Reformasi Birokrasi ala Umar bin Abdul Aziz
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
---
Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah, langkah pertamanya bukan mengatur kekuasaan atau menyusun strategi kekaisaran. Ia justru bertanya: "Apakah kekuasaanku ini sah secara syariat? Apakah ia legal menurut sunah Khulafa'ur Rasyidin?"
Lalu ia berdiri di hadapan rakyat:
> “Aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Demi Allah, aku tidak menginginkan jabatan ini, tidak memintanya, baik dalam doa tersembunyi maupun terang-terangan. Jika kalian memilihku tanpa musyawarah, aku tidak akan menerimanya. Namun jika kalian memilihku melalui syura, maka aku akan taat dan memimpin kalian sebagaimana yang mampu aku lakukan.”
Dengan syura, Umar bin Abdul Aziz meraih legitimasi bukan hanya di mata rakyat, tetapi juga di mata para ulama yang selama ini menjauh dari kekuasaan. Dan sejak saat itu, para ulama mendukung penuh langkah-langkah kebijakan sang khalifah.
---
Langkah Awal: Membersihkan Harta
Langkah selanjutnya: bukan mengangkat panglima, bukan mempersiapkan ekspansi. Tapi membersihkan harta.
Harta pribadi, harta keluarga, bahkan kas negara—semua ditelusuri. Apakah ada yang berasal dari kedzaliman? Dari kecurangan, dari pengkhianatan amanah, dari tamak dan tipu daya? Ia ingin semuanya kembali kepada syariat Allah.
> “Wahai manusia, sesungguhnya aku bukan hakim atas kalian, aku adalah pelayan kalian. Harta ini bukan milikku, bukan milik ayahku, bukan pula milik ibuku. Ini amanah umat. Aku hanya mengembalikannya kepada yang berhak.”
Kepada para gubernurnya, Umar bin Abdul Aziz menulis:
> “Siapa yang memiliki harta yang diambil secara zalim oleh keluargaku (Bani Umayyah), kembalikanlah kepada pemiliknya. Jika pemiliknya tidak dikenal, masukkanlah ke dalam baitul mal kaum Muslimin.”
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya: "Mana yang lebih utama: shalat malam atau mencari nafkah halal?" Beliau menjawab: "Nafkah halal." Karena kehalalan adalah fondasi segala ibadah.
---
Hidup Sederhana: Menyentuh Hati Langit
Setelah merombak sistem penerimaan negara, Umar memangkas pengeluaran. Perabot istana diganti. Pakaian disederhanakan. Makanan pun tak lebih mewah dari rakyat jelata. Dunia tak lagi menarik di matanya.
> “Aku tak butuh semua ini. Kendaraan yang biasa kupakai sudah cukup. Gantilah semua ini dengan yang sederhana, dan kembalikan sisanya ke baitul mal.”
Suatu hari, ia bertanya kepada seorang sahabat:
> “Bagaimana cara mendapat pertolongan Allah dalam mengelola negara?”
Sang sahabat balik bertanya:
> “Bagaimana sikapmu terhadap dunia?”
Umar menjawab:
> “Aku telah meninggalkannya.”
Maka sahabat itu berkata:
> “Itulah sebab Allah akan menolongmu.”
---
Kekuasaan Tak Menjamin Kemenangan
Umat Islam tidak akan bangkit hanya dengan mengandalkan kekuasaan, teknologi, kekayaan, atau strategi. Bila umat menggantungkan diri pada dunia, maka Allah mencabut kemenangan dari tangan mereka. Sejarah menjadi saksi.
> Dr. Raghib as-Sirjani menulis: “Andalusia bukan kalah oleh kekuatan musuh, tapi karena kehinaan diri sendiri dan hilangnya ruh jihad dalam jiwa umat.”
Banyak kekhalifahan dan kesultanan runtuh, bukan karena kekurangan sumber daya. Tapi karena mereka lupa pada tugas suci: menegakkan syariat, menunaikan jihad, dan membangun peradaban.
Pesan Muhammad Al-Fatih kepada anaknya saat akan wafat adalah bukti:
> “Pertama dan terpenting, jadilah pelindung agama Islam. Karena sesungguhnya itu adalah kewajiban terbesar bagi para khalifah dan raja. Jangan sekali-kali engkau mengangkat orang yang tidak takut kepada Allah dan tidak menjauhi dosa besar ke dalam urusan negara.”
---
Mencari Pembantu yang Amanah
Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz meminta sahabatnya mengirim salinan semua keputusan dan surat-surat Umar bin Khattab. Ia ingin menapak jejak Sang Al-Faruq.
Namun ia juga tahu, yang lebih sulit adalah menemukan orang-orang selevel dengan para pembantu Umar bin Khattab.
Ia berkata: “Dari mana aku akan dapatkan orang-orang seperti mereka?”
Sahabatnya menjawab:
> “Jika niatmu sungguh-sungguh untuk berjihad menegakkan kebaikan, maka Allah akan mengutus orang-orang terbaik untuk membantumu.”
Kebaikan menarik kebaikan. Keburukan menarik keburukan. Bila pemerintahan dikelilingi oleh koruptor dan pembohong, itulah cerminan isi hati sang pemimpin.
---
Bersandar pada Ulama, Bukan pada Dunia
Umar bin Abdul Aziz tak ragu meminta nasihat dari Hasan al-Bashri, ulama besar tabi’in. Ia ingin menjadikan para ulama sebagai cahaya, bukan sebagai musuh kekuasaan.
Hasan al-Bashri berkata kepadanya:
> “Wahai Amirul Mukminin, Allah mengangkat seorang pemimpin untuk memperbaiki yang rusak di antara manusia. Jika ia memperbaiki, maka rakyat ikut baik. Tapi jika ia rusak, maka rakyat ikut rusak. Dunia ini bukan tempat balasan, tapi tempat ujian. Jangan engkau jual akhiratmu demi dunia orang lain.”
---
Akhir yang Mulia
Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz hanya berlangsung dua tahun lebih. Tapi dalam waktu sesingkat itu, ia menorehkan jejak abadi. Keadilan merata. Pajak turun. Korupsi lenyap. Dan baitul mal penuh hingga tak ada lagi yang berhak menerima zakat.
Ia wafat dalam kondisi sederhana. Tak menyisakan harta, tak meninggalkan istana. Tapi meninggalkan satu warisan besar: teladan.
Teladan bahwa kekuasaan bukan untuk dibanggakan. Tapi untuk ditakuti—karena kelak dipertanggungjawabkan.
Teladan bahwa pemimpin sejati bukan mereka yang disanjung. Tapi yang diam-diam menangis di malam hari, karena takut akan murka Rabb-nya.
Inilah reformasi birokrasi ala Umar bin Abdul Aziz. Bukan dimulai dari anggaran. Tapi dari hati. Bukan dengan audit, tapi dengan taubat. Bukan dengan kebijakan, tapi dengan keteladanan.
0 komentar: