Saat Akal Tak Tahu Jalan Keluar
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Dalam tiga lapis kegelapan—malam yang pekat, kedalaman samudera yang menyesakkan, dan perut ikan paus yang gelap gulita—Nabi Yunus tetap optimis bahwa keselamatan akan datang. Padahal, akal tak memberi harapan. Tak ada peta, tak ada pengalaman, dan tak ada makhluk yang mampu menolongnya. Ini bukan sekadar ujian logika, tapi pelajaran keimanan. Akal tak tahu jalan keluar, tapi hatinya tahu ke mana harus berharap.
"Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka ia pun menyeru dalam kegelapan: 'Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.'"
(QS. Al-Anbiya: 87):
Nabi Yunus tak memohon peta atau pertolongan teknis. Ia hanya bersimpuh dalam keinsafan, merendahkan diri kepada Rabb-nya. Ia tahu, pertolongan sejati bukan datang dari luar, tapi dari langit yang mengawasi hamba-hamba-Nya.
Begitu juga Yusuf kecil. Dalam gelapnya sumur di padang pasir, tanpa suara manusia, tanpa harapan logika, ia ditinggalkan oleh saudara-saudaranya. Masih anak-anak, belum mengenal medan gurun, belum punya keterampilan bertahan hidup. Tapi tak ada teriakan atau ratapan. Yang ada hanyalah wahyu yang menguatkan hati:
"Maka ketika mereka membawanya (Yusuf) dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur, Kami (Allah) mewahyukan kepadanya: 'Sungguh, engkau akan menceritakan kepada mereka (perbuatan ini) kelak, sedang mereka tidak menyadari.'"
(QS. Yusuf: 15)
Allah tidak memberi tahu Yusuf cara keluar dari sumur, tapi memberi janji bahwa kisah ini akan selesai dengan pembelaan. Janji ini menjadi obor harapan di tengah gelapnya sumur dan sunyinya gurun.
Begitu juga Ibrahim. Dalam kepungan api yang menyala-nyala, tubuhnya diikat dan dilempar ke tengah kobaran. Dalam sejarah manusia, siapa yang pernah selamat dari api besar? Tapi Ibrahim tidak panik, tidak meronta. Ia yakin, bahwa jika seluruh dunia menjadi lawan, maka cukup Allah menjadi pembela.
"Dan mereka hendak melakukan tipu muslihat terhadap Ibrahim, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang paling merugi."
(QS. Al-Anbiya: 70)
Apinya padam. Muslihatnya gagal. Karena yang diandalkan bukan kekuatan, tapi ketauhidan.
Begitu juga Musa. Di depannya laut luas, di belakangnya pasukan Firaun. Tak ada opsi. Tak ada perahu. Semua pengikutnya panik.
"Maka ketika kedua kelompok itu saling melihat, para pengikut Musa berkata, 'Kita pasti akan tertangkap!'"
"(Musa) berkata: 'Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.'"
(QS. Asy-Syu'ara: 61-62)
Inilah iman. Bukan tahu caranya, tapi yakin pada pemberi jalan. Bukan berharap pada pengalaman, tapi bersandar pada Zat yang tak terbatas.
Dan akhirnya, Rasulullah ï·º. Di Thaif, ia dilempar batu. Seluruh pelindungnya telah tiada. Diusir dari Makkah, ditolak di Thaif, dan kini kembali ke kota yang pernah mengusirnya. Zaid bin Haritsah bertanya: "Siapa yang akan melindungi kita di Makkah, ya Rasulullah?"
Namun beliau tetap melangkah. Karena pijakannya bukan di bumi, tapi di langit. Ia lalu berdoa:
"Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya daya upayaku, dan hinanya aku di hadapan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih. Engkau adalah Rabb orang-orang yang tertindas. Engkau adalah Tuhanku...
Selama Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli. Namun keselamatan dari-Mu jauh lebih luas bagiku. Aku berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang menerangi segala kegelapan... Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan-Mu."
Dari mana datangnya keteguhan ini? Dari iman. Iman bukan teori. Iman adalah cahaya yang tetap menyala meski semua lampu padam.
Indonesia pun pernah tenggelam dalam kegelapan penjajahan. Para sultan melawan, gugur. Para panglima bangkit, syahid. Ulama dan santri turun ke medan laga. Tapi yang menang bukan karena senjata, melainkan karena kesatuan hati, karena keimanan pada keadilan Allah.
Ketika seluruh rakyat bersatu dengan doa, bambu runcing pun menjadi saksi kemenangan. Karena kemenangan sejati tak pernah datang dari jumlah atau kekuatan, melainkan dari pertolongan Allah.
Optimisme sejati tak lahir dari statistik atau kekayaan. Ia tumbuh dari iman yang mantap. Ia lahir dari jiwa yang bersandar pada Zat Yang Maha Kuat.
Jika seluruh dunia ingin menghancurkanmu, tapi Allah ingin menyelamatkanmu—maka siapa yang mampu mencelakakan?
Jika seluruh manusia ingin mengangkatmu, tapi Allah tidak merestui, maka siapa yang dapat menyelamatkan?
Karena semua urusan kembali kepada-Nya.
Di situlah, saat akal tak tahu jalan keluar, iman menemukan jalannya.
0 komentar: