The Godfather: Andai Ariel Sharon Menyaksikan Netanyahu
Gaza, Tanah yang Menolak Takluk
Gaza adalah sebuah nama yang selalu kembali dalam sejarah. Di era Perang Salib, ia menjadi benteng pertahanan umat Islam, sebuah gerbang yang harus direbut jika ingin menguasai Yerusalem. Di era Nakba 1948, ia menjadi tempat penampungan pengungsi terbesar di dunia, menanggung luka kolektif bangsa Palestina. Dan kini, di era modern, Gaza menjadi mimpi buruk Israel yang tak kunjung usai.
Di balik semua itu, ada ironi sejarah yang menyentuh para pemimpin Israel sendiri. Ariel Sharon, yang dijuluki Sang Penjagal karena tangannya berlumuran darah Sabra-Shatila, justru memilih untuk meninggalkan Gaza pada 2005. Sedangkan Benjamin Netanyahu, pewaris politik yang dulu menentangnya, kini harus menanggung konsekuensi: Gaza yang ditinggalkan Sharon menjadi bara api yang terus membakar Israel.
Seperti sebuah film epik, ada adegan mentor dan murid. Ada saat di mana sang guru mengambil keputusan pahit, dan muridnya, karena keras kepala, justru masuk ke dalam perangkap yang sama.
---
Gaza di Era Perang Salib: Benteng yang Tak Bisa Ditaklukkan
Ketika Perang Salib pertama meletus (1096–1099), pasukan Kristen Eropa merebut Yerusalem. Kerajaan Latin Yerusalem lahir, dan Gaza menjadi salah satu kota kunci. Letaknya di pesisir selatan Palestina menjadikannya jalur strategis menuju Mesir dan pintu masuk suplai militer.
1099–1149: Gaza dikuasai pasukan Salib, dijadikan pos militer.
1150: Baldwin III, Raja Yerusalem, membangun kastil besar di Gaza sebagai pertahanan pesisir.
1187: Shalahuddin al-Ayyubi mengalahkan pasukan Salib di Hattin, lalu merebut kembali Gaza, menutup jalur musuh ke Mesir.
Sejarawan Muslim Ibn al-Atsir menyebut Gaza sebagai “gerbang selatan Palestina yang selalu diperebutkan.”
Steven Runciman, sejarawan Barat, menyebutnya “benteng kunci di jalur pesisir yang menentukan siapa penguasa Tanah Suci.”
Dengan kata lain, Gaza sejak dulu bukan kota kecil. Ia adalah benteng terakhir. Dan siapa pun yang mencoba mendudukinya, cepat atau lambat, akan menghadapi gelombang perlawanan.
---
Gaza di Era Nakba 1948: Dari Benteng Menjadi Kamp Pengungsi
Delapan abad kemudian, Gaza kembali menjadi panggung sejarah. Ketika Israel berdiri (14 Mei 1948), Gaza menjadi front utama pertempuran. Tentara Mesir masuk untuk melawan pasukan Zionis, dan setelah gencatan senjata 1949, Gaza jatuh ke dalam administrasi Mesir.
Namun Gaza tidak menjadi wilayah nyaman. Ia menampung lebih dari 200 ribu pengungsi Palestina, korban pengusiran besar-besaran Zionis. Wilayah sempit ini berubah menjadi kamp pengungsi terbesar di dunia.
1948–1967: Gaza di bawah Mesir, tapi warga tidak diberi kewarganegaraan. Hidup mereka penuh keterbatasan.
1967: Israel merebut Gaza dalam Perang Enam Hari. Sejak itu dimulailah babak baru pendudukan militer yang kejam.
Walid Khalidi, sejarawan Palestina, menyebut Gaza pasca-Nakba sebagai “kamp pengungsi terbesar di dunia yang hidup dalam penderitaan kolektif.”
Rashid Khalidi menegaskan Gaza adalah “produk paling tragis dari Nakba,” karena menanggung populasi berlipat tanpa sumber daya.
Seperti di era Perang Salib, Gaza kembali menolak takluk. Bedanya, kini perlawanan lahir dari anak-anak pengungsi, dari tenda-tenda kumuh yang berubah menjadi benteng perlawanan.
---
Ariel Sharon dan Gaza (2005): Sang Penjagal yang Mundur
Ariel Sharon adalah nama yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelam Palestina. Ia arsitek permukiman ilegal Israel di Tepi Barat, tangan berdarah di Sabra–Shatila, dan dikenal sebagai Buldoser Israel.
Namun pada 2005, Sharon membuat langkah mengejutkan: penarikan sepihak dari Gaza (Gaza Disengagement Plan).
8.000 pemukim Yahudi dipindahkan dari Gaza.
Semua pangkalan militer Israel ditarik keluar.
Sharon menyebut Gaza sebagai “beban” yang terlalu mahal untuk dijaga.
Langkah ini bukan karena simpati pada Palestina. Sharon ingin mengkonsolidasikan kekuatan Israel di Tepi Barat dan Yerusalem. Dengan kata lain, ia memotong jari untuk menyelamatkan tangan.
Sejarawan militer Israel, Martin van Creveld, menilai keputusan Sharon realistis: Gaza tidak bisa dikuasai selamanya, terlalu padat, terlalu miskin, terlalu penuh perlawanan.
---
Netanyahu: Murid yang Menolak Jalan Sharon
Ironisnya, murid politik Sharon, Benjamin Netanyahu, justru menentang keras langkah itu. Netanyahu bahkan keluar dari kabinet Sharon pada 2005. Baginya, meninggalkan Gaza sama dengan memberi Hamas panggung untuk membangun kekuatan.
Dan memang, dua dekade kemudian, ramalan Netanyahu benar sebagian: Hamas tumbuh lebih kuat. Tapi di sisi lain, justru Netanyahu yang kini terjebak dalam rawa Gaza.
Hamas menguasai Gaza sejak 2007.
Gaza menjadi basis perlawanan yang menekan Israel secara terus-menerus.
Dunia internasional melihat blokade Israel sebagai kezaliman, bukan solusi keamanan.
Seperti dalam drama klasik, murid yang dulu menolak jalan gurunya akhirnya dipaksa menghadapi medan yang gurunya tinggalkan.
---
Jika Ariel Sharon Menyaksikan Netanyahu
Andai Sharon masih hidup hari ini, ia mungkin akan berkata pada Netanyahu:
> “Aku sudah tahu Gaza tak bisa ditaklukkan. Aku tinggalkan karena ingin menyelamatkan Israel. Tapi engkau terlalu keras kepala, dan kini engkau justru terjebak di dalamnya.”
Sharon adalah penjagal, tapi ia punya insting militer: Gaza tak bisa dikendalikan. Netanyahu adalah politisi ulung, tapi terjebak dalam ideologi: ia ingin menghancurkan Gaza, namun justru setiap serangan melahirkan generasi baru pejuang.
Pakar geopolitik Rashid Khalidi menulis: “Gaza adalah bukti kegagalan Zionisme untuk menundukkan bangsa yang diusir. Setiap generasi Gaza hanya melahirkan perlawanan baru.”
Sementara Avi Shlaim, sejarawan Israel, menilai: “Sharon tahu batas Israel. Netanyahu melampaui batas itu, dan justru mengantarkan Israel ke arah kehancuran dari dalam.”
---
Analogi Film: Sang Guru dan Murid yang Membangkang
Jika kisah ini difilmkan, ia akan mirip dengan drama epik seperti Star Wars atau The Godfather.
Sharon adalah seperti Darth Vader yang akhirnya mengambil keputusan pahit demi keberlangsungan kerajaan.
Netanyahu adalah Kylo Ren, pewaris keras kepala yang terobsesi dengan masa lalu, tapi akhirnya hancur oleh obsesinya sendiri.
Atau, jika kita gunakan analogi The Godfather:
Sharon adalah Don Vito Corleone, yang tahu kapan harus mundur demi menyelamatkan keluarga.
Netanyahu adalah Sonny, anak keras kepala yang akhirnya jatuh dalam perangkap karena amarahnya.
---
Benang Merah Gaza: Dari Perang Salib, Nakba, hingga Sharon dan Netanyahu
Jika kita tarik garis panjang, kita menemukan satu benang merah:
Di era Perang Salib, Gaza menjadi benteng pertahanan Shalahuddin.
Di era Nakba, Gaza menjadi benteng pengungsian yang penuh perlawanan.
Di era Sharon, Gaza menjadi “beban” yang ditinggalkan demi fokus ke Yerusalem.
Di era Netanyahu, Gaza menjadi kuburan politik Israel, tempat di mana Zionisme kehilangan legitimasi moral.
Sejarah berulang, dengan wajah yang berbeda. Gaza tetap menolak tunduk.
---
Epilog: Gaza, Cermin yang Menghantui Israel
Pada akhirnya, Gaza adalah cermin yang selalu memantulkan wajah penjajah. Di masa Salibis, ia memantulkan wajah Eropa abad pertengahan. Di masa Nakba, ia memantulkan wajah kolonialisme modern. Di masa Sharon, ia memantulkan wajah militer Israel yang pragmatis. Dan di masa Netanyahu, ia memantulkan wajah Zionisme yang keras kepala, buta sejarah, dan penuh amarah.
Sharon meninggalkan Gaza untuk menyelamatkan Israel. Netanyahu terjebak di Gaza, dan mungkin akan membawa Israel menuju kehancuran.
Seakan sejarah berbisik:
> “Sang Penjagal pergi dari Gaza untuk menyelamatkan negaranya. Tapi pewarisnya ingin membunuh Gaza, dan akhirnya justru membunuh negerinya sendiri.”
0 komentar: