basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Gema Gaza di Lorong Demokrasi Lokal Inggris Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ketika Gaza Menjadi Kotak Suara Di Inggris, isu Palestina...

Gema Gaza di Lorong Demokrasi Lokal Inggris

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Ketika Gaza Menjadi Kotak Suara

Di Inggris, isu Palestina bukan lagi sekadar urusan diplomasi internasional yang jauh dari jangkauan rakyat biasa. Ia telah menjelma menjadi denyut politik lokal: terdengar di lorong balai kota, masjid-masjid, universitas, hingga pemukiman multikultural di Birmingham, Leicester, Bradford, dan Tower Hamlets. Dalam sunyi demokrasi lokal, gema Gaza menggema dan mulai mengubah peta elektoral Inggris dari bawah ke atas.

Selama beberapa dekade, sikap resmi Inggris cenderung netral terhadap konflik Israel-Palestina—meski kerap ditafsirkan sebagai condong ke Israel. Namun, sejak 2023 hingga 2025, perang di Gaza mengubah banyak hal. Gambar anak-anak Palestina bersimbah darah menyebar ke layar gawai warga dan menyentuh nurani banyak pemilih, khususnya komunitas Muslim dan kelompok progresif muda.

Ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah pusat, terutama atas kegagalan mengecam kebrutalan Israel, berubah menjadi bentuk perlawanan elektoral. Ia tidak membakar Downing Street, namun menjalar lewat pemilihan dewan kota, wali kota, dan anggota parlemen lokal.



Palestina sebagai Cermin Nurani Kota

Di Tower Hamlets—wilayah dengan populasi Muslim Bangladesh terbesar di Inggris—isu Palestina menjadi penentu kemenangan. Partai independen lokal yang tegas menyuarakan pembelaan terhadap Palestina berhasil merebut kursi dari Partai Buruh. Hal serupa terjadi di Birmingham dan Leicester, di mana kandidat yang mendukung hak rakyat Palestina mendapat sambutan luas. Bahkan Partai Buruh pun terdorong menyesuaikan retorikanya agar tidak kehilangan simpati dari komunitas Muslim dan pemuda progresif.

Isu Palestina menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme, rasisme, dan ketidakadilan global. Ia menjadi refleksi nurani masyarakat kota.



Otonomi Kota dan Diplomasi Simbolik

Secara formal, kebijakan luar negeri Inggris berada di tangan Westminster. Namun, kota-kota memiliki otonomi moral dan kultural. Beberapa mulai memanfaatkan diplomasi kota (city diplomacy): mengeluarkan resolusi dewan yang mengecam tindakan Israel, menyerukan gencatan senjata, hingga memutus hubungan kota kembar (twinning) dengan kota-kota di Israel.

Contohnya, Dewan Kota Leicester pada 2024 mengeluarkan pernyataan resmi untuk menghentikan kerja sama dengan institusi tertentu di Israel. Meski tidak punya kekuatan hukum, tindakan ini menyampaikan pesan moral yang kuat.



Demografi Muslim dan Arah Elektoral Baru

Berdasarkan sensus 2021:

Populasi Muslim Inggris (England & Wales): 3,87 juta (6,5%) dari total 59,6 juta.

84,5% Muslim berusia di bawah 50 tahun.

Di London, 15% dari penduduknya adalah Muslim (~1,3 juta).

Kota-kota dengan konsentrasi Muslim tinggi: Tower Hamlets (39,9%), Birmingham (30%), Bradford, Newham, dan Manchester.

Proyeksi menunjukkan populasi Muslim bisa mencapai 10–17% pada 2050. Pengaruh elektoral mereka tumbuh, terutama di wilayah urban dengan kursi marginal.



Dampak Elektoral Isu Palestina

Suara Muslim mulai menjadi penentu di pemilu lokal dan nasional. Kandidat yang menyuarakan solidaritas terhadap Palestina mampu menarik dukungan luas, tidak hanya dari Muslim, tetapi juga dari pemilih muda yang kritis dan peka terhadap isu global. Ini membuat partai-partai besar seperti Labour harus merevisi pendekatan mereka.

Kemenangan kandidat pro-Palestina di kota seperti Tower Hamlets dan dukungan atas inisiatif pro-divestasi di Sutton (London) menunjukkan bahwa solidaritas terhadap Gaza bukan lagi suara pinggiran. Ia telah masuk ke ruang utama demokrasi lokal.



Isu Palestina Memasuki Gelandang Politik Lokal

Isu Palestina telah bergerak dari diplomasi diplomatik ke gelanggang politik lokal Inggris. Ia menjadi ujian moral bagi politisi—bagaimana menyeimbangkan solidaritas global dan loyalitas domestik.

Komunitas Muslim, dengan konsentrasi di kota-kota besar, telah menjadi engine politik pro‑Palestina.

Politik lokal tumbuh menjadi medan yang relevan untuk menyuarakan solidaritas, menunjukan bahwa politik kecil bisa punya efek besar di panggung global.

Dalam sistem demokrasi, suara nurani kini tak bisa diabaikan: suara untuk Gaza bukan tabu, tapi menuntut tempat di kantor wali kota, di dewan kota, bahkan dalam perdebatan parlemen.

Inggris menunjukkan bahwa zaman berubah: politik lokal bukan sekadar fasilitas layanan publik—ia bisa menjadi panggung suara etika dunia, yang membuktikan bahwa kota-kota pun bisa bicara kepada dunia.

Zohran Mamdani: Pergolakan Hati Amerika dalam Isu Palestina  Oleh: Nasrulloh Baksolahar New York City. Kota yang kon...

Zohran Mamdani: Pergolakan Hati Amerika dalam Isu Palestina 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



New York City. Kota yang konon tak pernah tidur, tak pernah netral, dan tak pernah sepi dari suara-suara dunia. Di tengah gemuruh subway, hiruk-pikuk Fifth Avenue, dan denting gelas kopi yang tak kunjung dingin, satu isu menembus batas kampanye wali kota biasa: Palestina.

Di panggung pemilihan wali kota tahun ini, bukan soal sampah kota, infrastruktur, atau tunawisma yang menjadi sorotan utama. Yang menyala justru satu kata yang membelah dunia: intifadah. Di tengahnya berdiri Zohran Mamdani — seorang politisi muda, Muslim, progresif, dan anti-Zionis — yang kini bukan hanya menjadi kandidat, tetapi juga simbol perubahan, kontroversi, dan perlawanan nurani.



New York: Kota yang Menjadi Cermin Amerika dan Dunia

Mengapa New York? Karena New York adalah miniatur Amerika dan jendela dunia. Ini kota tempat lahirnya Wall Street, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan media-media yang menentukan narasi global. Siapa yang berkuasa di New York, bukan hanya memimpin kota — ia memimpin arah wacana.

Secara politik, New York sering menjadi penentu arah partai Demokrat secara nasional. Gagasan yang diterima dan diujicobakan di kota ini, sering menjadi materi kampanye nasional. Walikota-walikota New York sebelumnya seperti Michael Bloomberg atau Rudy Giuliani bahkan sempat masuk bursa capres.

Dan dalam dunia pasca-2023, di mana dukungan terhadap Israel mulai dipertanyakan secara moral pasca serangan terhadap Gaza, kemenangan calon anti-Zionis seperti Mamdani menjadi bukan hanya kasus lokal, tapi sinyal global — bahwa bahkan di pusat kekuasaan Yahudi terbesar di luar Israel, narasi bisa bergeser.



Struktur Sosial New York yang Pluralisme

New York bukan kota homogen. Ia rumah bagi sekitar 8,5 juta jiwa, dengan struktur demografis yang kompleks:

Komunitas Yahudi: Sekitar 13%, salah satu yang terbesar di dunia. Banyak dari mereka aktif secara politik dan finansial.

Komunitas Muslim: Sekitar 9%, sebagian besar berasal dari imigran Asia Selatan, Arab, dan Afrika.

Imigran asing: Sekitar 36% penduduk New York lahir di luar AS.

Hispanik dan Latin: Sekitar 29%.

Kulit Hitam/Afrika-Amerika: Sekitar 24%.

Asia-Amerika: Sekitar 14%.


Dalam struktur inilah, Mamdani tumbuh dan berkampanye. Ia tidak hanya membawa suara minoritas, tetapi mengikat nurani kolektif kota ini yang sedang lelah dengan politik lama. Ia bicara tentang Palestina, tapi sebenarnya ia bicara tentang keadilan — dan keadilan adalah bahasa yang dimengerti semua kelompok, dari Harlem hingga Queens.

Mamdani menyasar basis muda, multirasial, progresif — mereka yang sudah muak dengan politik kompromi. Survei American Pulse mencatat bahwa 46% pemilih muda (18–44 tahun) justru mendukungnya karena sikapnya terhadap Palestina dan intifadah. Di sinilah kekuatannya: bukan karena ia menang logistik, tapi karena ia menang hati.



Isu Palestina: Mengapa Jadi Sorotan di Tengah Masalah Kota?

Banyak yang bertanya: mengapa seorang calon wali kota New York bicara soal Palestina, bukan tentang metro rusak, harga sewa rumah, atau kriminalitas?

Jawabannya: karena Palestina adalah cermin nurani.

Palestina menjadi simbol moral dunia modern. Dalam konflik yang timpang, di mana satu pihak dibela penuh oleh kekuatan militer raksasa dan media global, muncul pertanyaan eksistensial: siapa kita sebagai manusia ketika menyaksikan penderitaan dan memilih diam?

Dan rakyat New York — dengan sejarah panjang sebagai pelabuhan para pengungsi, korban perang, dan pencari harapan — memahami narasi ini dengan dalam. Dari Yahudi yang lolos dari Holocaust, hingga imigran Latin yang kabur dari kekacauan Amerika Selatan, mereka tahu arti penindasan.

Ketika Mamdani berbicara soal “globalisasikan intifadah”, ia bukan sedang menyerukan kekerasan. Ia sedang menyerukan solidaritas lintas bangsa, perlawanan terhadap kolonialisme, dan keadilan yang bersifat universal.



Politik Pajak, Kesejahteraan, dan Luka Moral Amerika

Namun ada dimensi lain yang membuat isu Palestina semakin kuat menggema: politik pajak.

Rakyat Amerika — termasuk warga New York — mulai sadar bahwa miliaran dolar uang pajak mereka digunakan untuk membiayai senjata dan bom yang jatuh di Gaza. Mereka mulai membandingkan: ketika Israel dibom, bantuan militer langsung mengalir. Tapi ketika Los Angeles terbakar atau New York tenggelam oleh badai, respons pemerintah justru lamban dan pelit.

Pertanyaan pun muncul: apakah Amerika masih berfungsi untuk rakyatnya sendiri?

Di sinilah narasi Mamdani menyentuh saraf terdalam publik Amerika. Ia bukan hanya membela Palestina — ia menghadapkan kebijakan luar negeri pada realitas domestik yang sakit. Ia mengingatkan bahwa membela keadilan global tak boleh mengorbankan kesejahteraan lokal.


Pergulatan yang Akan Menentukan Arah Sejarah?

Zohran Mamdani bukan hanya seorang kandidat wali kota. Ia adalah cermin dari Amerika yang sedang bergulat dengan masa depannya. Antara dukungan terhadap status quo Israel, atau solidaritas terhadap rakyat Palestina. Antara politik lama yang kompromistis, atau politik baru yang berbasis nurani.

Kemenangannya akan memicu efek domino — dari ruang-ruang kota hingga Capitol Hill. Dan meski banyak yang menuduhnya sebagai antisemit, banyak pula yang melihatnya sebagai penjaga moralitas baru Amerika.

Dalam kontestasi ini, kita tidak hanya menyaksikan pertarungan politik. Kita menyaksikan pertarungan antara ketakutan dan keberanian, antara kenangan dan harapan, antara politik yang membungkam dan politik yang bersuara.

Dan New York, seperti biasa, kembali menjadi tempat sejarah menulis babak barunya.

“Jika saya menyuarakan keadilan untuk Palestina, apakah saya membenci Yahudi? Tidak. Saya menyuarakan kemanusiaan — bukan kebencian.” – Zohran Mamdani

Infrastruktur yang Dibangun dan Dihancurkan Sendiri oleh Yahudi: Dari Madinah ke Palestina Jejak Lama, Luka yang Belum Sembuh Da...

Infrastruktur yang Dibangun dan Dihancurkan Sendiri oleh Yahudi: Dari Madinah ke Palestina



Jejak Lama, Luka yang Belum Sembuh

Dalam lorong waktu yang panjang, sejarah selalu menyimpan satu pelajaran pahit bagi siapa pun yang berani mengulang kesalahan lama: bahwa tangan yang membangun, bisa jadi adalah tangan yang merobohkan. Kaum Yahudi, dari Madinah abad ke-7 hingga Palestina abad ke-21, telah meninggalkan jejak yang mengejutkan: mereka membangun benteng dengan kekuatan, lalu menghancurkannya sendiri karena ketakutan, dendam, dan perhitungan politik.

Ini bukan hanya catatan masa lalu. Ini adalah pola. Pola pengkhianatan, keserakahan, dan kebencian yang memicu siklus kehancuran. Bukan oleh musuh mereka, tapi oleh tangan mereka sendiri. Sejarah di Madinah mencatatnya dengan darah dan debu. Palestina hari ini melanjutkannya dengan drone dan buldoser.

Dan Allah telah lebih dulu mengingatkan, dalam satu ayat yang mengguncang hati dan menyayat nurani:

"Maka mereka menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang Mukmin. Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan."
— (QS Al-Hasyr:2)



Madinah: Ketika Kesepakatan Dikhianati, Rumah Jadi Abu

Bani Qainuqa’: Arogansi yang Menghancurkan

Kaum Yahudi dari Bani Qainuqa’ hidup berdampingan dengan umat Islam di bawah Piagam Madinah. Mereka bukan rakyat kecil—mereka pandai, punya industri logam, punya kekuasaan ekonomi. Namun kekuasaan tanpa adab melahirkan arogansi. Saat mereka melecehkan seorang wanita Muslim di pasar dan merendahkan Rasulullah ï·º, persaudaraan itu pecah. Dikepung, mereka menyerah. Tapi sebelum pergi, mereka meruntuhkan rumah dan tokonya sendiri, lebih memilih melihatnya hancur daripada digunakan oleh kaum Muslim.

Bani Nadhir: Konspirasi Berujung Kehinaan

Berbenteng, berharta, dan merasa tak terkalahkan, Bani Nadhir berani merancang pembunuhan terhadap Nabi Muhammad ï·º. Tapi Allah membongkar makar itu. Mereka dikepung, disuruh pergi, diberi waktu membawa apa yang mereka sanggup. Tapi, seperti sebelumnya, mereka memilih menghancurkan rumah mereka sendiri. Sebuah simbol bahwa pengkhianatan tidak hanya meruntuhkan kepercayaan, tapi juga peradaban.

Bani Quraizhah: Duri Dalam Daging yang Terbakar Sendiri

Saat Madinah dikepung dalam Perang Khandaq, Bani Quraizhah—yang terikat perjanjian damai—justru membuka pintu dari dalam. Mereka berkhianat ketika kaum Muslimin paling rentan. Setelah pengepungan dan kekalahan, mereka dihukum sesuai hukum Yahudi sendiri. Sebagian mereka merobohkan rumah dan membakar simpanan mereka agar tak tersisa apa pun untuk “musuh” mereka. Sebuah ironi: kekayaan yang dibanggakan tak bisa diselamatkan oleh kejahatan yang mereka mulai.



Palestina: Ketika Kekuasaan Membakar Rumah Sendiri

Hari ini, kisah lama itu menjelma dalam wajah baru. Negara Israel yang dibentuk oleh kaum Yahudi modern membangun perumahan, pangkalan militer, menara pengawas, dan jaringan permukiman ilegal di tanah Palestina. Namun ketika keadaan berbalik, mereka sendiri yang menghancurkannya. Bukan karena takdir, tapi karena strategi militer, rasa takut akan pembalasan, atau karena ingin menutupi kegagalan.

Apa yang dulu terjadi di Madinah, kini terlihat nyata di Gaza dan Tepi Barat: Israel membangun dengan tangan kirinya, dan merobohkan dengan tangan kanannya.



Jejak Penghancuran oleh Tangan Sendiri di Palestina

1. Gaza, 2005 – Gush Katif Dibumihanguskan

Ariel Sharon memerintahkan evakuasi 8.000 pemukim Yahudi dari Jalur Gaza. Tapi mereka tidak pergi begitu saja. 21 permukiman Yahudi dihancurkan dengan buldoser Israel sendiri. Mengapa? Karena mereka takut Hamas akan menempatinya. Mereka lebih rela kehilangan bangunan daripada menyerahkan kendali. Trauma nasional pun membekas, bukan dari serangan musuh, tetapi dari rasa kalah kepada diri sendiri.

2. Yamit, Sinai, 1982 – Kota yang Diruntuhkan untuk Damai

Setelah damai dengan Mesir, seluruh kota Yahudi Yamit di Sinai dihancurkan. Bukan oleh musuh, tapi oleh tentara Israel sendiri. Kota yang dibangun bertahun-tahun diratakan hanya dalam hitungan hari. Mereka tak ingin Mesir “mewarisi” hasil kolonisasi mereka. Harga damai dibayar dengan penghancuran mimpi mereka sendiri.

3. Benteng Netzarim, Gaza, 2005 – Simbol Pertahanan yang Dilenyapkan

Pos militer Netzarim, jantung pertahanan Israel di tengah Gaza, dibongkar sebelum penarikan. Daripada jatuh ke tangan Hamas, mereka meledakkannya sendiri. Simbol pertahanan berubah jadi bukti kegagalan strategi jangka panjang.

4. Lebanon Selatan, 2000 – Kabur Sambil Menghancurkan

Ehud Barak memerintahkan mundur dari Lebanon Selatan. Tapi mereka tidak pergi begitu saja. Benteng, bunker, dan pos pengawasan dihancurkan untuk mencegah direbut Hizbullah. Kekalahan diplomatik ini menjadi noda yang terus menghantui militer Israel.

5. Outpost Migron, Tepi Barat, 2012 – Dibangun Ilegal, Dihancurkan Sendiri

Permukiman ilegal yang dibangun tanpa izin dibongkar oleh Israel sendiri setelah tekanan dari Mahkamah Agung. Bukan tanpa perlawanan: pemukim Yahudi menyerang tentaranya sendiri. Negara dan rakyatnya bertarung soal tanah yang bukan milik mereka.

6. Amona, 2017 – Perang Saudara Mini

40 rumah Yahudi di Amona dihancurkan karena berdiri di atas tanah milik Palestina. Negara Israel melawan ekstremisnya sendiri. Yang menang bukan hukum, tapi konflik batin sebuah bangsa yang retak di dalam.

7. Pos Militer Rafah, 2024 – Mundur dan Meruntuhkan

Setelah tekanan global dan ancaman dari Hamas, Israel menghancurkan sendiri pos militernya di Rafah. Jalur logistik dihancurkan karena ketakutan akan serangan balik. Tapi yang mereka hancurkan bukan sekadar infrastruktur—mereka merobek ilusi kendali.

8. Evyatar, 2021 – Harapan yang Dihancurkan Pemerintahnya Sendiri

Pemukim Yahudi membangun Evyatar tanpa izin. Pemerintah Israel menghancurkannya setelah gelombang protes. Yang tersisa hanyalah debu dan kekecewaan dua kubu yang tak sepakat tentang masa depan.

9. Kerem Shalom, 2023 – Pos Perdagangan yang Dihapus

Setelah serangan besar, Israel menghancurkan sendiri pos dagang Kerem Shalom agar tidak dipakai kelompok perlawanan. Rantai ekonomi yang mereka bangun sendiri dipotong dengan pisau ketakutan.

10. Gaza Utara, 2023 – Hancur Sebelum Digunakan

Peralatan berat, bunker, dan jaringan komunikasi yang dibangun di Gaza Utara dihancurkan oleh tentara Israel sendiri saat mundur. Mereka takut alat-alat itu digunakan oleh Hamas. Tapi efeknya adalah kehilangan aset militer bernilai jutaan dolar—dihancurkan oleh tangan yang membelinya sendiri.



Ketika Sejarah Tak Dibelajari, Ia Menghukum dengan Cara yang Sama

Mereka membangun. Mereka mengkhianat. Lalu mereka hancurkan.
Dari Madinah ke Gaza, dari benteng ke bunker, dari rumah ke reruntuhan.

Surat Al-Hasyr ayat 2 tidak sekadar menggambarkan masa lalu, tapi membentuk pola abadi:

 "Maka mereka menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri..."

Peringatan ini bukan hanya untuk kaum Yahudi, tapi untuk siapa saja yang memulai kerusakan dan berpikir ia bisa mengendalikannya. Yang merobohkan kehormatan dan perjanjian, akan melihat kehancuran bangkit dari tangan mereka sendiri.

Dan kini, saat dunia menyaksikan Israel mulai merobek-robek bangunannya sendiri—pertanyaannya bukan lagi, “kapan mereka hancur”, tapi:

“Sudah sejauh mana tangan mereka menggali kuburannya sendiri?”

Yahudi di Madinah, Zionisme di Palestina, Berakhir Sama? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah tak sekadar catatan masa lalu—ia ada...


Yahudi di Madinah, Zionisme di Palestina, Berakhir Sama?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Sejarah tak sekadar catatan masa lalu—ia adalah cermin. Dan yang sedang tercermin kini adalah ulangan dari kisah lama: tentang satu kaum yang membangun benteng kekuasaan, merajut jejaring ekonomi, memahat simbol kejayaan—hanya untuk kemudian menghancurkannya sendiri dengan tangan mereka. Inilah yang terjadi di Madinah. Dan kini, ia berulang dengan lebih besar dan lebih telanjang di Palestina.



Yahudi di Madinah: Membentengi Kekuasaan, Menjerat Ekonomi

Jauh sebelum Nabi Muhammad ï·º hijrah ke Yatsrib, kaum Yahudi sudah lebih dulu datang. Mereka tidak sekadar membangun rumah—mereka membangun dominasi. Mereka tidak sekadar berbisnis—mereka mengendalikan. Dari Bani Nadhir, Quraizhah, hingga Qainuqa’, mereka memagari diri dengan benteng, memonopoli pasar, dan menghisap kekayaan penduduk lokal melalui sistem riba dan kontrak pertanian yang timpang.

Namun ketika kebenaran datang lewat risalah kenabian, mereka membuangnya. Mereka tidak hanya menolak, tapi mengkhianati. Dan ketika Allah menghukum mereka, yang mereka hancurkan pertama kali bukan musuh-musuh mereka—tetapi rumah mereka sendiri. Mereka menggali kehancuran dengan tangan mereka. Sebuah potret tragis dari kesombongan yang berbuah kehinaan.

"Mereka menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin..."
— Al-Hasyr: 2

Hari ini, pertanyaannya: apakah kita sedang menyaksikan babak kedua dari tragedi itu—di Palestina?



Zionisme: Ideologi Gila yang Menuju Tembok Buntu

Zionisme bukan gerakan spiritual. Ia bukan kepulangan suci. Zionisme adalah proyek kolonial berselimut kitab suci. Sebuah gerakan yang mencuri ayat, lalu mengusir manusia. Ia lahir dari trauma Eropa, tumbuh dalam pelukan imperialis Inggris, dan mewujud dalam genosida di tanah Palestina.

Dengan dalih “Tanah yang Dijanjikan,” Zionisme memulai ekspansi. Tapi yang dijanjikan oleh siapa? Tuhan? Atau ambisi manusia? Dan kini, setelah 100 tahun lebih proyek itu digerakkan, dunia mulai membuka mata: proyek ini bukanlah rumah pulang, tapi bom waktu yang sedang menghitung mundur.

Tanda-tanda kehancurannya bukan lagi samar: isolasi internasional, kejatuhan moral, dan pemberontakan dari dalam. Zionisme sedang memakan anak-anaknya sendiri.



Tanah yang Dijanjikan: Surga Palsu yang Kini Ditinggalkan

Konsep "Tanah yang Dijanjikan" dulu menjadi magnet. Ribuan Yahudi datang dari Eropa dengan mimpi: rumah damai, negeri aman. Tapi apa yang mereka temukan? Perang. Ketakutan. Dinding-dinding kebencian. Mereka datang membawa harapan—dan kini pulang membawa kecewa.

Yang dijanjikan ternyata bukan surga, tapi medan perang abadi. Hari demi hari, narasi tentang negeri impian berubah menjadi berita tentang pemboman, blokade, dan pembantaian. Dan kini, banyak dari mereka yang dulu datang dengan koper dan harapan, pergi kembali dengan paspor kedua dan rasa hampa.



Demokrasi Israel: Topeng yang Mulai Terkelupas

Israel menyebut dirinya satu-satunya demokrasi di Timur Tengah. Tapi demokrasi macam apa yang hanya melayani satu ras? Demokrasi macam apa yang memenjarakan anak-anak Palestina dan membiarkan ekstremis Yahudi membakar rumah-rumah warga Arab?

Yang disebut demokrasi itu ternyata hanya etalase. Di baliknya, apartheid bekerja siang malam. Hari ini, perpecahan di tubuh Israel semakin brutal: sekuler vs Haredim, Yahudi vs Arab, elit vs akar rumput. Demokrasi ini tidak sedang dirawat, tapi sedang dirusak dari dalam—oleh pemimpinnya sendiri.



Militerisme Israel: Kekuatan yang Kini Kehilangan Nafas

Dulu, tentara Israel dianggap tak terkalahkan. Dari Haganah, Irgun, hingga IDF, mereka menancapkan taring di tanah Palestina. Setiap warga dilatih jadi tentara, setiap rumah bisa jadi pos tempur. Tapi hari ini, sesuatu berubah. Anak-anak muda mulai menolak wajib militer. Para serdadu pulang dengan trauma. Dan musuh-musuh Israel—yang dulu dianggap kecil—kini menyerang dari banyak arah sekaligus.

Militer Israel mungkin masih kuat di atas kertas. Tapi semangatnya? Sudah keropos. Kemenangan demi kemenangan militer kini dibayar dengan kekalahan moral yang tak tertanggungkan.



Pertahanan Udara: Iron Dome yang Tak Lagi Tahan Guncangan

Teknologi pertahanan udara Israel pernah menjadi kebanggaan: Iron Dome, Arrow, David’s Sling. Tapi teknologi tak bisa menghadang sejarah. Serangan simultan dari Gaza, Lebanon, dan Iran dalam dua tahun terakhir membuka fakta: tembok besi itu punya celah, dan musuh tahu cara menemukannya.

Lebih dari itu: biaya mempertahankan ilusi keamanan ini semakin tak masuk akal. Ketergantungan pada AS semakin mempermalukan. Israel kini bukan simbol kekuatan—melainkan simbol kepanikan.



Kewarganegaraan Ganda: Jalan Masuk yang Kini Jadi Jalan Keluar

Israel dulu menarik warga Yahudi dari seluruh dunia dengan janji: kewarganegaraan instan, tanah, perlindungan, dan identitas. Tapi kini, janji itu berbalik arah. Paspor Israel tak lagi jadi harapan, tapi beban. Mereka yang dulu datang, kini antre membuat paspor Portugal, Prancis, bahkan Argentina. Negeri yang dulu jadi "rumah pulang" kini jadi tempat yang ingin ditinggalkan.

Zionisme mengira mereka bisa mengikat Yahudi dunia dengan tanah. Tapi ternyata, tanah yang berdarah hanya melahirkan rasa ingin lari.



Akhir Sebuah Ilusi: Ketika Sejarah Membalas Dendam

Zionisme bukan proyek keabadian. Ia bukan nubuat suci. Ia hanyalah narasi politik yang dibungkus mitos. Dan hari ini, narasi itu retak di mana-mana. Dunia tidak lagi percaya. Rakyat Palestina tidak lagi takut. Dan banyak Yahudi sendiri mulai mempertanyakan segalanya.

Apa yang dulu terjadi di Madinah—di mana pengkhianatan dibalas kehancuran—kini tampak sedang terjadi di Palestina. Sejarah, rupanya, sedang membuka lembar baru... dari buku lama.

"Tidaklah mereka menghancurkan melainkan diri mereka sendiri, namun mereka tidak menyadarinya."
— Al-Hasyr: 2

Dan bila mereka masih belum sadar, sejarah akan memastikan mereka belajar—dengan cara paling pahit.

Membumihanguskan Gaza dan Serangan Balik Iran: Mana yang Lebih Berat Bebannya bagi Warga Israel? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pera...

Membumihanguskan Gaza dan Serangan Balik Iran: Mana yang Lebih Berat Bebannya bagi Warga Israel?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Perang bukan hanya soal senjata, strategi, atau statistik. Ia adalah ujian moral, daya tahan batin, dan legitimasi politik. Dalam dua front utama yang kini dihadapi Israel—Gaza dan Iran—yang terjadi bukan hanya pertempuran fisik, melainkan juga pertarungan makna: antara narasi kemenangan dan realitas kehancuran batin.

Israel memang unggul dalam teknologi militer, tetapi konflik ini menunjukkan bahwa kekuatan fisik tidak selalu sejajar dengan ketahanan jiwa bangsa. Yang dipertaruhkan kini bukan hanya wilayah, tapi nilai-nilai dasar yang menentukan apakah sebuah negara layak disebut sebagai peradaban.



Dilema Serangan Udara vs Darat: Antara Tombol dan Luka

Dalam doktrin militer modern, perbedaan antara perang udara dan darat bukan hanya soal taktik, tapi juga soal biaya kemanusiaan dan dampak moral yang menyertainya.

1. Efisiensi Anggaran dan Logistik

Perang udara menelan biaya tinggi dalam teknologi, tapi rendah risiko bagi pasukan penyerang. Cocok untuk pembalasan cepat dan tekanan psikologis.
Sebaliknya, perang darat lebih murah per satuan serangan, namun memerlukan keterlibatan fisik dan logistik besar, serta risiko nyawa yang tak kecil.

2. Dampak Moral bagi Pasukan

Pasukan udara menjatuhkan bom dari ketinggian—jauh dari suara jeritan dan wajah korban. Tapi saat pulang, media membawa kembali citra kehancuran itu ke ruang keluarga mereka.
Sementara tentara darat menyaksikan langsung penderitaan warga sipil, luka, dan kematian anak-anak. Ini menimbulkan cedera moral yang mendalam, trauma yang tak sembuh hanya dengan medali atau pidato.

3. Efektivitas Strategis

Perang udara memang bisa melemahkan musuh, tapi jarang menyelesaikan perang.
Sebaliknya, perang darat bisa menciptakan kontrol wilayah, namun berisiko tinggi bagi legitimasi politik dan reputasi internasional.



Gaza: Membumihanguskan yang Membakar Moral

Di Gaza, Israel menggabungkan kekuatan udara dan darat dalam skala masif. Rudal dijatuhkan, tank dikirim, dan kawasan padat penduduk diserbu dengan dalih membasmi kelompok bersenjata.
Namun dalam kenyataannya, anak-anak, perempuan, dan warga sipil tak bersenjata menjadi korban utama.

Bagi dunia internasional, ini adalah tragedi kemanusiaan. Namun bagi sebagian warga Israel sendiri, ini mulai menjadi beban batin yang mengganggu keyakinan mereka atas legitimasi negaranya.

Apakah ini masih perang untuk bertahan hidup?
Atau telah menjelma menjadi pembantaian yang kehilangan nurani?


Serangan udara memang efektif secara militer. Tapi saat tubuh-tubuh kecil yang bersimbah darah muncul di layar ponsel, taktik berubah menjadi tuduhan, dan kemenangan berubah menjadi kecaman.

Moral warga mulai goyah, bukan karena tentara mereka gagal berperang, tetapi karena yang mereka lawan bukan lagi tentara, melainkan manusia yang lebih lemah dan tak bersenjata.



Iran: Serangan Balik yang Mengoyak Rasa Aman

Berbeda dari Gaza yang terus dibombardir, Iran justru membalas serangan Israel atas fasilitas nuklirnya. Untuk pertama kalinya, rudal dan drone Iran mengarah langsung ke Tel Aviv dan pangkalan militer Israel.

Sebagian besar serangan itu berhasil dicegat. Tapi yang hancur bukan hanya infrastruktur—yang lebih dalam adalah ilusi rasa aman.

Iron Dome tak lagi jadi jaminan.
Dan rakyat Israel pun menyadari bahwa rumah mereka bukan lagi “wilayah suci” yang tak tersentuh.

Iran tak perlu menimbulkan banyak korban. Mereka hanya perlu membakar rasa tenang nasional, dan itu telah terjadi. Serangan ini menjadi trauma kolektif, peringatan bahwa bahkan negara terkuat pun bisa diserang balik.



Mana yang Lebih Menyakitkan bagi Israel: Gaza atau Iran?

Iran: Ketakutan Eksistensial

Korban fisik sedikit, tapi ketakutan nasional meningkat drastis.

Serangan ke Tel Aviv menyentuh jantung simbolik dan psikologis Israel.

Ini bukan lagi serangan militer, tapi tamparan eksistensial: Israel tak lagi kebal.


Gaza: Keruntuhan Legitimasi Moral

Israel mungkin menang secara militer di Gaza.

Namun dunia melihat Israel bukan sebagai korban, tetapi sebagai penindas.

Yahudi diaspora pun mulai mempertanyakan arah negara ini.

Gaza tak hanya menumpahkan darah—ia menumpahkan kredibilitas.



Moralitas: Penentu Kemenangan Sejati

Israel mungkin menang di medan tempur, tapi di medan yang lebih luas—medan nurani dan kepercayaan publik global—mereka mulai kehilangan banyak hal.
Dan sejarah telah membuktikan: negara yang kehilangan legitimasinya akan digerus oleh arus zaman, tak peduli seberapa kuat tentaranya.

Perang udara memberi efisiensi, tapi membusukkan hati.
Perang darat memberi kontrol, tapi menghancurkan jiwa.
Perang melawan Iran mengguncang rasa aman,
Perang melawan Gaza mengguncang nurani.

Dan bila sebuah bangsa telah kehilangan keduanya—rasa aman dan nurani—tak ada senjata di dunia yang cukup untuk menyelamatkannya dari kehancuran moral.

Bisakah Israel Bertahan dengan Dukungan Penuh Amerika? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di antara konflik panjang dan perlawanan yang ...

Bisakah Israel Bertahan dengan Dukungan Penuh Amerika?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di antara konflik panjang dan perlawanan yang tak kunjung padam, Israel berdiri sebagai negara yang didukung penuh oleh kekuatan adidaya: Amerika Serikat. Dukungan ini bukan hanya moral dan diplomatik, tetapi juga militer, intelijen, logistik, hingga veto di PBB. Namun pertanyaan penting mengemuka: apakah dukungan dari luar—bahkan sekelas Amerika—cukup untuk membuat sebuah negara bertahan?

Sejarah berkata lain.



Rezim Shah Iran: Hancur Meski Didukung Amerika

Reza Pahlavi, Shah Iran terakhir, adalah salah satu sekutu paling setia Amerika di Timur Tengah. Ia didukung penuh oleh CIA dalam kudeta tahun 1953 yang menggulingkan Perdana Menteri Mohammad Mossadegh. Shah mendapat bantuan senjata, pelatihan SAVAK (polisi rahasia), dan teknologi militer tercanggih saat itu.

Namun apa yang terjadi?

Tahun 1979, rakyat bangkit dalam Revolusi Iran. Bukan karena kurangnya kekuatan militer, tapi karena hilangnya legitimasi. Shah dianggap boneka Barat, anti-Islam, dan menindas rakyatnya sendiri. Dukungan Amerika tak mampu menahan gelombang jutaan rakyat yang turun ke jalan. Sistem hancur, dan kekuasaan runtuh dari dalam.



Rezim Apartheid Afrika Selatan: Runtuh Meski Didukung Eropa dan AS

Selama dekade 1950-an hingga 1980-an, rezim Apartheid Afrika Selatan mendapatkan dukungan ekonomi dan teknologi dari negara-negara Barat. Eropa dan AS berinvestasi besar, perusahaan-perusahaan multinasional terus beroperasi, dan militer Afrika Selatan menjadi salah satu yang terkuat di benua itu.

Namun apa daya?

Tekanan dari dalam negeri—gerakan rakyat kulit hitam, para pemuda, dan tokoh seperti Nelson Mandela—membuat sistem tak lagi bisa dipertahankan. Ketika rakyat bersatu dan komunitas internasional mulai sadar, dukungan luar tak mampu lagi menyelamatkan struktur kekuasaan rasis yang dibangun di atas penindasan.



Rezim Boneka di Afghanistan: Gagal Bertahan Meski Didukung Amerika

Dua dekade Amerika Serikat menduduki Afghanistan. Miliaran dolar dikucurkan. Tentara dilatih. Pemerintahan Ashraf Ghani dibentuk. Tetapi ketika Taliban masuk ke Kabul pada 2021, rezim yang dibangun AS runtuh hanya dalam hitungan hari. Tanpa ada perlawanan berarti.

Mengapa?

Karena rakyat tak mempercayai pemerintahan itu. Ia dianggap hanya simbol, bukan pemimpin sejati rakyat. Kekuasaan tanpa legitimasi rakyat hanyalah istana dari kaca: tampak kokoh, tapi sekali dihantam retakan, pecah.



Rezim Assad di Suriah: Bertahan, Tapi dengan Harga yang Hancur

Bashar al-Assad bisa bertahan di Suriah karena dukungan besar-besaran dari Rusia dan Iran. Namun yang bertahan bukanlah negara yang stabil, melainkan negara yang hancur, porak-poranda, dan kehilangan separuh populasinya. Assad tetap berkuasa, tapi Suriah tak lagi utuh.

Maka pertanyaannya bukan hanya “bertahan atau tidak?” Tapi: bertahan dalam bentuk apa?



Apakah Israel Akan Bernasib Sama?

Israel memang berbeda: teknologinya canggih, ekonominya maju, dan dukungan AS hampir tak terbatas. Tapi seperti contoh-contoh di atas, dukungan luar tidak cukup jika fondasi internalnya keropos:

1. Negara tanpa keadilan untuk semua warganya.
2. Negara yang terus hidup dari konflik, bukan perdamaian.
3. Negara yang rakyatnya sendiri banyak memiliki paspor ganda—siap pergi saat badai datang.
4. Negara yang hidup dengan membangun tembok, bukan jembatan.


Dukungan Amerika bisa menunda keruntuhan, tapi tidak bisa meniadakan hukum sejarah.



Legitimasi Lebih Kuat daripada Dana dan Senjata

Rezim bertahan bukan karena siapa yang mendukung dari luar, tapi karena siapa yang menerimanya dari dalam.
Dan negara bertahan bukan karena kuat militernya, tapi karena dalamnya akar keadilan yang ditanam di tanahnya.

Israel bisa hidup lebih lama. Tapi jika tidak berubah dari dalam—mengakui hak Palestina, meruntuhkan apartheid, dan membangun hidup bersama—maka ia akan menjadi contoh lain dari sejarah yang berulang: kekuasaan yang besar namun rapuh, dan akhirnya runtuh oleh gelombang yang diciptakannya sendiri.

Negara di Atas Gelombang vs Negara yang Berakar Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam teori politik klasik hingga tata negara modern,...

Negara di Atas Gelombang vs Negara yang Berakar

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Dalam teori politik klasik hingga tata negara modern, sebuah negara ideal dibangun di atas empat fondasi utama: tujuan kemanusiaan yang luhur, konstitusi yang mengikat, pengakuan atas kedaulatan rakyat dan tanah, serta keutuhan sosial yang menjamin identitas dan keadilan bersama. Negara bukan hanya struktur kekuasaan, tapi wadah bagi martabat, kesejahteraan, dan peradaban manusia.

Namun ketika kita mencermati realitas Israel, kita justru melihat kebalikannya. Mari kita bandingkan satu per satu.



1. Tujuan Kemanusiaan vs Proyek Eksklusivisme

Negara ideal, kata John Locke dan Montesquieu, harus melindungi kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan seluruh rakyatnya—tanpa diskriminasi.

Israel, lahir bukan untuk melayani nilai-nilai kemanusiaan universal, melainkan untuk melindungi satu kelompok atas nama sejarah masa lalu. Tujuannya bukan menyatukan, tapi memisahkan. Negara seperti ini tidak memenuhi asas keadilan sosial; ia dibangun dari rasa takut, bukan dari kepercayaan akan persamaan derajat manusia.



2. Konstitusi yang Mengikat vs Kekuasaan Tanpa Pedoman

Dalam teori tata negara modern (lihat Hans Kelsen dan Lon L. Fuller), konstitusi adalah “jiwa negara”. Ia adalah hukum tertinggi yang menyatukan kekuasaan dan membatasi penyalahgunaan.

Israel sampai kini tidak memiliki undang-undang dasar yang komprehensif. Hukum dasar parsial (Basic Laws) justru menjadi alat fleksibel bagi penguasa untuk menyusun ulang aturan sesuai kepentingan politik. Dalam negara ideal, hukum berdiri di atas semua kekuatan; tapi di Israel, hukum kerap ditekuk oleh arah ideologi dominan.



3. Tanah Air Berbasis Historis vs Rampasan yang Dinaturalisasi

Negara ideal memiliki wilayah yang dihormati berdasarkan sejarah hidup bersama rakyatnya, bukan sekadar mitos atau kekuatan militer.

Israel adalah negara tanpa tanah air. Ia dibangun di atas tanah yang dirampas, bukan diwarisi secara sosial. Penghuni asli diusir, dan pendatang diberi gelar “pulang”. Inilah bentuk negasi terhadap asas legitimasi rakyat dan keterikatan emosional terhadap tanah—dua hal yang mendasari makna sejati dari “tanah air”.



4. Persatuan Sosial vs Konflik Internal yang Kronis

Negara ideal bukan sekadar hidup dalam hukum, tapi juga memiliki kohesi sosial (lihat teori Benedict Anderson dan Durkheim) yang menyatukan rakyat dalam solidaritas dan visi bersama.

Israel dihuni oleh kelompok-kelompok yang saling bertentangan: Yahudi sekuler vs Haredim, Ashkenazi vs Mizrahim, Yahudi Rusia vs Yahudi Etiopia, Yahudi vs Arab. Negara ini bertahan karena adanya musuh bersama, bukan karena nilai dan rasa kebangsaan yang menyatukan. Dalam teori negara, ini pertanda krisis identitas nasional.



5. Kedaulatan Penduduk Asli vs Pengusiran Sistemik

Negara ideal mengakui hak historis penduduk asli. Konvensi internasional dan PBB menegaskan, tidak ada negara yang sah jika lahir dari pengusiran sistemik.

Israel justru meniadakan keberadaan penduduk asli. Mereka yang hidup berabad-abad di sana—baik Muslim maupun Kristen Palestina—disebut tak ada. Ini bukan hanya kejahatan sejarah, tapi juga pelanggaran terhadap prinsip jus soli dan jus culturae: hak atas tanah dan budaya yang dijaga turun-temurun.



6. Kesetiaan Tunggal vs Kewarganegaraan Ganda yang Bersyarat

Negara ideal menuntut kesetiaan penuh warganya kepada negara, sebagaimana ditegaskan dalam prinsip civic nationalism. Israel justru dihuni oleh warga berkewarganegaraan ganda yang dapat sewaktu-waktu meninggalkannya.

Paspor ganda menandakan ketidakpastian identitas nasional dan loyalitas politik. Negara seperti ini rentan terhadap eksodus diam-diam, ketika krisis datang. Ia bukan rumah, tapi persinggahan.



7. Perdamaian Tetangga vs Konflik Permanen

Negara ideal berfungsi sebagai penjaga stabilitas kawasan, bukan sebagai pemicu konflik. Dalam teori hubungan internasional, negara yang terus berperang adalah negara yang lemah secara diplomatik dan moral.

Israel terus berkonflik dengan tetangganya. Ia tidak pernah benar-benar berdamai, bahkan dengan bangsa yang tinggal tepat di sebelah rumahnya: Palestina. Ini pertanda negara yang tidak selesai membangun legitimasi dan masih bergantung pada kekerasan untuk bertahan.



Israel bukan negara gagal secara administratif, tetapi negara yang goyah secara etika dan prinsip dasar bernegara. Dalam banyak aspek, ia melanggar norma dan asas yang seharusnya menjadi ruh sebuah negara modern dan beradab. Ia ada, tapi tidak utuh. Ia kuat, tapi tak stabil. Ia hidup, tapi tanpa arah kemanusiaan.

Negara seperti ini bisa saja bertahan dalam waktu lama. Namun seperti rumah di atas gelombang, ia akan terus diguncang badai: dari luar, dan lebih dalam lagi, dari dalam dirinya sendiri.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (358) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (561) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (242) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (490) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (251) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (234) Sirah Sahabat (152) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (153) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)