Di Balik Timbangan Ada Perlawanan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Mereka bukan hanya pengukur harga. Mereka adalah penjaga harga diri bangsa. Di balik setiap keranjang lada, tumpukan kain, dan timbangan emas, para pedagang Muslim menanam benih kemerdekaan. Saat para penjajah mengira pasar hanya tempat transaksi, para wali dan sultan telah menjadikannya medan jihad.
Saat kompeni menebar monopoli, para pedagang menyusun strategi. Dan saat penjajah menginjakkan kaki di bumi Nusantara, para saudagar Muslim telah lebih dulu menanam tekad untuk tidak tunduk, tak akan dijual dengan harga berapa pun.
Para Wali dan Sultan yang Juga Saudagar
Wali Sanga bukan hanya berdakwah di mimbar, tapi juga berdagang di pelabuhan. Sunan Giri mengirim kapal dagangnya ke timur jauh, Sunan Kalijaga menjual hasil rakyat untuk membiayai perjuangan, dan Sultan Trenggana dari Demak membangun pasar sekaligus benteng.
Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah raja sekaligus pengatur distribusi lada terbesar yang membuat VOC menggigil. Di bawah kendalinya, pelabuhan Banten jadi pusat perdagangan internasional sekaligus pangkalan logistik jihad. Dan Pangeran Diponegoro? Ia mendirikan jaringan pasar desa untuk menghidupkan perlawanan dari akar rumput.
Mereka semua tahu: barang dagangan bisa habis, tapi semangat merdeka tak boleh luntur.
Pasar: Benteng yang Tak Bisa Dihancurkan Meriam
Saat senjata dibatasi, pedagang Muslim menyelundupkan mesiu dalam peti kayu, menyembunyikan senjata di bawah karung beras, dan menyelipkan surat rahasia di antara lembar kain dagang.
Pelabuhan Jepara, Gresik, Cirebon, hingga Banten menjadi simpul jihad. Dari tempat inilah kapal berlayar membawa bukan hanya rempah, tapi juga kabar perjuangan dan bantuan bagi para mujahid. Kafilah dagang berubah menjadi konvoi kebebasan. Gudang berubah jadi lumbung perjuangan.
“Kami berdagang bukan untuk kaya, tapi untuk merdeka.”
Ketika Penjajah Mengincar Pasar, Mereka Menyalakan Perlawanan
VOC tahu siapa musuh sebenarnya: bukan hanya para sultan, tapi juga para pedagang Muslim. Maka dibuatlah monopoli. Diberlakukan pajak mencekik. Pasar rakyat dirusak, pedagang ditangkap, bahkan diasingkan.
Tapi mereka lupa satu hal: pedagang Muslim bisa bangkit dari reruntuhan, karena mereka tak dagang demi untung, tapi demi umat.
Para saudagar membentuk jaringan rahasia. Mereka berpura-pura patuh di hadapan kompeni, tapi di malam hari menyuplai laskar dengan makanan dan senjata. Mereka berdagang sambil menyebarkan pesan: “Jangan beli barang VOC. Jangan jual harga diri pada penjajah.”
Nama-Nama yang Terlupakan Tapi Berjasa
Nyai Gede Pinatih: saudagar Gresik yang membiayai Sunan Giri dan pengiriman dakwah ke luar Jawa.
Haji Hasanuddin Banten: penguasa lada yang menyumbangkan armada untuk Sultan Ageng.
Para saudagar Arab, Gujarat, Makassar: yang membawa senapan, mesiu, dan ilmu dari luar negeri.
Mereka tak tercatat di buku sejarah resmi, tapi amal mereka tercatat di langit perjuangan.
Dari Pasar ke Panggung Sejarah
Apa yang mereka wariskan?
1. Semangat ekonomi mandiri.
2. Kesadaran bahwa dagang bukan hanya mencari nafkah, tapi membebaskan umat dari ketergantungan.
3. Lahirnya Sarekat Dagang Islam, koperasi umat, dan gerakan ekonomi rakyat.
Mereka adalah benih yang menumbuhkan semangat perlawanan ekonomi hari ini. Karena bangsa yang tak punya kemandirian dagang, akan dijajah dengan cara yang lebih halus: melalui harga, utang, dan pasar.
Jika Kau Tak Punya Senjata, Milikilah Timbangan
Bangsa ini bukan hanya dibela oleh tentara, tapi juga oleh para pedagang. Mereka tak menembak peluru, tapi mengalirkan logistik. Mereka tak berteriak di medan tempur, tapi berbisik dalam tawar-menawar: “Sebagian keuntungan ini untuk jihad.”
“Jika senjata dikuasai penjajah, maka kita pakai dagang sebagai senjata.”
“Dan kalau jalan menuju benteng ditutup, maka pasar kita jadikan benteng!”
0 komentar: