Negara di Atas Gelombang vs Negara yang Berakar
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Dalam teori politik klasik hingga tata negara modern, sebuah negara ideal dibangun di atas empat fondasi utama: tujuan kemanusiaan yang luhur, konstitusi yang mengikat, pengakuan atas kedaulatan rakyat dan tanah, serta keutuhan sosial yang menjamin identitas dan keadilan bersama. Negara bukan hanya struktur kekuasaan, tapi wadah bagi martabat, kesejahteraan, dan peradaban manusia.
Namun ketika kita mencermati realitas Israel, kita justru melihat kebalikannya. Mari kita bandingkan satu per satu.
1. Tujuan Kemanusiaan vs Proyek Eksklusivisme
Negara ideal, kata John Locke dan Montesquieu, harus melindungi kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan seluruh rakyatnya—tanpa diskriminasi.
Israel, lahir bukan untuk melayani nilai-nilai kemanusiaan universal, melainkan untuk melindungi satu kelompok atas nama sejarah masa lalu. Tujuannya bukan menyatukan, tapi memisahkan. Negara seperti ini tidak memenuhi asas keadilan sosial; ia dibangun dari rasa takut, bukan dari kepercayaan akan persamaan derajat manusia.
2. Konstitusi yang Mengikat vs Kekuasaan Tanpa Pedoman
Dalam teori tata negara modern (lihat Hans Kelsen dan Lon L. Fuller), konstitusi adalah “jiwa negara”. Ia adalah hukum tertinggi yang menyatukan kekuasaan dan membatasi penyalahgunaan.
Israel sampai kini tidak memiliki undang-undang dasar yang komprehensif. Hukum dasar parsial (Basic Laws) justru menjadi alat fleksibel bagi penguasa untuk menyusun ulang aturan sesuai kepentingan politik. Dalam negara ideal, hukum berdiri di atas semua kekuatan; tapi di Israel, hukum kerap ditekuk oleh arah ideologi dominan.
3. Tanah Air Berbasis Historis vs Rampasan yang Dinaturalisasi
Negara ideal memiliki wilayah yang dihormati berdasarkan sejarah hidup bersama rakyatnya, bukan sekadar mitos atau kekuatan militer.
Israel adalah negara tanpa tanah air. Ia dibangun di atas tanah yang dirampas, bukan diwarisi secara sosial. Penghuni asli diusir, dan pendatang diberi gelar “pulang”. Inilah bentuk negasi terhadap asas legitimasi rakyat dan keterikatan emosional terhadap tanah—dua hal yang mendasari makna sejati dari “tanah air”.
4. Persatuan Sosial vs Konflik Internal yang Kronis
Negara ideal bukan sekadar hidup dalam hukum, tapi juga memiliki kohesi sosial (lihat teori Benedict Anderson dan Durkheim) yang menyatukan rakyat dalam solidaritas dan visi bersama.
Israel dihuni oleh kelompok-kelompok yang saling bertentangan: Yahudi sekuler vs Haredim, Ashkenazi vs Mizrahim, Yahudi Rusia vs Yahudi Etiopia, Yahudi vs Arab. Negara ini bertahan karena adanya musuh bersama, bukan karena nilai dan rasa kebangsaan yang menyatukan. Dalam teori negara, ini pertanda krisis identitas nasional.
5. Kedaulatan Penduduk Asli vs Pengusiran Sistemik
Negara ideal mengakui hak historis penduduk asli. Konvensi internasional dan PBB menegaskan, tidak ada negara yang sah jika lahir dari pengusiran sistemik.
Israel justru meniadakan keberadaan penduduk asli. Mereka yang hidup berabad-abad di sana—baik Muslim maupun Kristen Palestina—disebut tak ada. Ini bukan hanya kejahatan sejarah, tapi juga pelanggaran terhadap prinsip jus soli dan jus culturae: hak atas tanah dan budaya yang dijaga turun-temurun.
6. Kesetiaan Tunggal vs Kewarganegaraan Ganda yang Bersyarat
Negara ideal menuntut kesetiaan penuh warganya kepada negara, sebagaimana ditegaskan dalam prinsip civic nationalism. Israel justru dihuni oleh warga berkewarganegaraan ganda yang dapat sewaktu-waktu meninggalkannya.
Paspor ganda menandakan ketidakpastian identitas nasional dan loyalitas politik. Negara seperti ini rentan terhadap eksodus diam-diam, ketika krisis datang. Ia bukan rumah, tapi persinggahan.
7. Perdamaian Tetangga vs Konflik Permanen
Negara ideal berfungsi sebagai penjaga stabilitas kawasan, bukan sebagai pemicu konflik. Dalam teori hubungan internasional, negara yang terus berperang adalah negara yang lemah secara diplomatik dan moral.
Israel terus berkonflik dengan tetangganya. Ia tidak pernah benar-benar berdamai, bahkan dengan bangsa yang tinggal tepat di sebelah rumahnya: Palestina. Ini pertanda negara yang tidak selesai membangun legitimasi dan masih bergantung pada kekerasan untuk bertahan.
Israel bukan negara gagal secara administratif, tetapi negara yang goyah secara etika dan prinsip dasar bernegara. Dalam banyak aspek, ia melanggar norma dan asas yang seharusnya menjadi ruh sebuah negara modern dan beradab. Ia ada, tapi tidak utuh. Ia kuat, tapi tak stabil. Ia hidup, tapi tanpa arah kemanusiaan.
Negara seperti ini bisa saja bertahan dalam waktu lama. Namun seperti rumah di atas gelombang, ia akan terus diguncang badai: dari luar, dan lebih dalam lagi, dari dalam dirinya sendiri.
0 komentar: