basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Membuat Perjanjian, Namun Memiliki Kekuatan untuk Menekan, Itukah Strategi Suriah terhadap Israel? Dari Madinah ke New York Di s...


Membuat Perjanjian, Namun Memiliki Kekuatan untuk Menekan, Itukah Strategi Suriah terhadap Israel?

Dari Madinah ke New York

Di sebuah hotel mewah di jantung Manhattan, bendera Suriah berkibar berdampingan dengan bendera Amerika. Kamera wartawan menyorot langkah Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa yang baru saja tiba untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Di sisinya, berdiri Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio. Seakan dunia sedang menyaksikan halaman baru dari sejarah Timur Tengah—halaman yang ditulis dengan tinta diplomasi, tetapi juga dengan bayangan perang yang masih basah.

Sharaa berbicara dengan nada hati-hati, kadang tegas, kadang ragu. Ia menyebut “kedaulatan Suriah” sebagai garis merah, tetapi juga membuka pintu bagi kesepakatan keamanan dengan Israel. Ucapan itu terdengar seperti gema dari lembaran lama sejarah: Rasulullah ï·º di Madinah, duduk bersama para pemuka Yahudi, menandatangani Piagam Madinah. Perjanjian ditulis, pena digores, dan kesepakatan tercatat.

Pertanyaannya kini: apakah strategi Rasulullah ï·º itu bisa menjadi cermin bagi Suriah hari ini?


---

Sejarah Rasulullah ï·º dan Perjanjian dengan Yahudi

Mari kita kembali ke Madinah abad ke-7. Rasulullah ï·º baru saja hijrah dari Mekah, membawa kaum Muhajirin yang terusir dari rumah dan harta. Di Madinah, beliau menemukan kaum Anshar yang setia menyambut. Namun, ada juga komunitas Yahudi—Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzhah—yang telah lama menetap di sana.

Beliau tidak memilih jalan konfrontasi langsung. Rasulullah ï·º menandatangani Piagam Madinah, sebuah dokumen yang disebut oleh sebagian sejarawan sebagai “konstitusi tertulis pertama di dunia.”

Intinya jelas:

Kaum Muslim dan Yahudi hidup berdampingan.

Masing-masing bebas menjalankan agamanya.

Jika Madinah diserang, semua wajib membela bersama.

Tidak boleh ada pengkhianatan atau aliansi sepihak dengan musuh.


Namun, sejarah membuktikan: tidak semua Yahudi menepati perjanjian itu.

Bani Qaynuqa’ mengkhianati kesepakatan dengan melecehkan seorang perempuan Muslimah. Mereka pun diusir dari Madinah.

Bani Nadhir merencanakan pembunuhan Rasulullah ï·º. Mereka pun diusir.

Bani Qurayzhah, dalam Perang Khandaq, bersekutu dengan Quraisy dan berkhianat di saat paling genting. Akhirnya mereka ditumpas habis.


Di sinilah letak strategi Rasulullah ï·º:
Beliau tidak menolak perjanjian. Beliau bahkan memulai dengan diplomasi. Tetapi beliau juga tidak pernah membiarkan perjanjian jadi tameng pengkhianatan. Ada garis batas: hidup bersama boleh, tetapi begitu dikhianati, tindakan tegas diambil.


---

Suriah di Bawah Bayang-Bayang Israel

Kini, mari kita kembali ke abad ke-21. Suriah dan Israel secara formal masih dalam keadaan perang. Dataran Tinggi Golan, yang direbut Israel sejak 1967, masih menjadi luka menganga.

Sharaa berkata di New York:

> “Saya berharap akan tercapai kesepakatan yang menjaga kedaulatan Suriah dan mengatasi kekhawatiran keamanan Israel. Tetapi pertanyaan besarnya: apakah Israel benar-benar peduli pada keamanan, ataukah mereka punya rencana ekspansionis?”



Kata-kata itu ibarat gema dari sejarah panjang pengkhianatan. Suriah tahu, Israel telah menandatangani perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania, tetapi berkali-kali melanggarnya lewat invasi militer dan ekspansi pemukiman.

Lebih dari 1.000 kali, pesawat tempur Israel menghujani bom ke tanah Suriah. Infrastruktur militer dihancurkan, bahkan kamp pengungsi tak luput dari serangan. Kini, Suriah mencoba jalur baru: meja perundingan. Tetapi bisakah perjanjian dengan Israel dipandang sebagai jalan keluar, atau justru jebakan?


---

Membaca Strategi — Antara Sirah dan Realpolitik

Mari kita bayangkan: jika Rasulullah ï·º berada di meja itu, apa yang akan beliau lakukan?

Pertama, beliau akan menandatangani perjanjian jika itu bisa memberi ruang bernapas bagi umat. Piagam Madinah adalah contohnya. Bagi Rasulullah ï·º, diplomasi bukan tanda kelemahan, tetapi strategi untuk mengatur tempo perlawanan.

Kedua, beliau tidak akan menyerahkan kedaulatan. Perjanjian boleh dibuat, tetapi garis merah tetap jelas: tidak ada kompromi pada wilayah kaum Muslimin. Ketika Yahudi berkhianat, Rasulullah ï·º tidak segan mengambil langkah keras.

Ketiga, beliau selalu memadukan diplomasi dengan kekuatan real. Piagam Madinah berhasil bukan hanya karena ada tinta di atas kertas, tetapi karena Rasulullah ï·º memiliki kekuatan militer dan persatuan umat yang bisa menekan pihak Yahudi untuk menghormati perjanjian.


Pertanyaan reflektif untuk Suriah kini: apakah Suriah memiliki daya tekan yang cukup untuk menegakkan perjanjian dengan Israel? Tanpa kekuatan, perjanjian hanya akan jadi selembar kertas kosong.


---

Suriah Pasca-Assad — Harapan atau Jebakan?

Sharaa adalah wajah baru Suriah. Ia lahir dari medan perang, mantan komandan jihad yang menggulingkan Bashar al-Assad. Kini ia berdiri di panggung dunia, berbicara dengan bahasa diplomasi. Dunia menyambutnya dengan tepuk tangan.

Tetapi Israel tidak hanya menunggu perjanjian. Israel melihat kesempatan. Dengan Hizbullah dilemahkan, dengan Iran terusir dari Suriah, Israel kini ingin memastikan Suriah tidak lagi jadi ancaman.

Dalam hal ini, Suriah berada di persimpangan:

Jika ia menandatangani perjanjian tanpa kekuatan, ia akan bernasib seperti Bani Qaynuqa’ dan Nadhir—dijebak, lalu disingkirkan.

Jika ia membangun kekuatan sambil berdiplomasi, ia mungkin bisa meniru strategi Rasulullah ï·º: menggunakan perjanjian sebagai batu loncatan, bukan akhir perjalanan.



---

Diplomasi yang Dibalut Luka Gaza

Sharaa tidak lupa menyebut Gaza. Ia berkata:

> “Ada kemarahan besar atas apa yang terjadi di Gaza, bukan hanya di Suriah, tetapi di seluruh dunia. Dan tentu saja, ini berdampak pada posisi kami terhadap Israel.”



Inilah paradoks diplomasi Arab modern: di satu sisi, ada dorongan untuk menandatangani perjanjian demi stabilitas. Di sisi lain, ada luka Palestina yang terus berdarah, yang membuat setiap perjanjian dengan Israel terasa seperti pengkhianatan.

Sejarah Rasulullah ï·º memberi jawaban: diplomasi tidak harus berarti menyerah. Diplomasi bisa menjadi strategi, asal ada kekuatan untuk menekan.


---

Pertanyaan Ideologis

Kini, mari kita bertanya lebih jauh:

Apakah Suriah akan menandatangani perjanjian seperti Piagam Madinah?

Apakah Suriah siap mengambil tindakan tegas jika Israel melanggar?

Apakah Suriah punya kekuatan militer, politik, dan moral untuk menekan Israel?


Rasulullah ï·º mengajarkan: perjanjian bukan tujuan, perjanjian hanyalah sarana. Tujuan sejati adalah menjaga kehormatan, kedaulatan, dan kejayaan umat.

Jika Suriah hanya mengejar stabilitas jangka pendek, perjanjian itu akan rapuh. Tetapi jika ia membangun strategi jangka panjang—memperkuat rakyatnya, menghidupkan kembali perlawanan, dan menyiapkan diri menghadapi pengkhianatan—maka perjanjian itu bisa menjadi jalan menuju kekuatan baru.


---

Dialog Imajinatif

Mari kita dengarkan seolah ada percakapan lintas zaman.

Sharaa berkata di New York:
“Kami ingin kesepakatan yang menjamin kedaulatan Suriah dan mengatasi kekhawatiran Israel.”

Seakan Rasulullah ï·º menjawab dari Madinah:
“Kesepakatan itu baik. Tetapi ingatlah, wahai Sharaa, bahwa Yahudi di Madinah pun pernah berjanji, lalu berkhianat. Janganlah engkau tertipu oleh manisnya kata-kata, jika engkau tidak punya kekuatan untuk menegakkan keadilan.”

Sharaa terdiam. Sorotan lampu konferensi menyorot wajahnya. Apakah ia mendengar gema sejarah itu?


---

Epilog: Jalan di Persimpangan

Sejarah memberi pelajaran, tetapi politik hari ini menuntut keputusan. Suriah kini berada di titik krusial. Perjanjian dengan Israel bisa berarti stabilitas, tetapi juga bisa menjadi jerat.

Rasulullah ï·º telah menunjukkan strategi: berdamai ketika perlu, bertindak tegas ketika dikhianati, dan selalu memastikan bahwa diplomasi tidak pernah berdiri sendirian tanpa kekuatan.

Maka, pertanyaan bagi kita hari ini:
Apakah Suriah akan memilih jalan Rasulullah ï·º—menjadikan perjanjian sebagai strategi dengan kekuatan menekan—atau jalan raja-raja Arab sebelumnya yang menandatangani perjanjian tanpa daya, hanya untuk akhirnya dipermainkan Israel?

Sejarah akan mencatat jawabannya.

Sejarah Memasuki Yerusalem: Dari Api Penjajahan hingga Rahmat Islam Yerusalem. Kota yang dalam bahasa Arab disebut Al-Quds—“yang...


Sejarah Memasuki Yerusalem: Dari Api Penjajahan hingga Rahmat Islam

Yerusalem. Kota yang dalam bahasa Arab disebut Al-Quds—“yang suci”. Di sinilah nabi-nabi berpijak, doa-doa para wali terangkat, dan sejarah manusia tercatat dengan tinta darah, air mata, dan sesekali rahmat. Ia adalah kota perbatasan antara langit dan bumi, tempat yang oleh Al-Qur’an disebut al-ardh al-muqaddasah (tanah yang disucikan).

Tetapi bagaimana bangsa-bangsa memasuki Yerusalem? Jawaban atas pertanyaan ini bukan sekadar kisah militer, melainkan cermin wajah peradaban. Apakah mereka datang dengan api pedang, atau dengan cahaya kasih? Mari kita berjalan bersama menelusuri jejak sejarahnya.


---

1. Nebukadnezar II (Babilonia) – Api Penjajahan yang Membakar Kota

Tahun 586 SM, langit Yerusalem diselimuti asap pekat. Nebukadnezar II, raja Babilonia, mengepung kota itu hingga roboh. Bait Suci pertama—yang dibangun Nabi Sulaiman—dibakar habis.

Sejarawan Yahudi-Romawi, Yosefus Flavius, menulis bahwa ribuan terbunuh, sisanya dijadikan tawanan. Inilah awal masa pembuangan Babilonia (Babylonian Exile), luka sejarah yang terus diingat hingga kini.

Ciri khas: penaklukan dengan api dan pedang. Yerusalem bukan kota suci di mata Nebukadnezar, melainkan batu loncatan kekuasaan.


---

2. Romawi – Kekaisaran Besi yang Menghancurkan

Tahun 70 M, giliran Romawi datang. Jenderal Titus, putra Kaisar Vespasian, mengepung Yerusalem berbulan-bulan. Kelaparan melanda. Ketika tembok jebol, pasukan masuk dengan ganas.

Yosefus menulis lebih dari 100.000 orang terbunuh. Bait Suci kedua diratakan. Yerusalem dijadikan kota Romawi dengan nama Aelia Capitolina.

Ciri khas: bumi hangus. Penaklukan dengan keangkuhan imperium.

Al-Qur’an mengingatkan:

> “Berapa banyak negeri yang telah Kami binasakan karena penduduknya zalim. Maka itulah rumah-rumah mereka yang tidak dihuni lagi setelah mereka binasa...” (QS. An-Naml: 52).




---

3. Persia (Sasaniyah) – Penaklukan dengan Dendam

Tahun 614 M, pasukan Persia di bawah Raja Khosrow II dan jenderalnya, Shahrbaraz, merebut Yerusalem dari Bizantium.

Dibantu sebagian komunitas Yahudi, Persia masuk dengan amarah. Puluhan ribu orang Kristen dibantai. Relik salib agung (True Cross) dirampas.

Ciri khas: penaklukan berdarah dengan dendam keagamaan.


---

4. Tentara Salib – Gelombang Darah di Al-Aqsa

Tanggal 15 Juli 1099, setelah pengepungan panjang, Tentara Salib memasuki Yerusalem. Dipimpin Godfrey of Bouillon, Raymond of Toulouse, dan Bohemond, mereka masuk dengan pedang terhunus.

Sejarawan Muslim Ibn al-Athir menulis: “Mereka membantai kaum Muslim hingga darah mengalir di Masjid al-Aqsa.” Bahkan kronikus Kristen mencatat: “Darah mencapai lutut kuda.”

Ciri khas: penaklukan paling kejam dalam sejarah Yerusalem.


---

5. Umar bin Khattab r.a. – Damai dan Kesederhanaan

Lalu datanglah Islam. Tahun 638 M, pasukan Abu Ubaidah bin al-Jarrah mengepung Yerusalem. Patriark Sophronius akhirnya meminta menyerahkan kota langsung kepada Khalifah Umar.

Maka Umar datang, dengan pakaian sederhana, bergantian menunggang unta dengan pelayannya. Ia masuk Yerusalem tanpa pedang terhunus. Tidak ada pembantaian. Tidak ada perusakan.

Umar menandatangani Piagam Aelia (Ahd al-‘Umariyah) yang menjamin kebebasan beragama bagi umat Kristen dan Yahudi.

> Rasulullah ï·º telah bersabda: “Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi (non-Muslim yang dilindungi), maka aku menjadi lawannya di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud).



Ciri khas: penaklukan penuh rahmat. Inilah wajah Islam yang sejati.

Sejarawan Barat, Philip Hitti, menulis: “Penaklukan Umar adalah penaklukan paling damai dalam sejarah Yerusalem.”


---

6. Shalahuddin al-Ayyubi – Pemaafan Sang Penakluk

Tahun 1187 M, Shalahuddin al-Ayyubi menaklukkan kembali Yerusalem setelah kemenangan besar di Perang Hittin.

Berbeda dari Tentara Salib, ia tidak membantai. Penduduk diberi kesempatan membayar tebusan. Yang miskin dibebaskan. Bahkan pasukan Salib yang kalah tetap diberi kehormatan.

Musuhnya, Richard the Lionheart, mengakui kebesaran hatinya. Sejarawan Stanley Lane-Poole menulis: “Shalahuddin menampilkan kebesaran jiwa yang tidak dimiliki para penakluk Kristen di abad pertengahan.”

Ciri khas: pembebasan beradab. Penaklukan yang melahirkan hormat, bukan dendam.


---

7. Yahudi – Nakbah 1948

Tanggal 14 Mei 1948, David Ben-Gurion mendeklarasikan berdirinya Israel. Inggris mundur, lalu pasukan Haganah, Irgun, dan Stern Gang melancarkan operasi militer.

Yerusalem Barat jatuh ke tangan Israel. Yerusalem Timur dikuasai Yordania. Ratusan ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka.

Peristiwa ini dikenal sebagai Nakbah (bencana besar). Desa-desa dihancurkan, seperti Deir Yassin (9 April 1948), di mana ratusan warga sipil dibantai.

Ciri khas: penaklukan modern berbasis kolonialisme, propaganda, dan pembersihan etnis.


---

Refleksi: Dua Wajah Peradaban di Yerusalem

Jika kita rangkum:

Nebukadnezar, Romawi, Persia, Tentara Salib, Zionis Israel: wajah penaklukan dengan kekerasan, darah, dan penghancuran.

Umar bin Khattab dan Shalahuddin al-Ayyubi: wajah penaklukan dengan rahmat, keadilan, dan pemaafan.


Al-Qur’an telah menegaskan:

> “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107).



Dan Rasulullah ï·º bersabda:

> “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian.” (HR. Muslim).



Yerusalem menjadi saksi bagaimana peradaban diuji. Apakah ia masuk dengan api kebencian, atau dengan cahaya rahmat? Sejarah telah mencatat jawabannya.


---

Penutup: Yerusalem, Cermin Moral Bangsa

Yerusalem bukan sekadar kota. Ia adalah cermin moral peradaban.

Nebukadnezar, Romawi, Persia, Tentara Salib, Zionis—mereka menggoreskan wajah kekerasan. Umar bin Khattab dan Shalahuddin—mereka menorehkan wajah kasih dan keadilan.

Karen Armstrong, sejarawan Inggris, menulis: “Yerusalem selalu menjadi panggung ujian: apakah manusia memilih jalan kekerasan atau jalan rahmat.”

Maka pertanyaan itu kini berbalik pada kita: Jika hari ini pintu Yerusalem terbuka, dengan wajah apa kita akan memasukinya? Dengan pedang dendam, atau dengan cahaya rahmat?

Jalan Peradaban: Membandingkan Cara Islam Membebaskan Wilayah dengan Babilonia, Yunani, Romawi, Persia, Cina, dan Eropa --- Pemb...

Jalan Peradaban: Membandingkan Cara Islam Membebaskan Wilayah dengan Babilonia, Yunani, Romawi, Persia, Cina, dan Eropa


---

Pembukaan: Kota sebagai Cermin Watak Peradaban

Setiap bangsa memiliki caranya sendiri memasuki sebuah wilayah. Ada yang datang dengan pedang menyala dan api yang membakar, ada pula yang datang dengan kitab, perjanjian, dan rahmat. Kota-kota kuno—Yerusalem, Damaskus, Kairo, Baghdad, hingga Samarkand—menjadi saksi, bagaimana sebuah bangsa memperlakukan rakyat yang ditaklukkannya.

Yerusalem, misalnya, pernah mengalami semua wajah penaklukan: Babilonia datang dengan api, Romawi dengan pedang, Persia dengan dendam, Tentara Salib dengan darah, sementara Islam—melalui Umar bin Khattab dan Shalahuddin al-Ayyubi—datang dengan rahmat. Maka benar kata Al-Qur’an:

> “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41).



Ayat ini adalah kaca sejarah: setiap bangsa yang menaklukkan dengan hawa nafsu meninggalkan kerusakan, sementara mereka yang menaklukkan dengan iman meninggalkan peradaban. Mari kita telusuri perbedaan-perbedaan itu, dengan menengok contoh dari bangsa-bangsa besar sepanjang sejarah.


---

1. Babilonia: Penaklukan dengan Api dan Pembuangan

Bangsa Babilonia di bawah Raja Nebukadnezar II (586 SM) dikenal karena menghancurkan Yerusalem. Temboknya diruntuhkan, Bait Suci Pertama dibakar, dan ribuan orang Yahudi diangkut ke Babilonia dalam apa yang dikenal sebagai “Pembuangan Babilonia”.

Sejarawan Yosefus Flavius mencatat bagaimana kota itu dibiarkan hancur. Babilonia ingin menunjukkan kuasa absolut: bahwa siapa yang berani melawan, akan dimusnahkan sampai ke akar.

Ciri khas Babilonia: penaklukan berarti penghancuran. Kota ditundukkan dengan api, rakyat dijadikan budak.


---

2. Yunani: Penaklukan dengan Hellenisasi

Alexander Agung (abad ke-4 SM) berbeda dari Nebukadnezar. Ia tidak hanya menaklukkan dengan pedang, tetapi juga dengan kebudayaan. Dimana pun ia masuk—Mesir, Persia, India—ia meninggalkan jejak Hellenisme: bahasa Yunani, arsitektur, filsafat.

Namun, meski lebih “berbudaya”, penaklukan Yunani tetaplah dominasi. Kota-kota dipaksa mengadopsi budaya Yunani, agama-agama lokal ditekan, elit pribumi diganti oleh gubernur Yunani.

Ciri khas Yunani: penaklukan berarti dominasi budaya. Orang boleh hidup, tapi harus mengadopsi “jiwa Yunani”.


---

3. Romawi: Penaklukan dengan Besi dan Jalan Raya

Bangsa Romawi dikenal dengan militernya yang disiplin. Ketika mereka menaklukkan Yerusalem (70 M), Jenderal Titus memimpin pengepungan berbulan-bulan. Bait Suci Kedua dihancurkan, lebih dari 100.000 orang terbunuh.

Romawi membangun kota dengan jalan raya, amfiteater, aquaduct, dan hukum. Tapi semua itu berbalut penindasan. Penduduk asli dijadikan warga kelas dua, pajak tinggi dipungut untuk membiayai ambisi imperium.

Ciri khas Romawi: penaklukan berarti integrasi dalam mesin imperium. Kota dibangun, tapi rakyat ditundukkan dengan pajak dan kekuatan besi.


---

4. Persia: Penaklukan dengan Dendam

Persia Sasaniyah merebut Yerusalem tahun 614 M di bawah Raja Khosrow II. Mereka masuk dengan dukungan sebagian Yahudi, yang saat itu membalas dendam pada Bizantium Kristen. Puluhan ribu orang Kristen dibantai, Relik Salib Agung dirampas.

Persia tidak membangun kota itu; mereka hanya ingin menunjukkan kekuatan, menegaskan dendam keagamaan.

Ciri khas Persia: penaklukan berarti balas dendam. Mereka masuk dengan darah dan meninggalkan luka.


---

5. Cina: Penaklukan dengan Tribut dan Sentralisasi

Bangsa Cina sejak Dinasti Qin dan Han menaklukkan wilayah dengan cara berbeda. Mereka jarang menghancurkan total, tetapi memasukkan wilayah baru ke dalam sistem tribut. Setiap raja lokal harus datang memberi upeti, tanda tunduk pada “Putra Langit” di Tiongkok.

Namun, siapa yang melawan akan ditindas habis-habisan. Lihat bagaimana Dinasti Qing menaklukkan Tibet atau Turkestan Timur: dengan memaksa integrasi budaya, bahasa, bahkan agama.

Ciri khas Cina: penaklukan berarti subordinasi dalam sistem tribut. Kota boleh berdiri, asal tunduk pada Kaisar.


---

6. Eropa: Penaklukan dengan Kolonialisme dan Ekonomi

Bangsa Eropa, terutama sejak abad ke-15, menaklukkan dunia dengan kapal dan meriam. Portugis di Malaka (1511), Spanyol di Amerika (1492), Belanda di Nusantara (1600-an), Inggris di India (1757).

Mereka jarang menghancurkan total kota, tapi merampas ekonomi: rempah, emas, kapas, gula, bahkan manusia (perbudakan). Kota-kota dibiarkan hidup, tapi hanya sebagai mesin produksi bagi imperium Eropa.

Ciri khas Eropa: penaklukan berarti kolonisasi dan eksploitasi ekonomi. Mereka meninggalkan rel kereta, tapi merampas kekayaan tanah.


---

7. Islam: Membebaskan dengan Rahmat

Berbeda dengan semuanya, Islam hadir bukan sekadar menaklukkan. Rasulullah ï·º bersabda:

> “Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Ahmad).



Ketika Umar bin Khattab r.a. memasuki Yerusalem (638 M), ia datang bukan dengan pasukan merajalela, tetapi dengan pakaian sederhana. Patriark Sophronius menyerahkan kunci kota, dan Umar menandatangani Piagam Aelia: menjamin kebebasan beragama bagi Kristen dan Yahudi. Tidak ada pembunuhan, tidak ada pengusiran.

Shalahuddin al-Ayyubi, lima abad kemudian (1187 M), juga demikian. Setelah Perang Hittin, ia masuk Yerusalem dengan rahmat. Tentara Salib yang dulu membantai ribuan Muslim, kini diberi kesempatan menebus diri. Yang miskin dibebaskan.

Ciri khas Islam: pembebasan berarti rahmat. Kota tidak dihancurkan, rakyat tidak dibantai, keyakinan tidak dipaksakan.


---

Refleksi: Dua Jalan Peradaban

Sejarawan Arnold Toynbee pernah menulis, peradaban runtuh bukan karena serangan luar, melainkan karena kehilangan moral di dalam. Inilah bedanya Islam dengan bangsa-bangsa lain: Islam tidak sekadar menguasai tanah, tapi membangun manusia.

Al-Qur’an menegaskan:

> “Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat...” (QS. Al-Baqarah: 256).



Inilah prinsip yang membimbing penaklukan Islam. Bukan sekadar kemenangan politik, tapi kemenangan akhlak. Bukan sekadar menambah wilayah, tapi menegakkan rahmat.

Maka jika Babilonia, Yunani, Romawi, Persia, Cina, dan Eropa masuk dengan pedang, api, atau kolonisasi, Islam masuk dengan kalimat “La ilaha illallah”—tidak memaksa, tapi menawarkan jalan keselamatan.

Yerusalem, Damaskus, Kairo, Baghdad, hingga Samarkand menjadi saksi: dari tangan Islam lahir masjid, sekolah, pasar, perpustakaan. Dari tangan imperium lain, sering kali lahir kehancuran, pengusiran, atau perampasan.


---

Penutup: Jalan Mana yang Akan Kita Pilih?

Sejarah adalah cermin. Ia bertanya kepada kita: maukah kita menjadi seperti Nebukadnezar yang membakar, Titus yang membantai, Khosrow yang mendendam, atau maukah kita menjadi seperti Umar yang menyejukkan dan Shalahuddin yang memaafkan?

Yerusalem hari ini masih bergetar dengan darah dan doa. Zionis Israel memilih jalan Romawi dan Babilonia: mengusir, merampas, menghancurkan. Tapi umat Islam diajarkan jalan lain: jalan rahmat.

Maka pertanyaan yang tersisa bagi kita adalah: di manakah kita berdiri dalam arus sejarah itu? Sebagai bangsa yang menaklukkan dengan pedang, atau sebagai umat yang membebaskan dengan akhlak?

The Sea: Filem Perjuangan Anak Palestina Melihat Laut yang Mengguncang Penjajah  Israel Prolog: Sebuah Malam di Yerusalem Di pan...


The Sea: Filem Perjuangan Anak Palestina Melihat Laut yang Mengguncang Penjajah  Israel

Prolog: Sebuah Malam di Yerusalem

Di panggung sederhana Penghargaan Ophir, setara dengan “Oscar”-nya Israel, tepuk tangan pecah. Film The Sea dinyatakan sebagai pemenang film terbaik. Kamera menyorot wajah muda Mohammed Gazaoui, aktor berusia 12 tahun yang memerankan Khaled, bocah Palestina yang hanya ingin melihat laut untuk pertama kali dalam hidupnya.

Namun, di balik gemerlap lampu sorot itu, badai politik segera datang. Menteri Kebudayaan Israel, Miki Zohar, tidak menahan kemarahannya. Ia menyebut kemenangan itu sebagai “tamparan di wajah warga Israel” dan berjanji akan menghentikan seluruh dana negara untuk penghargaan tersebut mulai 2026.

Apa yang sebetulnya diperebutkan di sini? Sebuah film, atau kebenaran tentang kemanusiaan?


---

1. Film yang Menghadirkan “Laut”

The Sea bukanlah film aksi, bukan pula propaganda. Ia lahir dari tangan Shai Carmeli-Pollak, sutradara Yahudi-Israel yang berani menyingkap lapisan realitas pahit negaranya.

Film ini berkisah tentang Khaled, bocah Palestina berusia 12 tahun dari Tepi Barat. Cita-citanya sederhana: menyentuh laut di Tel Aviv, sesuatu yang bagi anak-anak lain tampak remeh, tetapi baginya nyaris mustahil. Di sebuah pos pemeriksaan, tentara Israel menolak dirinya. Khaled menyelinap, melintasi garis demarkasi, dan memulai perjalanan penuh bahaya menuju pantai.

Di balik itu, sang ayah berjuang mencari anaknya, menanggung risiko ditangkap, dipecat, bahkan kehilangan martabat. Kisah ini seolah ingin berbisik: bahwa di tanah yang penuh kawat berduri, mimpi paling sederhana pun bisa menjadi subversif.


---

2. Reaksi yang Pecah: Antara Bangga dan Marah

Kemenangan film ini di Ophir 2025 langsung memicu gelombang reaksi.

Miki Zohar, Menteri Kebudayaan Israel: “Ini adalah penghinaan. Upacara ini meludahi wajah prajurit kita. Tidak ada lagi uang rakyat untuk acara seperti ini.”

Akademi Film dan Televisi Israel: “Pemilihan The Sea adalah pernyataan kuat terhadap serangan pemerintah atas kebebasan artistik. Film ini lahir dari kolaborasi Yahudi dan Palestina, dan ia mewakili keberanian untuk melihat kemanusiaan yang lain.”


Di dalam gedung, beberapa artis mengenakan kaus bertuliskan “a child is a child is a child”—sebuah seruan sederhana: jangan pernah hilangkan kemanusiaan dari seorang anak, apa pun identitasnya.


---

3. Israel, Seni, dan Ketakutan akan “Narasi Lain”

Mengapa sebuah film bisa memicu kemarahan pejabat negara? Jawabannya sederhana sekaligus rumit: karena seni memiliki kekuatan narasi.

Israel dibangun bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan narasi—tentang tanah yang dijanjikan, tentang ancaman yang harus dilawan, tentang tentara yang disebut “heroik.” Ketika film seperti The Sea memunculkan perspektif Palestina, yang menampilkan tentara Israel sebagai penghalang mimpi seorang bocah, narasi dominan itu goyah.

Zohar dan pihak pemerintah tidak sedang berdebat soal estetika. Mereka sedang berusaha mempertahankan monopoli makna.


---

4. Antara Oscar dan Boikot

Secara tradisi, film pemenang Ophir otomatis mewakili Israel untuk nominasi Oscar kategori Film Fitur Internasional. Dengan demikian, The Sea bukan sekadar karya seni; ia akan tampil di panggung global.

Namun, di saat bersamaan, gelombang boikot budaya internasional terhadap Israel terus membesar. Lebih dari 4.500 seniman menandatangani petisi untuk menolak festival atau lembaga film Israel yang terlibat dalam “apartheid dan genosida.”

Di sinilah paradoks terjadi: sebuah film yang lahir dari Israel, tetapi bercerita tentang Palestina, bisa menjadi “wakil Israel” di Oscar—sementara Israel resmi ingin menutupinya.


---

5. Seni sebagai Cermin Retak

Mari kita berhenti sejenak dan bertanya: apa arti laut bagi seorang anak Palestina?

Bagi Khaled dalam The Sea, laut adalah simbol kebebasan. Garis biru di ujung cakrawala yang membatasi dirinya dari dunia luas. Laut adalah impian sederhana, tetapi juga metafora bagi sesuatu yang tak bisa dicapai selama tembok dan pos pemeriksaan masih berdiri.

Sastrawan Palestina Mahmoud Darwish pernah menulis: “Di tanah yang terbelah, mimpi terkecil bisa menjadi bentuk perlawanan.” Dan film ini menegaskan kalimat itu.


---

6. Cengkeraman Negara atas Seni

Kasus ini juga membuka luka lama: bagaimana Israel mengendalikan industri seninya. Dana publik seperti Israel Film Fund memang diwajibkan mendukung seniman tanpa diskriminasi politik. Namun, pemerintah kerap menekan, memangkas dana, atau bahkan melabeli pengkhianat kepada seniman yang dianggap “terlalu kritis.”

Zohar bukan yang pertama. Sebelum ini, menteri-menteri lain pernah memblokir dana untuk teater yang menampilkan cerita tentang tahanan Palestina, atau menolak subsidi film yang dibuat dalam bahasa Arab.

Pemerintah menginginkan seni yang seragam, patriotik, dan “aman.” Tetapi seni yang hidup justru lahir dari luka, pergulatan, dan keberanian menantang.


---

7. Dunia yang Melihat

Ketika berita tentang penghentian pendanaan Ophir menyebar, reaksi internasional pun datang.

Media Eropa menyoroti kontradiksi: Israel mengklaim sebagai demokrasi, tetapi membungkam kebebasan ekspresi.

Komunitas film internasional menilai keputusan Zohar justru memperkuat argumen boikot: bahwa negara ini takut pada cerita, bahkan lebih daripada pada peluru.

Aktivis Palestina melihat film ini sebagai kemenangan kecil: akhirnya, suara anak-anak mereka masuk ke panggung global, meskipun lewat jendela yang sempit.



---

8. Antara Identitas dan Kemanusiaan

Ada sesuatu yang simbolis di sini. The Sea adalah film berbahasa Arab, dibuat oleh sutradara Yahudi-Israel, dimainkan oleh aktor Palestina, didanai oleh Israel Film Fund, tetapi kini ditolak pemerintah Israel.

Film ini seperti anak yang lahir dari dua dunia, tetapi ditolak oleh salah satunya. Bukankah itu juga cerminan dari kondisi Palestina-Israel itu sendiri?

Seorang bocah hanya ingin melihat laut. Tetapi negara mengubahnya menjadi ancaman.


---

9. Seni, Politik, dan Harapan yang Rapuh

Dalam pidatonya, Assaf Amir, ketua Akademi Film dan Televisi Israel, mengatakan:

> “Kemampuan untuk melihat ‘yang lain’, bahkan jika ia bukan dari golongan kita sendiri, hanya memberikan sedikit harapan.”



Kalimat itu terdengar sederhana, bahkan klise. Tetapi di negeri yang dipenuhi trauma, ia seperti secercah cahaya.

Mungkin, The Sea bukan sekadar film. Ia adalah peringatan bahwa di balik tembok dan pos pemeriksaan, ada anak-anak yang masih bermimpi tentang laut. Jika dunia berhenti mendengarkan, mimpi itu akan tenggelam.


---

10. Epilog: Film yang Tak Bisa Dibungkam

Sejarah telah membuktikan: film yang dilarang justru sering hidup lebih lama. Dari The Battle of Algiers yang pernah dicekal Prancis, hingga Fahrenheit 9/11 yang dikritik Amerika, karya seni yang lahir dari luka biasanya menemukan jalan untuk tetap didengar.

The Sea kini melangkah ke panggung Oscar, membawa cerita seorang bocah yang hanya ingin menyentuh laut. Mungkin film itu tidak akan menang. Tetapi kehadirannya sendiri sudah menjadi kemenangan—kemenangan narasi, kemenangan ingatan, kemenangan kecil bagi kemanusiaan.

Miki Zohar bisa memutus pendanaan. Ia bisa menyebut film itu “memalukan.” Tetapi ia tidak bisa menghapus kenyataan bahwa seni telah merekam suara yang ingin ia bungkam.


---

Refleksi

Di tengah dunia yang lelah oleh propaganda, The Sea mengingatkan kita akan sesuatu yang sederhana: kemanusiaan dimulai dari pengakuan bahwa seorang anak tetaplah seorang anak.

Bukankah itu kebenaran yang tak bisa dibantah? Bahwa setiap anak, entah Yahudi, Palestina, atau siapa pun, berhak bermimpi melihat laut.

Jika sebuah negara takut pada mimpi seorang anak, mungkin masalahnya bukan pada anak itu—melainkan pada negara yang terlalu rapuh menghadapi kebenaran.

Efek Psikologi Sosial bagi Yahudi dari Perampasan Tanah Palestina Sejarah manusia tidak pernah lepas dari perpindahan, pengasing...


Efek Psikologi Sosial bagi Yahudi dari Perampasan Tanah Palestina

Sejarah manusia tidak pernah lepas dari perpindahan, pengasingan, dan pencarian rumah. Namun, tidak ada bangsa yang lebih melekat dengan kata diaspora selain bangsa Yahudi. Sejak ribuan tahun, mereka hidup tercerai-berai di berbagai belahan dunia. Ironisnya, ketika pada 1948 berdiri sebuah negara yang mengaku sebagai “rumah nasional Yahudi” bernama Israel, diaspora itu tidak serta-merta berakhir. Hingga hari ini, setengah dari orang Yahudi dunia tetap memilih hidup di luar Israel.

Lalu, apa artinya sebuah “rumah” bagi bangsa yang sudah terlalu lama hidup tanpa rumah? Dan bagaimana kerinduan untuk berkumpul kembali di Palestina justru melahirkan sebuah tragedi besar berupa perampasan tanah Palestina? Pertanyaan ini tidak sekadar bersifat historis, melainkan menyentuh ranah psikologi sosial yang mendalam.


---

Akar Diaspora: Dari Yakub hingga Runtuhnya Baitul Maqdis

Mari kita mulai dari sumber awal. Kata Israel sendiri berasal dari nama Nabi Yakub. Dari anak cucu Yakub inilah lahir sebuah bangsa yang kelak dikenal sebagai Bani Israil. Al-Qur’an menceritakan bagaimana mereka hidup berpindah-pindah: dari Mesir di bawah kekuasaan Fir’aun, ke padang pasir bersama Musa, hingga mengalami penaklukan oleh Babilonia, Persia, Yunani, dan Romawi.

Peristiwa paling menentukan dalam membentuk identitas diaspora adalah kehancuran Baitul Maqdis oleh Romawi pada tahun 70 M. Ribuan orang Yahudi dibantai, sisanya tercerai-berai ke berbagai wilayah. Sejak saat itu, keterpisahan bukan lagi sekadar kondisi sosial, melainkan bagian dari kesadaran kolektif mereka.

Al-Qur’an menegaskan hal ini:

> “Dan Kami pecah-pecahkan mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antara mereka ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian.”
(QS. Al-A’raf: 168)



Ayat ini tidak hanya berbicara tentang peristiwa, tetapi juga psikologi. Bangsa Yahudi hidup dengan perasaan bahwa tercerai-berai adalah bagian dari takdir mereka.


---

Israel Berdiri, Diaspora Bertahan

Banyak orang menduga, berdirinya Israel pada 1948 akan menjadi titik akhir diaspora. Ternyata tidak. Hingga kini, hampir setengah populasi Yahudi dunia tetap memilih tinggal di Amerika, Eropa, dan Rusia. Bahkan, komunitas Yahudi terbesar justru ada di New York, bukan di Tel Aviv.

Mengapa demikian?

1. Faktor Ekonomi dan Sosial
Yahudi diaspora sudah lama membangun kemapanan di negara-negara Barat. Mereka menguasai bisnis, lembaga pendidikan, hingga politik. Pindah ke Israel sama artinya dengan meninggalkan kenyamanan yang diperoleh dengan susah payah.


2. Faktor Psikologis
Hidup sebagai minoritas justru membentuk daya tahan mereka. Identitas “umat yang bertahan dalam diaspora” menjadi kebanggaan tersendiri. Mereka merasa lebih bebas menjadi warga dunia, daripada terkekang dalam konflik permanen di Timur Tengah.


3. Faktor Politik
Tidak sedikit Yahudi diaspora yang tidak setuju dengan kebijakan Israel, khususnya dalam menindas Palestina. Mereka memandang Israel bukan rumah spiritual, melainkan proyek politik.



Dengan kata lain, berdirinya Israel tidak pernah benar-benar menjadi akhir diaspora. Sebab diaspora telah menjelma menjadi identitas itu sendiri.


---

Genosida Gaza dan Suara yang Terbelah

Perang Gaza hari ini membuka luka yang lebih dalam antara Yahudi diaspora dan Israel. Ribuan Yahudi di Amerika turun ke jalan dengan spanduk bertuliskan “Not in Our Name.” Mereka menolak genosida yang dilakukan Israel, menolak perampasan tanah, menolak pembantaian warga sipil.

Namun, di sisi lain, banyak pula yang tetap membela Israel. Mereka berlindung pada trauma Holocaust: “Kami pernah hampir dimusnahkan, maka apa pun yang kami lakukan demi bertahan adalah sah.”

Perpecahan ini menunjukkan sesuatu yang penting: menjadi Yahudi tidak selalu berarti menjadi Zionis. Diaspora justru memperlihatkan spektrum yang luas—ada yang humanis, ada yang nasionalis, ada pula yang apatis.


---

Yahudi Diaspora vs Yahudi Israel: Dua Karakter Sosial

Secara psikologi sosial, perbedaan ini terlihat jelas:

Yahudi Diaspora:
Terbiasa hidup sebagai minoritas, mereka adaptif, terbuka, dan diplomatis. Identitas mereka lebih cair, lebih universal. Mereka tahu cara hidup berdampingan dengan masyarakat lain.

Yahudi Israel:
Hidup dalam kerangka negara, mereka dibentuk oleh trauma perang yang berulang. Karakter mereka lebih militeristik, eksklusif, dan defensif. Mereka hidup dengan semangat “kami melawan dunia.”


Amos Oz, seorang sastrawan Israel, pernah menulis paradoks bangsanya: “Kami ingin menjadi bangsa normal dengan negara normal, tetapi selalu merasa dikepung dan terancam.”


---

Efek Psikologi Sosial dari Perampasan Palestina

Di sinilah letak paradoks terbesar: keinginan untuk berkumpul di Palestina justru melahirkan tindakan yang merampas tanah bangsa lain. Apa dampak psikologis dari tindakan ini terhadap Yahudi sendiri?

1. Rasa Bersalah Kolektif
Banyak Yahudi muda, terutama di diaspora, merasa terasing dari identitas Israel. Mereka menyadari bahwa tanah yang dijanjikan itu tidak pernah kosong. Rumah yang mereka sebut Eretz Israel dihuni oleh orang-orang Palestina yang kini terusir.


2. Konflik Identitas
Di satu sisi mereka ingin mengingat sejarah penderitaan, di sisi lain mereka justru menjadi pelaku penderitaan baru. Pertentangan batin ini membuat sebagian Yahudi menjauh dari Zionisme, dan sebagian lagi justru semakin keras membelanya.


3. Ketakutan yang Tak Pernah Selesai
Dengan merampas tanah, mereka hidup dalam lingkaran kekerasan. Israel menjadi negara dengan rasa aman paling rapuh di dunia: benteng tinggi, senjata nuklir, tapi juga dihantui roket dari Gaza dan perlawanan yang tak padam.




---

Apakah Diaspora Akan Berakhir?

Pertanyaan besar muncul: mungkinkah semua Yahudi suatu saat berkumpul di Israel?

Secara ideologis, Zionisme bermimpi demikian. Namun, secara psikologis, hal ini hampir mustahil. Diaspora sudah menjadi bagian dari DNA Yahudi.

Al-Qur’an bahkan menyebutkan:

> “Dan Kami telah menetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali, dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.”
(QS. Al-Isra: 4)



Ayat ini dipahami banyak mufassir sebagai sunnatullah: keterpecahan, kesombongan, dan ketercerai-beraian akan terus menjadi bagian dari sejarah mereka.


---

Pandangan Ulama dan Sejarawan

Ibnu Katsir: Yahudi akan terus bertebaran di bumi sebagai bentuk hukuman atas pembangkangan mereka terhadap para nabi.

Buya Hamka: Sejarah Yahudi adalah cermin agar umat Islam tidak terjebak pada kesalahan yang sama—merasa paling benar lalu menolak kebenaran dari luar diri mereka.

Quraish Shihab: Al-Qur’an memang mencatat keburukan Bani Israil, tetapi juga memuji sebagian kecil yang beriman. Maka umat Islam harus bersikap adil: mengkritik kezaliman Israel, tapi tetap menghargai Yahudi yang cinta damai.

Shlomo Sand (sejarawan Israel modern): “Bangsa Yahudi” sebagai identitas tunggal adalah konstruksi modern. Dalam sejarah, mereka selalu beragam, tidak pernah benar-benar bersatu.



---

Refleksi: Diaspora sebagai Cermin Manusia

Ketika kita menatap sejarah Yahudi, kita sedang menatap cermin umat manusia. Bukankah kita semua selalu mencari rumah? Namun rumah itu tidak selalu berupa tanah atau negara. Kadang ia hanyalah komunitas, kenangan, atau tempat ibadah.

Kegagalan Israel menjadi rumah bagi semua Yahudi menunjukkan satu hal: negara bisa memberi paspor, tapi tidak bisa memberi makna.

Dan Gaza hari ini menjadi ujian terbesar. Apakah Yahudi akan mengulangi sejarah pengusiran, hanya saja kali ini bukan sebagai korban, melainkan sebagai pelaku?


---

Penutup: “Not in Our Name”

Diaspora Yahudi tampaknya tidak akan pernah berakhir. Ia bukan sekadar kondisi geografis, melainkan eksistensial. Bahkan bisa jadi, Allah menjadikannya sebagai pelajaran bagi umat manusia.

Tugas umat Islam bukanlah membenci buta, melainkan memahami dengan jernih. Bedakan antara Yahudi sebagai manusia dengan Israel sebagai rezim politik. Jangan sampai kita jatuh pada kesalahan yang sama: menolak kebenaran hanya karena datang dari “yang lain.”

Mungkin, justru dari luar Israel—dari New York atau London—akan lahir suara-suara Yahudi paling lantang yang menolak genosida Gaza. Mereka membawa pesan sederhana namun mendalam:

“Not in Our Name.”

Dari Harapan ke Kekecewaan: Refleksi Sejarah dari Seorang Yahudi Inggris yang Ditolak Israel Gerbang yang Tertutup Di perbatasan...


Dari Harapan ke Kekecewaan: Refleksi Sejarah dari Seorang Yahudi Inggris yang Ditolak Israel


Gerbang yang Tertutup

Di perbatasan Sheikh Hussein, antara Yordania dan Israel, seorang pria berusia 67 tahun duduk menatap aliran sungai yang kini hanya tinggal riak kecil. Di tangannya, hanya ada sekantong kacang yang ia kunyah pelan, sembari menunggu petugas perbatasan memutuskan nasibnya. Namanya Peter Prinsley: seorang dokter, seorang Yahudi, sekaligus anggota parlemen Inggris. Ia datang dengan misi sederhana—menyaksikan langsung kondisi layanan kesehatan bagi warga Palestina di Tepi Barat. Namun, ia tidak pernah berhasil melangkah masuk.

Israel menolaknya dengan alasan “keamanan publik”. Bagi Prinsley, alasan itu absurd, bahkan ironis. Bagaimana mungkin seorang dokter senior, seorang Yahudi diaspora, dianggap ancaman? Dari titik itulah muncul renungan: apa yang terjadi dengan Israel?


Israel yang Pernah Menjadi Harapan

Untuk generasi Yahudi pasca-Holocaust, Israel pernah berdiri sebagai simbol harapan. Tahun 1948, ketika bendera biru putih dengan bintang Daud dikibarkan, banyak yang percaya itu adalah janji pemulihan—sebuah rumah bagi kaum yang selama ribuan tahun tercerai-berai. Prinsley, seperti banyak Yahudi diaspora lainnya, tumbuh dengan gambaran ideal itu. Ia pernah datang ke Israel sebagai mahasiswa, merasakan liburan penuh sukacita bersama keluarga, bahkan membawa pulang cerita tentang sebuah negeri yang katanya demokratis, terbuka, dan plural.

Namun kini, tujuh dekade lebih berselang, ia menemukan wajah lain Israel: negara yang menutup pintu bagi parlemen sahabat, menolak kemanusiaan dengan alasan “keamanan”, dan memenjarakan dirinya dalam paranoia.


Dari Demokrasi ke Paranoia

Dalam sejarah, banyak rezim yang tumbuh dari idealisme, lalu berubah menjadi kekuasaan yang curiga pada dunia luar. Israel bukan pengecualian. Semakin kuat ia menegaskan klaim sebagai “demokrasi tunggal di Timur Tengah”, semakin rapuh pula wajah demokrasi itu terlihat.

Dulu, Israel menyatakan diri terbuka bagi semua Yahudi di dunia. Kini, bahkan seorang Yahudi yang duduk di parlemen Inggris—yang hanya ingin meninjau rumah sakit—ditolak. Prinsley bukan satu-satunya. Beberapa anggota parlemen Inggris sebelumnya juga mengalami nasib serupa. Seolah Israel ingin berkata: “Kami tidak butuh saksi, bahkan dari kalanganmu sendiri.”

Tindakan seperti ini lebih mirip rezim yang ketakutan, bukan negara yang percaya diri.


Yahudi Diaspora vs. Zionisme Politik

Kisah Prinsley juga membuka bab yang lebih dalam: ketegangan antara identitas Yahudi diaspora dengan politik Zionisme. Bagi banyak Yahudi di Eropa dan Amerika, menjadi Yahudi tidak identik dengan mendukung kebijakan Israel. Mereka hidup dalam tradisi sinagoge lokal, berkontribusi pada masyarakat tempat tinggalnya, dan tetap kritis terhadap segala bentuk penindasan—termasuk yang dilakukan oleh negara yang mengklaim “berdiri atas nama Yahudi”.

Prinsley adalah cerminan itu. Ia seorang Yahudi yang taat, anggota Dewan Perwakilan Yahudi Inggris, tetapi tidak menutup mata terhadap penderitaan Palestina. Di sinilah letak paradoks besar: Israel mengaku mewakili seluruh Yahudi dunia, namun justru menolak sebagian dari mereka yang berani bersuara jujur.


Tirai yang Menutupi Gaza dan Tepi Barat

Selama berbulan-bulan, dunia menyaksikan tragedi di Gaza melalui layar kaca. Gambar rumah sakit yang hancur, tenaga medis yang gugur, anak-anak yang terluka. Namun Israel tidak hanya memutus listrik dan air di Gaza, ia juga berusaha memutus arus informasi. Jurnalis dihalangi, diplomat dihalangi, aktivis HAM dihalangi. Kini, bahkan anggota parlemen asing yang datang dengan mandat kemanusiaan pun ditolak.

Penolakan ini bukan sekadar masalah protokol perbatasan. Ia adalah pesan: Israel ingin mengontrol narasi. Tak ada saksi luar yang boleh melihat terlalu dekat, tak ada suara independen yang boleh membawa pulang kisah dari lapangan.

Namun, justru di sinilah kontradiksi mencolok: negara yang mengaku demokratis, tapi menutup diri rapat-rapat dari transparansi.


Jejak Sejarah yang Berulang

Dalam sejarah panjang bangsa-bangsa, ada pola yang sering terulang: ketika sebuah kekuasaan menolak dialog, menolak kritik, dan menolak saksi, biasanya ia sedang menuju fase kejatuhan. Kaisar Romawi menolak kritik para senator, Firaun menolak Musa, kaum Quraisy menolak mendengar kebenaran yang dibawa Muhammad ï·º. Kini, Israel menutup pintunya bahkan dari Yahudi diaspora yang peduli pada kemanusiaan.

Apakah ini tanda bahwa negara itu sedang berada di jalan yang sama: jalan kesombongan yang berujung pada keterasingan?


Luka Seorang Yahudi yang Dikhianati

Bagi Prinsley, pengalaman ini lebih dari sekadar ditolak di perbatasan. Ia merasa dikhianati oleh sebuah negara yang dulu dianggap bagian dari identitas kolektifnya sebagai Yahudi. Ia berkata: “Israel pernah menjadi harapan bagi satu generasi Yahudi. Kini persahabatan yang dulu abadi telah dirusak.”

Kata-kata ini mengguncang. Ketika seorang Yahudi sendiri merasa Israel tak lagi mencerminkan nilai-nilai yang ia junjung, maka krisis yang dihadapi Israel bukan sekadar politik, tetapi moral.


Refleksi bagi Dunia

Kisah ini menegaskan bahwa kritik terhadap Israel bukanlah antisemitisme. Ketika seorang Yahudi Inggris ditolak Israel, ia membuktikan bahwa masalahnya bukan agama, melainkan rezim. Ini membuka ruang bagi solidaritas baru: solidaritas yang melampaui agama dan identitas, solidaritas yang berbicara dengan bahasa universal—kemanusiaan.

Israel bisa menutup gerbangnya, tapi ia tak bisa menutup hati nurani dunia. Justru semakin ia menolak saksi, semakin dunia curiga. Semakin ia memenjarakan kebenaran, semakin kebenaran mencari jalan lain untuk keluar.


Dari Sungai Yordan ke Amman: Sebuah Pertanyaan Terbuka

Ketika akhirnya Prinsley kembali ke Amman, ia membawa lebih dari sekadar koper. Ia membawa luka, kekecewaan, sekaligus pertanyaan besar: apa yang terjadi dengan Israel?

Pertanyaan itu bukan hanya milik dia. Itu adalah pertanyaan yang kini bergema di banyak ruang: dari sinagoge Yahudi di Eropa, dari masjid-masjid di Timur Tengah, dari gereja-gereja di Amerika, dari ruang-ruang kuliah di universitas-universitas dunia.

Israel pernah lahir dengan klaim sebagai jawaban atas penderitaan. Kini, ia berubah menjadi sumber penderitaan baru. Dan sejarah selalu mencatat: negara yang kehilangan nurani, cepat atau lambat akan kehilangan legitimasi.

Penutup: Bayang-Bayang Masa Depan

Prinsley hanyalah satu orang di perbatasan. Namun kisahnya adalah cermin dari krisis besar yang menimpa sebuah negara. Krisis identitas, krisis legitimasi, krisis moral.

Dari kacang kecil yang ia kunyah di tepi Sungai Yordan, lahirlah sebuah renungan yang seharusnya menggugah dunia: apakah Israel masih bisa kembali ke jalan keterbukaan, ataukah ia akan terus terperosok dalam isolasi yang diciptakannya sendiri?

Sejarah selalu memberi pilihan. Tapi sejarah juga tegas dalam memberi hukuman: siapa pun yang menutup pintu bagi kebenaran, pada akhirnya akan ditinggalkan oleh zaman.


Sumber:
https://www.theguardian.com/commentisfree/2025/sep/20/jewish-british-mp-israel

The Godfather: Andai Ariel Sharon Menyaksikan Netanyahu Gaza, Tanah yang Menolak Takluk Gaza adalah sebuah nama yang selalu kemb...


The Godfather: Andai Ariel Sharon Menyaksikan Netanyahu


Gaza, Tanah yang Menolak Takluk

Gaza adalah sebuah nama yang selalu kembali dalam sejarah. Di era Perang Salib, ia menjadi benteng pertahanan umat Islam, sebuah gerbang yang harus direbut jika ingin menguasai Yerusalem. Di era Nakba 1948, ia menjadi tempat penampungan pengungsi terbesar di dunia, menanggung luka kolektif bangsa Palestina. Dan kini, di era modern, Gaza menjadi mimpi buruk Israel yang tak kunjung usai.

Di balik semua itu, ada ironi sejarah yang menyentuh para pemimpin Israel sendiri. Ariel Sharon, yang dijuluki Sang Penjagal karena tangannya berlumuran darah Sabra-Shatila, justru memilih untuk meninggalkan Gaza pada 2005. Sedangkan Benjamin Netanyahu, pewaris politik yang dulu menentangnya, kini harus menanggung konsekuensi: Gaza yang ditinggalkan Sharon menjadi bara api yang terus membakar Israel.

Seperti sebuah film epik, ada adegan mentor dan murid. Ada saat di mana sang guru mengambil keputusan pahit, dan muridnya, karena keras kepala, justru masuk ke dalam perangkap yang sama.


---

Gaza di Era Perang Salib: Benteng yang Tak Bisa Ditaklukkan

Ketika Perang Salib pertama meletus (1096–1099), pasukan Kristen Eropa merebut Yerusalem. Kerajaan Latin Yerusalem lahir, dan Gaza menjadi salah satu kota kunci. Letaknya di pesisir selatan Palestina menjadikannya jalur strategis menuju Mesir dan pintu masuk suplai militer.

1099–1149: Gaza dikuasai pasukan Salib, dijadikan pos militer.

1150: Baldwin III, Raja Yerusalem, membangun kastil besar di Gaza sebagai pertahanan pesisir.

1187: Shalahuddin al-Ayyubi mengalahkan pasukan Salib di Hattin, lalu merebut kembali Gaza, menutup jalur musuh ke Mesir.


Sejarawan Muslim Ibn al-Atsir menyebut Gaza sebagai “gerbang selatan Palestina yang selalu diperebutkan.”
Steven Runciman, sejarawan Barat, menyebutnya “benteng kunci di jalur pesisir yang menentukan siapa penguasa Tanah Suci.”

Dengan kata lain, Gaza sejak dulu bukan kota kecil. Ia adalah benteng terakhir. Dan siapa pun yang mencoba mendudukinya, cepat atau lambat, akan menghadapi gelombang perlawanan.


---

Gaza di Era Nakba 1948: Dari Benteng Menjadi Kamp Pengungsi

Delapan abad kemudian, Gaza kembali menjadi panggung sejarah. Ketika Israel berdiri (14 Mei 1948), Gaza menjadi front utama pertempuran. Tentara Mesir masuk untuk melawan pasukan Zionis, dan setelah gencatan senjata 1949, Gaza jatuh ke dalam administrasi Mesir.

Namun Gaza tidak menjadi wilayah nyaman. Ia menampung lebih dari 200 ribu pengungsi Palestina, korban pengusiran besar-besaran Zionis. Wilayah sempit ini berubah menjadi kamp pengungsi terbesar di dunia.

1948–1967: Gaza di bawah Mesir, tapi warga tidak diberi kewarganegaraan. Hidup mereka penuh keterbatasan.

1967: Israel merebut Gaza dalam Perang Enam Hari. Sejak itu dimulailah babak baru pendudukan militer yang kejam.


Walid Khalidi, sejarawan Palestina, menyebut Gaza pasca-Nakba sebagai “kamp pengungsi terbesar di dunia yang hidup dalam penderitaan kolektif.”
Rashid Khalidi menegaskan Gaza adalah “produk paling tragis dari Nakba,” karena menanggung populasi berlipat tanpa sumber daya.

Seperti di era Perang Salib, Gaza kembali menolak takluk. Bedanya, kini perlawanan lahir dari anak-anak pengungsi, dari tenda-tenda kumuh yang berubah menjadi benteng perlawanan.


---

Ariel Sharon dan Gaza (2005): Sang Penjagal yang Mundur

Ariel Sharon adalah nama yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelam Palestina. Ia arsitek permukiman ilegal Israel di Tepi Barat, tangan berdarah di Sabra–Shatila, dan dikenal sebagai Buldoser Israel.

Namun pada 2005, Sharon membuat langkah mengejutkan: penarikan sepihak dari Gaza (Gaza Disengagement Plan).

8.000 pemukim Yahudi dipindahkan dari Gaza.

Semua pangkalan militer Israel ditarik keluar.

Sharon menyebut Gaza sebagai “beban” yang terlalu mahal untuk dijaga.


Langkah ini bukan karena simpati pada Palestina. Sharon ingin mengkonsolidasikan kekuatan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem. Dengan kata lain, ia memotong jari untuk menyelamatkan tangan.

Sejarawan militer Israel, Martin van Creveld, menilai keputusan Sharon realistis: Gaza tidak bisa dikuasai selamanya, terlalu padat, terlalu miskin, terlalu penuh perlawanan.


---

Netanyahu: Murid yang Menolak Jalan Sharon

Ironisnya, murid politik Sharon, Benjamin Netanyahu, justru menentang keras langkah itu. Netanyahu bahkan keluar dari kabinet Sharon pada 2005. Baginya, meninggalkan Gaza sama dengan memberi Hamas panggung untuk membangun kekuatan.

Dan memang, dua dekade kemudian, ramalan Netanyahu benar sebagian: Hamas tumbuh lebih kuat. Tapi di sisi lain, justru Netanyahu yang kini terjebak dalam rawa Gaza.

Hamas menguasai Gaza sejak 2007.

Gaza menjadi basis perlawanan yang menekan Israel secara terus-menerus.

Dunia internasional melihat blokade Israel sebagai kezaliman, bukan solusi keamanan.


Seperti dalam drama klasik, murid yang dulu menolak jalan gurunya akhirnya dipaksa menghadapi medan yang gurunya tinggalkan.


---

Jika Ariel Sharon Menyaksikan Netanyahu

Andai Sharon masih hidup hari ini, ia mungkin akan berkata pada Netanyahu:

> “Aku sudah tahu Gaza tak bisa ditaklukkan. Aku tinggalkan karena ingin menyelamatkan Israel. Tapi engkau terlalu keras kepala, dan kini engkau justru terjebak di dalamnya.”



Sharon adalah penjagal, tapi ia punya insting militer: Gaza tak bisa dikendalikan. Netanyahu adalah politisi ulung, tapi terjebak dalam ideologi: ia ingin menghancurkan Gaza, namun justru setiap serangan melahirkan generasi baru pejuang.

Pakar geopolitik Rashid Khalidi menulis: “Gaza adalah bukti kegagalan Zionisme untuk menundukkan bangsa yang diusir. Setiap generasi Gaza hanya melahirkan perlawanan baru.”

Sementara Avi Shlaim, sejarawan Israel, menilai: “Sharon tahu batas Israel. Netanyahu melampaui batas itu, dan justru mengantarkan Israel ke arah kehancuran dari dalam.”


---

Analogi Film: Sang Guru dan Murid yang Membangkang

Jika kisah ini difilmkan, ia akan mirip dengan drama epik seperti Star Wars atau The Godfather.

Sharon adalah seperti Darth Vader yang akhirnya mengambil keputusan pahit demi keberlangsungan kerajaan.

Netanyahu adalah Kylo Ren, pewaris keras kepala yang terobsesi dengan masa lalu, tapi akhirnya hancur oleh obsesinya sendiri.


Atau, jika kita gunakan analogi The Godfather:

Sharon adalah Don Vito Corleone, yang tahu kapan harus mundur demi menyelamatkan keluarga.

Netanyahu adalah Sonny, anak keras kepala yang akhirnya jatuh dalam perangkap karena amarahnya.



---

Benang Merah Gaza: Dari Perang Salib, Nakba, hingga Sharon dan Netanyahu

Jika kita tarik garis panjang, kita menemukan satu benang merah:

Di era Perang Salib, Gaza menjadi benteng pertahanan Shalahuddin.

Di era Nakba, Gaza menjadi benteng pengungsian yang penuh perlawanan.

Di era Sharon, Gaza menjadi “beban” yang ditinggalkan demi fokus ke Yerusalem.

Di era Netanyahu, Gaza menjadi kuburan politik Israel, tempat di mana Zionisme kehilangan legitimasi moral.


Sejarah berulang, dengan wajah yang berbeda. Gaza tetap menolak tunduk.


---

Epilog: Gaza, Cermin yang Menghantui Israel

Pada akhirnya, Gaza adalah cermin yang selalu memantulkan wajah penjajah. Di masa Salibis, ia memantulkan wajah Eropa abad pertengahan. Di masa Nakba, ia memantulkan wajah kolonialisme modern. Di masa Sharon, ia memantulkan wajah militer Israel yang pragmatis. Dan di masa Netanyahu, ia memantulkan wajah Zionisme yang keras kepala, buta sejarah, dan penuh amarah.

Sharon meninggalkan Gaza untuk menyelamatkan Israel. Netanyahu terjebak di Gaza, dan mungkin akan membawa Israel menuju kehancuran.

Seakan sejarah berbisik:

> “Sang Penjagal pergi dari Gaza untuk menyelamatkan negaranya. Tapi pewarisnya ingin membunuh Gaza, dan akhirnya justru membunuh negerinya sendiri.”

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (541) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (239) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)