Sultan Abdul Hamid II: Membayar Utang Rakyat Palestina
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Pada akhir abad ke-19, saat Palestina masih berada di bawah kekuasaan Kekhilafahan Utsmani, rakyatnya dilanda krisis ekonomi. Gagal panen, pajak yang berat, serta ekspansi rentenir Yahudi yang disokong organisasi Zionis internasional membuat banyak petani terjerat utang.
Tanah-tanah warisan pun mulai jatuh ke tangan asing karena tak sanggup membayar. Kehormatan umat terancam.
Strategi Zionis: Menguasai Tanah Lewat Jerat Utang
Gerakan Zionis yang dipimpin Theodor Herzl berupaya membeli tanah-tanah strategis di Palestina. Namun mereka tidak hanya datang dengan uang. Mereka menggunakan strategi yang lebih licik: menciptakan krisis dan menjerat rakyat dengan utang, lalu menyita tanah mereka saat tak mampu membayar.
Rakyat Palestina yang miskin tak mampu menebus tanahnya sendiri. Banyak keluarga menghadapi ancaman kehilangan rumah dan kampung halaman mereka.
Utusan Palestina Menghadap Sultan
Melihat ancaman itu, para ulama, tokoh adat, dan petani Palestina mengutus seorang alim bernama Syaikh Yusuf Asy-Syaqiri, dari wilayah Al-Quds, untuk menghadap Sultan Abdul Hamid II di Istanbul.
Di hadapan Khalifah, Syaikh Yusuf mengadu:
“Wahai Khalifah, tanah Palestina sedang dikepung oleh utang dan tipu daya. Rakyatmu terancam kehilangan kehormatan dan rumah mereka.”
Sultan Abdul Hamid terdiam lama, lalu menjawab tegas:
“Jika mereka datang membawa air mata, maka aku akan menjawabnya dengan harta. Tidak akan aku biarkan tanah suci itu jatuh ke tangan musuh karena utang!”
Langkah Nyata Sang Sultan
Sultan Abdul Hamid segera memerintahkan:
Utang rakyat di Al-Quds, Nablus, dan Haifa agar dilunasi secara diam-diam dari kas kekhalifahan.
Register tanah wakaf dibentuk, agar tanah umat tidak bisa dijual seenaknya, terutama kepada Zionis.
Dana pribadi kesultanan digunakan untuk menebus kembali tanah-tanah strategis yang telah berpindah tangan.
Larangan hukum resmi dikeluarkan: tanah Palestina tak boleh dijual kepada orang asing, apalagi Zionis.
Ia juga mengirim surat kepada para gubernur di wilayah Syam:
“Jika rakyatku tidak mampu membayar utangnya kepada rentenir, maka bayarkan diam-diam dari dana kekhalifahan. Jangan biarkan mereka kehilangan tanah karena kemiskinan.”
Bagi sang Sultan, utang rakyat bukan sekadar masalah ekonomi, tapi persoalan kehormatan umat Islam.
Penolakan Terhadap Theodor Herzl
Pada 1901, Theodor Herzl secara langsung datang ke Istanbul dan menawarkan pelunasan seluruh utang negara Utsmani. Sebagai imbalan, ia meminta izin membeli tanah di Palestina dan membuka pintu migrasi Yahudi ke sana.
Sultan Abdul Hamid menjawab dengan sikap tegas dan bersejarah:
“Aku tidak akan menjual satu jengkal pun dari tanah Palestina. Tanah itu bukan milikku, tetapi milik umat. Jika kekhalifahan ini hancur sekalipun, biarlah ia hancur. Tapi tanah itu tetap tanah Islam.”
Perjuangan Diteruskan oleh Syaikh Izzudin Al-Qassam
Setelah Kekhilafahan Utsmani runtuh, dan Palestina jatuh ke tangan Inggris (1917–1948), penderitaan rakyat kian menjadi. Tapi perlawanan belum padam.
Muncullah Syaikh Izzudin Al-Qassam (1882–1935), ulama asal Suriah yang menetap di Haifa, Palestina. Ia menyaksikan sendiri akibat jeratan utang dan tipu daya kolonial Yahudi-Inggris terhadap rakyat Palestina.
Al-Qassam bangkit. Ia menyatukan rakyat miskin, buruh, dan petani, membentuk sel-sel perlawanan bersenjata. Ia bukan hanya dai, tapi juga mujahid.
Dalam khutbahnya, ia pernah berkata:
“Barang siapa menjual tanahnya kepada Yahudi, maka ia telah menjual agamanya dan kehormatannya.”
Syaikh Al-Qassam akhirnya gugur dalam pertempuran melawan Inggris, tetapi semangatnya terus hidup—menjadi inspirasi utama berdirinya Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas hari ini.
0 komentar: