Mendukung Iran? Belajar dari Era Shalahuddin Al-Ayyubi
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi, berdiri sebuah kekhalifahan besar di Mesir: Daulah Fathimiyah, beraliran Syiah Ismailiyah. Pada tahun 1167 M, kekhalifahan ini menghadapi ancaman serius dari serangan Tentara Salib yang mengarah ke Kairo. Dalam kondisi genting itu, Khalifah Al-Adid, penguasa terakhir Fathimiyah, meminta bantuan kepada dua jenderal Sunni dari Syam: Syirkuh dan keponakannya, Shalahuddin Al-Ayyubi.
Pertanyaannya, mengapa dua tokoh Sunni justru datang membantu kekuasaan Syiah? Bukankah mereka berbeda mazhab? Bukankah konflik antara Sunni dan Syiah sudah berlangsung lama dan tajam?
Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat konteks sejarah secara lebih utuh.
Sunni vs Syiah: Luka yang Telah Lama Berdarah
Beberapa dekade sebelumnya, pada 1092 M, dunia Islam diguncang pembunuhan atas Nizhamul Mulk, wazir agung Daulah Seljuk yang Sunni. Ia ditikam oleh seorang anggota sekte Syiah Ismailiyah, yang menyamar sebagai darwis saat ia bepergian bersama Sultan Malik Shah. Nizhamul Mulk bukan sembarang wazir—dialah pendiri Universitas Nizamiyah di Baghdad, tempat Imam al-Ghazali mengajar dan menyebarkan pemikiran Sunni. Salah satu misinya adalah meluruskan doktrin Syiah yang saat itu disebarluaskan melalui Universitas Al-Azhar, pusat pendidikan di bawah kekuasaan Fathimiyah Mesir.
Sementara itu, di wilayah Syam, berdirilah Dinasti Zanky di bawah kepemimpinan Nuruddin Zanky, guru politik dan spiritual Shalahuddin. Nuruddin, seorang pembela Sunni garis depan, juga menjadi target beberapa kali upaya pembunuhan oleh kelompok Assassin (Syiah Ismailiyah). Namun, berkat sistem keamanan ketatnya, ia berhasil selamat.
Dengan latar belakang seperti ini, keputusan untuk membantu kekuatan Syiah Fathimiyah melawan Tentara Salib terasa janggal. Namun justru di sinilah kebesaran visi mereka tampak.
Mengutamakan Musuh Nyata daripada Musuh Internal
Meskipun berbeda akidah dengan Fathimiyah, Nuruddin Zanky tetap mengirimkan Syirkuh dan Shalahuddin ke Mesir. Bagi mereka, ancaman Tentara Salib jauh lebih besar dan mendesak dibanding konflik internal umat Islam. Setelah menang dan berhasil mengusir Tentara Salib dari Kairo, Shalahuddin secara bertahap mengakhiri kekuasaan Fathimiyah dan mengembalikan Mesir ke pangkuan Sunni dan Kekhalifahan Abbasiyah.
Langkah ini bukan sekadar strategi politik, tetapi juga bentuk keseimbangan antara prinsip dan realitas: membendung penjajahan asing sambil tetap menjaga misi dakwah dan pembaruan internal.
Iran, Israel, dan Pelajaran Sejarah
Hari ini, Iran yang berideologi Syiah menghadapi agresi militer dari penjajah Israel, yang secara terang-terangan melakukan genosida di Gaza dan terus merampas tanah-tanah Muslim di Palestina. Maka muncul pertanyaan penting:
Apakah kita mendukung Iran hanya karena ia Syiah? Atau menolak Iran karena perbedaan mazhab, meskipun sedang melawan Zionis?
Situasi ini tak ubahnya seperti era Shalahuddin: ketika kita harus memilih siapa musuh yang lebih nyata dan berbahaya. Konflik Sunni–Syiah memang belum usai, bahkan diperparah oleh proxy Iran di berbagai negara Muslim. Namun, apakah konflik internal ini harus membuat kita diam terhadap kejahatan global yang nyata dan terang-terangan?
Penutup
Sejarah mencatat: Shalahuddin membantu Fathimiyah bukan karena setuju dengan Syiah, tetapi karena tahu siapa musuh utama saat itu.
Maka hari ini, kebijaksanaan sejarah itu layak kita teladani. Bukan untuk membela Syiah, tetapi untuk membela umat dari penjajahan global yang lebih besar.
0 komentar: