Jalan Peradaban: Membandingkan Cara Islam Membebaskan Wilayah dengan Babilonia, Yunani, Romawi, Persia, Cina, dan Eropa
---
Pembukaan: Kota sebagai Cermin Watak Peradaban
Setiap bangsa memiliki caranya sendiri memasuki sebuah wilayah. Ada yang datang dengan pedang menyala dan api yang membakar, ada pula yang datang dengan kitab, perjanjian, dan rahmat. Kota-kota kuno—Yerusalem, Damaskus, Kairo, Baghdad, hingga Samarkand—menjadi saksi, bagaimana sebuah bangsa memperlakukan rakyat yang ditaklukkannya.
Yerusalem, misalnya, pernah mengalami semua wajah penaklukan: Babilonia datang dengan api, Romawi dengan pedang, Persia dengan dendam, Tentara Salib dengan darah, sementara Islam—melalui Umar bin Khattab dan Shalahuddin al-Ayyubi—datang dengan rahmat. Maka benar kata Al-Qur’an:
> “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41).
Ayat ini adalah kaca sejarah: setiap bangsa yang menaklukkan dengan hawa nafsu meninggalkan kerusakan, sementara mereka yang menaklukkan dengan iman meninggalkan peradaban. Mari kita telusuri perbedaan-perbedaan itu, dengan menengok contoh dari bangsa-bangsa besar sepanjang sejarah.
---
1. Babilonia: Penaklukan dengan Api dan Pembuangan
Bangsa Babilonia di bawah Raja Nebukadnezar II (586 SM) dikenal karena menghancurkan Yerusalem. Temboknya diruntuhkan, Bait Suci Pertama dibakar, dan ribuan orang Yahudi diangkut ke Babilonia dalam apa yang dikenal sebagai “Pembuangan Babilonia”.
Sejarawan Yosefus Flavius mencatat bagaimana kota itu dibiarkan hancur. Babilonia ingin menunjukkan kuasa absolut: bahwa siapa yang berani melawan, akan dimusnahkan sampai ke akar.
Ciri khas Babilonia: penaklukan berarti penghancuran. Kota ditundukkan dengan api, rakyat dijadikan budak.
---
2. Yunani: Penaklukan dengan Hellenisasi
Alexander Agung (abad ke-4 SM) berbeda dari Nebukadnezar. Ia tidak hanya menaklukkan dengan pedang, tetapi juga dengan kebudayaan. Dimana pun ia masuk—Mesir, Persia, India—ia meninggalkan jejak Hellenisme: bahasa Yunani, arsitektur, filsafat.
Namun, meski lebih “berbudaya”, penaklukan Yunani tetaplah dominasi. Kota-kota dipaksa mengadopsi budaya Yunani, agama-agama lokal ditekan, elit pribumi diganti oleh gubernur Yunani.
Ciri khas Yunani: penaklukan berarti dominasi budaya. Orang boleh hidup, tapi harus mengadopsi “jiwa Yunani”.
---
3. Romawi: Penaklukan dengan Besi dan Jalan Raya
Bangsa Romawi dikenal dengan militernya yang disiplin. Ketika mereka menaklukkan Yerusalem (70 M), Jenderal Titus memimpin pengepungan berbulan-bulan. Bait Suci Kedua dihancurkan, lebih dari 100.000 orang terbunuh.
Romawi membangun kota dengan jalan raya, amfiteater, aquaduct, dan hukum. Tapi semua itu berbalut penindasan. Penduduk asli dijadikan warga kelas dua, pajak tinggi dipungut untuk membiayai ambisi imperium.
Ciri khas Romawi: penaklukan berarti integrasi dalam mesin imperium. Kota dibangun, tapi rakyat ditundukkan dengan pajak dan kekuatan besi.
---
4. Persia: Penaklukan dengan Dendam
Persia Sasaniyah merebut Yerusalem tahun 614 M di bawah Raja Khosrow II. Mereka masuk dengan dukungan sebagian Yahudi, yang saat itu membalas dendam pada Bizantium Kristen. Puluhan ribu orang Kristen dibantai, Relik Salib Agung dirampas.
Persia tidak membangun kota itu; mereka hanya ingin menunjukkan kekuatan, menegaskan dendam keagamaan.
Ciri khas Persia: penaklukan berarti balas dendam. Mereka masuk dengan darah dan meninggalkan luka.
---
5. Cina: Penaklukan dengan Tribut dan Sentralisasi
Bangsa Cina sejak Dinasti Qin dan Han menaklukkan wilayah dengan cara berbeda. Mereka jarang menghancurkan total, tetapi memasukkan wilayah baru ke dalam sistem tribut. Setiap raja lokal harus datang memberi upeti, tanda tunduk pada “Putra Langit” di Tiongkok.
Namun, siapa yang melawan akan ditindas habis-habisan. Lihat bagaimana Dinasti Qing menaklukkan Tibet atau Turkestan Timur: dengan memaksa integrasi budaya, bahasa, bahkan agama.
Ciri khas Cina: penaklukan berarti subordinasi dalam sistem tribut. Kota boleh berdiri, asal tunduk pada Kaisar.
---
6. Eropa: Penaklukan dengan Kolonialisme dan Ekonomi
Bangsa Eropa, terutama sejak abad ke-15, menaklukkan dunia dengan kapal dan meriam. Portugis di Malaka (1511), Spanyol di Amerika (1492), Belanda di Nusantara (1600-an), Inggris di India (1757).
Mereka jarang menghancurkan total kota, tapi merampas ekonomi: rempah, emas, kapas, gula, bahkan manusia (perbudakan). Kota-kota dibiarkan hidup, tapi hanya sebagai mesin produksi bagi imperium Eropa.
Ciri khas Eropa: penaklukan berarti kolonisasi dan eksploitasi ekonomi. Mereka meninggalkan rel kereta, tapi merampas kekayaan tanah.
---
7. Islam: Membebaskan dengan Rahmat
Berbeda dengan semuanya, Islam hadir bukan sekadar menaklukkan. Rasulullah ï·º bersabda:
> “Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Ahmad).
Ketika Umar bin Khattab r.a. memasuki Yerusalem (638 M), ia datang bukan dengan pasukan merajalela, tetapi dengan pakaian sederhana. Patriark Sophronius menyerahkan kunci kota, dan Umar menandatangani Piagam Aelia: menjamin kebebasan beragama bagi Kristen dan Yahudi. Tidak ada pembunuhan, tidak ada pengusiran.
Shalahuddin al-Ayyubi, lima abad kemudian (1187 M), juga demikian. Setelah Perang Hittin, ia masuk Yerusalem dengan rahmat. Tentara Salib yang dulu membantai ribuan Muslim, kini diberi kesempatan menebus diri. Yang miskin dibebaskan.
Ciri khas Islam: pembebasan berarti rahmat. Kota tidak dihancurkan, rakyat tidak dibantai, keyakinan tidak dipaksakan.
---
Refleksi: Dua Jalan Peradaban
Sejarawan Arnold Toynbee pernah menulis, peradaban runtuh bukan karena serangan luar, melainkan karena kehilangan moral di dalam. Inilah bedanya Islam dengan bangsa-bangsa lain: Islam tidak sekadar menguasai tanah, tapi membangun manusia.
Al-Qur’an menegaskan:
> “Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat...” (QS. Al-Baqarah: 256).
Inilah prinsip yang membimbing penaklukan Islam. Bukan sekadar kemenangan politik, tapi kemenangan akhlak. Bukan sekadar menambah wilayah, tapi menegakkan rahmat.
Maka jika Babilonia, Yunani, Romawi, Persia, Cina, dan Eropa masuk dengan pedang, api, atau kolonisasi, Islam masuk dengan kalimat “La ilaha illallah”—tidak memaksa, tapi menawarkan jalan keselamatan.
Yerusalem, Damaskus, Kairo, Baghdad, hingga Samarkand menjadi saksi: dari tangan Islam lahir masjid, sekolah, pasar, perpustakaan. Dari tangan imperium lain, sering kali lahir kehancuran, pengusiran, atau perampasan.
---
Penutup: Jalan Mana yang Akan Kita Pilih?
Sejarah adalah cermin. Ia bertanya kepada kita: maukah kita menjadi seperti Nebukadnezar yang membakar, Titus yang membantai, Khosrow yang mendendam, atau maukah kita menjadi seperti Umar yang menyejukkan dan Shalahuddin yang memaafkan?
Yerusalem hari ini masih bergetar dengan darah dan doa. Zionis Israel memilih jalan Romawi dan Babilonia: mengusir, merampas, menghancurkan. Tapi umat Islam diajarkan jalan lain: jalan rahmat.
Maka pertanyaan yang tersisa bagi kita adalah: di manakah kita berdiri dalam arus sejarah itu? Sebagai bangsa yang menaklukkan dengan pedang, atau sebagai umat yang membebaskan dengan akhlak?
0 komentar: