basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Sultan-Sultan Aceh: Melunasi Utang demi Menjaga Martabat Umat Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Aceh Darussalam...

Sultan-Sultan Aceh: Melunasi Utang demi Menjaga Martabat Umat

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Aceh Darussalam adalah salah satu kesultanan Islam tertua dan terkuat di Nusantara. Sejak abad ke-16, ia bukan hanya pusat dakwah dan pendidikan Islam, tetapi juga pusat perdagangan dunia, penghubung antara Timur Tengah dan Asia Tenggara. Namun dalam keagungan itu, para sultan Aceh sangat menyadari satu hal: utang bisa menjadi alat penjajahan yang halus dan mematikan.

Oleh karena itu, para sultan Aceh menjadikan pelunasan utang—baik utang rakyat maupun negara—sebagai bagian dari jihad kepemimpinan.



1. Sultan Iskandar Muda (1607–1636): Melunasi Utang Dagang Rakyat

Di masa Sultan Iskandar Muda, rakyat Aceh sangat aktif dalam perdagangan internasional. Tapi dalam situasi badai, kegagalan panen, atau gangguan pelayaran, banyak pedagang kecil yang berutang kepada mitra dagang asing, termasuk pedagang Gujarat, Arab, bahkan Portugis.

Sultan Iskandar Muda membentuk “Baitul Mal Kesultanan”, yang di antaranya digunakan untuk:

Menebus utang pedagang lokal yang hartanya disita

Memberi pinjaman syariah kepada nelayan dan petani

Melindungi rakyat dari rente dan bunga dagang luar


Dalam khutbahnya di hadapan ulama dan qadhi, sang Sultan menegaskan:

 “Utang yang menjerat rakyat akan mengundang kehinaan. Maka wajib bagi pemimpin untuk membebaskan mereka dari belenggu itu.”



2. Sultanah Shafiyyatuddin (1641–1675): Membebaskan Janda-Janda dari Jerat Utang

Sebagai pemimpin perempuan yang bijaksana dan alim, Sultanah Shafiyyatuddin, istri dari Sultan Iskandar Tsani, sangat peduli pada nasib perempuan miskin dan janda yang terlilit utang karena ditinggal suami syahid atau wafat.

Ia mewajibkan Baitul Mal menyisihkan dana untuk:

Melunasi utang rumah tangga fakir miskin

Membebaskan hamba sahaya karena utang

Memberi modal usaha tanpa bunga kepada janda dan anak yatim


Beliau berkata:

“Yang terbebani bukan hanya mereka yang berutang, tapi negara yang diam membiarkan rakyatnya terhina.”



3. Sultan Alauddin Johan Syah (1735–1760): Menolak Bantuan Utang dari Kompeni

Pada masa ini, Belanda mulai merangsek ke perairan barat Sumatra dan menawarkan kerja sama dagang dengan embel-embel pinjaman dan pembangunan pelabuhan.

Namun Sultan Alauddin Johan Syah menolaknya mentah-mentah. Ia menyampaikan kepada utusan Belanda:

 “Kami tidak meminta bantuan yang menjadikan negeri ini terikat. Kami hidup dari hasil bumi kami, bukan dari pinjaman yang menjebak.”


Beliau bahkan menggunakan emas simpanan istana dan wakaf keluarga untuk melunasi utang-utang para saudagar dan kapten kapal yang terancam kehilangan armadanya.



4. Kebijakan Umum Para Sultan Aceh: Utang Rakyat Adalah Tanggung Jawab Negara

Dalam berbagai dokumen lokal dan hukum adat Aceh yang disebut Qanun Meukuta Alam, para sultan menerapkan prinsip-prinsip Islam yang kuat:

Utang yang zalim boleh dibatalkan

Utang rakyat karena musibah harus dilunasi Baitul Mal

Rentenir asing yang menindas bisa diusir atau diputuskan hak dagangnya

Kas istana harus digunakan untuk menolong yang lemah, bukan memperkaya bangsawan



5. Wasiat Sultan: Jangan Wariskan Negeri yang Bergantung

Dalam wasiat Sultan Aceh yang tertulis dalam naskah kuno Hikayat Raja-raja Pasai dan Tawarikh Aceh, tercatat pesan berulang:

 “Bila rakyat lapar, beri makan dari gudang. Bila mereka terjerat utang, lunasi dari kas negara. Tapi jangan sekali-kali pinjam kepada musuh yang kelak menuntut tanah kita.”



Penutup: Utang, Kedaulatan, dan Marwah Islam

Para Sultan Aceh mengajarkan bahwa:

Utang tidak boleh dijadikan alat menghinakan rakyat

Pelunasan utang adalah jihad ekonomi

Negara Islam harus berdiri di atas kemandirian, bukan pinjaman berbunga


“Biar kita miskin di mata dunia, asal kita tidak menjual kehormatan kepada penjajah.”
— Prinsip para Sultan Aceh

Sultan-Sultan Kalimantan: Melunasi Utang demi Kehormatan Rakyat Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: Nasrulloh Baksolahar  ...

Sultan-Sultan Kalimantan: Melunasi Utang demi Kehormatan Rakyat

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: Nasrulloh Baksolahar 


Tanah Kalimantan bukan hanya kaya akan hutan dan tambang, tetapi juga sarat dengan sejarah kesultanan Islam yang berdaulat. Di antara yang paling dikenal adalah Kesultanan Banjar, Kutai Kartanegara, Pontianak, dan Sambas. Para sultan di wilayah ini tidak hanya menjadi pemimpin spiritual, tetapi juga pelindung ekonomi umat.

Mereka tidak membiarkan rakyat ditindas oleh sistem utang kolonial, dan ketika rakyat jatuh ke dalam lilitan utang karena pajak dan tipu daya dagang asing, para sultan tampil ke depan: melunasi utang, menolak riba, dan membangun sistem ekonomi Islam berbasis zakat, wakaf, dan keadilan.



1. Sultan Sulaiman (Kutai Kartanegara): Melunasi Utang Petani dan Menolak Riba

Sultan Sulaiman (abad ke-19) dari Kesultanan Kutai Kartanegara terkenal dengan sikapnya yang tegas terhadap praktik utang berbunga yang dilakukan oleh pedagang Cina dan perantara Belanda. Di masa kekeringan, banyak rakyat yang meminjam beras dan uang dengan bunga tinggi.

Sultan memerintahkan:

Pembentukan baitul mal untuk melunasi utang para petani

Penghapusan bunga dalam transaksi dagang antar sesama Muslim

Larangan menyita tanah atau rumah rakyat karena utang pokok kecil


Ia berkata dalam musyawarah adat:

“Rakyat bukan barang gadai. Negeri ini bukan ladang riba.”



2. Sultan Adam Al-Watsiq Billah (Banjar): Menghapus Utang Kolonial dan Pajak Penindas

Sultan Adam (memerintah 1825–1857), penguasa besar Kesultanan Banjar, menghadapi tekanan Belanda yang mulai menerapkan sistem utang dan monopoli hasil bumi. Ia menolak kebijakan utang Belanda yang akan mengikat kesultanan dan mengurangi kedaulatan dalam perdagangan.

Ia melakukan:

Pelunasan utang rakyat kepada saudagar asing dengan kas negara

Membatalkan perjanjian yang memaksa Banjar berutang kepada Belanda

Melindungi tanah ulayat rakyat dari penyitaan akibat utang


Ia berkata:

“Kita tidak akan menjual kemerdekaan dengan emas pinjaman.”



3. Sultan Abdurrahman (Pontianak): Menolong Rakyat dari Utang Kapal dan Dagang

Di Kesultanan Pontianak, Sultan Abdurrahman dikenal sebagai pemimpin pedagang yang saleh. Di tengah ekspansi VOC dan kemudian pemerintah kolonial Hindia Belanda, banyak nelayan dan saudagar kecil yang terjerat utang dalam perdagangan laut.

 Sang sultan membentuk:

Dana khusus kesultanan untuk menebus kapal nelayan yang digadaikan

Sistem koperasi syariah untuk menghindarkan rakyat dari rentenir Tionghoa

Penyuluhan kepada rakyat agar menghindari utang konsumtif dan bunga tinggi



4. Sultan-Sultan Sambas: Melunasi Utang Warga dan Mengatur Keadilan Ekonomi

Di daerah Sambas, para sultan seperti Sultan Muhammad Syafiuddin II juga terlibat aktif membela rakyat dari beban ekonomi. Ketika rakyat tak mampu membayar pajak atau cicilan kepada pedagang asing, beliau seringkali melunasi utang tersebut secara pribadi atau dari zakat istana.

Ia menyampaikan kepada para ulama:

“Jangan biarkan rakyat menjual tanahnya demi beras. Negeri ini harus menjamin perut dan kehormatan mereka.”



5. Prinsip Bersama Para Sultan Kalimantan: Utang Adalah Amanah Sosial

Dalam adat dan syariat yang dianut para sultan di Kalimantan, utang bukan hanya masalah individu. Bila utang itu mendera rakyat secara sistemik, maka pemerintah wajib hadir menolong. Prinsip ini sejalan dengan hadits Nabi ï·º:

“Siapa yang mati dalam keadaan berutang, maka jiwanya tergantung hingga utangnya dibayarkan.”
(HR. Tirmidzi)


Maka para sultan menjadikan pelunasan utang rakyat sebagai bagian dari amanah agama dan kepemimpinan.



Penutup: Kepemimpinan Islam, Bebas dari Belenggu Utang

Para sultan Kalimantan membuktikan bahwa pemimpin sejati bukan yang memperkaya istana, tapi yang melunasi beban rakyatnya. Mereka sadar bahwa:

Utang bisa menjadi alat penjajahan

Ekonomi umat harus dibangun tanpa riba

Keadilan ekonomi adalah pilar dari kekuasaan yang sah


“Lebih baik negeri ini miskin tapi bebas, daripada kaya tapi tergadai.”
— Pesan Para Sultan Kalimantan

Sultan-Sultan Makassar: Melunasi Utang, Menyelamatkan Marwah Bangsa Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Di pesisi...

Sultan-Sultan Makassar: Melunasi Utang, Menyelamatkan Marwah Bangsa

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Di pesisir barat Sulawesi Selatan, berdiri dua kekuatan maritim yang pernah menjadi poros dagang dan dakwah Islam di Nusantara: Kesultanan Gowa dan Kesultanan Tallo. Keduanya bersatu dalam kekuasaan Islam yang tidak hanya membangun pelabuhan dan armada laut, tetapi juga menata ekonomi rakyat berdasarkan syariat dan keadilan.

Sultan-sultan mereka sadar betul: utang bisa menjadi alat penjajahan yang halus namun menghancurkan. Maka mereka memilih jalan sulit—melunasi utang rakyat, menolak ketergantungan, dan menjaga kehormatan.



1. Sultan Alauddin (Raja Gowa Pertama yang Masuk Islam): Awal Kebijakan Ekonomi Islam

Setelah memeluk Islam pada 1605, Sultan Alauddin mulai menata ulang sistem pemerintahan dan ekonomi. Ia mendirikan Baitul Mal lokal yang dananya berasal dari zakat, infak, sedekah, serta hasil bumi.

 Tujuan utamanya:

Membantu petani dan nelayan yang terlilit utang kepada saudagar asing

Menebus hasil bumi yang disita karena gagal bayar

Menghapus bunga dalam transaksi perdagangan


Ia berkata kepada ulama dari Tallo:

“Jika rakyatku ditindas karena utang, maka aku yang menanggungnya. Sebab kemuliaan negeri ini bukan pada emasnya, tapi pada keadilan penguasanya.”



2. Sultan Malikussaid: Menolak Utang Dagang VOC

Sultan Malikussaid (putra Sultan Alauddin) menghadapi gempuran Belanda dengan cara halus: dengan "membantu" rakyat lewat kontrak dagang dan pinjaman barang.

Tapi sang sultan menolak keras. Ia membentuk lembaga keuangan maritim yang:

Memberi modal dagang bebas bunga

Membeli kembali kapal rakyat yang dijadikan jaminan utang

Melindungi pasar lokal dari utang berbunga saudagar Belanda dan Portugis


Ia berkata kepada utusan VOC:

 “Kami bukan negeri miskin yang menjual harga diri demi lada dan cengkih.”



3. Sultan Hasanuddin: Membebaskan Rakyat dari Jerat Utang Kolonial

Sultan Hasanuddin (memerintah 1653–1669), sang "Ayam Jantan dari Timur", terkenal karena perlawanan militernya terhadap VOC. Tapi yang kurang disorot adalah perjuangannya membebaskan rakyat Makassar dari jerat utang kolonial.

Dalam masa blokade dan perang ekonomi, ia:

Melunasi utang saudagar lokal kepada VOC dengan dana negara

Menghapus pajak darurat yang memaksa rakyat berutang

Memberi pinjaman dari kas kesultanan tanpa riba, berdasarkan syariat


Hasanuddin sadar, VOC tidak hanya menyerang dengan senjata, tapi juga dengan utang dagang dan monopoli.

Ia berseru kepada bangsawan dan kapitan:

“Utang kepada penjajah adalah tali yang menjerat leher bangsa.”



4. Sultan-Sultan Tallo: Membantu Melunasi Utang Rakyat di Pedalaman

Sebagai mitra Gowa, para sultan Tallo seperti Karaeng Matoaya juga membentuk lembaga wakaf dan zakat untuk melunasi utang petani, pengrajin, dan nelayan.

Dalam tradisi setempat, rakyat yang tidak sanggup membayar utang karena bencana atau gagal panen dapat mengajukan pembebasan melalui masjid dan dewan ulama.

Para pejabat istana diwajibkan menyisihkan harta untuk dana penebusan utang sebagai bagian dari pengabdian sosial.



5. Warisan dan Wasiat Para Sultan

Sebelum wafat, para sultan Makassar mewasiatkan agar negeri ini tidak diwariskan dalam kondisi terikat:

“Jangan biarkan rakyatmu hidup dari pinjaman yang mencekik. Lebih baik kita menanggung lapar bersama, daripada kenyang di bawah kendali penjajah.”



Penutup: Kedaulatan Itu Bukan Hanya Pedang, Tapi Bebas dari Utang

Para sultan Makassar paham betul, kedaulatan sejati adalah ketika rakyat tidak bergantung pada belas kasihan bangsa asing. Maka melunasi utang, menolak pinjaman berbunga, dan membela rakyat dari jerat finansial adalah jihad ekonomi yang tak kalah penting dari perang fisik.

“Utang yang memiskinkan rakyat adalah penjajahan dalam rupa baru. Dan seorang sultan tak boleh membiarkan itu terjadi.”
— Prinsip Sultan Hasanuddin

Sultan-Sultan Nusa Tenggara Barat: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Umat Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Di bal...

Sultan-Sultan Nusa Tenggara Barat: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Umat

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Di balik pegunungan dan lautan Nusa Tenggara Barat, berdiri kesultanan-kesultanan Islam yang teguh dalam menjaga kedaulatan spiritual dan ekonomi rakyatnya. Di antaranya, Kesultanan Bima dan Kesultanan Sumbawa telah mencatatkan sejarah bahwa utang bukan hanya soal angka, tapi soal kehormatan dan amanah.



1. Kesultanan Bima: Melunasi Utang Petani dan Nelayan

Pada abad ke-18 hingga ke-19, banyak rakyat Bima, terutama petani dan nelayan, yang terjerat utang akibat gagal panen, pajak kolonial, atau monopoli hasil bumi oleh pedagang luar.

Sultan Abdul Hamid (memerintah 1854–1881) dari Kesultanan Bima dikenal sebagai sultan yang adil dan sangat peduli pada utang rakyat. Ia membentuk badan semacam baitul mal lokal untuk:

Menebus utang rakyat kepada saudagar besar dan lintah darat

Memberi pinjaman tanpa bunga kepada petani yang kesulitan modal tanam

Melunasi utang nelayan yang perahunya disita oleh pedagang Belanda


 Dalam salah satu dokumen lokal, ia menyatakan:

 “Rakyatku tidak boleh kehilangan tanah atau perahu hanya karena utang. Jika mereka lemah, negara harus membantunya, bukan membiarkannya ditindas.”





2. Kesultanan Sumbawa: Melindungi Rakyat dari Jerat Utang Dagang Kolonial

Kesultanan Sumbawa, yang aktif berdagang hasil pertanian dan ternak dengan pedagang luar, sempat ditekan oleh perjanjian dagang Belanda. Rakyat diminta menyetor hasil bumi, tetapi harga dipaksa rendah. Akibatnya, banyak rakyat berutang demi bertahan hidup.

Sultan Muhammad Jalaluddin III (abad ke-19), dikenal sangat cermat dalam keuangan negara. Ia mengeluarkan kebijakan:

Membayar utang rakyat miskin dari kas negara

Menghapus sistem gadai tanah karena utang

Menebus kembali kebun dan ternak rakyat yang jatuh ke tangan pedagang asing


Ia mengingatkan pejabatnya:

“Utang yang menindas adalah bentuk penjajahan. Rakyat tidak boleh diperbudak oleh bunga atau oleh kongsi dagang asing.”





3. Utang dan Prinsip Islam dalam Kepemimpinan NTB

Sultan-sultan NTB sangat terpengaruh ajaran Islam dan tradisi dakwah para ulama lokal (tuan guru). Mereka memandang utang bukan sekadar kewajiban ekonomi, tapi tanggung jawab ruhani.

Mereka percaya pada sabda Nabi ï·º:

“Menunda pembayaran utang oleh orang mampu adalah kezaliman.” (HR. Bukhari-Muslim)



Maka mereka:

Menolak menggunakan utang negara untuk kemewahan istana

Tidak mewariskan utang pada rakyat di akhir kekuasaan

Melunasi utang rakyat sebagai bentuk ibadah sosial




4. Wasiat Sultan: Jangan Wariskan Negeri yang Terikat

Beberapa wasiat sultan NTB yang tercatat dalam hikayat lokal menyebut:

 “Bila engkau memimpin negeri ini, jangan kau pinjam uang dari orang yang ingin membeli tanah rakyat. Bila rakyat lapar, beri mereka makan, tapi jangan biarkan mereka berutang kepada orang zalim.”





Penutup: Warisan Marwah Ekonomi Islam di Timur Nusantara

Dari Bima hingga Sumbawa, jejak para sultan menunjukkan bahwa melunasi utang bukan hanya perkara membayar, tapi menyelamatkan umat dari jerat ketergantungan dan kehilangan kehormatan.

“Lebih baik kas negara kosong, tapi rakyat berdiri tegak—daripada istana penuh emas, tapi rakyat hidup sebagai budak utang.”
— Prinsip Para Sultan NTB

Sultan-Sultan Maluku: Melunasi Utang, Menjaga Martabat Negeri Rempah Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Maluku, ...

Sultan-Sultan Maluku: Melunasi Utang, Menjaga Martabat Negeri Rempah

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Maluku, gugusan pulau penghasil cengkih dan pala, pernah menjadi pusat ekonomi dunia sejak abad ke-15. Kekayaan ini menarik bangsa Eropa—Portugis, Spanyol, Belanda—datang bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga untuk menguasai dan menjajah lewat utang dan tipu daya.

Namun di tengah tekanan itu, muncul para sultan dari Kesultanan Ternate dan Tidore yang berdiri tegak, menolak dijadikan budak ekonomi, dan berani melunasi utang rakyat agar tidak menjadi alat kolonialisme.



1. Sultan Baabullah (Ternate): Membebaskan Rakyat dari Jerat Utang Portugis

Sultan Baabullah (memerintah 1570–1583), dijuluki “Raja dari 72 Pulau”, adalah tokoh besar Maluku yang berhasil mengusir Portugis dari Ternate. Tapi perjuangannya bukan hanya di medan perang. Ia juga menghadapi perang ekonomi.

Sebagian rakyat Ternate dipaksa berutang oleh Portugis—baik dalam bentuk pajak rempah, barang dagang dengan harga manipulatif, maupun cicilan peralatan pertanian.

Setelah kemenangan militer, Sultan Baabullah memerintahkan:

Penghapusan seluruh utang rakyat kepada Portugis

Pembebasan sandera dan jaminan hutang

Pemulihan hak milik tanah dan rumah rakyat yang disita


Ia berkata kepada para ulama dan kapitan:

“Utang kepada penjajah bukanlah kewajiban, tapi belenggu. Kita lunasi dengan kemerdekaan.”



2. Sultan Saifuddin (Tidore): Membayar Utang Rakyat dengan Harta Pribadi

Pada awal abad ke-17, ketika VOC mulai menguasai jalur rempah dan menerapkan sistem monopoli paksa, banyak petani dan pedagang lokal terjerat utang karena:

Dipaksa menjual cengkih dengan harga rendah

Harus membeli barang VOC dengan harga tinggi

Dikenai denda jika gagal setor


 Sultan Tidore, Saifuddin (memerintah 1657–1687), menolak sistem ini. Ia bahkan menggunakan harta pribadi dan kekayaan istana untuk:

Menebus utang rakyat miskin kepada pedagang asing

Membeli kembali kebun cengkih rakyat yang disita

Membebaskan utang nelayan yang tidak mampu membayar pajak garam atau kapal


Ia juga mengirim utusan ke Batavia untuk menuntut penghapusan utang yang tidak adil.



3. Sultan Hairun dan Sultan Nuku: Utang adalah Perang Tanpa Darah

Sultan Hairun (Ternate) yang gugur dibunuh oleh Portugis pada 1570, pernah berkata kepada penasihatnya:

“Bangsa asing datang dengan emas, tapi ujungnya belenggu. Jika utang menjadi alat mereka mengikat rakyatku, maka aku akan menebusnya dengan darah.”

Penerus perjuangannya, Sultan Nuku (Tidore), tokoh anti-Belanda akhir abad ke-18, memimpin gerakan perlawanan dengan filosofi bahwa kedaulatan ekonomi dimulai dari pelunasan utang dan pembebasan tanah rakyat.

Nuku memerintahkan:

Setiap daerah yang dibebaskan dari VOC harus dibersihkan dari sistem utang paksa

Petani cengkih diberi hak penuh atas hasil panennya

Rakyat tidak boleh dijerat dalam utang oleh elit lokal



4. Utang dan Harga Diri dalam Islam di Maluku

Para sultan Maluku sangat memahami prinsip Islam tentang utang:

“Barang siapa mati dalam keadaan masih menanggung utang, maka jiwanya tergantung sampai utangnya dilunasi.” (HR. Tirmidzi)

Maka mereka meyakini: melunasi utang rakyat bukan hanya soal ekonomi, tapi soal penyelamatan jiwa dan kehormatan bangsa.



Penutup: Martabat Maluku, Bebas dari Utang dan Monopoli

Kisah para sultan di Maluku mengajarkan bahwa kedaulatan tak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tapi juga keberanian untuk membebaskan rakyat dari beban ekonomi yang menindas.

“Lebih baik miskin dan merdeka, daripada kaya tapi tergadai.”
— Prinsip Sultan Nuku



Di tengah dunia yang terus memutarkan roda utang sebagai alat dominasi, kisah para sultan Maluku tetap relevan: bahwa melunasi utang rakyat adalah bagian dari jihad menjaga martabat umat.

Sultan Agung Mataram: Melunasi Utang, Menegakkan Kedaulatan Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar Narasi: ChatGPT  Sulta...

Sultan Agung Mataram: Melunasi Utang, Menegakkan Kedaulatan

Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT 

Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja besar dari Mataram Islam, bukan hanya dikenal karena keberaniannya menyerbu Batavia dan menantang hegemoni VOC, tetapi juga karena kebijakan fiskalnya yang bijak, nasionalistis, dan penuh kehormatan.

Meski istilah “utang” dalam konteks abad ke-17 di Jawa berbeda dengan definisi utang internasional modern, Sultan Agung telah menunjukkan sikap tegas terhadap semua bentuk ketergantungan finansial yang bisa melemahkan kemandirian rakyat dan negara.


---

1. Menolak Bantuan Keuangan dari VOC: "Utang adalah Awal dari Penjajahan"

Pada awal kekuasaannya, Sultan Agung ditawari “kerja sama ekonomi” oleh utusan VOC—yang intinya adalah pemberian bantuan logistik dan dana dalam bentuk barter dan pinjaman. Tapi sang Sultan menolaknya mentah-mentah.

Ia berkata kepada para patih dan penasihatnya:

> “Uang dari musuh adalah racun yang manis. Kita terima hari ini, tapi besok kita akan dijajah.”



Keputusan itu terbukti tepat. Banyak kerajaan pesisir lain yang menerima bantuan VOC, akhirnya kehilangan kedaulatan secara bertahap melalui utang dan perjanjian dagang yang timpang.


---

2. Melunasi Utang Pejabat dan Prajurit Rakyat

Sultan Agung tahu bahwa rakyat seringkali berutang kepada lintah darat untuk membayar pajak atau memenuhi kebutuhan perang. Ia membentuk Lembaga Keuangan Negara (semacam baitul mal) yang dananya diambil dari:

Pajak hasil bumi

Denda dari pelanggaran hukum istana

Perdagangan lada dan beras


Dana ini digunakan untuk:

Melunasi utang prajurit yang gugur dalam perang

Membebaskan tanah rakyat miskin dari sita

Memberi bantuan modal usaha tanpa bunga



---

3. Menolak Pajak Tak Adil, Menghapus Utang Hasil Pemerasan

Ketika terjadi keluhan dari rakyat pedalaman karena pemungutan pajak yang berlebihan oleh pejabat lokal, Sultan Agung segera mengutus penyelidik rahasia dan menghapus semua utang yang berasal dari pemerasan.

Ia menghukum beberapa pejabat tinggi yang memperkaya diri dengan cara menjerat rakyat dalam utang palsu.


---

4. Membangun Ekonomi Mandiri untuk Hindari Ketergantungan

Sultan Agung sadar bahwa utang tidak selalu dalam bentuk uang, tapi juga dalam bentuk ketergantungan terhadap komoditas asing. Maka ia memerintahkan:

Swasembada pangan melalui pertanian intensif di daerah pedalaman

Produksi tekstil lokal untuk menandingi produk India

Reformasi pasar untuk melindungi pedagang kecil


Ini adalah strategi ekonomi jangka panjang agar negara tidak perlu “berutang” kepada asing dalam bentuk apa pun.


---

5. Wasiat Kepada Penerus: Jangan Wariskan Negeri yang Terikat

Sebelum wafat pada tahun 1645, Sultan Agung berwasiat kepada putranya:

> “Janganlah kamu menjual tanah Mataram demi emas. Dan janganlah kamu berutang kepada bangsa yang datang membawa senjata dan senyum.”



Wasiat ini ditulis dalam serat-serat istana dan menjadi pedoman bagi generasi Mataram berikutnya (meski tak semua menerapkannya dengan setia).


---

Penutup: Utang Itu Beban, Kemerdekaan Itu Kehormatan

Sultan Agung tidak tercatat sebagai raja yang berutang besar kepada asing atau membebani rakyatnya dengan pajak demi kemewahan istana. Ia adalah simbol pemimpin yang berjuang membayar utang dalam arti luas:

Utang kepada rakyat yang harus dibayar dengan keadilan

Utang kepada sejarah yang dibayar dengan perjuangan

Utang kepada Tuhan yang dibayar dengan amanah kepemimpinan


> “Pemimpin yang sejati bukan yang meminta kepada rakyat, tetapi yang mengembalikan apa yang menjadi hak mereka.”
— Sultan Agung Hanyokrokusumo

Sultan Ageng Tirtayasa: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Kesultanan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sultan Ageng Tirtayasa (1631–1692),...

Sultan Ageng Tirtayasa: Melunasi Utang, Menjaga Marwah Kesultanan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sultan Ageng Tirtayasa (1631–1692), pemimpin besar Kesultanan Banten, adalah sosok yang bukan hanya ahli strategi militer dan politik, tetapi juga seorang pemimpin yang tegas dalam urusan ekonomi, terutama dalam soal utang, kedaulatan, dan keadilan bagi rakyatnya.

Saat beliau memimpin (1651–1682), Banten menjadi salah satu pusat perdagangan Islam yang paling maju di Nusantara. Kapal-kapal dagang dari Arab, Persia, India, Cina, bahkan Eropa, bersandar di Pelabuhan Banten. Namun di balik kejayaannya, terdapat tantangan besar: penetrasi Belanda melalui utang dan monopoli.


---

1. Utang Rakyat kepada Pedagang Asing dan Rentenir Tionghoa

Seiring berkembangnya perdagangan, sebagian rakyat Banten—terutama pedagang kecil dan petani—mulai terjerat utang kepada pedagang besar, baik lokal maupun asing. Banyak dari mereka akhirnya kehilangan tanah atau kendali atas usahanya.

Sultan Ageng, yang dikenal dekat dengan ulama dan rakyat, tidak tinggal diam.

Ia memerintahkan agar:

Utang-utang rakyat miskin didata dan diteliti keadilannya

Tanah rakyat tidak boleh diambil hanya karena utang tanpa proses syar’i

Bila terbukti zalim, rentenir dipaksa membebaskan utang atau diganti dengan tebusan dari baitul mal



---

2. Melunasi Utang Negara Tanpa Menjual Kedaulatan

VOC (Belanda) berkali-kali menawarkan "bantuan pinjaman" untuk pembangunan pelabuhan dan militer. Namun Sultan Ageng selalu menolak dengan tegas:

> “Lebih baik kita miskin, tapi merdeka. Utang kepada penjajah adalah jalan menuju perbudakan.”



Sebaliknya, Sultan menjual sebagian harta milik pribadi dan keluarga istana untuk membayar biaya pembangunan pelabuhan, gudang, dan benteng. Ia juga:

Menarik zakat dan wakaf dari saudagar kaya

Mengurangi beban pajak rakyat miskin

Menghindari pinjaman luar negeri yang menjebak



---

3. Membentuk Dana Negara untuk Pelunasan Utang Umat

Sultan Ageng membentuk semacam baitul mal dari hasil:

Pajak perdagangan internasional

Pendapatan dari perkebunan lada

Sumbangan saudagar muslim


Dana ini digunakan untuk:

Membebaskan rakyat dari jeratan utang

Mendanai pendidikan pesantren

Menolong para petani dan nelayan yang terjerat rentenir


Ia pernah berkata kepada para ulama dan wazir:

> “Negara ini tidak berdiri untuk memperkaya bangsawan, tapi untuk menjaga kehormatan umat. Tidak boleh ada rakyat yang dipenjara karena utang.”




---

4. Wasiat Ekonomi: Jangan Wariskan Beban, Wariskan Kehormatan

Setelah ditangkap VOC karena konspirasi anak kandungnya sendiri (Sultan Haji), Sultan Ageng dipenjara dan wafat dalam tahanan. Namun sebelum itu, ia meninggalkan pesan ekonomi yang agung kepada pengikut setianya:

> “Jangan pernah menjual tanah Banten kepada penjajah, walau mereka datang membawa emas. Dan jangan biarkan rakyat kalian hidup dalam utang, karena utang itu menumbuhkan penindasan.”




---

Penutup: Utang Bukan Sekadar Angka, Tapi Ujian Marwah

Sultan Ageng Tirtayasa adalah contoh nyata bahwa pemimpin sejati tak hanya membangun dengan batu bata, tapi juga dengan kehormatan dan keberanian moral. Ia memilih melunasi utang rakyat daripada membangun istana emas. Ia memilih hidup sederhana dan merdeka, daripada kaya tapi terikat kepada penjajah.

> “Kemerdekaan adalah saat rakyat bebas dari rasa takut, dari lapar, dan dari tekanan utang.”
— Sultan Ageng Tirtayasa

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (224) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (470) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (144) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)