Zohran Mamdani: Pergolakan Hati Amerika dalam Isu Palestina
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
New York City. Kota yang konon tak pernah tidur, tak pernah netral, dan tak pernah sepi dari suara-suara dunia. Di tengah gemuruh subway, hiruk-pikuk Fifth Avenue, dan denting gelas kopi yang tak kunjung dingin, satu isu menembus batas kampanye wali kota biasa: Palestina.
Di panggung pemilihan wali kota tahun ini, bukan soal sampah kota, infrastruktur, atau tunawisma yang menjadi sorotan utama. Yang menyala justru satu kata yang membelah dunia: intifadah. Di tengahnya berdiri Zohran Mamdani — seorang politisi muda, Muslim, progresif, dan anti-Zionis — yang kini bukan hanya menjadi kandidat, tetapi juga simbol perubahan, kontroversi, dan perlawanan nurani.
New York: Kota yang Menjadi Cermin Amerika dan Dunia
Mengapa New York? Karena New York adalah miniatur Amerika dan jendela dunia. Ini kota tempat lahirnya Wall Street, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan media-media yang menentukan narasi global. Siapa yang berkuasa di New York, bukan hanya memimpin kota — ia memimpin arah wacana.
Secara politik, New York sering menjadi penentu arah partai Demokrat secara nasional. Gagasan yang diterima dan diujicobakan di kota ini, sering menjadi materi kampanye nasional. Walikota-walikota New York sebelumnya seperti Michael Bloomberg atau Rudy Giuliani bahkan sempat masuk bursa capres.
Dan dalam dunia pasca-2023, di mana dukungan terhadap Israel mulai dipertanyakan secara moral pasca serangan terhadap Gaza, kemenangan calon anti-Zionis seperti Mamdani menjadi bukan hanya kasus lokal, tapi sinyal global — bahwa bahkan di pusat kekuasaan Yahudi terbesar di luar Israel, narasi bisa bergeser.
Struktur Sosial New York yang Pluralisme
New York bukan kota homogen. Ia rumah bagi sekitar 8,5 juta jiwa, dengan struktur demografis yang kompleks:
Komunitas Yahudi: Sekitar 13%, salah satu yang terbesar di dunia. Banyak dari mereka aktif secara politik dan finansial.
Komunitas Muslim: Sekitar 9%, sebagian besar berasal dari imigran Asia Selatan, Arab, dan Afrika.
Imigran asing: Sekitar 36% penduduk New York lahir di luar AS.
Hispanik dan Latin: Sekitar 29%.
Kulit Hitam/Afrika-Amerika: Sekitar 24%.
Asia-Amerika: Sekitar 14%.
Dalam struktur inilah, Mamdani tumbuh dan berkampanye. Ia tidak hanya membawa suara minoritas, tetapi mengikat nurani kolektif kota ini yang sedang lelah dengan politik lama. Ia bicara tentang Palestina, tapi sebenarnya ia bicara tentang keadilan — dan keadilan adalah bahasa yang dimengerti semua kelompok, dari Harlem hingga Queens.
Mamdani menyasar basis muda, multirasial, progresif — mereka yang sudah muak dengan politik kompromi. Survei American Pulse mencatat bahwa 46% pemilih muda (18–44 tahun) justru mendukungnya karena sikapnya terhadap Palestina dan intifadah. Di sinilah kekuatannya: bukan karena ia menang logistik, tapi karena ia menang hati.
Isu Palestina: Mengapa Jadi Sorotan di Tengah Masalah Kota?
Banyak yang bertanya: mengapa seorang calon wali kota New York bicara soal Palestina, bukan tentang metro rusak, harga sewa rumah, atau kriminalitas?
Jawabannya: karena Palestina adalah cermin nurani.
Palestina menjadi simbol moral dunia modern. Dalam konflik yang timpang, di mana satu pihak dibela penuh oleh kekuatan militer raksasa dan media global, muncul pertanyaan eksistensial: siapa kita sebagai manusia ketika menyaksikan penderitaan dan memilih diam?
Dan rakyat New York — dengan sejarah panjang sebagai pelabuhan para pengungsi, korban perang, dan pencari harapan — memahami narasi ini dengan dalam. Dari Yahudi yang lolos dari Holocaust, hingga imigran Latin yang kabur dari kekacauan Amerika Selatan, mereka tahu arti penindasan.
Ketika Mamdani berbicara soal “globalisasikan intifadah”, ia bukan sedang menyerukan kekerasan. Ia sedang menyerukan solidaritas lintas bangsa, perlawanan terhadap kolonialisme, dan keadilan yang bersifat universal.
Politik Pajak, Kesejahteraan, dan Luka Moral Amerika
Namun ada dimensi lain yang membuat isu Palestina semakin kuat menggema: politik pajak.
Rakyat Amerika — termasuk warga New York — mulai sadar bahwa miliaran dolar uang pajak mereka digunakan untuk membiayai senjata dan bom yang jatuh di Gaza. Mereka mulai membandingkan: ketika Israel dibom, bantuan militer langsung mengalir. Tapi ketika Los Angeles terbakar atau New York tenggelam oleh badai, respons pemerintah justru lamban dan pelit.
Pertanyaan pun muncul: apakah Amerika masih berfungsi untuk rakyatnya sendiri?
Di sinilah narasi Mamdani menyentuh saraf terdalam publik Amerika. Ia bukan hanya membela Palestina — ia menghadapkan kebijakan luar negeri pada realitas domestik yang sakit. Ia mengingatkan bahwa membela keadilan global tak boleh mengorbankan kesejahteraan lokal.
Pergulatan yang Akan Menentukan Arah Sejarah?
Zohran Mamdani bukan hanya seorang kandidat wali kota. Ia adalah cermin dari Amerika yang sedang bergulat dengan masa depannya. Antara dukungan terhadap status quo Israel, atau solidaritas terhadap rakyat Palestina. Antara politik lama yang kompromistis, atau politik baru yang berbasis nurani.
Kemenangannya akan memicu efek domino — dari ruang-ruang kota hingga Capitol Hill. Dan meski banyak yang menuduhnya sebagai antisemit, banyak pula yang melihatnya sebagai penjaga moralitas baru Amerika.
Dalam kontestasi ini, kita tidak hanya menyaksikan pertarungan politik. Kita menyaksikan pertarungan antara ketakutan dan keberanian, antara kenangan dan harapan, antara politik yang membungkam dan politik yang bersuara.
Dan New York, seperti biasa, kembali menjadi tempat sejarah menulis babak barunya.
“Jika saya menyuarakan keadilan untuk Palestina, apakah saya membenci Yahudi? Tidak. Saya menyuarakan kemanusiaan — bukan kebencian.” – Zohran Mamdani
0 komentar: