Seruan Jihad dari Mekah: Warisan Langit untuk Keturunan Mataram
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Jangan sangka mereka yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka hidup di sisi Tuhan...”
(QS. Al-Baqarah: 154)
Ketika Pedang Patah oleh Perjanjian
Tahun 1755, kerajaan Mataram—yang dulu jadi pusat perlawanan Islam terbesar di tanah Jawa—dipecah oleh tangan asing lewat Perjanjian Giyanti. Di atas kertas, perjanjian ini tampak seperti kesepakatan damai antara dua pangeran Jawa: Sunan Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I). Namun sejatinya, inilah strategi kolonial paling licik yang pernah diterapkan Belanda: memecah kekuatan ruhani dan militer Islam dari dalam.
Dengan satu tinta, jihad melawan kafir penjajah berubah menjadi konflik saudara. Semangat perlawanan tercerai-berai. Para bangsawan lebih sibuk mengamankan takhta daripada melawan musuh agama. Jiwa Mataram runtuh bukan karena kalah perang, tetapi karena kehilangan arah.
Dan ketika Jawa terpecah... langit tidak tinggal diam.
Mekah Mendengar Jeritan Jawa
Jauh di tanah Hijaz, di tengah komunitas pelajar dan ulama Nusantara di Tanah Suci—komunitas Jawi—seorang ulama besar dari Palembang menyimak tragedi itu dengan luka dalam dada. Ia adalah Syeikh Abdul Shamad al-Palimbani, murid dari para ulama besar Mekkah, penulis kitab tasawuf, sekaligus pemilik hati yang terus memikirkan tanah air yang diinjak penjajah.
Menurut sejarawan Prof. Azyumardi Azra, masyarakat Jawi di Hijaz sejak abad ke-17 telah menjadi jaringan intelektual dan spiritual trans-nasional. Mereka menyerap ilmu Islam di Mekah dan Madinah, lalu menjadi pembawa gagasan pembaruan dan jihad melawan kolonialisme ke seluruh Nusantara.
Melalui jalur jamaah haji, surat-surat pelaut, dan murid-muridnya dari Sumatra hingga Banten, Palimbani menyusun risalah jihad. Tapi ia tidak hanya menulis kitab. Ia mengirim surat langsung kepada para raja keturunan Mataram—yang terpecah oleh Giyanti tapi masih menyimpan bara sejarah.
Surat untuk Sultan: Membangkitkan Ruh yang Terbelah
Salah satu surat dikirimkan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono I, sang pangeran yang baru saja dinobatkan pasca-Giyanti. Palimbani tahu: politik telah menjerat sang sultan, tapi ruhnya masih bisa disentuh.
“Allah telah menjanjikan para sultan akan masuk surga karena keberanian mereka melawan musuh agama.”
“Jangan anggap mereka yang gugur sebagai mati. Mereka hidup di sisi Tuhan.”
Bersama surat itu, ia mengirim air zam-zam. Bukan sebagai hadiah biasa, melainkan sebagai simbol kesucian asal perjuangan. Dalam Islam, zam-zam adalah saksi air mata Hajar, pengorbanan ibu yang ditinggal di padang tandus. Maka di tengah padang politik penuh tipu daya, air zam-zam adalah ajakan kembali ke fitrah keberanian.
Panji dari Langit untuk Paku Negara
Surat lainnya ditujukan kepada Pangeran Paku Negara, pemimpin sejajar yang juga lahir dari pecahan Mataram. Kali ini Palimbani lebih tegas. Ia memuji keberanian sang pangeran dan mengirimkan panji jihad dari Tanah Suci.
“Panji ini adalah jimat jihad, yang akan membawa kemenangan bagi siapa yang bertarung dengan iman dan keadilan.”
Dalam sejarah Islam, panji (al-liwā’) bukan hanya kain berkibar. Ia adalah simbol ruh perlawanan dan legitimasinya. Panji Rasulullah ﷺ—al-‘Uqāb—menjadi pusat arah pasukan. Selama panji tegak, pasukan belum kalah. Maka Palimbani tidak mengirim senjata, tapi arah. Ia bukan hendak membakar tubuh, tapi menyalakan ruh.
Surat yang Dihancurkan, Tapi Jiwanya Meledak
Belanda segera sadar: surat ini lebih berbahaya dari senjata. Mereka menyitanya, menerjemahkan ke bahasa Jawa dan Belanda, lalu membakarnya. Tapi seperti kisah Al-Kahfi dan wahyu langit: api tak bisa membakar semangat yang lahir dari iman.
Beberapa dekade kemudian, bara itu menyala kembali. Pangeran Diponegoro, cicit dari dinasti yang sama, bangkit dengan menyebut jihad. Ia tak pernah membaca surat itu. Tapi mungkin, ia merasakannya.
“Inilah saatnya aku mati syahid di tangan Belanda, atau Belanda hancur dari tanah Jawa.”
Perang Diponegoro (1825–1830) adalah perang terbesar di Nusantara pada abad ke-19. Ia bukan bangkit dengan artileri, tapi dengan keyakinan ruhani. Maka sangat mungkin, api jihad Diponegoro berasal dari bara yang dikirim dari Masjidil Haram.
Mengapa Bukan Senjata?
Kenapa Palimbani tak mengirim senjata?
Karena ia tahu, Mekah bukan gudang senjata, tapi sumur makna. Ia bukan hendak mengalahkan Belanda dengan mesiu, tapi menyusup ke relung jiwa para penguasa yang telah lama dilemahkan oleh politik.
Menurut Azyumardi Azra, para ulama Jawi memainkan peran penting sebagai “broker ideologis dan spiritual” yang menginspirasi pembaruan Islam dan jihad lokal. Mereka tak punya meriam, tapi punya teks dan doa yang menembus batas sensor penjajah.
Tradisi Mekah–Mataram Sejak Sebelum Palimbani
Syeikh Palimbani bukan pelopor tunggal. Ia pewaris jaringan lama. Sejak era Sultan Agung Mataram, hubungan ruhani dengan Hijaz sudah terjalin. Dalam catatan sejarah, Sultan Agung mengirim Kyai Wiryokusumo ke Mekah untuk memperkuat legitimasi Islam pemerintahannya.
Bahkan ulama besar seperti Sunan Gunung Jati juga tercatat memiliki hubungan spiritual dengan Tanah Suci. Maka, surat Palimbani bukan inovasi, tetapi kelanjutan tradisi: ketika Mekah dan Jawa bersatu, lahirlah perlawanan yang tak bisa dihentikan.
Warisan yang Tak Bisa Dirampas
Syeikh Palimbani membuktikan: jihad bukan hanya darah dan pedang. Ia adalah surat, air suci, panji, doa, dan keberanian ruhani. Ia adalah arsitek tak terlihat dari perlawanan besar yang akan datang.
Belanda membakar suratnya. Tapi mereka gagal mencegah satu hal: Jihad itu menetas dalam jiwa generasi setelahnya.
Kini, surat itu sampai kepada kita—bukan lewat pos, tapi lewat sejarah yang hidup. Dan kini, giliran kita membalas surat itu.
Bukan ke melawan Belanda, tapi mengisi masa depan.
Bukan saja dengan tinta, tapi dengan karya.
Bukan dengan zam-zam semata, tapi dengan peluh perjuangan.
Surat yang Tak Pernah Sampai, Tapi Selalu Hidup
Palimbani pernah menulis:
“Berusahalah karena takut kepada Allah, bukan karena nasib buruk. Maka kamu akan melihat langit tanpa awan, dan bumi tanpa noda.”
Surat itu mungkin tidak pernah sampai ke tangan para sultan. Tapi kini, ia sampai ke hati kita—yang membaca dengan iman dan tekad untuk meneruskan amanah zaman.
Dan mungkin...
itulah memang tujuannya sejak awal.
0 komentar: