Menghimpun Ragam Kekuatan Seperti Terong
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Karakter terong itu unik: kulitnya keras dan licin, namun bagian dalamnya lembut dan putih. Permukaan yang keras seolah menjadi pelindung bagi kelembutan di dalam—menunjukkan keseimbangan antara ketegasan dan kelembutan.
Inilah cerminan pribadi yang matang: tegas dalam prinsip, teguh dalam perjuangan, namun tetap lentur dalam strategi. Tidak mudah hanyut oleh arus, tetapi juga tidak kaku menghadapi perubahan.
Dari mana semua kekuatan itu berasal? Seperti daging terong yang lembut dan putih, semua bersumber dari kejernihan jiwa dan kelembutan hati. Keduanya adalah dasar dari keteguhan dan kelenturan.
Hati yang bening melahirkan kesadaran akan nilai dan moralitas. Kesadaran inilah yang menguatkan prinsip hidup, sekaligus membuka ruang untuk memaafkan dan menyayangi. Dari sinilah kelenturan dalam bersikap dan bertindak tumbuh.
Saat dimasak, terong menciptakan tekstur creamy yang mampu menyatu dan meresap ke seluruh masakan. Ia memenuhi setiap celah, tak menyisakan ruang kosong. Karakter ini melambangkan kemampuan untuk menghimpun dan menyatukan berbagai kekuatan di sekitarnya.
Kelembutan terong justru menjadikannya perekat. Banyak rasa dapat berhimpun karena kelembutan yang mempersatukan, bukan kekuatan yang mendominasi.
Inilah karakter seorang pemimpin sejati: mampu menjembatani perbedaan, menyatukan berbagai karakter, dan membangun kekuatan kolektif. Terong adalah perumpamaan sederhana dari kepemimpinan yang berakar pada keutuhan jiwa.
Tulisan "Menghimpun Ragam Kekuatan Seperti Terong" oleh Nasrulloh Baksolahar memuat nilai-nilai reflektif yang dikemas melalui perumpamaan sederhana namun bermakna. Berikut analisis isi dan gaya bahasanya:
1. Isi (Substansi)
Tulisan ini menyampaikan gagasan tentang kepemimpinan dan kematangan pribadi, dengan menjadikan terong sebagai simbol utama. Beberapa poin penting:
Fisik terong yang keras di luar namun lembut di dalam dianalogikan sebagai kombinasi karakter ideal: tegas namun lembut.
Keseimbangan antara prinsip dan kelenturan dijelaskan sebagai fondasi kepribadian matang.
Asal kekuatan sejati disebut berasal dari hati dan jiwa yang jernih, bukan dari kekerasan luar semata.
Kemampuan terong menyatu dalam masakan dijadikan simbol dari kemampuan seorang pemimpin untuk menghimpun, menyatukan, dan merekatkan berbagai potensi yang ada di sekitarnya.
Ditekankan bahwa kelembutan adalah kekuatan yang menyatukan, bukan dominasi yang memaksa.
Isi ini menunjukkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang kuat secara nilai, namun tetap lembut dalam jiwa, dan mampu menghadirkan sinergi dalam keberagaman.
2. Gaya Bahasa
Gaya bahasa dalam tulisan ini dapat dikategorikan sebagai metaforis, kontemplatif, dan naratif reflektif. Berikut penjelasannya:
Metaforis: Terong digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan karakter, kepemimpinan, dan nilai-nilai batin. Misalnya:
"Karakter terong itu unik: kulitnya keras dan licin, namun bagian dalamnya lembut dan putih."
Reflektif dan kontemplatif: Tulisan mengajak pembaca merenung, bukan hanya memahami, tetapi juga merasakan maknanya secara mendalam. Contoh:
"Dari mana semua kekuatan itu berasal?"
Diksi sederhana namun bernuansa filosofis: Penulis menggunakan kata-kata seperti kejernihan jiwa, kelembutan hati, kekuatan kolektif, yang memberi kesan mendalam dan bermakna spiritual.
Struktur kalimat tertata dan mengalir logis: Gagasan berkembang secara bertahap dari deskripsi fisik, ke makna batin, hingga ke penerapannya dalam kepemimpinan.
Kesimpulan
Isi tulisan sangat kuat dalam menggambarkan kepemimpinan berbasis nilai batin, dan gaya bahasa yang digunakan sangat sesuai dengan esai reflektif. Ini membuat tulisan cocok untuk:
Kolom opini atau refleksi di media massa.
Buku motivasi atau pengembangan diri.
Materi pembelajaran kepemimpinan berbasis karakter.
Tulisan ini berhasil mengangkat objek sederhana menjadi sumber inspirasi mendalam, yang menjadi ciri khas penulisan filosofis yang membumi.
0 komentar: