Efek Psikologi Sosial bagi Yahudi dari Perampasan Tanah Palestina
Sejarah manusia tidak pernah lepas dari perpindahan, pengasingan, dan pencarian rumah. Namun, tidak ada bangsa yang lebih melekat dengan kata diaspora selain bangsa Yahudi. Sejak ribuan tahun, mereka hidup tercerai-berai di berbagai belahan dunia. Ironisnya, ketika pada 1948 berdiri sebuah negara yang mengaku sebagai “rumah nasional Yahudi” bernama Israel, diaspora itu tidak serta-merta berakhir. Hingga hari ini, setengah dari orang Yahudi dunia tetap memilih hidup di luar Israel.
Lalu, apa artinya sebuah “rumah” bagi bangsa yang sudah terlalu lama hidup tanpa rumah? Dan bagaimana kerinduan untuk berkumpul kembali di Palestina justru melahirkan sebuah tragedi besar berupa perampasan tanah Palestina? Pertanyaan ini tidak sekadar bersifat historis, melainkan menyentuh ranah psikologi sosial yang mendalam.
---
Akar Diaspora: Dari Yakub hingga Runtuhnya Baitul Maqdis
Mari kita mulai dari sumber awal. Kata Israel sendiri berasal dari nama Nabi Yakub. Dari anak cucu Yakub inilah lahir sebuah bangsa yang kelak dikenal sebagai Bani Israil. Al-Qur’an menceritakan bagaimana mereka hidup berpindah-pindah: dari Mesir di bawah kekuasaan Fir’aun, ke padang pasir bersama Musa, hingga mengalami penaklukan oleh Babilonia, Persia, Yunani, dan Romawi.
Peristiwa paling menentukan dalam membentuk identitas diaspora adalah kehancuran Baitul Maqdis oleh Romawi pada tahun 70 M. Ribuan orang Yahudi dibantai, sisanya tercerai-berai ke berbagai wilayah. Sejak saat itu, keterpisahan bukan lagi sekadar kondisi sosial, melainkan bagian dari kesadaran kolektif mereka.
Al-Qur’an menegaskan hal ini:
> “Dan Kami pecah-pecahkan mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antara mereka ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian.”
(QS. Al-A’raf: 168)
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang peristiwa, tetapi juga psikologi. Bangsa Yahudi hidup dengan perasaan bahwa tercerai-berai adalah bagian dari takdir mereka.
---
Israel Berdiri, Diaspora Bertahan
Banyak orang menduga, berdirinya Israel pada 1948 akan menjadi titik akhir diaspora. Ternyata tidak. Hingga kini, hampir setengah populasi Yahudi dunia tetap memilih tinggal di Amerika, Eropa, dan Rusia. Bahkan, komunitas Yahudi terbesar justru ada di New York, bukan di Tel Aviv.
Mengapa demikian?
1. Faktor Ekonomi dan Sosial
Yahudi diaspora sudah lama membangun kemapanan di negara-negara Barat. Mereka menguasai bisnis, lembaga pendidikan, hingga politik. Pindah ke Israel sama artinya dengan meninggalkan kenyamanan yang diperoleh dengan susah payah.
2. Faktor Psikologis
Hidup sebagai minoritas justru membentuk daya tahan mereka. Identitas “umat yang bertahan dalam diaspora” menjadi kebanggaan tersendiri. Mereka merasa lebih bebas menjadi warga dunia, daripada terkekang dalam konflik permanen di Timur Tengah.
3. Faktor Politik
Tidak sedikit Yahudi diaspora yang tidak setuju dengan kebijakan Israel, khususnya dalam menindas Palestina. Mereka memandang Israel bukan rumah spiritual, melainkan proyek politik.
Dengan kata lain, berdirinya Israel tidak pernah benar-benar menjadi akhir diaspora. Sebab diaspora telah menjelma menjadi identitas itu sendiri.
---
Genosida Gaza dan Suara yang Terbelah
Perang Gaza hari ini membuka luka yang lebih dalam antara Yahudi diaspora dan Israel. Ribuan Yahudi di Amerika turun ke jalan dengan spanduk bertuliskan “Not in Our Name.” Mereka menolak genosida yang dilakukan Israel, menolak perampasan tanah, menolak pembantaian warga sipil.
Namun, di sisi lain, banyak pula yang tetap membela Israel. Mereka berlindung pada trauma Holocaust: “Kami pernah hampir dimusnahkan, maka apa pun yang kami lakukan demi bertahan adalah sah.”
Perpecahan ini menunjukkan sesuatu yang penting: menjadi Yahudi tidak selalu berarti menjadi Zionis. Diaspora justru memperlihatkan spektrum yang luas—ada yang humanis, ada yang nasionalis, ada pula yang apatis.
---
Yahudi Diaspora vs Yahudi Israel: Dua Karakter Sosial
Secara psikologi sosial, perbedaan ini terlihat jelas:
Yahudi Diaspora:
Terbiasa hidup sebagai minoritas, mereka adaptif, terbuka, dan diplomatis. Identitas mereka lebih cair, lebih universal. Mereka tahu cara hidup berdampingan dengan masyarakat lain.
Yahudi Israel:
Hidup dalam kerangka negara, mereka dibentuk oleh trauma perang yang berulang. Karakter mereka lebih militeristik, eksklusif, dan defensif. Mereka hidup dengan semangat “kami melawan dunia.”
Amos Oz, seorang sastrawan Israel, pernah menulis paradoks bangsanya: “Kami ingin menjadi bangsa normal dengan negara normal, tetapi selalu merasa dikepung dan terancam.”
---
Efek Psikologi Sosial dari Perampasan Palestina
Di sinilah letak paradoks terbesar: keinginan untuk berkumpul di Palestina justru melahirkan tindakan yang merampas tanah bangsa lain. Apa dampak psikologis dari tindakan ini terhadap Yahudi sendiri?
1. Rasa Bersalah Kolektif
Banyak Yahudi muda, terutama di diaspora, merasa terasing dari identitas Israel. Mereka menyadari bahwa tanah yang dijanjikan itu tidak pernah kosong. Rumah yang mereka sebut Eretz Israel dihuni oleh orang-orang Palestina yang kini terusir.
2. Konflik Identitas
Di satu sisi mereka ingin mengingat sejarah penderitaan, di sisi lain mereka justru menjadi pelaku penderitaan baru. Pertentangan batin ini membuat sebagian Yahudi menjauh dari Zionisme, dan sebagian lagi justru semakin keras membelanya.
3. Ketakutan yang Tak Pernah Selesai
Dengan merampas tanah, mereka hidup dalam lingkaran kekerasan. Israel menjadi negara dengan rasa aman paling rapuh di dunia: benteng tinggi, senjata nuklir, tapi juga dihantui roket dari Gaza dan perlawanan yang tak padam.
---
Apakah Diaspora Akan Berakhir?
Pertanyaan besar muncul: mungkinkah semua Yahudi suatu saat berkumpul di Israel?
Secara ideologis, Zionisme bermimpi demikian. Namun, secara psikologis, hal ini hampir mustahil. Diaspora sudah menjadi bagian dari DNA Yahudi.
Al-Qur’an bahkan menyebutkan:
> “Dan Kami telah menetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali, dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.”
(QS. Al-Isra: 4)
Ayat ini dipahami banyak mufassir sebagai sunnatullah: keterpecahan, kesombongan, dan ketercerai-beraian akan terus menjadi bagian dari sejarah mereka.
---
Pandangan Ulama dan Sejarawan
Ibnu Katsir: Yahudi akan terus bertebaran di bumi sebagai bentuk hukuman atas pembangkangan mereka terhadap para nabi.
Buya Hamka: Sejarah Yahudi adalah cermin agar umat Islam tidak terjebak pada kesalahan yang sama—merasa paling benar lalu menolak kebenaran dari luar diri mereka.
Quraish Shihab: Al-Qur’an memang mencatat keburukan Bani Israil, tetapi juga memuji sebagian kecil yang beriman. Maka umat Islam harus bersikap adil: mengkritik kezaliman Israel, tapi tetap menghargai Yahudi yang cinta damai.
Shlomo Sand (sejarawan Israel modern): “Bangsa Yahudi” sebagai identitas tunggal adalah konstruksi modern. Dalam sejarah, mereka selalu beragam, tidak pernah benar-benar bersatu.
---
Refleksi: Diaspora sebagai Cermin Manusia
Ketika kita menatap sejarah Yahudi, kita sedang menatap cermin umat manusia. Bukankah kita semua selalu mencari rumah? Namun rumah itu tidak selalu berupa tanah atau negara. Kadang ia hanyalah komunitas, kenangan, atau tempat ibadah.
Kegagalan Israel menjadi rumah bagi semua Yahudi menunjukkan satu hal: negara bisa memberi paspor, tapi tidak bisa memberi makna.
Dan Gaza hari ini menjadi ujian terbesar. Apakah Yahudi akan mengulangi sejarah pengusiran, hanya saja kali ini bukan sebagai korban, melainkan sebagai pelaku?
---
Penutup: “Not in Our Name”
Diaspora Yahudi tampaknya tidak akan pernah berakhir. Ia bukan sekadar kondisi geografis, melainkan eksistensial. Bahkan bisa jadi, Allah menjadikannya sebagai pelajaran bagi umat manusia.
Tugas umat Islam bukanlah membenci buta, melainkan memahami dengan jernih. Bedakan antara Yahudi sebagai manusia dengan Israel sebagai rezim politik. Jangan sampai kita jatuh pada kesalahan yang sama: menolak kebenaran hanya karena datang dari “yang lain.”
Mungkin, justru dari luar Israel—dari New York atau London—akan lahir suara-suara Yahudi paling lantang yang menolak genosida Gaza. Mereka membawa pesan sederhana namun mendalam:
“Not in Our Name.”
0 komentar: