Dakwah Melawan Wabah di Era Keruntuhan Majapahit
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Penyakit tidak sekadar soal fisik. Ia juga tentang kebudayaan, keimanan, dan cara manusia memperlakukan dirinya sendiri.”
— Catatan Sejarah dari Blambangan, Abad XV
Blambangan Tercekik Wabah
Di sebuah masa ketika ilmu kedokteran belum terlembaga secara formal, dan penyakit dianggap kutukan dewa-dewa atau akibat melanggar pantangan leluhur, muncullah satu sosok yang melampaui zaman: Maulana Ishaq, salah satu anggota penting dalam jejaring Walisanga. Beliau bukan hanya ulama—tetapi juga seorang tabib, bahkan bisa disebut epidemiolog pertama di bumi Nusantara.
Blambangan, sebuah kadipaten Hindu terakhir di ujung timur Jawa, pada abad ke-15, dilanda pagebluk hebat. Wabah merajalela, rakyat panik, pemimpin bingung. Hampir setiap hari ada yang meninggal dunia. Jika pagi hari seseorang terjangkit, malamnya ia wafat. Begitu juga sebaliknya. Tak ada jeda. Tak ada penawar. Tak ada harapan.
Sejarahwan Prof. Oman Fathurahman dalam kuliahnya menyebut bahwa masyarakat Jawa klasik mengenal beragam penyakit yang dicatat dalam teks-teks kuna seperti Serat Centhini, Negarakertagama, dan Primbon Jampi Jawi—antara lain: wudunen (bisul), buduk (kusta), mengi (asma), lampung (penyakit kulit), bahkan tidur yang diartikan sebagai koma.
Penyakit yang menimpa rakyat Blambangan agaknya termasuk dalam kategori berat. Bahkan dalam kisah lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi di Banyuwangi, disebutkan bahwa penyakit itu juga menjangkiti kalangan istana. Sang putri, Dewi Sekardadu, menderita sakit keras dan hampir tak tertolong.
Maulana Ishaq: Tabib yang Bersih, Ulama yang Tajam
Sunan Ampel, pemimpin spiritual pusat dakwah Islam di Jawa kala itu, tidak tinggal diam. Beliau mengutus salah seorang ulama terbaiknya, Syaikh Maulana Ishaq, untuk mengobati rakyat dan membuka jalur dakwah di wilayah yang masih kukuh mempertahankan agama leluhur tersebut.
Berbeda dari dukun yang menggunakan mantra dan kemenyan, Maulana Ishaq justru berkeliling desa, mencatat, mengamati, dan mewawancarai masyarakat. Ia mencatat penyebab penyakit bukan semata kutukan, tetapi karena sanitasi buruk, kebiasaan hidup yang kotor, dan pola makan yang tidak higienis.
Dalam laporan sejarah yang dihimpun oleh sejarawan Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo, disebutkan bahwa Maulana Ishaq dikenal sebagai tokoh yang sangat memperhatikan kebersihan fisik dan spiritual. Ia adalah simbol dari perpaduan antara ilmu pengobatan, akhlak luhur, dan kekuatan dakwah yang menyentuh kalbu masyarakat.
Ia menemukan bahwa warga Blambangan terbiasa mengonsumsi binatang liar seperti kelelawar, kera, katak, hingga tikus. Binatang-binatang ini secara medis terbukti membawa virus dan bakteri berbahaya. Bahkan menurut Negarakertagama, konsumsi hewan-hewan tersebut dianggap hina dan bisa menyebabkan penyakit kronis seperti meningitis.
Ilmu, Iman, dan Kesehatan
Dalam khutbahnya kepada rakyat Blambangan dan kepada Prabu Menak Sembuyu, Maulana Ishaq menyampaikan bahwa Islam sangat memperhatikan kebersihan. Wudhu lima kali sehari bukan sekadar ritual, tapi juga bentuk pencegahan penyakit. Mandi junub, cuci tangan sebelum makan, potong kuku, larangan makan bangkai, hingga keharusan menguburkan jenazah dengan cepat—semua adalah bentuk sistem kesehatan preventif yang tidak dikenal dalam ajaran lokal saat itu.
“Agama kami menyuruh kami untuk bersuci sebelum menyentuh yang suci. Bayangkan jika kebiasaan itu dilakukan oleh seluruh rakyatmu. Bukankah wabah akan pergi?” ucap Maulana Ishaq dalam tradisi tutur yang masih dikenang di daerah Banyuwangi.
Dakwahnya bukan dalam bentuk pedang atau perang. Tapi dengan kasih sayang, pengobatan gratis, dan teladan hidup bersih. Ia tak memungut biaya, justru memberi bekal pada pasien yang datang dari jauh. Rakyat Blambangan jatuh hati. Bukan karena ceramahnya, tapi karena akhlaknya. Tubuhnya selalu bersih, pakaiannya harum, dan ia tidak pernah menolak orang miskin yang datang berobat.
Kesembuhan Sang Putri dan Janji yang Dikhianati
Ketika Dewi Sekardadu jatuh sakit, Prabu Menak Sembuyu kehilangan akal. Dalam keputusasaan, ia bersedia menerima syarat dari Maulana Ishaq: sang tabib akan mengobati putrinya dengan satu permintaan, yakni diperbolehkan mendakwahkan Islam secara terbuka di tanah Blambangan. Raja menyetujui.
Atas izin Allah, Dewi Sekardadu sembuh. Tapi seperti banyak kisah klasik Nusantara, keajaiban justru berujung pengkhianatan. Janji tinggal janji. Prabu Menak Sembuyu merasa terancam akan pengaruh Islam dan mengusir Maulana Ishaq dari kerajaannya.
Syaikh itu pun pergi. Ia meninggalkan rakyat yang mencintainya, meninggalkan gadis yang telah disembuhkan, dan meninggalkan Blambangan yang kembali dikejar bayangan wabah.
Wabah Kembali Menyerbu
Tak lama setelah pengusiran itu, wabah pun kembali. Kali ini lebih ganas. Tidak ada tabib, tidak ada petuah, tidak ada ajaran kebersihan. Blambangan kembali menjadi tanah kematian. Dalam cerita rakyat yang hidup di sekitar Banyuwangi, masyarakat percaya bahwa pengusiran Maulana Ishaq adalah kesalahan fatal yang membawa kutukan.
“Ketika kebenaran ditolak, maka bencana akan datang bukan hanya dari langit, tetapi juga dari dalam tubuh manusia,” begitu salah satu kutipan dalam manuskrip lokal Babad Blambangan.
Jejak Maulana Ishaq dan Cahaya dari Utara
Maulana Ishaq pergi ke Pasai, meninggalkan Jawa Timur yang keras kepala. Tapi dari perjalanannya itulah, lahir benih baru. Dari pernikahannya dengan Dewi Sekardadu, lahir seorang anak yang kelak menjadi pahlawan sejati dakwah Islam di Nusantara: Sunan Giri. Sang jenius dari Giri Kedaton. Sang pendidik, ahli strategi, dan pemimpin yang kelak mengguncang kekuasaan Majapahit dan menegakkan panji dakwah ke seluruh penjuru Nusantara.
Sejarah mencatat: meski tubuh Maulana Ishaq terusir dari Blambangan, tapi ruh perjuangannya tetap hidup. Ia mewariskan bukan hanya anak, tapi peradaban.
Akhir yang Menggetarkan
Blambangan tidak tumbang karena pasukan. Ia tumbang karena kesombongan. Karena menolak kebaikan yang datang dalam wujud lelaki bersih dengan akhlak mulia. Karena tak sanggup menerima bahwa pengetahuan bisa datang dari luar tembok adat dan warisan nenek moyang.
Walisanga bukan hanya pendakwah. Mereka adalah teknokrat, ilmuwan, insinyur, dan dokter. Mereka tidak membunuh raja, tapi menyembuhkan rakyat. Mereka tidak membakar candi, tapi menyalakan akal dan nurani. Ketika rakyat lapar, mereka beri makan. Ketika rakyat sakit, mereka berikan harapan.
Dan Maulana Ishaq adalah contohnya.
“Wabah adalah ujian. Tapi menolak kebenaran adalah musibah.”
— Refleksi atas Sejarah Blambangan
0 komentar: