Berjiwa Kuantum atau Berjiwa Hancur?
Oleh: Nasruloh Baksolahar
---
Apa itu quantum? Dalam fisika, ia dikenal sebagai lompatan energi, transisi tak terduga dari satu keadaan ke keadaan lain. Tapi bagaimana jika kita tarik ke ranah kejiwaan? Apakah mungkin jiwa juga mengalami lompatan seperti itu—melompat dari gelap ke terang, dari lalai ke sadar, dari beku ke hangatnya cinta Ilahi?
Lantas, bagaimana dengan kita? Apakah jiwa kita melompat atau justru terjun bebas—menuju kehancuran?
Jangan berjiwa seperti Qorun dan Samiri. Mereka dulunya adalah pengikut Nabi Musa, bahkan bagian dari kelompok yang menyaksikan mukjizat agung. Tapi mereka terperangkap oleh kerakusan, ego, dan kepentingan dunia. Bahkan istri Nabi Nuh dan Luth, meskipun hidup di rumah para nabi, tidak terselamatkan.
Sebaliknya, lihatlah para ahli sihir Fir’aun yang justru bersujud kala kebenaran datang. Lihatlah istri Fir’aun, yang berdoa agar dibangunkan rumah di surga. Lihatlah pembesar istana yang menasihati Fir’aun dengan lembut dan penuh iman. Mereka adalah contoh jiwa-jiwa yang melompat. Jiwa yang mampu melawan arus, bahkan dari dalam sistem kekuasaan yang paling dzalim.
Mengapa jiwa kita tidak pernah melompat? Mengapa perjalanan jiwa kita seperti garis lurus, atau paling jauh hanya linier—datar, monoton, seolah tak bernyawa? Mengapa hari ini terasa sama seperti kemarin, atau bahkan lebih buruk? Kita tidak sedang diam, tapi juga tidak bergerak.
Padahal, modal manusia sama. Jiwa manusia memiliki struktur dan potensi yang serupa. Namun mengapa ada di antara kita yang mampu menempuh jalan para Waliyullah, sementara yang lain tenggelam dalam kelalaian?
Lihatlah Habib Al-Ajami. Dulunya rentenir, keras hati, jauh dari cahaya. Tapi ia berubah. Ia menempuh jalan panjang untuk membersihkan dirinya, hingga sejajar dengan Hasan Al-Bashri, sang ahli zuhud. Malik bin Dinar? Masa mudanya penuh dengan kegilaan dunia, musik, dan pesta malam. Tapi hatinya diguncang oleh kehilangan, oleh kerinduan, dan akhirnya oleh sebuah ayat suci.
Ayat itu adalah:
> "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?"
(QS. Al-Hadid: 16)
Ayat ini pula yang menyentuh Fudhail bin Iyad. Ia dulunya perampok yang ditakuti. Tapi suatu malam, saat hendak mencuri, ia mendengar orang membaca ayat yang sama. Ia terdiam. Jiwa yang keras itu retak. Lalu hancur. Lalu terlahir kembali.
> “Ya Allah, sungguh telah datang waktunya.” katanya dalam tangis yang panjang.
Lompatan itu tidak dimulai dari amal yang besar. Tapi dari kesadaran. Dari satu ayat. Dari satu titik hening yang membuka celah bagi cahaya.
Abu Hanifah? Awalnya hanya pedagang kain. Tapi pikirannya terusik oleh keinginan memahami hukum Allah. Ia belajar, mendalami, hingga menjadi salah satu imam terbesar dalam sejarah Islam.
Abdullah bin Mubarak? Ia dulunya pemuda yang larut dalam dunia dan wanita. Tapi hatinya terbalik. Mabuknya berubah—bukan karena dunia, melainkan karena cinta kepada Allah. Fudhail bin Iyad? Ia tinggalkan jalanan, menuju malam-malam sujud dan tangis. Mereka semua jatuh, tapi mereka juga bangkit. Mereka melompat. Sementara kita, apa yang kita lakukan dengan jatuh-jatuh kita?
Padahal, jiwa mereka sama dengan kita. Nafsu mereka tidak berbeda. Semua manusia diberi potensi dan bekal yang sama oleh Allah. Lalu, mengapa ada yang mencintai Allah dan Rasul-Nya setinggi langit, sedangkan kita tetap dingin dan hambar?
Mengapa sebagian orang menatap langit dan melihat Tuhan, sedang kita hanya melihat awan?
Muhammad bin Wasi pernah berkata:
> “Aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah di dalamnya.”
Betapa tajam pandangannya, betapa bening hatinya. Kita? Kita melihat daun hanya daun, langit hanya biru, dan hidup hanya rutinitas.
Semua orang punya beban. Semua orang punya hutang. Tapi ketika Khalifah Harun Al-Rasyid bertanya kepada Fudhail bin Iyad tentang hutangnya, ia menjawab:
> “Ya, hutang kepada Allah—yakni ketaatan kepada-Nya. Celakalah aku jika Allah memanggilku untuk mempertanggungjawabkan itu.”
Mengapa jawaban kita tak pernah seberat itu? Apakah karena kita terlalu ringan menjalani hidup ini?
Suatu ketika, Dzun Nun Al-Mishri melihat seorang nenek tua berjalan sendiri, membawa tongkat, mengenakan jubah dari bulu domba. Ia bertanya:
> “Dari mana dan hendak ke mana, Nek?”
Nenek itu menjawab:
> “Dari Allah dan menuju kepada Allah.”
Dzun Nun, sang sufi besar, terdiam. Tersentak oleh kalimat yang lebih dalam dari samudera. Sebab dalam jawaban itu terkandung seluruh makna perjalanan spiritual.
Lalu, kita? Dari mana dan hendak ke mana kita sebenarnya?
Setiap orang pernah bahagia dan sedih. Tapi apa yang menjadi sumber kebahagiaan dan kesedihan itu? Di situlah perbedaan kualitas jiwa terungkap.
Ahmad bin Masruq berkata:
> “Jika seseorang merasakan kegembiraan dari selain Allah, maka kegembiraan itu akan membuahkan kesusahan.”
Dan ia juga berkata:
> “Jika seseorang tidak akrab dengan pengabdian kepada Allah, maka keakrabannya akan membuahkan kesepian.”
Apakah definisi kita tentang bahagia dan sepi juga seperti itu?
Kita sering mengira bahwa jiwa tidak bisa melompat. Padahal jiwa bisa. Bukan dengan langkah kaki, tapi dengan kehendak yang bersih, hati yang jernih, dan kesadaran yang sadar penuh kepada Allah.
Lalu apa sebenarnya penghalangnya?
Ahmad bin Muhammad bin Sahl Al-Amuli menjawab:
> “Terlena dalam kebiasaan alamiah mencegah seseorang menjangkau derajat ruhani yang terpuji.”
Kebiasaan yang tak disaring. Kegiatan yang diulang tanpa makna. Makan, tidur, bekerja, berbicara—semua dijalani seperti robot. Maka ruh kita terpenjara dalam lingkaran itu. Kita tidak melompat. Kita hanya berputar di tempat.
Maka pertanyaannya: apakah kita berjiwa kuantum—yang meloncat, menembus batas, mendekat kepada Allah? Ataukah kita justru berjiwa hancur—yang terjun bebas, tapi bukan kepada ampunan, melainkan ke lembah kehampaan?
Lompatan itu tidak selalu indah. Kadang penuh luka. Tapi luka itulah yang membuka jendela.
Mungkin bukan karena kita tidak mampu melompat.
Tapi karena kita belum sungguh-sungguh ingin.
0 komentar: