Kisah Senyap Jihad Harta Para Wali, Sultan dan Rakyat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di balik setiap tembakan meriam dan teriakan takbir di medan laga, ada doa seorang ibu yang menjual gelangnya. Di balik setiap benteng yang menjulang, ada seorang saudagar yang diam-diam menyerahkan ladangnya. Di balik baju zirah yang melindungi prajurit Islam, ada seorang petani yang menyumbangkan hasil panennya. Inilah jihad yang jarang ditulis: jihad harta.
Di tengah gempuran Portugis dan Belanda, ketika rakyat dicekik pajak dan petani kehilangan tanah, para wali dan sultan tidak hanya mengangkat senjata. Mereka juga mengangkat timbangan, membuka ladang-ladang wakaf, dan menyulap kekayaan menjadi amunisi jihad. Inilah kisah agung ketika emas dijadikan perisai, bukan hiasan.
Harta Mereka Bukan untuk Istana, Tapi untuk Umat
Para Wali Sanga hidup bukan dari tahta. Mereka hidup dari keikhlasan dan usaha. Sunan Giri membangun pesantren dan mengirim kapal dagang ke Lombok dan Maluku. Sunan Kalijaga membuat wayang dan ukiran, hasilnya diserahkan untuk umat. Sunan Ampel dan Sunan Bonang berdagang rempah dan hasil bumi, lalu menggunakannya untuk membiayai dakwah dan pasukan.
Sementara itu, para sultan—Demak, Banten, Cirebon, Giri, Mataram—tidak hanya mengumpulkan pajak. Mereka menjual perhiasan, merelakan tanah pusaka, dan melelang emas istana demi satu kalimat suci: "La ilaha illallah".
Sultan Agung menjual permata keraton untuk membangun galangan kapal.
Sultan Trenggana membeli kembali sawah rakyat yang dirampas Portugis.
Sultan Ageng Tirtayasa menyisihkan keuntungan lada demi membebaskan rakyat dari jerat utang Belanda.
Ketika Rakyat Diinjak, Para Wali Membayar Harga Kehormatan
Zaman itu rakyat bukan hanya miskin, tapi dihina. Tanah mereka dirampas. Anak mereka diperbudak. Ibu-ibu terpaksa menjual tubuh atau anaknya untuk makan. Dalam derita itu, para wali tidak tinggal diam.
Sunan Gunung Jati menebus utang petani pelabuhan Cirebon. Ulama Giri Kedaton membeli budak-budak Muslim di Malaka dan membawa mereka pulang sebagai manusia merdeka. Bahkan pesantren-pesantren menjual hasil tani dan kitab untuk membeli kembali kebun rakyat yang dikuasai VOC.
Di saat penjajah menjadikan tanah sebagai alat penaklukan, para wali menjadikannya ladang jihad.
Benteng Dibangun dari Wakaf, Meriam Dibeli dari Zakat
Jangan bayangkan benteng Jepara, Kartasura, atau Giri dibangun dari kas kerajaan saja. Rakyat biasa membawa batu, wakafkan kayu, dan menyumbang beras. Saudagar Arab dan Gujarat mengirim senapan dan mesiu sebagai bagian dari ikatan ukhuwah Islamiyah. Bahkan, banyak perempuan melepas perhiasan pernikahan mereka demi membeli pelindung bagi santri di garis depan.
Warisan yang Tidak Bisa Dijajah: Jiwa Berkorban
Jihad harta para wali dan sultan ini bukan hanya menyelamatkan satu generasi, tapi mewariskan roh kemerdekaan. Mereka membentuk tradisi gotong-royong jihad. Rakyat belajar bahwa tanah air bukan diwarisi secara gratis, tapi ditebus dengan keringat, darah, dan emas.
Semangat ini mengalir ke pesantren. Di kemudian hari, para pejuang kemerdekaan—KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim—berdiri di atas warisan moral itu: bahwa jihad bukan hanya di medan perang, tapi juga di ladang, pasar, dan meja infak.
Ketika Emas Tak Lagi Disembah, Tapi Dikorbankan
Di zaman ketika banyak bangsa kalah karena dijajah ekonominya, Nusantara punya rahasia: orang-orang yang rela miskin demi agar Islam tidak dihina. Mereka menjadikan kekayaan sebagai alat melawan, bukan alat menindas. Mereka lebih rela menjual rumah daripada membiarkan masjid dijadikan markas kafir.
Jangan takut miskin karena jihad. Sebab, lebih hina hidup dalam penjajahan daripada mati tanpa warisan.
Apakah kita siap meneladani mereka? Hari ini, kita mungkin tidak lagi diminta mengangkat pedang. Tapi apakah kita siap menyerahkan harta, waktu, dan kenyamanan untuk kebaikan umat?
Jika para wali dahulu berdagang untuk membiayai perang, mengapa kita tak bisa berdagang untuk membiayai dakwah?
0 komentar: