Abdurrahman bin Auf: Kaya Beriman, Dermawan Tak Bertepi
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Jika ada sahabat Nabi ï·º yang berhasil membuktikan bahwa kekayaan tidak selalu menjerumuskan, maka dialah Abdurrahman bin Auf. Ia tidak hanya sukses sebagai pedagang, tapi juga lulus sebagai pecinta akhirat yang tidak diperbudak dunia.
Hartanya tak membuatnya sombong, jabatannya tak membuatnya congkak, dan kedermawanannya tak membuatnya merasa berjasa. Ia hidup sebagai pejuang ekonomi Islam, dan wafat sebagai ahli surga yang dijamin oleh Nabi ï·º.
Berikut adalah teladan Abdurrahman bin Auf dalam mengelola uang dalam enam aspek kehidupan:
1. Mengelola Uang di Keluarga: Menjadi Suami dan Ayah yang Bertanggung Jawab
Sebagai orang kaya, Abdurrahman bin Auf bisa saja hidup bermewah-mewahan. Namun kepada keluarganya, ia mengajarkan kesederhanaan dan tanggung jawab. Ia memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya dengan layak, tanpa berlebih.
Ia menjaga nafkah yang halal, dan memastikan bahwa keluarganya tidak ikut dalam gaya hidup konsumtif. Dalam sebuah riwayat, ketika mendengar putranya membeli pakaian mahal, ia menegur dengan lembut:
“Apakah engkau ingin dilalaikan dari akhirat hanya karena kemewahan dunia?”
Ia mendidik keluarganya agar tahu: harta bukan untuk dibanggakan, tapi untuk dipertanggungjawabkan.
2. Mengelola Uang dalam Bisnis: Jujur, Mandiri, dan Profesional
Bisnis Abdurrahman bin Auf berkembang pesat berkat kejujuran, kerja keras, dan integritas. Ketika hijrah ke Madinah tanpa harta, ia menolak bantuan materi dan berkata:
“Tunjukkan aku jalan ke pasar.”
Dengan kerja keras dan keahlian berdagang, ia segera bangkit menjadi saudagar sukses. Tapi ia tetap menjaga:
Tidak menimbun barang
Tidak memanipulasi harga
Tidak memeras orang miskin
Tidak memperdagangkan barang haram
Ia memandang bisnis sebagai wasilah (jalan) untuk meraih ridha Allah, bukan sekadar laba dunia. Hartanya bersih, karena itulah hatinya ringan melepaskannya.
3. Mengelola Uang Soal Utang: Hindari Beban, Lunasi Cepat
Abdurrahman bin Auf adalah orang yang sangat berhati-hati terhadap utang. Ia tidak suka berutang, dan jika terpaksa meminjam, ia berusaha segera melunasi.
Sebaliknya, ketika orang lain berutang padanya dan tidak mampu membayar, ia ringan memaafkan.
“Aku tidak ingin harta menjadi penghalang bagiku dan orang lain di akhirat.”
Ia tahu bahwa utang bukan sekadar angka di dunia, tapi bisa menjadi beban besar di akhirat. Itulah sebabnya ia hidup sederhana dan penuh perhitungan, tapi sangat dermawan kepada yang benar-benar butuh.
4. Mengelola Uang di Kas Negara: Dermawan Tanpa Jabatan
Abdurrahman bin Auf tidak pernah menjadi bendahara negara, tetapi ia adalah penopang besar kekuatan negara Islam.
Dalam Perang Tabuk, ia menyumbangkan 200 uqiyah emas.
Ia mendatangkan 700 ekor unta penuh muatan untuk logistik jihad dan menyedekahkan seluruhnya.
Ia ikut membiayai kaum muhajirin yang miskin setelah hijrah.
Ia menyumbang dengan diam-diam, tanpa ingin popularitas. Rasulullah ï·º sampai bersabda:
“Tidak akan merugi harta Abdurrahman meski ia berinfak sebanyak apa pun di jalan Allah.”
Ia tidak mengambil dari kas negara, tapi justru memasukkan harta pribadinya ke dalamnya.
5. Mengelola Uang Gaji Pejabat Negara: Menolak Kekuasaan, Menerima Tanggung Jawab
Abdurrahman bin Auf menolak menjadi khalifah saat umat Islam membentuk syura setelah wafatnya Umar bin Khattab. Namun ia menerima amanah untuk menjadi penentu akhir dalam pemilihan khalifah ketiga.
Ia tidak mengambil gaji, tidak minta imbalan, dan tidak memanfaatkan posisi strategis itu untuk kepentingan pribadi.
Ia hidup dari usahanya sendiri dan berkata:
“Aku takut hartaku yang tidak jelas asalnya akan menjadi bara api di punggungku kelak di akhirat.”
Ia membuktikan bahwa pejabat tak harus bergaji besar, jika hatinya besar untuk Allah dan umat.
6. Wasiat Uang Saat Wafat: Semua Kembali untuk Allah dan Umat
Ketika wafat, Abdurrahman bin Auf meninggalkan kekayaan besar:
1.000 unta
100 kuda
3.000 kambing
Emas yang dibagikan warisannya saja membuat ahli waris sulit mengangkatnya
Namun yang lebih agung dari jumlahnya adalah cara ia mewasiatkannya:
Ia membebaskan 100 budak sebelum wafat.
Ia mewasiatkan 50.000 dinar (setara miliaran rupiah) untuk para veteran perang Badar.
Ia mewakafkan tanah-tanah subur miliknya untuk kaum miskin.
Ia wafat dalam keadaan telah memberi sebanyak mungkin, dan takut hartanya menjadi beban hisab.
Ia tak mati meninggalkan istana, tapi meninggalkan cahaya keteladanan dalam dunia bisnis, keluarga, dan pelayanan umat.
Penutup: Jadilah Kaya Seperti Abdurrahman bin Auf
Banyak orang ingin kaya seperti Qarun, tapi lupa bahwa Abdurrahman bin Auf jauh lebih mulia. Ia bukan hanya kaya, tapi suci, bersih, dan jujur.
Hartanya di tangan, bukan di hati.
Hartanya besar, tapi syukurnya lebih besar.
Hartanya banyak, tapi hisabnya ringan—karena sudah ditunaikan di dunia.
Itulah rahasia mengelola uang dalam Islam: bukan banyaknya, tapi bersihnya.
0 komentar: