basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Ketika Doa Menyatu dengan Bilah dan Peluru Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di tengah gelombang laut penjajahan yang menghantam pesis...

Ketika Doa Menyatu dengan Bilah dan Peluru

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di tengah gelombang laut penjajahan yang menghantam pesisir dan pedalaman Nusantara, para pejuang tidak hanya mengangkat senjata—mereka mengangkat kehormatan. Dari kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Banten, Mataram, Cirebon, hingga Giri Kedaton, lahirlah barisan-barisan yang tak hanya mengandalkan taktik dan tenaga, tapi juga iman dan semangat jihad.

Dalam tangan para sultan, panglima, ulama, santri, dan rakyat, senjata bukan sekadar alat tempur, melainkan manifestasi ruh perjuangan.



Keris, Tombak, dan Pedang: Bilah yang Ditajamkan oleh Doa

Sultan Trenggana dari Demak, Sultan Agung dari Mataram, hingga Sultan Ageng dari Banten dikenal membawa keris pusaka ke medan perang. Bukan sekadar lambang, keris menjadi senjata dalam duel kehormatan, sebagai tanda bahwa pemimpin pun siap gugur demi negeri. Di sisi lain, tombak panjang dan pedang bermata dua menjadi senjata utama dalam barisan laskar, dibawa oleh para panglima seperti Adipati Yunus atau Tumenggung Singaranu.

Tak kalah penting, tongkat besi para ulama yang biasa digunakan dalam dakwah, berubah menjadi alat pertahanan diri ketika musuh mulai menyerang masjid dan pesantren. Setiap bilah tajam itu diselubungi bacaan hizib dan ayat-ayat suci.



Bedil, Panah, dan Bambu Runcing: Suara Ledakan dari Tanah dan Langit

Senjata api mulai diperkenalkan lewat jaringan perdagangan Muslim dari Arab, Gujarat, Turki, dan Aceh. Meriam Lela dan senapan lontak dijadikan kekuatan andalan pelabuhan Cirebon dan Jepara. Namun di balik itu, rakyat kecil menciptakan bedil bambu, panah beracun, dan bambu runcing, menjadikannya senjata gerilya yang ditakuti pasukan VOC.

Di ladang dan gunung, petani menjadikan golok dan parang sebagai senjata pelindung, menyimpan amarah dan tekad yang diam-diam menanti komando dari pesantren.



Bukan dari Eropa, Tapi dari Doa dan Persaudaraan Muslim

Sebagian senjata itu memang datang dari luar negeri: pedang Arab, meriam dari Turki, senapan dari Gujarat, hingga teknik tempur dari para pelaut Aceh. Tapi kekuatan sesungguhnya tidak berasal dari mesiu dan logam asing—melainkan dari keyakinan bahwa mereka sedang mempertahankan akidah dan amanah para wali.

Di Giri Kedaton, Cirebon, dan Banten, senjata-senjata itu dirawat dengan minyak cendana, diasapi dengan menyan, dan dibacakan dzikir. Ia bukan benda mati, tapi bagian dari jiwa para mujahid.





Senjata Legendaris, Jiwa Abadi

Beberapa senjata dikenang sebagai legenda:
1. Keris Kyai Carubuk milik Sultan Trenggana,
2. Tombak Kyai Plered milik Sultan Agung,
3. Keris Kyai Mangir milik gerilyawan Mataram,
4. dan Meriam Ki Jimat di pelabuhan Cirebon.

Mereka bukan hanya benda, tapi saksi—dan simbol—bahwa bangsa ini pernah melawan dengan penuh harga diri.



Melawan Senjata Canggih Belanda dengan Iman yang Tajam

Penjajah datang membawa senapan canggih dan barisan tentara bayaran. Tapi pejuang Islam membawa dzikir, wirid, dan semangat ukhuwah. Mereka berperang dalam barisan yang dimulai dari shalat malam dan dzikir al-Fath. Karena mereka tahu: kekuatan sejati tak selalu ada di peluru, tapi di dada yang tak takut mati.



Jejak Senjata Itu Masih Hidup Sampai Hari Ini

Senjata-senjata zaman kesultanan itu melahirkan taklim gerilya pesantren, laskar-laskar rakyat di zaman Diponegoro, dan bahkan taktik TKR dan Hizbullah di masa revolusi kemerdekaan. Meski bentuknya berubah, semangatnya tetap satu: bahwa kemerdekaan adalah warisan suci yang dilindungi oleh bilah iman dan peluru tauhid.



Bilah, Doa, dan Darah yang Tidak Pernah Sia-Sia

Mereka berperang bukan untuk menjadi pahlawan, tapi untuk menjaga agar anak cucu tidak menjadi budak. Senjata-senjata itu menjadi saksi bahwa bangsa ini tidak pernah diam saat diinjak, dan bahwa kehormatan tak akan pernah bisa ditaklukkan oleh senjata buatan manusia.

Keris boleh berkarat, meriam boleh berkarat, tapi semangat jihad tak akan pernah padam.

Di Balik Timbangan Ada Perlawanan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mereka bukan hanya pengukur harga. Mereka adalah penjaga harga diri...

Di Balik Timbangan Ada Perlawanan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Mereka bukan hanya pengukur harga. Mereka adalah penjaga harga diri bangsa. Di balik setiap keranjang lada, tumpukan kain, dan timbangan emas, para pedagang Muslim menanam benih kemerdekaan. Saat para penjajah mengira pasar hanya tempat transaksi, para wali dan sultan telah menjadikannya medan jihad.

Saat kompeni menebar monopoli, para pedagang menyusun strategi. Dan saat penjajah menginjakkan kaki di bumi Nusantara, para saudagar Muslim telah lebih dulu menanam tekad untuk tidak tunduk, tak akan dijual dengan harga berapa pun.



Para Wali dan Sultan yang Juga Saudagar

Wali Sanga bukan hanya berdakwah di mimbar, tapi juga berdagang di pelabuhan. Sunan Giri mengirim kapal dagangnya ke timur jauh, Sunan Kalijaga menjual hasil rakyat untuk membiayai perjuangan, dan Sultan Trenggana dari Demak membangun pasar sekaligus benteng.

Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah raja sekaligus pengatur distribusi lada terbesar yang membuat VOC menggigil. Di bawah kendalinya, pelabuhan Banten jadi pusat perdagangan internasional sekaligus pangkalan logistik jihad. Dan Pangeran Diponegoro? Ia mendirikan jaringan pasar desa untuk menghidupkan perlawanan dari akar rumput.

Mereka semua tahu: barang dagangan bisa habis, tapi semangat merdeka tak boleh luntur.



Pasar: Benteng yang Tak Bisa Dihancurkan Meriam

Saat senjata dibatasi, pedagang Muslim menyelundupkan mesiu dalam peti kayu, menyembunyikan senjata di bawah karung beras, dan menyelipkan surat rahasia di antara lembar kain dagang.

Pelabuhan Jepara, Gresik, Cirebon, hingga Banten menjadi simpul jihad. Dari tempat inilah kapal berlayar membawa bukan hanya rempah, tapi juga kabar perjuangan dan bantuan bagi para mujahid. Kafilah dagang berubah menjadi konvoi kebebasan. Gudang berubah jadi lumbung perjuangan.

“Kami berdagang bukan untuk kaya, tapi untuk merdeka.”



Ketika Penjajah Mengincar Pasar, Mereka Menyalakan Perlawanan

VOC tahu siapa musuh sebenarnya: bukan hanya para sultan, tapi juga para pedagang Muslim. Maka dibuatlah monopoli. Diberlakukan pajak mencekik. Pasar rakyat dirusak, pedagang ditangkap, bahkan diasingkan.

Tapi mereka lupa satu hal: pedagang Muslim bisa bangkit dari reruntuhan, karena mereka tak dagang demi untung, tapi demi umat.

Para saudagar membentuk jaringan rahasia. Mereka berpura-pura patuh di hadapan kompeni, tapi di malam hari menyuplai laskar dengan makanan dan senjata. Mereka berdagang sambil menyebarkan pesan: “Jangan beli barang VOC. Jangan jual harga diri pada penjajah.”



Nama-Nama yang Terlupakan Tapi Berjasa

Nyai Gede Pinatih: saudagar Gresik yang membiayai Sunan Giri dan pengiriman dakwah ke luar Jawa.

Haji Hasanuddin Banten: penguasa lada yang menyumbangkan armada untuk Sultan Ageng.

Para saudagar Arab, Gujarat, Makassar: yang membawa senapan, mesiu, dan ilmu dari luar negeri.

Mereka tak tercatat di buku sejarah resmi, tapi amal mereka tercatat di langit perjuangan.



Dari Pasar ke Panggung Sejarah

Apa yang mereka wariskan?

1. Semangat ekonomi mandiri.

2. Kesadaran bahwa dagang bukan hanya mencari nafkah, tapi membebaskan umat dari ketergantungan.

3. Lahirnya Sarekat Dagang Islam, koperasi umat, dan gerakan ekonomi rakyat.


Mereka adalah benih yang menumbuhkan semangat perlawanan ekonomi hari ini. Karena bangsa yang tak punya kemandirian dagang, akan dijajah dengan cara yang lebih halus: melalui harga, utang, dan pasar.



Jika Kau Tak Punya Senjata, Milikilah Timbangan

Bangsa ini bukan hanya dibela oleh tentara, tapi juga oleh para pedagang. Mereka tak menembak peluru, tapi mengalirkan logistik. Mereka tak berteriak di medan tempur, tapi berbisik dalam tawar-menawar: “Sebagian keuntungan ini untuk jihad.”

“Jika senjata dikuasai penjajah, maka kita pakai dagang sebagai senjata.”
“Dan kalau jalan menuju benteng ditutup, maka pasar kita jadikan benteng!”

Kisah Senyap Jihad Harta Para Wali, Sultan dan Rakyat  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di balik setiap tembakan meriam dan teriakan t...

Kisah Senyap Jihad Harta Para Wali, Sultan dan Rakyat 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di balik setiap tembakan meriam dan teriakan takbir di medan laga, ada doa seorang ibu yang menjual gelangnya. Di balik setiap benteng yang menjulang, ada seorang saudagar yang diam-diam menyerahkan ladangnya. Di balik baju zirah yang melindungi prajurit Islam, ada seorang petani yang menyumbangkan hasil panennya. Inilah jihad yang jarang ditulis: jihad harta.

Di tengah gempuran Portugis dan Belanda, ketika rakyat dicekik pajak dan petani kehilangan tanah, para wali dan sultan tidak hanya mengangkat senjata. Mereka juga mengangkat timbangan, membuka ladang-ladang wakaf, dan menyulap kekayaan menjadi amunisi jihad. Inilah kisah agung ketika emas dijadikan perisai, bukan hiasan.



Harta Mereka Bukan untuk Istana, Tapi untuk Umat

Para Wali Sanga hidup bukan dari tahta. Mereka hidup dari keikhlasan dan usaha. Sunan Giri membangun pesantren dan mengirim kapal dagang ke Lombok dan Maluku. Sunan Kalijaga membuat wayang dan ukiran, hasilnya diserahkan untuk umat. Sunan Ampel dan Sunan Bonang berdagang rempah dan hasil bumi, lalu menggunakannya untuk membiayai dakwah dan pasukan.

Sementara itu, para sultan—Demak, Banten, Cirebon, Giri, Mataram—tidak hanya mengumpulkan pajak. Mereka menjual perhiasan, merelakan tanah pusaka, dan melelang emas istana demi satu kalimat suci: "La ilaha illallah".

Sultan Agung menjual permata keraton untuk membangun galangan kapal.
Sultan Trenggana membeli kembali sawah rakyat yang dirampas Portugis.
Sultan Ageng Tirtayasa menyisihkan keuntungan lada demi membebaskan rakyat dari jerat utang Belanda.



Ketika Rakyat Diinjak, Para Wali Membayar Harga Kehormatan

Zaman itu rakyat bukan hanya miskin, tapi dihina. Tanah mereka dirampas. Anak mereka diperbudak. Ibu-ibu terpaksa menjual tubuh atau anaknya untuk makan. Dalam derita itu, para wali tidak tinggal diam.

Sunan Gunung Jati menebus utang petani pelabuhan Cirebon. Ulama Giri Kedaton membeli budak-budak Muslim di Malaka dan membawa mereka pulang sebagai manusia merdeka. Bahkan pesantren-pesantren menjual hasil tani dan kitab untuk membeli kembali kebun rakyat yang dikuasai VOC.

Di saat penjajah menjadikan tanah sebagai alat penaklukan, para wali menjadikannya ladang jihad.



Benteng Dibangun dari Wakaf, Meriam Dibeli dari Zakat

Jangan bayangkan benteng Jepara, Kartasura, atau Giri dibangun dari kas kerajaan saja. Rakyat biasa membawa batu, wakafkan kayu, dan menyumbang beras. Saudagar Arab dan Gujarat mengirim senapan dan mesiu sebagai bagian dari ikatan ukhuwah Islamiyah. Bahkan, banyak perempuan melepas perhiasan pernikahan mereka demi membeli pelindung bagi santri di garis depan.



Warisan yang Tidak Bisa Dijajah: Jiwa Berkorban

Jihad harta para wali dan sultan ini bukan hanya menyelamatkan satu generasi, tapi mewariskan roh kemerdekaan. Mereka membentuk tradisi gotong-royong jihad. Rakyat belajar bahwa tanah air bukan diwarisi secara gratis, tapi ditebus dengan keringat, darah, dan emas.

Semangat ini mengalir ke pesantren. Di kemudian hari, para pejuang kemerdekaan—KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim—berdiri di atas warisan moral itu: bahwa jihad bukan hanya di medan perang, tapi juga di ladang, pasar, dan meja infak.



Ketika Emas Tak Lagi Disembah, Tapi Dikorbankan

Di zaman ketika banyak bangsa kalah karena dijajah ekonominya, Nusantara punya rahasia: orang-orang yang rela miskin demi agar Islam tidak dihina. Mereka menjadikan kekayaan sebagai alat melawan, bukan alat menindas. Mereka lebih rela menjual rumah daripada membiarkan masjid dijadikan markas kafir.

Jangan takut miskin karena jihad. Sebab, lebih hina hidup dalam penjajahan daripada mati tanpa warisan.

Apakah kita siap meneladani mereka? Hari ini, kita mungkin tidak lagi diminta mengangkat pedang. Tapi apakah kita siap menyerahkan harta, waktu, dan kenyamanan untuk kebaikan umat?

Jika para wali dahulu berdagang untuk membiayai perang, mengapa kita tak bisa berdagang untuk membiayai dakwah?

Barisan yang Tak Tergoyahkan: Jejak Jihad Istana, Pesantren, dan Rumah di Jawa Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tanah yang harum ol...

Barisan yang Tak Tergoyahkan: Jejak Jihad Istana, Pesantren, dan Rumah di Jawa

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Di tanah yang harum oleh langkah para wali dan doa para syuhada, perlawanan terhadap penjajahan bukan hanya lahir dari senjata, melainkan dari keyakinan. Inilah kisah ketika para sultan menjadi panglima, para ulama menjadi kompas, santri menjadi prajurit, dan rakyat menjadi benteng.

Kala VOC mengincar tanah Jawa, sebelum Belanda menancapkan kuku besinya di bumi pertiwi, kesultanan-kesultanan Islam telah terlebih dahulu mendirikan benteng perlawanan: Demak, Mataram, Cirebon, Banten, dan Giri Kedaton. Mereka bukan hanya kerajaan; mereka adalah madrasah ruhani, tempat ditempanya jiwa-jiwa yang siap gugur dalam nama keadilan dan tauhid.



Sultan: Pemimpin yang Membakar Harapan

Para sultan di era ini bukan hanya penguasa politik. Mereka berdiri di mimbar, turun ke pasar, dan menginjak tanah medan laga. Mereka mengobarkan semangat para bangsawan dan rakyat dengan narasi iman dan kehormatan. Sultan Trenggana dari Demak, Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng dari Banten—semuanya memimpin langsung, menyebut perlawanan ini bukan sekadar untuk merebut tanah, tapi untuk membebaskan ruh bangsa dari belenggu kekafiran dan ketidakadilan.

Dalam pidatonya, Sultan sering berkata:

"Kita tidak sedang mempertahankan kerajaan, tapi marwah agama dan masa depan anak cucu. Bila kita kalah, iman kalian akan dirampas seperti garam larut di laut."



Panglima: Ksatria yang Tidak Takut Mati

Para panglima perang seperti Adipati Yunus, Tumenggung Singaranu, atau komandan Giri Kedaton, adalah pemimpin sejati. Mereka tak hanya memerintah, tetapi tidur bersama prajurit dan berbagi nasi dengan rakyat. Sebelum perang, mereka menggenggam Al-Qur’an dan mengangkat pedang dengan doa. Di medan tempur, mereka berteriak:

"Hari ini bukan hari untuk menang, tapi untuk menunjukkan bahwa kita tidak tunduk pada kesewenangan!"



Ulama: Suara Langit yang Membakar Jiwa

Ulama-ulama besar seperti Sunan Kudus, Sunan Giri, Syekh Lemah Abang, dan para kiai Giri dan Cirebon menjadi ruh dari seluruh perlawanan. Mereka bukan pembisik pasif, melainkan pemantik semangat jihad. Mereka menuliskan fatwa jihad, memimpin dzikir akbar, dan menggantungkan bendera bertuliskan La ilaha illallah di halaman masjid dan benteng.

Dalam malam-malam sunyi sebelum perang, mereka mengimami shalat tahajud, membaca Surah Al-Anfal dan Al-Fath, serta Ratib al-Haddad dan Hizib Nashr. Pesan mereka sederhana:

"Kalian boleh kalah oleh peluru, tapi jangan pernah kalah oleh rasa takut."



Tentara, Santri, dan Rakyat: Barisan yang Tak Tergoyahkan

Tentara istana dibentuk dari para prajurit bangsawan dan bekas pasukan Majapahit yang telah masuk Islam. Mereka ahli berkuda, bersenjata keris dan tombak, serta diajarkan ilmu medan dan laut. Mereka dijuluki pengawal langit, karena sebelum bertempur, mereka berzikir seperti akan wafat.

Santri dilatih tak hanya dengan kitab kuning, tapi juga ilmu panah, bela diri, dan strategi gerilya. Di bawah komando para kiai, mereka menjadi unit-unit laskar pesantren yang bergerak dari dusun ke dusun, membakar semangat rakyat, sekaligus menjadi mata-mata dan pembawa kabar.

Rakyat biasa: petani, nelayan, pedagang kecil, ikut dalam gelombang perlawanan. Mereka mengangkut logistik, menyembunyikan pejuang, menyuplai makanan, dan dalam banyak kasus, turut mengangkat senjata meskipun hanya dengan bambu runcing dan parang warisan leluhur.



Pemersatu Perlawanan: Islam, Iman, dan Persaudaraan

Apa yang menyatukan mereka semua? Bukan upah. Bukan jabatan. Tapi cinta pada tanah air dan cinta pada agama. Masjid menjadi markas, pesantren menjadi benteng, dan rumah rakyat menjadi gudang senjata.

Sultan, ulama, santri, dan rakyat tidak berdiri sendiri-sendiri. Mereka membentuk semacam Majelis Syura Perlawanan: sebuah dewan tidak resmi yang mengatur siasat tempur, distribusi logistik, hingga strategi dakwah ke pedalaman.

“Jangan tanyakan siapa yang memulai. Tapi jadilah bagian dari yang menyelesaikan penjajahan ini,” ujar salah satu panglima Giri kepada pasukannya.



Warisan Abadi: Jiwa Merdeka yang Tak Bisa Dijajah

Meskipun banyak pertempuran dimenangkan Belanda dengan tipu daya, senjata modern, dan politik adu domba, mereka gagal menjajah ruh perlawanan. Sebab, ruh itu turun temurun hidup dalam darah para santri, dai, dan rakyat.

Jejaknya terlihat jelas dalam perang Diponegoro, pemberontakan Banten, pemberontakan petani di Cirebon, hingga pergerakan nasional dan lahirnya Republik Indonesia. Semuanya berakar pada spirit jamaah, jihad, dan keadilan yang diwariskan oleh kesultanan Islam.



Bila Doa dan Darah Menjadi Satu

Bangsa ini tidak lahir dari meja perundingan saja. Ia tumbuh dari dzikir para kiai, air mata ibu, darah prajurit, dan keberanian petani. Mereka yang dulu bersujud sebelum berangkat perang telah membangun fondasi kebebasan kita.

"Kalau bukan karena mereka yang berjaga di malam hari dengan wirid, dan bertempur di siang hari dengan semangat, kita mungkin masih dijajah sampai hari ini."

Abdurrahman bin Auf: Kaya Beriman, Dermawan Tak Bertepi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Jika ada sahabat Nabi ï·º yang berhasil membukt...

Abdurrahman bin Auf: Kaya Beriman, Dermawan Tak Bertepi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Jika ada sahabat Nabi ï·º yang berhasil membuktikan bahwa kekayaan tidak selalu menjerumuskan, maka dialah Abdurrahman bin Auf. Ia tidak hanya sukses sebagai pedagang, tapi juga lulus sebagai pecinta akhirat yang tidak diperbudak dunia.

Hartanya tak membuatnya sombong, jabatannya tak membuatnya congkak, dan kedermawanannya tak membuatnya merasa berjasa. Ia hidup sebagai pejuang ekonomi Islam, dan wafat sebagai ahli surga yang dijamin oleh Nabi ï·º.

Berikut adalah teladan Abdurrahman bin Auf dalam mengelola uang dalam enam aspek kehidupan:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Menjadi Suami dan Ayah yang Bertanggung Jawab

Sebagai orang kaya, Abdurrahman bin Auf bisa saja hidup bermewah-mewahan. Namun kepada keluarganya, ia mengajarkan kesederhanaan dan tanggung jawab. Ia memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya dengan layak, tanpa berlebih.

Ia menjaga nafkah yang halal, dan memastikan bahwa keluarganya tidak ikut dalam gaya hidup konsumtif. Dalam sebuah riwayat, ketika mendengar putranya membeli pakaian mahal, ia menegur dengan lembut:

“Apakah engkau ingin dilalaikan dari akhirat hanya karena kemewahan dunia?”

Ia mendidik keluarganya agar tahu: harta bukan untuk dibanggakan, tapi untuk dipertanggungjawabkan.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur, Mandiri, dan Profesional

Bisnis Abdurrahman bin Auf berkembang pesat berkat kejujuran, kerja keras, dan integritas. Ketika hijrah ke Madinah tanpa harta, ia menolak bantuan materi dan berkata:

“Tunjukkan aku jalan ke pasar.”

Dengan kerja keras dan keahlian berdagang, ia segera bangkit menjadi saudagar sukses. Tapi ia tetap menjaga:

Tidak menimbun barang

Tidak memanipulasi harga

Tidak memeras orang miskin

Tidak memperdagangkan barang haram


Ia memandang bisnis sebagai wasilah (jalan) untuk meraih ridha Allah, bukan sekadar laba dunia. Hartanya bersih, karena itulah hatinya ringan melepaskannya.



3. Mengelola Uang Soal Utang: Hindari Beban, Lunasi Cepat

Abdurrahman bin Auf adalah orang yang sangat berhati-hati terhadap utang. Ia tidak suka berutang, dan jika terpaksa meminjam, ia berusaha segera melunasi.

Sebaliknya, ketika orang lain berutang padanya dan tidak mampu membayar, ia ringan memaafkan.

“Aku tidak ingin harta menjadi penghalang bagiku dan orang lain di akhirat.”

Ia tahu bahwa utang bukan sekadar angka di dunia, tapi bisa menjadi beban besar di akhirat. Itulah sebabnya ia hidup sederhana dan penuh perhitungan, tapi sangat dermawan kepada yang benar-benar butuh.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Dermawan Tanpa Jabatan

Abdurrahman bin Auf tidak pernah menjadi bendahara negara, tetapi ia adalah penopang besar kekuatan negara Islam.

Dalam Perang Tabuk, ia menyumbangkan 200 uqiyah emas.

Ia mendatangkan 700 ekor unta penuh muatan untuk logistik jihad dan menyedekahkan seluruhnya.

Ia ikut membiayai kaum muhajirin yang miskin setelah hijrah.

Ia menyumbang dengan diam-diam, tanpa ingin popularitas. Rasulullah ï·º sampai bersabda:

“Tidak akan merugi harta Abdurrahman meski ia berinfak sebanyak apa pun di jalan Allah.”

Ia tidak mengambil dari kas negara, tapi justru memasukkan harta pribadinya ke dalamnya.



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Menolak Kekuasaan, Menerima Tanggung Jawab

Abdurrahman bin Auf menolak menjadi khalifah saat umat Islam membentuk syura setelah wafatnya Umar bin Khattab. Namun ia menerima amanah untuk menjadi penentu akhir dalam pemilihan khalifah ketiga.

Ia tidak mengambil gaji, tidak minta imbalan, dan tidak memanfaatkan posisi strategis itu untuk kepentingan pribadi.

Ia hidup dari usahanya sendiri dan berkata:

 “Aku takut hartaku yang tidak jelas asalnya akan menjadi bara api di punggungku kelak di akhirat.”

Ia membuktikan bahwa pejabat tak harus bergaji besar, jika hatinya besar untuk Allah dan umat.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Semua Kembali untuk Allah dan Umat

Ketika wafat, Abdurrahman bin Auf meninggalkan kekayaan besar:

1.000 unta

100 kuda

3.000 kambing

Emas yang dibagikan warisannya saja membuat ahli waris sulit mengangkatnya

Namun yang lebih agung dari jumlahnya adalah cara ia mewasiatkannya:

Ia membebaskan 100 budak sebelum wafat.

Ia mewasiatkan 50.000 dinar (setara miliaran rupiah) untuk para veteran perang Badar.

Ia mewakafkan tanah-tanah subur miliknya untuk kaum miskin.

Ia wafat dalam keadaan telah memberi sebanyak mungkin, dan takut hartanya menjadi beban hisab.

Ia tak mati meninggalkan istana, tapi meninggalkan cahaya keteladanan dalam dunia bisnis, keluarga, dan pelayanan umat.



Penutup: Jadilah Kaya Seperti Abdurrahman bin Auf

Banyak orang ingin kaya seperti Qarun, tapi lupa bahwa Abdurrahman bin Auf jauh lebih mulia. Ia bukan hanya kaya, tapi suci, bersih, dan jujur.

Hartanya di tangan, bukan di hati.
Hartanya besar, tapi syukurnya lebih besar.
Hartanya banyak, tapi hisabnya ringan—karena sudah ditunaikan di dunia.

Itulah rahasia mengelola uang dalam Islam: bukan banyaknya, tapi bersihnya.

Thalhah bin Ubaidillah: Miliarder Surga yang Tidak Tertawan Dunia Oleh: Nasrulloh Baksolahar Thalhah bin Ubaidillah ra. adalah s...

Thalhah bin Ubaidillah: Miliarder Surga yang Tidak Tertawan Dunia

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Thalhah bin Ubaidillah ra. adalah satu dari sedikit orang yang dijamin surga oleh Rasulullah ï·º semasa hidupnya. Ia dikenal sebagai sahabat yang sangat dermawan, sangat berjasa di medan perang, dan salah satu pebisnis paling sukses dalam sejarah sahabat.

Ketika kebanyakan orang diuji dengan kekurangan, Thalhah diuji dengan kelimpahan harta. Tapi ia berhasil melaluinya — bukan dengan menumpuk, tapi dengan membagi.

Berikut enam sisi keteladanannya dalam mengelola uang dan harta:



1. Mengelola Uang di Keluarga: Penuh Cinta dan Tanggung Jawab

Thalhah bukan hanya pemberani di medan perang, tapi juga ayah dan suami yang penuh kasih sayang. Ia menafkahi keluarganya dengan baik dari kekayaan halal hasil perniagaan, kebun, dan investasi tanah.

Ia memperhatikan kebutuhan istri dan anak-anaknya dengan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Mereka hidup dalam cukup, namun tidak berlebihan.

Ia tidak pelit kepada keluarga, tapi juga tidak memanjakan mereka dengan kemewahan dunia.

“Harta adalah amanah. Keluarga adalah tanggung jawab. Aku ingin anak-anakku besar dalam keberkahan, bukan hanya dalam limpahan.” – demikian semangat hidupnya.



2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur, Produktif, dan Visioner

Thalhah bin Ubaidillah adalah salah satu saudagar besar Madinah. Ia berdagang kain, ternak, dan tanah. Ia punya:

Perkebunan luas di Irak dan Madinah

Gudang dan jalur dagang lintas Hijaz

Properti yang terus berkembang


Namun kekayaannya tidak menjadikannya tamak. Ia terkenal jujur dalam transaksi, tidak mengambil keuntungan haram, dan selalu memperhatikan hak orang miskin.

Setiap kali memperoleh keuntungan besar, ia langsung membaginya:

Sebagian untuk keluarga

Sebagian untuk para sahabat miskin

Sebagian untuk zakat dan wakaf


Ia pernah menyumbangkan 700.000 dinar dalam sekali duduk! Dan berkata:

“Aku malu tidur malam, sementara hartaku masih tertahan di rumahku.”



3. Mengelola Uang Soal Utang: Amanah dan Bertanggung Jawab

Thalhah sangat berhati-hati dengan utang. Ia dikenal tidak banyak berutang, karena:

Sumber usahanya lancar

Perputaran bisnisnya sehat

Dan gaya hidupnya tetap sederhana


Namun bila ada yang berutang kepadanya, ia sangat pemaaf. Ia mudah menghapuskan utang orang miskin, bahkan terkadang memberikan lebih dari yang mereka pinjam.

“Aku lebih bahagia melihat orang terbebas dari utang, daripada melihat hartaku bertambah.” – ucapnya suatu hari.



4. Mengelola Uang di Kas Negara: Tidak Mengambil Hak Umat

Walaupun kaya dan terpandang, Thalhah tidak pernah mengambil keuntungan dari kas negara. Ia membiayai jihad dan dakwah dari harta pribadinya, dan menolak bayaran dari baitul mal.

Ia tidak pernah menjabat posisi bendahara atau gubernur, karena lebih senang berdakwah dan berdagang. Namun kontribusinya kepada negara sangat besar, terutama:

Menyumbang logistik untuk pasukan Islam

Memberi modal kepada sahabat yang miskin

Menyediakan kebun dan rumah untuk tamu Nabi



5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Tidak Tergiur Jabatan

Thalhah tidak tergiur jabatan meski punya pengaruh besar. Ia tidak pernah mengambil gaji dari negara. Dalam Perang Jamal, ia maju bukan karena ambisi kekuasaan, tapi karena keyakinan politik dan kecintaan pada umat.

Saat konflik pecah, Thalhah menyesal dan menarik diri dari pertempuran. Ia syahid sebagai penengah yang mengajak damai, bukan pemburu tahta.

Harta yang ia hasilkan tetap dari bisnisnya — bukan dari posisi atau fasilitas.



6. Wasiat Uang Saat Wafat: Membagi dengan Adil, Memberi Sebelum Ditanya

Menjelang wafat, Thalhah bin Ubaidillah meninggalkan harta yang sangat banyak. Namun ia telah menyiapkan pembagiannya dengan rinci:

Warisan untuk anak dan istri

Wakaf untuk umat

Pembebasan utang orang yang berutang padanya

Pemberian tetap untuk keluarga sahabat


Menurut riwayat, ia meninggalkan:

200.000 dinar tunai

200.000 dirham perak

Kebun-kebun di Madinah dan Irak

Rumah-rumah dan properti sewa


Namun seluruh kekayaan itu dikelola bukan dengan keserakahan, tapi dengan keikhlasan.

Ia tidak membawa hartanya ke kubur, tapi mengirimnya lebih dulu ke akhirat.



Penutup: Kaya Raya, Tapi Tidak Dimiliki Dunia

Thalhah bin Ubaidillah adalah simbol bahwa kekayaan dan surga bisa berjalan beriringan, jika hati tidak dikuasai dunia.

Ia memiliki banyak,
Memberi banyak,
Tapi mengambil sedikit.

Harta tidak membuatnya sombong. Jabatan tidak membuatnya rakus. Dan surga tidak membuatnya malas berbuat.

Ia bukan hanya pebisnis cerdas, tapi dermawan yang ikhlas.

Jihad Ruhani Para Sultan Jawa: Di Antara Senjata dan Sujud Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di balik gegap gempita genderang perang, g...

Jihad Ruhani Para Sultan Jawa: Di Antara Senjata dan Sujud

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di balik gegap gempita genderang perang, gemuruh takbir, dan pekik perlawanan yang menggema dari balik benteng-benteng kesultanan di Jawa, terdapat sesuatu yang tak kasat mata—namun justru menjadi akar dari semua keberanian itu: bekal spiritual. Para sultan tak hanya berdiri sebagai pemimpin duniawi, tetapi juga sebagai imam ruhani yang memandu umat menuju kemenangan yang bermartabat, baik di bumi maupun di sisi Tuhan.

Mereka paham, penjajahan bukan sekadar penaklukan wilayah dan pengurasan sumber daya. Penjajahan adalah pengoyakan iman, penggerusan adab, dan perobekan ruh perjuangan. Maka, perlawanan mereka pun tak pernah kering dari munajat dan dzikir, dari ayat-ayat Al-Qur’an hingga butir-butir hikmah para wali.



Surat-Surat Ilahi yang Dihidupkan Sebelum Menyerbu

Dalam tiap pertemuan rahasia, ketika para panglima dan ulama berkumpul di serambi masjid kesultanan, selalu ada tilawah—lantunan suci yang membuka jalur langit. Surat Al-Anfal menjadi bacaan pokok: menyuntikkan semangat jihad, menyusun strategi, dan mengingatkan pasukan bahwa kemenangan bukan sekadar taktik, tapi karunia Allah.

Surat At-Taubah dibaca saat jiwa mulai berat—karena isinya adalah seleksi iman. Hanya mereka yang menjual dirinya kepada Allah yang layak turun ke medan laga. Di waktu malam, menjelang pergerakan, terdengar bacaan Surat Al-Fath, membasuh kecemasan dengan janji kemenangan. Dan bila pertempuran makin dekat, Surat Yasin pun mengalir sebagai pelindung ruhani, sedangkan Al-Hasyr menjadi wirid untuk membentengi pasukan dari makar musuh yang tak terlihat.



Dzikir-Dzikir yang Menyulam Hati Prajurit

Setiap malam sebelum pertempuran, kesultanan menggelar dzikir berjamaah. Ratib al-Haddad dan Ratib al-Attas menjadi alunan khas. Bukan hanya suara, tapi nafas mereka memahat keberanian. Dalam ratib itu terdapat nama-nama Allah yang menguatkan hati, ayat-ayat penjaga dari kejahatan, serta istighfar yang menjernihkan niat.

Dzikir bukan hanya repetisi suara, ia adalah pengokoh ruh jihad. Dalam malam-malam dingin di bawah langit pesisir Gresik, Banten, atau Yogyakarta, santri dan prajurit duduk bersimpuh, menggenggam tasbih, memeluk senjata, dan memantapkan diri: “Kami tidak sendiri. Allah beserta kami.”



Hizb: Perisai Batin dari Langit

Ketika pasukan kolonial datang dengan senapan, meriam, dan tipu daya, para sultan menyiapkan pasukannya bukan hanya dengan strategi militer, tapi dengan hizb—doa-doa para wali yang menjadi perisai batin.

Hizb al-Nashr, karya Imam Syadzili, menjadi andalan. Isinya seperti kabut kepercayaan yang melingkupi barisan—dzikir yang tidak hanya membakar semangat, tapi menyelimuti mereka dengan tawakal. Dalam perjalanan laut atau misi rahasia melewati perairan, dibacalah Hizb al-Bahr. Bukan karena laut menakutkan, tapi karena pasukan tahu bahwa musuh datang dari segala penjuru.



Doa Para Nabi, Lintasan Cahaya dari Sejarah

Doa Nabi Musa:

"Rabbi syrahli shadri wa yassirli amri..."
menjadi andalan para pemimpin dan juru bicara. Mereka memohon bukan hanya keberanian, tapi kejernihan logika, kelancaran lisan, dan kesabaran hati.


Sementara itu, doa Nabi Muhammad ï·º saat Perang Ahzab:

"Ya Allah, turunkanlah pertolongan, hancurkan pasukan musuh..."
dibacakan dalam malam-malam menjelang serangan kolonial, saat benteng telah mengepung, dan hanya langit yang tersisa untuk diandalkan.



Kitab-Kitab Hikmah yang Mengajarkan Jalan Terjal

Di ruang-ruang pengajian istana, para sultan duduk bersama ulama, membahas bukan strategi perang, tapi strategi membersihkan hati. Mereka membaca Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali—mengenali hakikat niat, takut akan riya, dan berani karena keyakinan.

Kitab Nashaih al-‘Ibad karya Imam Nawawi al-Bantani menjadi pegangan utama dalam mendidik santri, rakyat, dan prajurit. Di dalamnya diajarkan, bahwa melawan penjajah adalah bagian dari menjaga agama dan kehormatan umat.

Sedangkan Kitab al-Hikam Ibnu Atha’illah membentuk pribadi-pribadi tahan derita:

“Jangan bergantung pada hasil. Tugasmu hanya berjuang. Hasil adalah wilayah Tuhan.”



Di Antara Takbir dan Tombak

Perlawanan para sultan di Jawa bukan sekadar sejarah tempur, tetapi sejarah ruhani. Mereka tahu, meriam bisa dibeli oleh penjajah, tapi iman tidak bisa direbut kecuali dengan kelalaian sendiri. Karena itu, mereka membekali tentaranya bukan hanya dengan pelatihan fisik, tetapi dengan dzikir yang menghujam, doa yang memeluk langit, dan ilmu yang memurnikan niat.

Maka bila mereka gugur, mereka gugur dalam sujud. Bila menang, mereka sujud dalam syukur. Karena perang yang mereka menangkan bukan hanya soal tanah, tetapi soal kehormatan langit.

"Senjata bisa patah, kuda bisa lelah, tapi ruh yang dibakar dzikir tak akan pernah mati."

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (475) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)