Keteguhan Tepi Barat Menanam Zaitun
“Suatu hari, jika kau ingin tahu seberapa dalam cinta seorang manusia pada tanahnya, lihatlah bagaimana ia menanam pohon di tengah ancaman.”
— Catatan dari Bil’in, Tepi Barat
Pohon yang Menolak Mati
“Dengar,” kata seorang kakek di Al-Mughayyir kepada cucunya, “pohon zaitun ini lebih tua dari aku, dan mungkin akan hidup lebih lama darimu.”
Cucunya menatap batang tua yang retak, penuh luka bekas gergaji. Di sekelilingnya, tanah hangus, akar-akar mencuat seperti nadi yang disayat.
Beberapa hari sebelumnya, laporan Al Jazeera menyiarkan kabar itu ke dunia: militer Israel mencabut lebih dari 3.000 pohon zaitun di desa Al-Mughayyir, Ramallah. Operasi itu disebut sebagai bagian dari “keamanan nasional”.
Tetapi bagi warga desa, itu bukan operasi keamanan—melainkan operasi pencabutan kehidupan.
Sejak pendudukan 1967, ribuan kebun telah diratakan, ribuan batang tua ditebang. Bagi Israel, tanah adalah peta; bagi warga Palestina, tanah adalah ingatan.
Dan di antara keduanya, pohon zaitun menjadi saksi: teguh, diam, tapi berbicara dalam bahasa ketekunan.
---
Panen yang Menjadi Waktu Takut
Ketika musim gugur datang, daun zaitun biasanya bergetar lembut di bawah sinar matahari Tepi Barat. Di masa lalu, anak-anak berlari membawa keranjang, perempuan bernyanyi di antara barisan pohon, dan para lelaki memeras minyaknya dengan doa.
Kini, seperti dilaporkan Reuters, musim panen berubah menjadi musim ketakutan.
Seorang petani di Salfit menunjukkan batang pohon berusia lima abad. “Ia hidup lebih lama dari penjajahan mana pun,” katanya pelan, “tapi aku tak tahu apakah ia akan bertahan tahun depan.”
Pemukim bersenjata menunggu di bukit; pos militer berdiri di ladang. Setiap panen kini adalah pertaruhan hidup. Para petani harus mendapat izin untuk memetik buah dari pohon yang tumbuh di tanah mereka sendiri.
Dan izin itu, sering kali, tidak pernah datang.
---
Zaitun yang Didedikasikan untuk Perdamaian
Namun di tengah kegetiran, ada kisah lain yang lebih lembut.
Associated Press melaporkan bahwa di kota Tulkarem, Palestina menanam 250 pohon zaitun baru — bukan untuk panen, tapi sebagai penghormatan bagi Jimmy Carter, mantan Presiden AS yang dikenal kritis terhadap penjajahan Israel.
Di antara tanah retak dan kawat berduri, pohon-pohon muda itu berdiri, batangnya ramping, daunnya pucat.
“Satu hari nanti,” kata seorang perempuan tua sambil menimbun tanah di akarnya, “mereka akan tahu bahwa kita pernah menanam perdamaian, bahkan ketika dunia menanam diam.”
Begitulah Palestina hidup: dari tanah yang dikhianati, mereka terus menanam makna.
---
Ketika Dunia Melihat tapi Tidak Menyentuh
Menurut laporan The Guardian dan UN-OCHA, musim panen zaitun tahun 2025 diselimuti gelombang kekerasan baru.
Ratusan pohon dibakar dalam seminggu pertama panen. Para petani diserang ketika mencoba memasuki ladang mereka.
Dalam satu catatan OCHA disebut:
“Musim yang biasanya menjadi waktu sukacita dan doa, kini menjadi musim kehilangan dan ketakutan.”
Tapi barangkali inilah yang membuat Tepi Barat berbeda dari seluruh dunia: mereka tidak pernah berhenti datang ke ladang itu — bahkan ketika tahu pohonnya telah ditebang.
Mereka datang bukan hanya untuk memetik buah, tetapi untuk membuktikan keberadaan mereka di tanah sendiri.
---
Akar yang Menjadi Perlawanan
Dalam budaya Palestina, pohon zaitun bukan sekadar sumber minyak. Ia adalah simbol waktu dan warisan.
Banyak keluarga menanam pohon ini ketika anak lahir — tanda kehidupan yang tumbuh bersama usia manusia.
Ketika penjajah menebangnya, yang hilang bukan sekadar ekonomi, tapi silsilah spiritual.
Hampir sepertiga penduduk Tepi Barat menggantungkan hidup pada zaitun.
Namun setiap hektar ladang kini berada di bawah bayang-bayang pemukiman ilegal. Setiap jalur irigasi dapat ditutup kapan saja. Dan air — seperti yang dikuasai oleh perusahaan Israel Mekorot — kini menjadi barang mewah yang dijual kepada mereka yang sebelumnya pemilik sumbernya.
Dalam laporan UN-OCHA, satu kalimat mencolok:
“Menanam pohon di Area C hari ini adalah tindakan keberanian, bukan pertanian.”
---
Dalam Film dan Lensa Dunia
Beberapa seniman mencoba merekam keteguhan itu agar dunia tak lupa.
Dalam dokumenter The Color of Olives (2006), keluarga Amer di Tepi Barat hidup di kebun mereka yang terbelah oleh tembok pemisah. Mereka berjalan sejauh satu kilometer setiap hari untuk menyentuh pohon mereka.
Film 5 Broken Cameras (2011) merekam perjuangan desa Bil’in — kamera demi kamera rusak karena peluru, tapi petani terus menanam dan merekam lagi.
Where Olive Trees Weep (2024) menambahkan lapisan baru: trauma perempuan, kehilangan rumah, dan kekuatan akar budaya yang tak bisa dihapus oleh beton.
Ada pula Zeitounat (2002), karya dokumenter pendek yang memperlihatkan perempuan Palestina menanam kembali pohon yang dicabut, seolah sedang menanam kenangan ibunya sendiri.
Dalam semua karya itu, pohon zaitun bukan hanya tumbuhan — ia adalah karakter utama. Ia hidup, disakiti, dirindukan, dan disembah dengan air mata.
---
Zaitun dalam Puisi dan Doa
Mahmoud Darwish, penyair Palestina terbesar, pernah menulis:
“Kami adalah pohon zaitun yang dibakar, tapi masih berbuah di hati manusia.”
Banyak puisi Palestina modern menggambarkan zaitun sebagai ibu yang dipukul tapi tetap memberi susu.
Di situs-situs sastra Arab, bertebaran sajak seperti ini:
“Their spirits stamp loud footsteps on rot-brown grass,
a graveyard underneath the olive tree…”
Puisi-puisi itu bukan sekadar estetika; ia adalah surat panjang dari tanah kepada langit, agar dunia tahu bahwa penderitaan bukan sekadar statistik.
---
Dialog di Ladang yang Tersisa
Sore itu, di kaki bukit Salfit, dua generasi duduk di bawah pohon yang separuhnya gosong.
Anak muda itu bertanya, “Mengapa kakek terus menanam lagi, padahal mereka akan menebangnya?”
Sang kakek menjawab pelan, “Karena jika kita berhenti menanam, kita telah membantu mereka menebang.”
Dialog seperti ini terjadi di ratusan desa. Ia sederhana, tapi maknanya dalam:
menanam berarti menolak musnah.
Pohon zaitun tumbuh lambat — butuh puluhan tahun hingga berbuah. Tapi mungkin itulah sebabnya ia menjadi simbol Palestina: sabar, diam, dan abadi.
---
Ketika Dunia Diam, Akar Berbicara
Di ruang-ruang diplomasi, dunia masih bicara tentang “proses perdamaian” dan “solusi dua negara”.
Namun di ladang-ladang Tepi Barat, “proses” itu diterjemahkan dalam bunyi bulldozer dan api malam hari.
Pohon zaitun yang dicabut hari ini bukan sekadar kehilangan ekologis, melainkan penyiksaan spiritual terhadap bangsa.
Sebagaimana seseorang yang dicabut dari rumahnya, tanah pun kehilangan bahasa ketika akarnya hilang.
Namun ada sesuatu yang tidak bisa dicabut: memori.
Akar zaitun yang tertinggal di bawah tanah sering tumbuh lagi, menembus aspal dan pagar kawat.
Seperti doa yang tidak pernah berhenti dikirim.
---
Seni Bertahan di Tanah yang Disangkal
Pameran seni di Ramallah dan Jenin sering menampilkan patung, kanvas, dan instalasi bertema zaitun.
Dalam salah satu pameran di Birzeit, seorang seniman muda menggantungkan ranting-ranting kering di langit-langit ruangan, dengan tanah di bawahnya meneteskan air.
Judulnya: “We still water them.”
Ia berkata:
 “Ini bukan hanya tentang pohon. Ini tentang kami yang terus menyirami ingatan, bahkan ketika tanahnya tidak lagi milik kami.”
Seni, dalam konteks Palestina, bukan pelarian; ia adalah perlawanan spiritual yang tenang.
---
Sebuah Dunia dalam Setetes Minyak
Minyak zaitun Palestina terkenal di seluruh dunia karena warnanya yang keemasan dan rasa yang kuat.
Tapi bagi banyak keluarga, setetes minyak hari ini mewakili harga yang sangat mahal: perjalanan berjam-jam melewati pos pemeriksaan, izin yang bisa dibatalkan kapan saja, dan ketakutan bahwa panen tahun depan mungkin tak akan ada lagi.
Seorang petani di Jenin berkata kepada wartawan Reuters:
“Kami menekan buah zaitun dengan tangan yang gemetar, bukan karena lelah, tapi karena kami tidak tahu apakah kami akan bisa memetiknya lagi.”
Minyak itu, bagi mereka, adalah darah yang sah — hasil kerja keras yang lebih suci daripada emas.
---
Tanah sebagai Kitab yang Dibaca
Jika dunia modern menulis sejarah di atas kertas, Palestina menulisnya di atas tanah.
Setiap pohon yang ditanam adalah huruf, setiap akar adalah kata, dan setiap pembakaran adalah upaya menghapus kalimat kehidupan.
Namun sejarah yang tertulis di tanah tidak bisa dibakar. Ia akan muncul kembali di musim berikutnya, di batang-batang baru yang menembus reruntuhan.
Itulah sebabnya setiap penebangan selalu diikuti penanaman. Setiap kehancuran selalu disusul oleh benih baru.
Dan dari siklus itulah lahir istilah tak resmi di kalangan petani: “Intifadha Zaitun” — perlawanan dengan menanam.
---
Renungan di Bawah Cahaya Senja
Sore di Tepi Barat sering berwarna keemasan, mirip warna minyak zaitun.
Di desa Al-Khalil, seorang imam tua menulis di dinding masjid:
“Barangsiapa menanam zaitun dengan niat mempertahankan tanah, maka setiap buahnya adalah sedekah dan setiap akarnya adalah doa.”
Barangkali itulah bentuk ibadah paling senyap di dunia — menanam di tengah ancaman.
Ketika senjata diarahkan kepadamu, dan kau justru menunduk untuk menanam, itu artinya kau sedang menulis ayat keberanian.
---
Dunia yang Menonton
Sementara itu, di ruang-ruang konferensi internasional, para diplomat membahas laporan tahunan tentang “pelanggaran hak asasi manusia”.
Tapi di Ramallah, seorang ibu mencatat daftar anak-anak yang ditangkap.
Sejak dua tahun terakhir, lebih dari 20.000 warga Palestina ditahan — termasuk 1.600 anak-anak.
Mahkamah Internasional bisa menyebut “pendudukan ini ilegal”,
PBB bisa menyerukan “penghentian permukiman”,
namun di tanah yang retak oleh roda buldoser, hukum internasional tidak berwujud apa-apa.
Keadilan berhenti di atas kertas; keteguhan hidup di bawah akar.
---
Epilog: Akar yang Mengingat
Di desa Abu Falah, seorang anak menatap tanah kering tempat kakeknya dulu menanam zaitun.
Ia bertanya, “Kapan pohon kita tumbuh lagi, Kek?”
Sang kakek menjawab, “Saat dunia berhenti memanggil penjajahan ini dengan nama perdamaian.”
Itulah inti keteguhan Tepi Barat: mereka tidak menunggu keadilan datang, mereka menanamnya.
Setiap pohon adalah doa yang tumbuh perlahan,
setiap akar adalah ingatan yang menolak mati,
dan setiap buah adalah bukti bahwa kehidupan tak bisa sepenuhnya dijajah.
Israel mungkin berhasil mencabut pohon-pohon zaitun,
tapi tidak akan pernah bisa mencabut akar cinta dari tanah yang telah menyerap darah dan doa begitu lama.
Karena di Tepi Barat, bahkan tanah yang terbakar masih punya kehendak untuk menumbuhkan hijau.
Dan dari kehendak itulah lahir bangsa — bangsa yang menanam di bawah bayang-bayang senjata,
namun tetap memandang langit dengan tangan yang berlumur tanah, sambil berkata pelan:
“Kami masih di sini.”
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif