Tanda Kekalahan Intelektual
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Pernahkah kita menyaksikan seseorang kalah dalam berdebat, lalu membalasnya dengan amarah? Atau ketika kata-kata tak lagi mampu menjawab, kekuasaan pun digunakan sebagai senjata? Inilah tanda paling nyata dari kekalahan intelektual.
Namrud kalah berargumentasi, maka Ibrahim dibakarnya.
> "Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya (karena) Allah telah memberinya kekuasaan (kerajaan)? Ketika Ibrahim berkata, 'Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.' Dia (Namrud) berkata, 'Aku juga dapat menghidupkan dan mematikan.' Ibrahim berkata, 'Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.' Maka bingunglah orang kafir itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
(QS. Al-Baqarah: 258)
Ketika logika gagal menjawab, api dijadikan solusi. Kekuasaan menjadi alat untuk membungkam bukan untuk melayani kebenaran.
Begitu pula dengan pembesar Mesir. Saat tak mampu membantah Yusuf, mereka memilih memenjarakannya.
> "Kemudian setelah mereka melihat tanda-tanda (kebenaran), mereka memutuskan untuk memenjarakannya sampai waktu tertentu."
(QS. Yusuf: 35)
Penjara menjadi tempat bagi orang-orang yang terlalu benar, ketika lingkungan telah kehilangan nurani dan logikanya.
Fir’aun juga tak berbeda. Saat Musa menunjukkan mukjizat yang nyata, ia malah mengangkat dirinya sebagai tuhan.
> "Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi dia (Firaun) mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha (menantang). Lalu dia mengumpulkan (kaumnya) dan berseru (dengan sombong): ‘Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.’"
(QS. An-Nazi'at: 20–24)
Ketika dalil tak lagi sanggup dibantah, ego ditinggikan, dan rakyat dijadikan tameng. Siksaan menjadi bukti bahwa argumentasi telah mati.
Musyrikin Quraisy pun demikian. Ketika mereka tak mampu menandingi argumentasi Rasulullah ï·º, mereka menyiksanya. Fenomena ini terus berulang. Kekerasan, siksaan, dan penjara adalah tanda kekalahan intelektual yang paling telanjang dalam sejarah manusia.
Kekokohan Intelektual Berakar dari Akidah
Kekuatan intelektual sejati tidak terletak pada banyaknya gelar, tidak pula pada luasnya pengetahuan duniawi, melainkan pada kokohnya akidah.
Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an menulis:
> "Islam tidak memusuhi akal, tetapi menetapkan bahwa pondasi akal adalah iman."
Akal tanpa iman akan tersesat. Ia bisa diseret oleh ego, uang, kekuasaan, atau gengsi. Maka, kekuatan akal yang sejati harus berdiri di atas pondasi tauhid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pun menegaskan:
> “Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan wahyu yang sahih. Akan tetapi, mendahulukan akal di atas wahyu secara mutlak adalah menempatkan prasangka di atas keyakinan—dan itu kerusakan dalam akal dan agama.”
(Dar' Ta'arud al-‘Aql wa al-Naql)
Ilmu dan teknologi bukanlah puncak kekuatan intelektual. Ia hanyalah kendaraan, bukan arah. Ia hanyalah sarana, bukan tujuan. Ketika sains tidak lagi bertumpu pada nilai dan iman, maka ia dapat menjadi alat pembinasaan yang justru mematikan akal.
Kecerdasan yang Tergoda Dunia
Qarun menampilkan seluruh kekayaannya untuk menciptakan keterpesonaan. Ia mengecoh akal manusia agar tak lagi melihat pada hakikat kebenaran, melainkan pada gemerlap dunia.
> "Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dengan perhiasannya. Berkatalah orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia, 'Wahai, semoga kami mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.'"
(QS. Al-Qashash: 79)
Inilah strategi klasik: mengalihkan perhatian dari kebenaran kepada kesenangan. Dan akal yang tidak dibimbing wahyu akan mudah terpukau.
Haman, tangan kanan Fir‘aun, menggunakan teknologi sebagai dalih untuk meruntuhkan wahyu. Ia membangun menara pencakar langit agar dapat "melihat Tuhan Musa"—sebuah sinisme yang dikemas sebagai kemajuan.
> "Dan Fir‘aun berkata: 'Hai Haman, bangunkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa. Dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.' Demikianlah dijadikan Fir‘aun memandang baik perbuatan buruknya itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar). Dan tipu daya Fir‘aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian."
(QS. Al-Mu’min: 36–37)
Teknologi dijadikan standar kebenaran. Infrastruktur dan proyek megah dijadikan tolok ukur keberhasilan. Namun semua itu tak pernah bisa menggantikan kekuatan akal yang tercerahkan oleh wahyu.
Mayoritas Bukan Ukuran Kebenaran
Di zaman ini, banyak orang menilai benar dan salah berdasarkan jumlah pengikut. Yang viral dianggap paling bernilai. Yang disukai massa dianggap paling valid. Padahal mayoritas bukan ukuran kebenaran.
Al-Qur’an mengingatkan:
> "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah."
(QS. Al-An‘am: 116)
Akal harus berdiri di atas dalil, bukan tren. Kebenaran tetaplah benar walau hanya diikuti segelintir manusia.
Wahyu: Puncak Intelektualitas Manusia
Kekuatan intelektual tertinggi terletak pada Al-Qur’an dan Sunnah. Di sanalah tersimpan argumentasi tertinggi, cahaya yang tak pernah padam, dan hujjah yang tak bisa dikalahkan.
Imam Syafi‘i menulis dalam syairnya:
> "Semua ilmu selain Al-Qur'an hanyalah kesibukan,
Dan ilmu selain hadits Nabi hanyalah sia-sia.
Jika engkau mencari ilmu untuk selain agama,
Maka demi Allah, tipuanlah yang kau pelajari."
(Diwan al-Imam al-Syafi‘i)
Imam Ibnul Qayyim berkata:
> “Ilmu itu adalah apa yang dibawa oleh Rasul ï·º. Selainnya hanya sekadar bisikan-bisikan pikiran.”
(Miftah Dar as-Sa‘adah, 1/85)
Al-Qur’an dan Sunnah adalah puncak kecerdasan, karena bersumber dari Zat Yang Maha Mengetahui. Wahyu adalah cahaya yang menunjukkan jalan ketika akal buntu.
Ketika manusia berpaling dari wahyu, ia mulai mengandalkan fatamorgana: hiburan, sensasi, teknologi, dan kekuasaan. Akal pun gelap. Intelektualitas menjadi alat tipu daya. Ilmu berubah menjadi ilusi.
Namun bagi mereka yang kembali pada wahyu, Al-Qur’an dan Sunnah menjadi mercusuar. Ia bukan hanya membimbing akal, tetapi juga membersihkan jiwa dan menegakkan keadilan. Ia menjadikan ilmu sebagai jalan ibadah, dan intelektualitas sebagai bukti iman.
Inilah jalan para nabi. Inilah kekuatan sejati.
Bukan pada kekuasaan. Bukan pada senjata. Bukan pada kekayaan. Tetapi pada kebenaran yang bersandar pada wahyu.
Dan mereka yang menolak kebenaran karena kalah logika, tak punya jalan lain kecuali satu:
Membungkam, menindas, dan menyesatkan.
Itulah tanda kekalahan intelektual.
0 komentar: