Iran di Udara, Pejuang Palestina di Darat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Tanda-tanda kewalahan dari penjajah Israel semakin nyata. Sejak serangan rudal hipersonik Iran pertama diluncurkan, Amerika dan Inggris langsung turun tangan. Bahkan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dikabarkan mengungsi ke Yunani. Sementara itu, banyak warga Israel memilih melarikan diri lewat jalur laut ke Yunani, meskipun telah dilarang keluar oleh Menteri Transportasi mereka.
Iran melaporkan keberhasilan besar: empat pesawat tempur F-35 berhasil ditembak jatuh, dan satu pilot ditahan. Ini menjadikan Iran sebagai negara pertama yang berhasil menjatuhkan pesawat tercanggih di dunia tersebut.
Serangan yang terjadi pada Senin malam, 16 Juni 2025, mengguncang posisi Israel. Tiga menit setelah rudal hipersonik Iran menghantam target, sistem pertahanan baru mulai aktif. Namun, sudah terlambat. Rudal-rudal tersebut telah berhasil menembus bunker-bunker yang selama ini menjadi tempat persembunyian para pemukim ilegal.
Pertahanan udara Israel kini telah jebol. Bahkan bunker-bunker perlindungan pun mulai rusak. Bila kita menengok sejarah Yahudi di Madinah, saat benteng mereka mulai runtuh, ketakutan massal menjadi pembuka bagi kekalahan besar. Logika sejarah itu kini kembali berulang.
Sementara Iran menekan dari udara, di darat pejuang Palestina terus memberikan tekanan. Sebagian pasukan IDF yang sebelumnya bertugas di Gaza, kini dipindahkan ke perbatasan Lebanon, Suriah, dan Irak. Di saat yang sama, pejuang Palestina gencar menyebarkan video yang menunjukkan jatuhnya tentara-tentara IDF di Gaza. Tekanan dari dua arah ini membuat Israel semakin terjepit.
Dalam kondisi genting seperti ini, apa yang dilakukan oleh penjajah?
Seperti dalam Sirah Nabawiyah, saat Yahudi mulai terdesak, mereka akan mencari bantuan dari sekutu-sekutu lamanya. Di masa Rasulullah saw., mereka meminta bantuan dari kaum munafik di Madinah serta jaringan lama sebelum hijrah untuk menjadi mediator. Begitu pula sekarang. Israel mulai meminta Amerika dan Eropa menjadi perantara untuk membujuk Iran agar menyetujui gencatan senjata.
Padahal, saat Israel melancarkan serangan ke Iran, negeri para Mullah itu sedang dalam proses serius menyusun perjanjian nuklir bersama Amerika. Hal ini diungkapkan langsung oleh Presiden Iran dalam percakapannya dengan Pangeran Saudi melalui sambungan telepon.
Dalam situasi ini, mantan Presiden AS Donald Trump ikut bersuara:
"Seharusnya Iran menandatangani perjanjian yang saya ajukan. Betapa besarnya dan sia-sianya manusia ini. Padahal itu sangat sederhana. Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir. Saya sudah katakan itu berulang kali. Semua orang harus dievakuasi dari Teheran sekarang juga!"
Retorika lama kembali dilontarkan, tapi dunia telah berubah. Kini, langit dipenuhi rudal, tanah bergemuruh oleh perlawanan, dan bunker-bunker bukan lagi tempat yang aman.
0 komentar: