Memilih Pemimpin Gaya Umar bin Khattab
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
---
Suatu hari, Rasulullah ï·º bersabda:
> “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Sebab jika diberi karena permintaan, maka kamu akan dibiarkan sendiri. Tapi jika diberikan tanpa meminta, kamu akan diberi pertolongan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kepemimpinan, rupanya, bukanlah perkara ambisi. Ia bukan wilayah bagi mereka yang haus kekuasaan. Sabda Nabi itu adalah peringatan abadi: janganlah kepemimpinan diisi oleh orang-orang yang mengejarnya. Sebab kepemimpinan bukan kemuliaan, tapi ujian. Bukan panggung kemegahan, tapi jurang pertanggungjawaban.
Seleksi Kepemimpinan: Tradisi yang Dimulai Sejak Nabi ï·º
Perang Mu’tah mencatat satu pelajaran penting tentang seleksi kepemimpinan. Rasulullah ï·º sendiri menunjuk tiga panglima perang secara berurutan: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Bila satu gugur, maka yang lain menggantikannya. Ini bukan sekadar strategi militer. Ini adalah refleksi dari akurasi pandangan Nabi ï·º tentang siapa yang paling layak memimpin dalam kondisi genting.
Seleksi ini berlanjut bahkan setelah wafatnya Rasulullah ï·º. Ketika umat kebingungan pasca wafatnya sang Nabi, Umar bin Khattab tampil dengan kejernihan pikir dan keberanian jiwa. Ia menggenggam tangan Abu Bakar, lalu berkata:
> “Siapa yang lebih layak memimpin umat ini selain orang yang pernah menjadi imam salat kita ketika Nabi masih hidup?”
Logika Umar sederhana, tapi dalam: jika Abu Bakar diakui sebagai imam salat oleh Rasulullah ï·º, maka ia juga layak memimpin umat setelah kepergian sang Nabi. Maka dibaiatlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
Umar: Pemimpin yang Memilih dengan Hati dan Akal
Ketika giliran Umar bin Khattab memimpin, ia membawa standar seleksi kepemimpinan ke tingkat yang lebih mendalam. Baginya, memilih pemimpin bukan hanya soal popularitas, bukan pula karena hubungan pribadi atau kerajinan ibadah semata.
Ia melihat lebih dalam.
Ia mendengar lebih peka.
Ia menilai lebih jernih.
Bagi Umar, pemimpin adalah penentu arah zaman. Maka salah memilih berarti menghancurkan masa depan umat. Maka dari itu, ia menakar bukan hanya dari permukaan, tapi dari esensi karakter.
Menembus Kepalsuan: Ujian Makan, Safar, dan Uang
Umar punya tiga alat untuk menguji karakter seseorang. Ia sering berkata:
> “Jika kau ingin mengenal seseorang, makanlah bersamanya, lakukan perjalanan jauh dengannya, dan bertransaksilah dengannya.”
Saat makan, tampaklah kesederhanaan dan pengendalian diri. Saat safar, tampaklah kesabaran dan kepemimpinan. Saat bertransaksi, terbukalah kejujuran dan amanah. Ini bukan teori, tapi praktik. Umar melakukannya—salah satunya terhadap Ahnaf bin Qais, yang diuji lewat uang dan sikapnya terhadap masyarakat.
Pernah seseorang diberi uang oleh utusan Umar untuk diamati. Jika uang itu digunakan hanya untuk dirinya, ia dicoret dari daftar calon pejabat. Tapi bila uang itu dibagikan kepada orang miskin, maka namanya dinaikkan.
Huzaifah bin Al-Yaman: Barometer Kejujuran dan Kemunafikan
Umar tahu, wajah bisa menipu, ibadah bisa disandiwarakan. Maka ia meminta pendapat Huzaifah bin Al-Yaman—sahabat yang diberi amanah oleh Rasulullah ï·º untuk mengetahui nama-nama munafik.
“Apakah kau melihat tanda kemunafikan padanya?” tanya Umar.
Sebab Umar sadar, seorang munafik bisa jadi lebih sering ke masjid daripada orang jujur. Tapi mereka menyimpan racun dalam lisan dan kelicikan dalam janji. Maka Huzaifah menjadi semacam cermin batin yang membantu Umar menyaring tokoh-tokoh berwajah teduh tapi berhati gelap.
Belajar dari Penolakan Rasulullah kepada Abu Dzar
Kepemimpinan juga tentang kemampuan memikul beban. Umar mengambil pelajaran dari Rasulullah ï·º yang pernah menolak permintaan Abu Dzar al-Ghifari, meskipun ia seorang sahabat yang zuhud dan saleh.
Rasulullah ï·º bersabda:
> “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, dan kepemimpinan adalah amanah. Pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi yang menunaikannya dengan benar.”
(HR. Muslim)
Kepemimpinan bukan soal kesalehan pribadi semata, tapi keteguhan mental, kemampuan mengelola konflik, dan ketahanan terhadap godaan dunia. Umar paham itu.
Lihat Bagaimana Ia Memperlakukan Keluarganya
Umar punya standar yang mengejutkan: ia menilai calon pemimpin dari bagaimana ia memperlakukan anak dan istrinya.
“Jika ia kasar kepada keluarganya,” kata Umar, “bagaimana mungkin ia akan lembut kepada rakyat?”
Sebab keluarga adalah tempat tanpa topeng. Di sanalah muncul watak asli. Jika seseorang tak bisa berlaku adil dan sabar terhadap yang paling dekat, bagaimana ia akan adil terhadap yang jauh?
Ilmu dan Waspada: Dua Pilar Seleksi
Bila ada dua orang sama-sama saleh, Umar akan memilih yang lebih berilmu. Sebab ilmu membuat seseorang bijak. Ia memahami realitas, bisa menimbang maslahat dan mafsadat, dan tidak mudah tertipu oleh godaan atau bisikan sesat.
Selain itu, Umar juga memilih mereka yang mampu mengenali keburukan. Ia berkata:
> “Manusia tidak akan selamat dari keburukan sampai ia mengenal keburukan itu sendiri.”
Pemimpin harus punya radar terhadap bahaya. Harus mampu mencium kebusukan dari jauh, dan tahu cara menghindarinya.
Kebijakan yang Menembus Zaman
Pilihan-pilihan Umar bukan hanya akurat, tapi tahan uji. Banyak pejabat yang ia angkat tetap bertahan hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ini bukti bahwa pilihan Umar bukan hasil kompromi politik, melainkan intuisi spiritual dan kecerdasan manajerial.
Menurut Umar, salah satu tanda bahwa Allah mencintai seorang pemimpin adalah dikelilinginya ia oleh orang-orang terbaik. Sebaliknya, pemimpin yang dikelilingi oleh penjilat dan penghasut adalah tanda bahwa ia sedang dibiarkan oleh Allah.
Wasiat Terakhir: Memilih Khalifah dengan Lembaga Syura
Menjelang wafat, Umar bin Khattab tidak menunjuk penerusnya secara langsung. Ia membentuk majelis syura beranggotakan enam sahabat mulia, termasuk Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Umar ingin agar pemimpin dipilih berdasarkan musyawarah, bukan warisan atau ambisi pribadi.
Ia berkata:
> “Jika ada dua yang berselisih, ikutilah pendapat mayoritas. Tapi jika tiga banding tiga, ikutilah pendapatnya Abdurrahman bin Auf.”
Dengan itu, Umar mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah hasil dari proses kolektif. Ia bukan warisan, bukan hadiah. Ia harus lahir dari keadilan dan akal sehat.
Untuk Nusantara: Kapan Kita Selektif Seperti Umar?
Negeri ini tak kekurangan orang yang pandai bicara, lihai bersilat kata, dan rajin memamerkan kesalehan. Tapi kita terlalu sering tertipu oleh tampilan luar. Kita lupa menilai seseorang di ruang-ruang kecil: saat ia lapar, saat ia marah, saat ia memegang uang.
Umar mengingatkan: seleksi pemimpin adalah akar dari semua perbaikan. Kesalahan pertama dalam kepemimpinan adalah membiarkan orang yang salah berada di lingkar kekuasaan. Maka perbaikan bangsa harus dimulai dari sini.
Bukan sekadar memilih siapa yang akan duduk di kursi tertinggi, tapi siapa yang akan duduk di sekelilingnya.
Kita butuh pemimpin yang tidak hanya rajin salat, tapi juga adil. Yang tidak hanya fasih bicara, tapi juga tabah diuji. Yang tidak hanya dermawan di depan kamera, tapi juga sabar dan tulus terhadap keluarganya.
Kita butuh pemimpin seperti yang dipilih Umar: kuat dan amanah, cerdas dan bersih, lembut dan berani.
Maka semoga dari lorong-lorong sunyi Nusantara ini, lahir kembali semangat Umar bin Khattab. Semangat untuk tidak silau pada wajah, tidak tunduk pada nama besar, dan tidak takut mengambil keputusan sulit demi kebaikan umat.
Semoga Allah melindungi bangsa ini dengan pemimpin yang benar.
Aamiin.
0 komentar: