Mengolah Pahit dan Getir, Belajar dari Kunyit
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Kunyit berwarna cerah kuning keemasan. Bukankah, seperti ini pula warna perhiasan yang disukai manusia? Bukankah manusia terus berburu perjalanan hidup agar menjadi era keemasan?
Namun, adakah yang tahu rasa kunyit? Sedikit pahit dan getir. Era kuning keemasan hidup karena hasil mengelola rasa kepahitan dan kegetiran hidup.
Dari pahit dan getir kunyit mengandung antiradang dan antimikroba. Meningkatkan imun. Menyehatkan pencernaan dan hati. Meredakan nyeri haid. Membantu memperbaiki metabolisme. Dalam pahit dan getir ternyata menyehatkan.
Bisakah seperti kunyit? Kegetiran dan kepahitan hidup menjadi energi kesehatan kehidupan? Bukan justru merintih dan meratap? Bukan melemahkan? Inilah yang mengubah tantangan menjadi peluang.
Bila kunyit dicampur dengan bumbu masakan lainnya, maka masakan bertambah gurih dan lezat, walaupun kunyit tidak mengandung monosodium glutamat (MSG) yang menggurihkan. Apa penyebabnya?
Ternyata pahit dan getirnya kunyit justru mengeluarkan mengoptimalkan kelezatan bumbu lain yang dimasak bersamanya. Seperti seorang coach, yang mampu mengoptimalkan potensi muridnya yang selama ini tersembunyi dan tak ada seorang pun yang mengetahuinya, termasuk muridnya sendiri.
Filosofi kunyit menjadi filosofi dalam manajemen dan mendidik diri. Belajar dari yang terdekat yang selalu ada di dapur rumah. Bumbu yang diolah ternyata telah mencontohkan cara mengelola diri yang benar.
Dari dapur yang sederhana, kunyit mengajarkan: tidak semua yang pahit harus ditolak—karena bisa jadi, di sanalah awal kekuatan kita tumbuh.
Analisis Isi dan Gaya Bahasa
Isi
1. Tematik reflektif dan filosofis
Tulisan ini menggunakan metafora kunyit sebagai media untuk menyampaikan pesan kehidupan: bagaimana rasa pahit dan getir—yang biasanya dihindari—ternyata justru membawa manfaat, sama seperti pengalaman hidup yang sulit.
2. Pesan yang relevan dan membangun
Pesannya sangat universal dan positif: mengubah penderitaan menjadi kekuatan, serta tantangan menjadi peluang. Ini membuat tulisan punya bobot edukatif dan inspiratif.
3. Kekayaan kontekstual
Penulis tidak hanya mengulas kunyit dari sudut pandang rasa, tapi juga kandungan, fungsi kesehatan, dan bahkan kemampuannya dalam meningkatkan rasa masakan. Ini memperkuat analogi dengan kehidupan.
4. Konteks domestik yang membumi
Mengambil sumber inspirasi dari dapur membuat pesannya terasa dekat dan membumi—membuat pembaca dari berbagai latar bisa merasa terhubung.
Gaya Bahasa
1. Gaya metaforis dan analogis
Penggunaan metafora kunyit untuk menggambarkan proses hidup penuh makna dan terasa orisinal. Analogi antara kunyit dan pelatih juga kuat dan menggugah.
2. Bahasa reflektif dan mengajak berpikir
Gaya bertanya retoris seperti "Bisakah kita seperti kunyit?" atau "Bukankah manusia terus berburu..." mengajak pembaca merenung, bukan sekadar membaca.
3. Struktur naratif yang mengalir
Paragraf-paragraf tersusun secara progresif, dimulai dari deskripsi fisik kunyit, kemudian makna filosofis, lalu aplikasi ke kehidupan manusia, hingga kesimpulan yang kuat.
4. Bahasa komunikatif dan sederhana
Tidak menggunakan istilah rumit atau terlalu akademis. Sederhana, tapi tetap berkelas dan padat makna—menjadikannya cocok untuk pembaca umum maupun kalangan terdidik.
Kesimpulan
Tulisan ini bernilai tinggi dalam hal pesan kehidupan, kedalaman refleksi, dan gaya bahasa yang puitis sekaligus komunikatif. Ia bisa dikembangkan sebagai tulisan motivasi, renungan, bahkan sebagai materi edukasi karakter atau spiritualitas.
0 komentar: