Dari Harapan ke Kekecewaan: Refleksi Sejarah dari Seorang Yahudi Inggris yang Ditolak Israel
Gerbang yang Tertutup
Di perbatasan Sheikh Hussein, antara Yordania dan Israel, seorang pria berusia 67 tahun duduk menatap aliran sungai yang kini hanya tinggal riak kecil. Di tangannya, hanya ada sekantong kacang yang ia kunyah pelan, sembari menunggu petugas perbatasan memutuskan nasibnya. Namanya Peter Prinsley: seorang dokter, seorang Yahudi, sekaligus anggota parlemen Inggris. Ia datang dengan misi sederhana—menyaksikan langsung kondisi layanan kesehatan bagi warga Palestina di Tepi Barat. Namun, ia tidak pernah berhasil melangkah masuk.
Israel menolaknya dengan alasan “keamanan publik”. Bagi Prinsley, alasan itu absurd, bahkan ironis. Bagaimana mungkin seorang dokter senior, seorang Yahudi diaspora, dianggap ancaman? Dari titik itulah muncul renungan: apa yang terjadi dengan Israel?
Israel yang Pernah Menjadi Harapan
Untuk generasi Yahudi pasca-Holocaust, Israel pernah berdiri sebagai simbol harapan. Tahun 1948, ketika bendera biru putih dengan bintang Daud dikibarkan, banyak yang percaya itu adalah janji pemulihan—sebuah rumah bagi kaum yang selama ribuan tahun tercerai-berai. Prinsley, seperti banyak Yahudi diaspora lainnya, tumbuh dengan gambaran ideal itu. Ia pernah datang ke Israel sebagai mahasiswa, merasakan liburan penuh sukacita bersama keluarga, bahkan membawa pulang cerita tentang sebuah negeri yang katanya demokratis, terbuka, dan plural.
Namun kini, tujuh dekade lebih berselang, ia menemukan wajah lain Israel: negara yang menutup pintu bagi parlemen sahabat, menolak kemanusiaan dengan alasan “keamanan”, dan memenjarakan dirinya dalam paranoia.
Dari Demokrasi ke Paranoia
Dalam sejarah, banyak rezim yang tumbuh dari idealisme, lalu berubah menjadi kekuasaan yang curiga pada dunia luar. Israel bukan pengecualian. Semakin kuat ia menegaskan klaim sebagai “demokrasi tunggal di Timur Tengah”, semakin rapuh pula wajah demokrasi itu terlihat.
Dulu, Israel menyatakan diri terbuka bagi semua Yahudi di dunia. Kini, bahkan seorang Yahudi yang duduk di parlemen Inggris—yang hanya ingin meninjau rumah sakit—ditolak. Prinsley bukan satu-satunya. Beberapa anggota parlemen Inggris sebelumnya juga mengalami nasib serupa. Seolah Israel ingin berkata: “Kami tidak butuh saksi, bahkan dari kalanganmu sendiri.”
Tindakan seperti ini lebih mirip rezim yang ketakutan, bukan negara yang percaya diri.
Yahudi Diaspora vs. Zionisme Politik
Kisah Prinsley juga membuka bab yang lebih dalam: ketegangan antara identitas Yahudi diaspora dengan politik Zionisme. Bagi banyak Yahudi di Eropa dan Amerika, menjadi Yahudi tidak identik dengan mendukung kebijakan Israel. Mereka hidup dalam tradisi sinagoge lokal, berkontribusi pada masyarakat tempat tinggalnya, dan tetap kritis terhadap segala bentuk penindasan—termasuk yang dilakukan oleh negara yang mengklaim “berdiri atas nama Yahudi”.
Prinsley adalah cerminan itu. Ia seorang Yahudi yang taat, anggota Dewan Perwakilan Yahudi Inggris, tetapi tidak menutup mata terhadap penderitaan Palestina. Di sinilah letak paradoks besar: Israel mengaku mewakili seluruh Yahudi dunia, namun justru menolak sebagian dari mereka yang berani bersuara jujur.
Tirai yang Menutupi Gaza dan Tepi Barat
Selama berbulan-bulan, dunia menyaksikan tragedi di Gaza melalui layar kaca. Gambar rumah sakit yang hancur, tenaga medis yang gugur, anak-anak yang terluka. Namun Israel tidak hanya memutus listrik dan air di Gaza, ia juga berusaha memutus arus informasi. Jurnalis dihalangi, diplomat dihalangi, aktivis HAM dihalangi. Kini, bahkan anggota parlemen asing yang datang dengan mandat kemanusiaan pun ditolak.
Penolakan ini bukan sekadar masalah protokol perbatasan. Ia adalah pesan: Israel ingin mengontrol narasi. Tak ada saksi luar yang boleh melihat terlalu dekat, tak ada suara independen yang boleh membawa pulang kisah dari lapangan.
Namun, justru di sinilah kontradiksi mencolok: negara yang mengaku demokratis, tapi menutup diri rapat-rapat dari transparansi.
Jejak Sejarah yang Berulang
Dalam sejarah panjang bangsa-bangsa, ada pola yang sering terulang: ketika sebuah kekuasaan menolak dialog, menolak kritik, dan menolak saksi, biasanya ia sedang menuju fase kejatuhan. Kaisar Romawi menolak kritik para senator, Firaun menolak Musa, kaum Quraisy menolak mendengar kebenaran yang dibawa Muhammad ï·º. Kini, Israel menutup pintunya bahkan dari Yahudi diaspora yang peduli pada kemanusiaan.
Apakah ini tanda bahwa negara itu sedang berada di jalan yang sama: jalan kesombongan yang berujung pada keterasingan?
Luka Seorang Yahudi yang Dikhianati
Bagi Prinsley, pengalaman ini lebih dari sekadar ditolak di perbatasan. Ia merasa dikhianati oleh sebuah negara yang dulu dianggap bagian dari identitas kolektifnya sebagai Yahudi. Ia berkata: “Israel pernah menjadi harapan bagi satu generasi Yahudi. Kini persahabatan yang dulu abadi telah dirusak.”
Kata-kata ini mengguncang. Ketika seorang Yahudi sendiri merasa Israel tak lagi mencerminkan nilai-nilai yang ia junjung, maka krisis yang dihadapi Israel bukan sekadar politik, tetapi moral.
Refleksi bagi Dunia
Kisah ini menegaskan bahwa kritik terhadap Israel bukanlah antisemitisme. Ketika seorang Yahudi Inggris ditolak Israel, ia membuktikan bahwa masalahnya bukan agama, melainkan rezim. Ini membuka ruang bagi solidaritas baru: solidaritas yang melampaui agama dan identitas, solidaritas yang berbicara dengan bahasa universal—kemanusiaan.
Israel bisa menutup gerbangnya, tapi ia tak bisa menutup hati nurani dunia. Justru semakin ia menolak saksi, semakin dunia curiga. Semakin ia memenjarakan kebenaran, semakin kebenaran mencari jalan lain untuk keluar.
Dari Sungai Yordan ke Amman: Sebuah Pertanyaan Terbuka
Ketika akhirnya Prinsley kembali ke Amman, ia membawa lebih dari sekadar koper. Ia membawa luka, kekecewaan, sekaligus pertanyaan besar: apa yang terjadi dengan Israel?
Pertanyaan itu bukan hanya milik dia. Itu adalah pertanyaan yang kini bergema di banyak ruang: dari sinagoge Yahudi di Eropa, dari masjid-masjid di Timur Tengah, dari gereja-gereja di Amerika, dari ruang-ruang kuliah di universitas-universitas dunia.
Israel pernah lahir dengan klaim sebagai jawaban atas penderitaan. Kini, ia berubah menjadi sumber penderitaan baru. Dan sejarah selalu mencatat: negara yang kehilangan nurani, cepat atau lambat akan kehilangan legitimasi.
Penutup: Bayang-Bayang Masa Depan
Prinsley hanyalah satu orang di perbatasan. Namun kisahnya adalah cermin dari krisis besar yang menimpa sebuah negara. Krisis identitas, krisis legitimasi, krisis moral.
Dari kacang kecil yang ia kunyah di tepi Sungai Yordan, lahirlah sebuah renungan yang seharusnya menggugah dunia: apakah Israel masih bisa kembali ke jalan keterbukaan, ataukah ia akan terus terperosok dalam isolasi yang diciptakannya sendiri?
Sejarah selalu memberi pilihan. Tapi sejarah juga tegas dalam memberi hukuman: siapa pun yang menutup pintu bagi kebenaran, pada akhirnya akan ditinggalkan oleh zaman.
Sumber:
https://www.theguardian.com/commentisfree/2025/sep/20/jewish-british-mp-israel
0 komentar: