Sekelumit Nurani di Tengah Jahiliyah
Protes Orang Quraisy terhadap Kekerasan Pemuka Quraisy terhadap Rasulullah ï·º
Ide Tulisan: Nasrulloh Baksolahar
Narasi: ChatGPT
Masih Ada Nurani
Sejarah dakwah Rasulullah ï·º di Mekah kerap dipahami sebagai kisah tentang penolakan dan kekerasan. Dan memang benar, sebagian besar tokoh Quraisy saat itu sangat agresif menolak ajakan Nabi Muhammad ï·º, bahkan hingga menyiksa para sahabat, memboikot keluarganya, dan merancang pembunuhan.
Namun di balik tirai penindasan itu, sejarah mencatat dengan jelas: tidak semua orang Quraisy menyetujui cara-cara keji yang dilakukan para pemuka mereka. Ada suara-suara yang muncul—pelan tapi berani—yang mempertanyakan, menolak, bahkan memprotes perlakuan tidak manusiawi terhadap Nabi ï·º dan keluarganya.
1. Ketika Boikot Menjadi Titik Balik Nurani
Salah satu bentuk penindasan paling kejam terjadi pada tahun ke-7 kenabian, ketika para pemuka Quraisy memberlakukan boikot sosial, ekonomi, dan pernikahan terhadap Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib, dua kabilah yang menolak menyerahkan Nabi kepada Quraisy.
Selama hampir tiga tahun, mereka diasingkan di lembah sempit (Syi‘ib Abi Thalib), hidup dalam kelaparan, keterasingan, dan kekurangan.
Namun tekanan ini tidak membuat semua Quraisy diam. Tokoh-tokoh seperti Hisham bin ‘Amr, Zuhair bin Abi Umayyah, Mut‘im bin ‘Adi, dan Abu al-Bukhturi mulai menyusun gerakan diam-diam untuk menghentikan boikot.
> "Apakah kita membiarkan keluarga kita mati kelaparan hanya karena mereka membela darah daging mereka sendiri?"
—Zuhair bin Abi Umayyah, dalam rapat rahasia anti-boikot
Mereka akhirnya membongkar perjanjian boikot yang disimpan di dalam Ka‘bah. Ditemukan bahwa dokumen tersebut telah dimakan rayap, meninggalkan hanya nama Allah. Peristiwa ini menjadi momen dramatis yang membuka mata banyak pihak dan mencabut boikot secara resmi.
2. Mut‘im bin ‘Adi: Pelindung Rasul dari Kaum Sendiri
Salah satu tokoh Quraisy yang mencolok dalam pembelaan moral terhadap Nabi adalah Mut‘im bin ‘Adi. Ia memang tidak masuk Islam, tapi menunjukkan keberanian luar biasa saat Rasulullah ï·º kembali dari Thaif dalam keadaan terluka dan diusir.
Mengetahui bahwa Nabi hendak masuk ke Mekah tanpa perlindungan, Mut‘im berdiri bersama anak-anaknya, menghunus pedang di pintu Ka‘bah, dan menyatakan bahwa Muhammad masuk kota di bawah jaminan dan perlindungannya.
Ini adalah bentuk protes sosial diam-diam kepada Quraisy: bahwa perbedaan keyakinan tidak boleh menjadi alasan untuk menghancurkan nilai-nilai kehormatan dan perlindungan sesama warga kota.
3. Abu Thalib: Protes Melalui Keteguhan
Tak ada tokoh Quraisy yang lebih konsisten melindungi Nabi ï·º selain Abu Thalib, pamannya sendiri. Meskipun tidak pernah mengucapkan dua kalimat syahadat, Abu Thalib menolak tunduk pada tekanan kolektif untuk menyerahkan keponakannya.
Ia bahkan dengan tegas berkata dalam bait syair:
“Demi Allah, mereka tidak akan bisa menyentuhnya,
sampai aku dibaringkan mati dan dikuburkan.”
Abu Thalib bukan hanya pembela dalam darah, tapi simbol protes sosial terhadap tindakan barbar yang melampaui nilai-nilai kesukuan dan kehormatan bangsa Arab.
4. Tak Semua Menolak Karena Benci, Sebagian Karena Malu
Menariknya, protes sebagian Quraisy tidak selalu didorong oleh iman, tapi oleh rasa malu, harga diri, dan akal sehat sosial. Mereka menyadari bahwa menyiksa sesama, menindas keluarga sendiri, dan mempermalukan bangsawan Quraisy adalah aib yang mencederai tradisi dan kehormatan Arab.
Sebagian tokoh seperti al-Walid bin al-Mughirah bahkan mengakui keindahan bacaan Al-Qur’an, meskipun kemudian memilih untuk menolaknya karena tekanan politik dan gengsi sosial.
Celah Moral di Tengah Gelapnya Jahiliyah
Perjalanan dakwah Rasulullah ï·º menunjukkan bahwa kebenaran selalu menemukan sekutu, meski kadang datang dari tempat yang tak terduga. Di tengah kekerasan, boikot, dan penindasan, masih ada suara hati yang memilih membela yang benar meskipun tidak seiman.
Sejarah ini mengajarkan kita: dalam masyarakat sejahat apa pun, selalu ada nurani yang belum mati. Tugas umat Islam hari ini adalah membaca celah moral itu, merawatnya, dan menyinari jalan dengan hikmah—sebagaimana dilakukan Rasulullah ï·º.
0 komentar: