Yang Diblokade, Malah Bisa Melawan?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Iran mulai mengalami blokade ekonomi dan sanksi internasional secara serius sejak tahun 1979, tepat setelah Revolusi Islam menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi dan menempatkan Ayatollah Khomeini sebagai pemimpin Republik Islam Iran.
Sejak itu, aset-aset Iran di luar negeri dibekukan. Hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan sebagian besar negara Eropa diputus. Iran dilarang mengekspor berbagai komoditas strategis, terutama minyak dan gas. Perusahaan asing yang berinvestasi di sektor energi Iran dikenai sanksi. Bahkan, akses Iran ke sistem keuangan global—seperti SWIFT—diputus secara sepihak.
Situasi serupa juga dialami Gaza. Sejak tahun 2007, wilayah ini mengalami blokade total yang diberlakukan oleh Israel dengan dukungan Mesir. Israel mengontrol pelabuhan, bandara, dan wilayah udara Gaza. Barang-barang penting seperti bahan bangunan, obat-obatan, dan listrik dibatasi masuknya. Ekspor dari Gaza hampir mustahil dilakukan. Mesir pun sering menutup perbatasan Rafah—satu-satunya pintu keluar Gaza yang tidak dikendalikan Israel.
Namun, yang menjadi pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin Iran dan Gaza—yang sama-sama berada dalam tekanan dan blokade berkepanjangan—justru mampu melawan kekuatan militer terbesar di kawasan, yaitu Israel?
Bukankah blokade berarti terkuncinya seluruh akses terhadap sumber daya? Bukankah ketiadaan akses berarti lumpuhnya potensi kekuatan? Jika Iran masih bisa menjalin hubungan dengan negara-negara yang tak sepaham dengan Barat, lalu bagaimana dengan Gaza yang nyaris tidak punya akses diplomatik maupun ekonomi sama sekali?
Lebih jauh lagi, mengapa Iran justru memiliki kemampuan strategis dan militer yang bahkan melampaui negara-negara Arab lain yang hidup dalam kondisi serba bebas? Dan mengapa Gaza memiliki nyali bertempur di tengah kelaparan, keterbatasan, dan penderitaan?
Dari mana sesungguhnya datangnya kekuatan itu?
Blokade, pada akhirnya, bukan sekadar alat tekanan. Ia bisa menjadi pemicu daya juang. Dalam kesempitan, muncul kecerdasan mengelola keterbatasan. Dalam kelaparan, muncul keberanian yang ditempa oleh keyakinan bahwa segala penderitaan ini akan berakhir—dan akan diganjar kemenangan.
Sebaliknya, lihatlah lawannya: penjajah Israel. Negara yang dimanjakan dengan segala fasilitas militer dan ekonomi oleh Amerika dan Barat. Semua teknologi tempur tercanggih disuplai. Semua saluran dukungan politik dan diplomatik dibuka. Namun justru mereka—yang dimanjakan dengan kelebihan—kewalahan menghadapi mereka yang dibatasi oleh kekurangan.
Lalu, siapa sebenarnya yang kuat?
0 komentar: