"Jika Saya Punya 3.000 Orang Seperti Mereka”
Ketika Panglima Dunia Kagum pada Keberanian Pasukan Muslimin
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Dalam sejarah militer modern, sejumlah jenderal dunia tercengang bukan oleh keunggulan teknologi atau strategi perang yang rumit, melainkan oleh keberanian spiritual pasukan Muslimin. Dari Bosnia hingga Gaza, dari pegunungan Afghanistan hingga Perang Korea, muncul pola yang tak berubah: ruh jihad yang hidup menjadi kunci kemenangan yang tak terukur oleh radar militer.
Kisah paling ikonik datang dari tahun 1948. Dalam Perang Arab-Israel pertama, seorang jenderal Inggris—yang menjadi penasihat militer bagi Israel—menyaksikan pertukaran jenazah antara pasukan relawan Mesir dan tentara Yahudi. Ia memperhatikan bahwa semua pejuang Muslim gugur dengan luka tembak di dada, bukan di punggung. Tak satu pun melarikan diri. Lalu ia berkata:
“Jika saya punya 3.000 orang seperti mereka, dunia bisa saya taklukkan.”
Pernyataan itu mencerminkan satu hal: keberanian spiritual bukanlah romantisme kosong. Ia adalah kekuatan yang membuat musuh tertegun.
Bosnia: Perlawanan dari Negara Muda
Ketika Yugoslavia pecah di awal 1990-an, Bosnia-Herzegovina menjadi salah satu republik yang menyatakan kemerdekaan. Namun Serbia—yang mewarisi kekuatan militer Yugoslavia—merespons dengan kekerasan brutal. Antara 1992 hingga 1995, umat Islam Bosnia menjadi sasaran genosida sistematis.
Yang mengejutkan dunia, pasukan relawan Bosnia—yang minim pelatihan dan perlengkapan—mampu bertahan, bahkan melakukan serangan balasan yang efektif. Mereka mempertahankan Sarajevo dan memukul mundur milisi Serbia dari wilayah strategis.
Sejarawan Marko Attila Hoare dalam How Bosnia Armed (2004) mencatat bahwa "meskipun kekuatan militer Serbia jauh lebih besar, perlawanan Bosnia dibangun atas semangat jihad dan keyakinan religius yang tak goyah bahkan di tengah penderitaan."
Kemenangan mereka bukan semata karena senjata, tapi karena ruh.
Afghanistan: Kuburan bagi Imperium
Afghanistan telah menjadi simbol paling kuat dalam sejarah militer Muslim modern. Pada 1979, Uni Soviet menginvasi negeri itu dengan kekuatan besar. Namun mujahidin lokal—yang sebagian hanyalah petani dan pelajar bersarung—menjadi batu sandungan yang tak bisa dihancurkan. Mereka bertempur dari gua-gua, lereng gunung, dan desa-desa terpencil, bersenjatakan semangat jihad dan harapan akan surga.
Setelah 10 tahun perang, Uni Soviet mundur dengan kekalahan telak. Lebih dari 15.000 tentaranya tewas.
Amerika Serikat mengulangi kesalahan yang sama. Dengan dalih memerangi terorisme, mereka menginvasi Afghanistan pada 2001 dan tinggal selama 20 tahun. Tapi seperti Uni Soviet, mereka pun hengkang pada 2021 secara diam-diam, meninggalkan pangkalan militer dan peralatan perang dalam kekacauan.
Steve Coll dalam Ghost Wars (2004) menyebut bahwa “keyakinan spiritual dan keberanian tanpa pamrih dari mujahidin menjadikan mereka musuh paling sulit bagi kekuatan adidaya.” Afghanistan, katanya, bukan hanya kuburan imperium—tapi juga saksi hidup bahwa iman bisa mengalahkan imperium.
Palestina 1948: Ketika Dunia Melihat Keberanian
Tahun 1948 adalah tahun penting dalam sejarah Palestina. Israel mendeklarasikan kemerdekaannya, dan negara-negara Arab pun terlibat dalam perang terbuka. Salah satu momen paling dikenang terjadi ketika relawan Mesir dan Palestina bertempur melawan tentara Israel yang didukung Inggris.
Saat dilakukan pertukaran jenazah, seorang jenderal Inggris memperhatikan bahwa para syuhada Muslim semuanya gugur dengan luka di dada, tanpa satu pun yang tertembak di punggung. Ia lalu berkata:
“Jika saya punya 3.000 orang seperti mereka, saya bisa menaklukkan dunia.”
Harun Yahya dalam Palestine: Peace Not Apartheid (2001) mencatat momen ini sebagai simbol betapa pasukan Muslimin memiliki keberanian untuk maju, bukan mundur. Bagi mereka, mati syahid adalah kemenangan, bukan kekalahan.
Pasukan Turki di Korea: Sajadah di Tengah Perang
Perang Korea (1950–1953) adalah salah satu perang besar di Asia Timur yang melibatkan kekuatan global, termasuk PBB. Di antara sekutu yang bergabung, pasukan Turki tampil mencolok.
Dikenal sebagai tentara yang tak pernah menyerah dan sangat religius, pasukan Turki menolak hiburan malam, tidak menyentuh alkohol, dan menghabiskan waktu luangnya dengan shalat dan dzikir.
Jenderal Douglas MacArthur dalam Reminiscences (1951) menulis bahwa pasukan Turki adalah "yang paling bermoral dan paling berani." Mereka tak hanya bertempur, tapi juga berdakwah secara sunyi.
Bahkan setelah perang usai, pemerintah Korea Selatan mendokumentasikan peninggalan spiritual mereka: sebuah masjid kayu kecil di Suwon yang dibangun oleh pasukan Turki sebagai rumah ibadah selama perang berlangsung.
Gaza: Warisan yang Masih Hidup
Saat ini, semangat yang sama menyala di Gaza. Meski dikepung, diblokade, dan dibombardir, pejuang Palestina tidak menyerah. Mereka bertempur dengan senjata rakitan, tanpa perlindungan udara, dan dalam kondisi kemanusiaan yang nyaris mustahil.
Namun mereka tetap bertahan. Tetap tersenyum. Tetap menyeru: “Allahu Akbar.”
Max Blumenthal dalam The Palestine Laboratory (2023) menulis, “Gaza adalah satu-satunya tempat di dunia di mana orang tua menangis bahagia ketika anaknya gugur sebagai syuhada.”
Mereka tak hanya menjadi simbol perlawanan, tapi juga bukti bahwa ruh jihad tak mati meski dunia mencibir. Gaza hari ini memiliki mental yang diinginkan oleh para panglima perang dunia, bukankah terbukti mencabik-cabik tentara IDF yang dikenal terbaik di dunia?
Ruh Jihad: Yang Tak Terdeteksi Radar
Dalam dunia militer modern, keberanian biasanya dikaitkan dengan jumlah senjata, pelatihan tempur, dan strategi. Tapi pasukan Muslimin menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar: niat yang tulus dan visi akhirat.
Lawrence Wright dalam The Looming Tower (2006) menyimpulkan bahwa “yang membuat perbedaan dalam konflik-konflik ini bukan taktik atau teknologi, melainkan kekuatan spiritual yang melebihi insting bertahan hidup.”
Dunia Masih Mendengar Kalimat Itu
Dunia hari ini mungkin tidak lagi bertempur dengan peluru dan bayonet. Tapi perang terus berlangsung—dalam bentuk budaya, narasi, dan ideologi. Kita diserang oleh konsumerisme, hiburan kosong, dan algoritma yang membuat kita lupa tujuan hidup.
Namun ruh itu belum padam. Dan mungkin, jika seorang panglima berkata lagi:
“Jika saya punya 3.000 orang seperti mereka…”
Yang dimaksud bukan lagi para pejuang di medan perang konvensional. Tapi kita—generasi yang hidup dengan visi, keberanian, dan keyakinan. Generasi yang tak hanya sibuk mempercantik profil, tapi membangun peradaban. Yang tak sekadar scroll media sosial, tapi menggenggam dunia dengan nilai.
0 komentar: