The Sea: Filem Perjuangan Anak Palestina Melihat Laut yang Mengguncang Penjajah Israel
Prolog: Sebuah Malam di Yerusalem
Di panggung sederhana Penghargaan Ophir, setara dengan “Oscar”-nya Israel, tepuk tangan pecah. Film The Sea dinyatakan sebagai pemenang film terbaik. Kamera menyorot wajah muda Mohammed Gazaoui, aktor berusia 12 tahun yang memerankan Khaled, bocah Palestina yang hanya ingin melihat laut untuk pertama kali dalam hidupnya.
Namun, di balik gemerlap lampu sorot itu, badai politik segera datang. Menteri Kebudayaan Israel, Miki Zohar, tidak menahan kemarahannya. Ia menyebut kemenangan itu sebagai “tamparan di wajah warga Israel” dan berjanji akan menghentikan seluruh dana negara untuk penghargaan tersebut mulai 2026.
Apa yang sebetulnya diperebutkan di sini? Sebuah film, atau kebenaran tentang kemanusiaan?
---
1. Film yang Menghadirkan “Laut”
The Sea bukanlah film aksi, bukan pula propaganda. Ia lahir dari tangan Shai Carmeli-Pollak, sutradara Yahudi-Israel yang berani menyingkap lapisan realitas pahit negaranya.
Film ini berkisah tentang Khaled, bocah Palestina berusia 12 tahun dari Tepi Barat. Cita-citanya sederhana: menyentuh laut di Tel Aviv, sesuatu yang bagi anak-anak lain tampak remeh, tetapi baginya nyaris mustahil. Di sebuah pos pemeriksaan, tentara Israel menolak dirinya. Khaled menyelinap, melintasi garis demarkasi, dan memulai perjalanan penuh bahaya menuju pantai.
Di balik itu, sang ayah berjuang mencari anaknya, menanggung risiko ditangkap, dipecat, bahkan kehilangan martabat. Kisah ini seolah ingin berbisik: bahwa di tanah yang penuh kawat berduri, mimpi paling sederhana pun bisa menjadi subversif.
---
2. Reaksi yang Pecah: Antara Bangga dan Marah
Kemenangan film ini di Ophir 2025 langsung memicu gelombang reaksi.
Miki Zohar, Menteri Kebudayaan Israel: “Ini adalah penghinaan. Upacara ini meludahi wajah prajurit kita. Tidak ada lagi uang rakyat untuk acara seperti ini.”
Akademi Film dan Televisi Israel: “Pemilihan The Sea adalah pernyataan kuat terhadap serangan pemerintah atas kebebasan artistik. Film ini lahir dari kolaborasi Yahudi dan Palestina, dan ia mewakili keberanian untuk melihat kemanusiaan yang lain.”
Di dalam gedung, beberapa artis mengenakan kaus bertuliskan “a child is a child is a child”—sebuah seruan sederhana: jangan pernah hilangkan kemanusiaan dari seorang anak, apa pun identitasnya.
---
3. Israel, Seni, dan Ketakutan akan “Narasi Lain”
Mengapa sebuah film bisa memicu kemarahan pejabat negara? Jawabannya sederhana sekaligus rumit: karena seni memiliki kekuatan narasi.
Israel dibangun bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan narasi—tentang tanah yang dijanjikan, tentang ancaman yang harus dilawan, tentang tentara yang disebut “heroik.” Ketika film seperti The Sea memunculkan perspektif Palestina, yang menampilkan tentara Israel sebagai penghalang mimpi seorang bocah, narasi dominan itu goyah.
Zohar dan pihak pemerintah tidak sedang berdebat soal estetika. Mereka sedang berusaha mempertahankan monopoli makna.
---
4. Antara Oscar dan Boikot
Secara tradisi, film pemenang Ophir otomatis mewakili Israel untuk nominasi Oscar kategori Film Fitur Internasional. Dengan demikian, The Sea bukan sekadar karya seni; ia akan tampil di panggung global.
Namun, di saat bersamaan, gelombang boikot budaya internasional terhadap Israel terus membesar. Lebih dari 4.500 seniman menandatangani petisi untuk menolak festival atau lembaga film Israel yang terlibat dalam “apartheid dan genosida.”
Di sinilah paradoks terjadi: sebuah film yang lahir dari Israel, tetapi bercerita tentang Palestina, bisa menjadi “wakil Israel” di Oscar—sementara Israel resmi ingin menutupinya.
---
5. Seni sebagai Cermin Retak
Mari kita berhenti sejenak dan bertanya: apa arti laut bagi seorang anak Palestina?
Bagi Khaled dalam The Sea, laut adalah simbol kebebasan. Garis biru di ujung cakrawala yang membatasi dirinya dari dunia luas. Laut adalah impian sederhana, tetapi juga metafora bagi sesuatu yang tak bisa dicapai selama tembok dan pos pemeriksaan masih berdiri.
Sastrawan Palestina Mahmoud Darwish pernah menulis: “Di tanah yang terbelah, mimpi terkecil bisa menjadi bentuk perlawanan.” Dan film ini menegaskan kalimat itu.
---
6. Cengkeraman Negara atas Seni
Kasus ini juga membuka luka lama: bagaimana Israel mengendalikan industri seninya. Dana publik seperti Israel Film Fund memang diwajibkan mendukung seniman tanpa diskriminasi politik. Namun, pemerintah kerap menekan, memangkas dana, atau bahkan melabeli pengkhianat kepada seniman yang dianggap “terlalu kritis.”
Zohar bukan yang pertama. Sebelum ini, menteri-menteri lain pernah memblokir dana untuk teater yang menampilkan cerita tentang tahanan Palestina, atau menolak subsidi film yang dibuat dalam bahasa Arab.
Pemerintah menginginkan seni yang seragam, patriotik, dan “aman.” Tetapi seni yang hidup justru lahir dari luka, pergulatan, dan keberanian menantang.
---
7. Dunia yang Melihat
Ketika berita tentang penghentian pendanaan Ophir menyebar, reaksi internasional pun datang.
Media Eropa menyoroti kontradiksi: Israel mengklaim sebagai demokrasi, tetapi membungkam kebebasan ekspresi.
Komunitas film internasional menilai keputusan Zohar justru memperkuat argumen boikot: bahwa negara ini takut pada cerita, bahkan lebih daripada pada peluru.
Aktivis Palestina melihat film ini sebagai kemenangan kecil: akhirnya, suara anak-anak mereka masuk ke panggung global, meskipun lewat jendela yang sempit.
---
8. Antara Identitas dan Kemanusiaan
Ada sesuatu yang simbolis di sini. The Sea adalah film berbahasa Arab, dibuat oleh sutradara Yahudi-Israel, dimainkan oleh aktor Palestina, didanai oleh Israel Film Fund, tetapi kini ditolak pemerintah Israel.
Film ini seperti anak yang lahir dari dua dunia, tetapi ditolak oleh salah satunya. Bukankah itu juga cerminan dari kondisi Palestina-Israel itu sendiri?
Seorang bocah hanya ingin melihat laut. Tetapi negara mengubahnya menjadi ancaman.
---
9. Seni, Politik, dan Harapan yang Rapuh
Dalam pidatonya, Assaf Amir, ketua Akademi Film dan Televisi Israel, mengatakan:
> “Kemampuan untuk melihat ‘yang lain’, bahkan jika ia bukan dari golongan kita sendiri, hanya memberikan sedikit harapan.”
Kalimat itu terdengar sederhana, bahkan klise. Tetapi di negeri yang dipenuhi trauma, ia seperti secercah cahaya.
Mungkin, The Sea bukan sekadar film. Ia adalah peringatan bahwa di balik tembok dan pos pemeriksaan, ada anak-anak yang masih bermimpi tentang laut. Jika dunia berhenti mendengarkan, mimpi itu akan tenggelam.
---
10. Epilog: Film yang Tak Bisa Dibungkam
Sejarah telah membuktikan: film yang dilarang justru sering hidup lebih lama. Dari The Battle of Algiers yang pernah dicekal Prancis, hingga Fahrenheit 9/11 yang dikritik Amerika, karya seni yang lahir dari luka biasanya menemukan jalan untuk tetap didengar.
The Sea kini melangkah ke panggung Oscar, membawa cerita seorang bocah yang hanya ingin menyentuh laut. Mungkin film itu tidak akan menang. Tetapi kehadirannya sendiri sudah menjadi kemenangan—kemenangan narasi, kemenangan ingatan, kemenangan kecil bagi kemanusiaan.
Miki Zohar bisa memutus pendanaan. Ia bisa menyebut film itu “memalukan.” Tetapi ia tidak bisa menghapus kenyataan bahwa seni telah merekam suara yang ingin ia bungkam.
---
Refleksi
Di tengah dunia yang lelah oleh propaganda, The Sea mengingatkan kita akan sesuatu yang sederhana: kemanusiaan dimulai dari pengakuan bahwa seorang anak tetaplah seorang anak.
Bukankah itu kebenaran yang tak bisa dibantah? Bahwa setiap anak, entah Yahudi, Palestina, atau siapa pun, berhak bermimpi melihat laut.
Jika sebuah negara takut pada mimpi seorang anak, mungkin masalahnya bukan pada anak itu—melainkan pada negara yang terlalu rapuh menghadapi kebenaran.
0 komentar: