup, dan sejarah yang terputus. Israel hari ini mungkin memiliki uang, senjata, dan aliansi kuat. Tapi semua itu bisa hilang jika nilai-dasar dan legitimasi moral ikut hilang.


---

Epilog — Menara yang Runtuh dan Harapan yang Tumbuh

Seperti Fir‘aun yang akhirnya tenggelam di laut setelah menyeberang sambil bermegah, kesombongan besar pun bisa mahal harganya.
“Menara” Israel — dalam bentuk militer, teknologi, atau pemukiman — bukanlah alas untuk bertemu langit, melainkan jeruji yang menahan kemanusiaan di dalamnya.

Namun, di antara reruntuhan Gaza dan lembah Tepi Barat, tumbuh pohon zaitun baru. Di atas tanah yang diinjak, generasi baru menanam harapan — bukan hanya dengan senjata, tetapi dengan doa, kebebasan, dan penegakan keadilan.

Dan di sana terletak sinyal optimis bagi dunia Arab dan seluruh umat manusia: kesadaran bahwa kekuatan militer bukanlah penentu akhir dari kebenaran; keadilanlah yang akan bertahan.

“Kebenaran itu seperti air — ia selalu menemukan jalan ke permukaan, walau ditutup batu ribuan tahun.”

Semoga esai ini membuka ruang refleksi — bukan untuk menghitam-putihkan mana pihak, tetapi untuk memilah mana tindakan yang mengangkat martabat manusia dan mana yang menjatuhkannya. Karena sejatinya, hanya keadilan dan kemanusiaan yang akan menjaga sebuah bangsa tetap tegak, bukan menara beton atau kamar kontrol militer.

Sejarah Indonesia Perangi Israel Melalui Olahraga  Ketika Prinsip Konstitusi Bertemu di Arena Olimpiade “Olahraga adalah bahasa ...


Sejarah Indonesia Perangi Israel Melalui Olahraga 

Ketika Prinsip Konstitusi Bertemu di Arena Olimpiade

“Olahraga adalah bahasa universal yang menyatukan manusia.”
Demikian slogan yang kerap diucapkan di panggung Olimpiade.
Namun, di Jakarta pada Oktober 2025, bahasa itu tergagap. Bukan karena medali atau skor,
tetapi karena keadilan—kata yang kerap dielu-elukan dunia, namun hanya dijalankan bila tak menyentuh Israel.


---

Panggung Baru: Jakarta dan Surat Teguran dari Lausanne

Pertengahan Oktober 2025. Indonesia tengah bersiap menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia Senam Artistik ke-53 di Indonesia Arena, Senayan. Namun, enam nama pesenam Israel yang terdaftar tak menerima visa. Pemerintah menolak kehadiran mereka, dengan pertimbangan keamanan nasional, ketertiban umum, dan sensitivitas politik akibat agresi Israel di Gaza.

Langkah itu sontak menuai reaksi keras dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) di Lausanne, Swiss. Dalam rapat Dewan Eksekutifnya (22/10/2025), IOC mengambil empat keputusan:

1. Menutup dialog dengan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) terkait tawaran tuan rumah Olimpiade 2036.

2. Merekomendasikan semua federasi internasional tidak menggelar event di Indonesia hingga ada jaminan tertulis bahwa semua atlet—tanpa kecuali kewarganegaraan—diperbolehkan masuk.

3. Menegaskan prinsip kualifikasi Olimpiade yang menuntut “akses bebas tanpa diskriminasi.”

4. Memanggil KOI dan Federasi Senam Internasional (FIG) ke Lausanne untuk membahas situasi ini.


Dari ibukota Swiss, surat teguran itu meluncur cepat ke Jakarta.
Namun Indonesia tak gentar.


---

Suara Konstitusi dari Senayan

Di hadapan wartawan, Menteri Pemuda dan Olahraga Erick Thohir berbicara tenang.
“Kami di Kemenpora berpegang pada prinsip untuk menjaga keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik dalam setiap penyelenggaraan event internasional,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa keputusan pemerintah berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya amanat untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia dan menghormati keamanan nasional.
“Prinsip ini juga berdasarkan UUD 1945 yang menghormati keamanan dan ketertiban umum, serta kewajiban Pemerintah Negara Indonesia untuk melaksanakan ketertiban dunia,” kata Erick.

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi dalamnya melampaui sekadar diplomasi olahraga.
Indonesia sedang mengingatkan dunia bahwa tidak semua “netralitas” berarti adil, dan tidak semua “aturan global” selaras dengan nurani bangsa.


---

Kursi Kosong di Arena Senam

19 Oktober 2025. Hari pertama kejuaraan.
Lampu sorot menyala di atas matras. Kamera televisi bergulir, penonton bertepuk tangan.
Namun ada satu barisan yang kosong—kursi yang seharusnya ditempati atlet Israel.
Kosong bukan karena lupa, tapi karena sikap.

Ketua Panitia, Ita Yuliati Irawan, menyampaikan dengan lega:
“Saya pastikan pesenam Israel tidak akan ambil bagian. FIG sudah berkomunikasi dan mendukung keputusan Indonesia.”
Baginya, keputusan ini bukan bentuk perlawanan terhadap olahraga, tapi penghormatan terhadap hati nurani publik Indonesia yang terus menatap Gaza dengan air mata dan doa.

Dari Gaza, dunia melihat tenda-tenda pengungsi yang sobek diterpa angin musim gugur.
Di Jakarta, Indonesia menjawab dengan tindakan simbolik: menutup pintu bagi penjajah, membuka arena bagi yang tertindas.


---

Sejarah Panjang: Indonesia Tidak Pernah Takut

Sikap ini bukan baru. Dalam sejarah olahraga, Indonesia berulang kali menolak berhadapan dengan Israel, bahkan ketika konsekuensinya berat.

1962, Presiden Soekarno menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan dalam Asian Games Jakarta, menegaskan bahwa “Asian Games adalah untuk Asia yang merdeka dari kolonialisme.”

1974, di Tehran, Indonesia bersama sejumlah negara Muslim menarik diri dari kompetisi ketika tim Israel diizinkan bertanding.

2023, Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 FIFA setelah menolak kedatangan tim Israel.

Dan kini, 2025, Indonesia kembali menolak visa untuk atlet Israel.


Bagi bangsa ini, olahraga tidak pernah steril dari moral.
Olimpiade bukan sekadar lomba otot, melainkan cermin nurani dunia.
Dan Indonesia memilih untuk tidak mencerminkan ketidakadilan.


---

Dunia yang Membelah Diri

Indonesia tidak sendiri.
Sejumlah negara lain juga menunjukkan sikap serupa, meski dalam bentuk berbeda.

Yordania menolak bermain melawan Israel di FIBA U-19 World Cup 2025 di Swiss, memutuskan mundur sebagai bentuk protes atas serangan di Gaza (Reuters, 30 Juni 2025).

Kuwait, sejak 2010-an, melarang warganya menghadapi atlet Israel di kompetisi internasional mana pun.

Aljazair dan Iran berulang kali menarik atletnya dari pertandingan melawan Israel dalam kejuaraan judo dan catur, meski harus menerima sanksi.

Libanon pada 2024 menolak visa bagi peserta Israel dalam festival film internasional, menegaskan konsistensi solidaritas politik.


Dunia tampak terbelah: sebagian memegang ideal “universalitas olahraga”, sebagian lagi memilih ideal “moralitas kemanusiaan.”
Dan di antara dua ideal itu, Indonesia memilih yang kedua.


---

IOC: Di Antara Aturan dan Keadilan

IOC berdalih: “Semua atlet harus memiliki akses yang sama untuk berkompetisi di ajang olahraga internasional. Itu prinsip dasar Olimpiade.”
Prinsip yang indah di atas kertas, tapi sering diam saat pelanggaran HAM terbesar dilakukan oleh negara yang kini mereka bela.
Di Gaza, ribuan anak terbunuh, rumah sakit dibom, dan stadion-stadion menjadi reruntuhan.
Namun IOC tak pernah mengeluarkan teguran yang setara terhadap Israel.

Maka, pertanyaan moral muncul:
Apakah “non-diskriminasi” yang dibela IOC juga berlaku bagi mereka yang tak lagi punya rumah?
Apakah “akses universal” hanya diperjuangkan bagi paspor tertentu?

Ketika dunia olahraga memaksakan netralitas di atas penderitaan, Indonesia memilih berpihak.
Dan berpihak, dalam konteks ini, bukan pelanggaran—melainkan keberanian untuk tetap manusiawi.


---

Dialog Imajinatif: Erick dan Seorang Atlet Muda

Bayangkan percakapan sederhana di ruang ganti Indonesia Arena.

“Pak Menteri,” tanya seorang atlet muda, “kenapa kita dituduh menentang semangat Olimpiade?”

Erick tersenyum tipis. “Nak, Olimpiade itu tentang kemanusiaan. Tapi ketika kemanusiaan disembunyikan di balik bendera, kita perlu mengingat siapa kita.”

“Tapi, Pak, dunia mungkin akan menghukum kita.”

“Tak apa. Bangsa ini pernah dihukum karena menolak kolonialisme. Hukuman semacam itu bukan aib—itu kehormatan.”

Percakapan itu mungkin tak pernah benar-benar terjadi,
tetapi semangatnya nyata di dada jutaan rakyat Indonesia yang menonton berita malam itu.


---

Dari Senayan ke Gaza — Bayangan yang Menyatu

Ketika IOC mengirim teguran, televisi menayangkan gambar anak Gaza berlari di antara puing.
Dunia melihat dua peristiwa yang seolah tak berkaitan, namun sebenarnya terhubung oleh satu kata: martabat.

Di satu sisi, Jakarta menolak visa demi prinsip.
Di sisi lain, Gaza kehilangan segalanya karena dunia membisu.

Maka, tindakan Indonesia menjadi gema kecil yang menyapa nurani global:

“Kalau dunia tidak mau menghentikan penindasan, maka biarlah kami berhenti berpura-pura netral.”


---

Refleksi: Ujian bagi Dunia, Bukan bagi Indonesia

Keputusan Indonesia menolak atlet Israel bukan hanya ujian bagi diplomasi kita, tetapi juga bagi dunia—apakah dunia masih mengenal makna keadilan yang utuh.
Bagi Indonesia, ujian ini telah dijawab sejak 1945: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan penjajahan harus dihapuskan.

Maka ketika IOC menegur Indonesia karena menegakkan prinsip itu, sejarah seolah berputar kembali—seperti ketika kolonialisme dulu menuduh para pejuang kita “melanggar hukum internasional.”
Namun dari situlah Indonesia belajar: tidak semua aturan dibuat untuk kebenaran.


---

Epilog — Ketika Dunia Memilih Diam

Seorang wartawan asing bertanya di konferensi pers:

 “Apakah Indonesia tidak khawatir kehilangan peluang menjadi tuan rumah Olimpiade?”

Erick Thohir menjawab singkat, “Kami tidak khawatir. Karena kami tahu apa yang kami bela.”

Jawaban itu menutup polemik, tapi membuka bab baru dalam sejarah moral bangsa.
Indonesia sekali lagi menunjukkan bahwa politik luar negeri yang bebas-aktif bukan jargon kosong, melainkan napas yang hidup—dari diplomasi hingga olahraga.

Dan ketika dunia terbelah antara pragmatisme dan nurani, Indonesia memilih berdiri di sisi nurani.
Tidak untuk menang, tetapi untuk tidak kalah di hadapan hati sendiri.


---

Penutup:

Jakarta mungkin kehilangan kesempatan menjadi tuan rumah Olimpiade.
Namun ia memenangkan sesuatu yang lebih besar dari medali—
yakni kehormatan untuk tetap berpihak pada kebenaran,
di dunia yang kian memutihkan kesalahan dengan kata “netralitas.”

Karena sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.”
(QS. Hūd: 113)

Dan Indonesia, dengan segala resiko, telah memilih untuk tidak cenderung.

CyberWell Israel Resah dengan  Tagar "Saya Penyintas Holocaust Gaza” "Sejarah tidak pernah mati. Ia hanya mengganti wa...




CyberWell Israel Resah dengan 
Tagar "Saya Penyintas Holocaust Gaza”

"Sejarah tidak pernah mati. Ia hanya mengganti wajahnya, mengganti medianya, mengganti siapa yang menjadi korban dan siapa yang menulisnya."


---

Lidah Luka yang Menciptakan Kata Baru

Di zaman ini, manusia tidak lagi menulis sejarah dengan pena, tetapi dengan tagar. Dan di antara jutaan kata yang melintas di dunia digital pasca-pengeboman Gaza, lahirlah sebuah frasa yang mengguncang kesadaran moral dunia:
“Saya selamat dari Holocaust Gaza.”

Kata itu menyebar bukan dari ruang akademik, bukan dari dokumen sejarah, tetapi dari reruntuhan rumah, dari jari-jari anak muda Gaza yang masih berdebu, dari wajah perempuan yang kehilangan seluruh keluarganya.
Mereka bukan sejarawan. Mereka saksi hidup.
Dan dunia mulai mendengar.

Organisasi CyberWell, sebuah lembaga pemantau antisemitisme daring di Israel, menyebut tren ini sebagai “eksploitasi sinis terhadap memori Holocaust.” Mereka memperingatkan bahwa istilah seperti “Gaza Holocaust survivor” atau “I am the real Holocaust survivor” adalah bentuk distorsi sejarah yang berbahaya — karena, kata mereka, menyamakan penderitaan warga Gaza dengan Holocaust berarti merendahkan tragedi Yahudi di Eropa.

Namun dunia lain membaca berbeda.
Mereka melihat bukan penyangkalan, tetapi pembalikan cermin moral: bahwa kejahatan yang dulu menimpa kaum Yahudi kini sedang diulang oleh negara yang didirikan atas nama penderitaan itu sendiri.


---

Ketika Ingatan Bertabrakan

Sejak gencatan senjata diumumkan, CyberWell melaporkan lonjakan 42 persen unggahan di X (Twitter) yang menggunakan istilah “Gaza Holocaust.”
Lebih dari 525.000 unggahan, menjangkau lebih dari 500 juta pengguna di seluruh dunia.
Ada video remaja yang menatap kamera dengan mata merah dan berkata pelan,

“Saya penyintas Holocaust Gaza.”

Ada juga yang menulis di bawah foto reruntuhan:

“Kalian dulu berkata: ‘Never again.’ Tapi lihatlah — it happens again.”

Dan tiba-tiba, ruang digital berubah menjadi gelanggang perang memori:

Israel menuduh dunia menyamakan korban dengan pelaku.

Dunia menuduh Israel mengkhianati makna kemanusiaan yang pernah menebus mereka dari sejarah.

Media Israel seperti Ynet dan Times of Israel menulis bahwa istilah “Holocaust Gaza” adalah bentuk antisemitisme baru.
Namun di sisi lain, media seperti Al Jazeera, Middle East Eye, The Guardian, Le Monde, bahkan Haaretz sendiri — memuat opini yang lebih gelap:

“Ketika Israel mengebom kamp pengungsi, menutup air dan listrik, memblokir bantuan kemanusiaan — bukankah dunia sedang menyaksikan bentuk lain dari dehumanisasi yang dulu disebut Holocaust?”


---

Dua Dunia yang Tidak Lagi Bicara dengan Bahasa yang Sama

Israel berbicara dengan bahasa trauma masa lalu.
Gaza berbicara dengan bahasa luka masa kini.

Yang satu berkata, “Kami korban sejarah.”
Yang lain menjawab, “Kami korban dari korban sejarah.”

Dunia pun terbelah antara dua moralitas:
Moralitas yang mengingat masa lalu — dan moralitas yang menolak menutup mata hari ini.

Bagi Israel, menyamakan penderitaan Gaza dengan Holocaust adalah dosa historis.
Bagi dunia, membungkam penderitaan Gaza dengan alasan Holocaust adalah dosa moral.

Di sinilah keanehan zaman digital bekerja.
Sejarah tak lagi tinggal di buku-buku, tapi di feed media sosial.
Di sana, algoritma menjadi juru tafsir.
Ia memilih mana kisah yang harus naik ke puncak trending, dan mana yang harus tenggelam di antara berita hiburan.
Dan untuk pertama kalinya, Gaza menang dalam perang naratif — karena kebenaran kini punya kamera sendiri.


---

Dunia yang Menyaksikan Dua Jenis Holocaust

Ketika kata Holocaust dulu disebut, manusia terdiam.
Itu kata suci. Kata yang tak boleh disamakan dengan apapun.
Namun generasi baru tumbuh dengan citra yang berbeda.
Mereka melihat anak-anak Gaza yang terbakar, bukan di museum, tapi di timeline mereka sendiri.
Mereka melihat ibu-ibu memeluk tubuh anak yang hancur di bawah puing, bukan di film dokumenter, tapi di live stream.

Seorang pengguna X dari Jakarta menulis:

 “Kami tidak menyangkal Holocaust. Kami hanya mengatakan: manusia tidak belajar apa-apa darinya.”

Di TikTok, video bertagar #GazaHolocaust melampaui 300 juta penayangan.
Di Instagram, story dengan tulisan “Never again — for anyone” menjadi simbol solidaritas lintas bangsa.
Dan di antara itu semua, muncul ribuan komentar dari Eropa, Amerika Latin, hingga Afrika:

 “Holocaust tidak mati. Ia berpindah alamat.”


---

Perlawanan dari Bahasa

Setiap kekuasaan takut pada satu hal: bahasa.
Karena ketika rakyat memberi nama pada penderitaan mereka, maka kekuasaan kehilangan kendali atas makna.

Israel berabad-abad melindungi istilah Holocaust sebagai simbol moral tertinggi: penderitaan yang tak boleh dibandingkan.
Namun kini, Gaza merebutnya — bukan untuk menandingi, tetapi untuk menuntut ruang moral yang sama.
Bahwa air mata anak-anak Palestina tidak kurang kudus daripada air mata anak-anak Eropa tahun 1945.

Inilah perang simbol yang sebenarnya:
Ketika kata-kata menjadi medan pertempuran baru, dan dunia bertarung untuk menentukan siapa yang berhak menyebut diri korban.


---

Narasi yang Retak: Ketika Korban Menjadi Penindas

Hannah Arendt, filsuf Yahudi yang melarikan diri dari Nazi, pernah menulis tentang “banalitas kejahatan” — bahwa kejahatan terbesar sering dilakukan bukan oleh monster, tetapi oleh manusia biasa yang berhenti berpikir.
Kata-kata itu kini menggema dari Gaza:
tentara yang menekan tombol drone, politisi yang memerintahkan blokade, juru bicara yang menyebut 30.000 kematian sebagai “collateral damage”.

Sementara itu, Elie Wiesel — penyintas Auschwitz — dulu berkata,

“Yang berlawanan dengan cinta bukan kebencian, tetapi ketidakpedulian.”

Kini ketidakpedulian itulah yang menjadi wajah baru dunia.
Ketika foto anak Gaza muncul di feed, sebagian pengguna men-scroll dengan cepat, lalu menonton video kucing setelahnya.
Begitulah cara nurani perlahan padam — bukan karena kebencian, tapi karena kebiasaan.


---

Tafsir dari Langit

Al-Qur’an mengingatkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 85:

“Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar kepada sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan bagi yang demikian di antara kamu melainkan kehinaan dalam kehidupan dunia...”

Ayat ini seolah berbicara pada zaman kita — pada bangsa yang dulu menuntut keadilan bagi dirinya, namun menolak memberikannya kepada bangsa lain.
Mereka yang menolak Holocaust terjadi pada dirinya, kini menolak melihat Holocaust yang sedang mereka lakukan.

Dan di titik inilah, sejarah tidak hanya berulang — ia menuntut balasan moral.
Karena Tuhan tidak pernah diam pada kezaliman, sekalipun ia dilakukan oleh mereka yang dahulu dizalimi.


---

 Dunia yang Mulai Berbicara

Negara-negara di Afrika Selatan, Turki, Bolivia, dan Malaysia mulai menuduh Israel melakukan genosida.
Ratusan seniman, akademisi, dan penyintas Holocaust sendiri menulis surat terbuka:

 “Sebagai penyintas sejarah, kami menolak digunakan untuk membenarkan kejahatan baru.”

Di ruang-ruang digital, muncul barisan panjang tagar sebagai bentuk doa kolektif:

#GazaHolocaust

#IAmGazaSurvivor

#CeasefireNow

#NeverAgainForAnyone

#StopGenocideInGaza

#FreePalestine


Hashtag bukan hanya slogan; ia adalah doa modern — doa yang mengetuk nurani manusia melalui layar.


---

Dunia yang Menolak Diam

Mungkin bagi sebagian, kata “Holocaust Gaza” terdengar berlebihan.
Tapi bagi yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan, itu bukan metafora — itu kenyataan.
Dan bagi dunia, istilah itu menjadi peringatan:
bahwa penderitaan manusia tidak boleh dipatenkan oleh satu bangsa saja.

Seorang remaja di Rafah menulis di dinding reruntuhan dengan arang:

“Aku bukan teroris. Aku manusia yang tidak punya tempat untuk lari.”

Dan dunia menjawab dengan bahasa baru:

 “Kami mendengarmu.”


---

Akhirnya, tentang Kemanusiaan yang Tersisa

Di antara semua retakan sejarah, masih ada satu kalimat yang menyatukan:
Never again — for anyone.
Bukan hanya bagi Yahudi, bukan hanya bagi Palestina, tapi bagi seluruh manusia yang pernah kehilangan hak untuk hidup.

Kini, ketika Israel berteriak bahwa dunia sedang menodai memori Holocaust, dunia menjawab dengan sunyi:

“Kami tidak menodai sejarahmu. Kami hanya menolak mengulanginya.”

“Holocaust Gaza” bukanlah fitnah — ia adalah cermin.
Cermin yang memantulkan wajah bangsa yang dulu menolak tunduk pada penindasan, namun kini berdiri di sisi penindas.
Dan di balik semua debat, satu hal tetap pasti:
bahasa penderitaan selalu menemukan jalannya,
sekalipun dunia berusaha membungkamnya.


---

Penutup

Mungkin dunia akan melupakan tagar, melupakan statistik, melupakan pernyataan resmi.
Namun manusia tidak akan pernah lupa kepada satu hal:
kepada siapa sejarah berpihak ketika nurani diuji.

Dan di antara reruntuhan Gaza, kalimat itu akan terus hidup — bukan sebagai lelucon, bukan sebagai propaganda, tapi sebagai perlawanan yang lahir dari nurani yang menolak mati:

“Saya selamat dari Holocaust Gaza.”

Kesimpulan Hidup Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bagaimana seseorang mengetahui bahwa jalan kehidupannya benar? Sederhana saja: perha...

Kesimpulan Hidup

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bagaimana seseorang mengetahui bahwa jalan kehidupannya benar? Sederhana saja: perhatikan apa yang diucapkannya saat sakaratul maut. Mengapa ini menjadi ukuran? Karena di saat itu, manusia berada di ambang akhir perjalanan duniawi, di titik paling murni dari kesadarannya.

“Tidak ada Tuhan selain Allah” adalah kesimpulan hidup. Ia adalah inti sari dari seluruh kehidupan, makna yang menjiwai setiap langkah, kemuliaan yang menegaskan tujuan, dan penanda sejati dari tujuan hidup itu sendiri.

Jika seseorang tidak bisa menyimpulkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dari perjalanan hidupnya, itu berarti ia telah lalai. Ia telah tersesat, menyimpang dari jalan yang benar.

Bukankah manusia telah dibimbing oleh kitab suci dan sunnah? Bukankah manusia diberi kesempatan untuk mengamati alam semesta, menafsirkan liku-liku kehidupan, dan belajar dari pengalaman serta peristiwa yang ditemuinya?

Apakah manusia memiliki peran sebagai pencipta? Apakah manusia yang menentukan garis kehidupan? Apakah manusia mampu menundukkan alam semesta atau menentukan rezeki sendiri? Apakah kehadiran manusia di dunia ini atas kehendaknya sendiri? Apakah semua yang diraihnya selalu sesuai dengan rencana dan keinginannya?

Jika kita menyelami samudera kehidupan dengan kesadaran, kesimpulan yang tak terbantahkan muncul: tidak ada Tuhan selain Allah.

Itulah puncak refleksi kehidupan. Semua pengalaman, semua pengamatan, semua cobaan dan nikmat, mengantar manusia pada kesadaran tunggal ini. Ia bukan sekadar ucapan, melainkan penegasan esensi hidup itu sendiri.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (558) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (257) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (242) Sirah Sahabat (156) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (7) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)