Gema Gaza di Lorong Demokrasi Lokal Inggris
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Ketika Gaza Menjadi Kotak Suara
Di Inggris, isu Palestina bukan lagi sekadar urusan diplomasi internasional yang jauh dari jangkauan rakyat biasa. Ia telah menjelma menjadi denyut politik lokal: terdengar di lorong balai kota, masjid-masjid, universitas, hingga pemukiman multikultural di Birmingham, Leicester, Bradford, dan Tower Hamlets. Dalam sunyi demokrasi lokal, gema Gaza menggema dan mulai mengubah peta elektoral Inggris dari bawah ke atas.
Selama beberapa dekade, sikap resmi Inggris cenderung netral terhadap konflik Israel-Palestina—meski kerap ditafsirkan sebagai condong ke Israel. Namun, sejak 2023 hingga 2025, perang di Gaza mengubah banyak hal. Gambar anak-anak Palestina bersimbah darah menyebar ke layar gawai warga dan menyentuh nurani banyak pemilih, khususnya komunitas Muslim dan kelompok progresif muda.
Ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah pusat, terutama atas kegagalan mengecam kebrutalan Israel, berubah menjadi bentuk perlawanan elektoral. Ia tidak membakar Downing Street, namun menjalar lewat pemilihan dewan kota, wali kota, dan anggota parlemen lokal.
Palestina sebagai Cermin Nurani Kota
Di Tower Hamlets—wilayah dengan populasi Muslim Bangladesh terbesar di Inggris—isu Palestina menjadi penentu kemenangan. Partai independen lokal yang tegas menyuarakan pembelaan terhadap Palestina berhasil merebut kursi dari Partai Buruh. Hal serupa terjadi di Birmingham dan Leicester, di mana kandidat yang mendukung hak rakyat Palestina mendapat sambutan luas. Bahkan Partai Buruh pun terdorong menyesuaikan retorikanya agar tidak kehilangan simpati dari komunitas Muslim dan pemuda progresif.
Isu Palestina menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme, rasisme, dan ketidakadilan global. Ia menjadi refleksi nurani masyarakat kota.
Otonomi Kota dan Diplomasi Simbolik
Secara formal, kebijakan luar negeri Inggris berada di tangan Westminster. Namun, kota-kota memiliki otonomi moral dan kultural. Beberapa mulai memanfaatkan diplomasi kota (city diplomacy): mengeluarkan resolusi dewan yang mengecam tindakan Israel, menyerukan gencatan senjata, hingga memutus hubungan kota kembar (twinning) dengan kota-kota di Israel.
Contohnya, Dewan Kota Leicester pada 2024 mengeluarkan pernyataan resmi untuk menghentikan kerja sama dengan institusi tertentu di Israel. Meski tidak punya kekuatan hukum, tindakan ini menyampaikan pesan moral yang kuat.
Demografi Muslim dan Arah Elektoral Baru
Berdasarkan sensus 2021:
Populasi Muslim Inggris (England & Wales): 3,87 juta (6,5%) dari total 59,6 juta.
84,5% Muslim berusia di bawah 50 tahun.
Di London, 15% dari penduduknya adalah Muslim (~1,3 juta).
Kota-kota dengan konsentrasi Muslim tinggi: Tower Hamlets (39,9%), Birmingham (30%), Bradford, Newham, dan Manchester.
Proyeksi menunjukkan populasi Muslim bisa mencapai 10–17% pada 2050. Pengaruh elektoral mereka tumbuh, terutama di wilayah urban dengan kursi marginal.
Dampak Elektoral Isu Palestina
Suara Muslim mulai menjadi penentu di pemilu lokal dan nasional. Kandidat yang menyuarakan solidaritas terhadap Palestina mampu menarik dukungan luas, tidak hanya dari Muslim, tetapi juga dari pemilih muda yang kritis dan peka terhadap isu global. Ini membuat partai-partai besar seperti Labour harus merevisi pendekatan mereka.
Kemenangan kandidat pro-Palestina di kota seperti Tower Hamlets dan dukungan atas inisiatif pro-divestasi di Sutton (London) menunjukkan bahwa solidaritas terhadap Gaza bukan lagi suara pinggiran. Ia telah masuk ke ruang utama demokrasi lokal.
Isu Palestina Memasuki Gelandang Politik Lokal
Isu Palestina telah bergerak dari diplomasi diplomatik ke gelanggang politik lokal Inggris. Ia menjadi ujian moral bagi politisi—bagaimana menyeimbangkan solidaritas global dan loyalitas domestik.
Komunitas Muslim, dengan konsentrasi di kota-kota besar, telah menjadi engine politik pro‑Palestina.
Politik lokal tumbuh menjadi medan yang relevan untuk menyuarakan solidaritas, menunjukan bahwa politik kecil bisa punya efek besar di panggung global.
Dalam sistem demokrasi, suara nurani kini tak bisa diabaikan: suara untuk Gaza bukan tabu, tapi menuntut tempat di kantor wali kota, di dewan kota, bahkan dalam perdebatan parlemen.
Inggris menunjukkan bahwa zaman berubah: politik lokal bukan sekadar fasilitas layanan publik—ia bisa menjadi panggung suara etika dunia, yang membuktikan bahwa kota-kota pun bisa bicara kepada dunia.
0 komentar: