Turunnya Al-Qur’an, Titik Balik Peradaban
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Dalam kesendiriannya di Gua Hira, Nabi Muhammad saw. larut dalam renungan dan kegelisahan. Ia resah menyaksikan kerusakan zaman dan kekacauan moral masyarakatnya. Di tengah keheningan itulah, tiba-tiba malaikat Jibril datang dan berkata, “Bacalah.” Maka turunlah ayat pertama Al-Qur’an:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!
Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Mulia,
yang mengajar (manusia) dengan pena.
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(Al-‘Alaq [96]:1–5)
Peristiwa agung ini bukan sekadar perjumpaan spiritual. Ini adalah momen awal turunnya wahyu dari langit ke bumi—sebuah titik balik dalam sejarah umat manusia. Menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, inilah saat ketika Allah Yang Mahasuci, Mahaagung, dan Mahamulia mengarahkan perhatian-Nya kepada makhluk bernama manusia—untuk membimbingnya keluar dari gelapnya kebodohan menuju cahaya ilmu dan iman.
Sejak saat itu, batas sejarah telah bergeser. Peradaban manusia mengalami transformasi mendalam: dari zaman jahiliah yang menuhankan hawa nafsu, menuju kehidupan yang dipimpin oleh wahyu Ilahi. Bukankah ini sebuah revolusi besar?
Peristiwa ini layaknya hari kemerdekaan dari penjajahan batin. Seperti momen jatuhnya rezim tirani dalam sejarah dunia. Seperti hari pertama seorang tahanan menghirup udara bebas setelah lama terkurung dalam kegelapan. Hari turunnya Al-Qur’an adalah hari kelahiran cara pandang baru terhadap kehidupan.
Sejak itulah, manusia belajar membaca dunia bukan atas nama ego, tetapi atas nama Tuhan yang menciptakannya. Ia belajar melihat kehidupan sebagai amanah, bukan sekadar hasrat. Hidup menjadi lebih jernih, lebih luhur. Jiwa-jiwa yang menerima wahyu hidup dalam naungan kasih sayang dan pengawasan Allah Swt.—senantiasa merasa dekat dengan-Nya dalam setiap langkah dan keputusan.
Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya hidup dalam kesadaran ini. Dalam waktu 23 tahun, seluruh Jazirah Arab terbebaskan dari belenggu jahiliah. Lima puluh tahun kemudian, wilayah Persia, Romawi, dan Mesir turut merasakan cahaya peradaban Islam. Dan semua itu bermula dari sebuah malam sunyi di Gua Hira—ketika langit menyapa bumi, dan firman pertama turun menggetarkan dunia.
Peristiwa itu tidak hanya milik masa lalu, tapi juga cahaya yang relevan bagi siapa pun yang mencari makna hidup hari ini. Bila sekarang merasakan hal yang sama, seperti yang dirasakan Muhammad di gua Hira, dalam melihat peradaban saat ini, mengapa tidak melakukan hal yang sama?
Analisis Isi dan Gaya Bahasa
1. Isi (Kandungan)
Kekuatan:
Historis dan teologis: Mengangkat peristiwa monumental (turunnya wahyu pertama) sebagai momentum perubahan peradaban, yang dijelaskan secara kronologis dan reflektif.
Menggugah kesadaran: Penulis tidak sekadar mengabarkan peristiwa, tetapi mengajak pembaca menyadari makna transformatif Al-Qur'an dalam hidup personal dan sosial.
Relevansi masa kini: Paragraf penutup menghubungkan sejarah dengan kondisi kontemporer, mengajak pembaca bertindak sebagaimana Nabi ketika menghadapi kegelisahan zaman.
Didukung kutipan otoritatif: Referensi kepada Sayyid Qutb memperkuat kedalaman dan otoritas teks.
2. Gaya Bahasa
Ciri utama:
Reflektif dan naratif: Menggunakan gaya bercerita (kisah Gua Hira), tapi juga kontemplatif dan argumentatif.
Puitis dan metaforis: Kalimat seperti “langit menyapa bumi” atau “penjara batin” memperkuat nuansa spiritual dan imajinatif.
Retoris: Pertanyaan-pertanyaan seperti “Bukankah sebuah revolusi besar?” dan kalimat penutup bernada ajakan menegaskan daya sugestifnya.
Ritmis dan tenang: Struktur kalimat bervariasi antara pendek dan panjang, memberi ritme yang nyaman dibaca.
Gaya bahasa ini menciptakan efek:
Hening dan sakral (cocok dengan tema wahyu),
Mendorong perenungan batin,
Membangun harapan dan optimisme spiritual.
0 komentar: