Ketika Aqidah Menjadi Kompas Dagang dan Politik di Era Kesultanan Nusantara
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Mereka mengira perdagangan digerakkan oleh emas dan perak. Padahal kekuatan sejatinya adalah iman dan ukhuwah.”
— Catatan pelaut Arab abad ke-16 dalam Rihlah al-Bahr al-Hindi
Malaka: Poros Peradaban Islam Asia Tenggara
Pada abad ke-15, Malaka bukan sekadar pelabuhan dagang. Ia adalah simpul spiritual dan geopolitik dunia Islam di Timur. Letaknya yang strategis di Selat Malaka menjadikannya penghubung utama antara Gujarat, Hadramaut, Makkah, Aceh, Ternate, dan Jawa. Namun bukan posisi geografis semata yang menghidupkan Malaka—melainkan ruh aqidah.
Saudagar dari Hadramaut, Gujarat, Benggala, hingga Demak datang bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga menyambung ukhuwah dan menyebarkan syariat. Pasar menjadi madrasah, pelabuhan menjadi mimbar. Transaksi ekonomi dijalankan dengan akhlak dan misi dakwah. Dalam istilah Azyumardi Azra, "perdagangan Islam tidak bisa dipisahkan dari misi dakwah dan ukhuwah."
Malaka hidup bukan karena cukai atau tarif, tetapi karena kepercayaan yang mengikat para pedagang Muslim dalam jaringan akidah lintas wilayah. Sebuah etos niaga yang menolak transaksi tanpa keadilan dan keberkahan.
Ketika Portugis Salah Membaca Dunia Islam
Namun kesucian itu dihancurkan meriam. Tahun 1511, armada Portugis menyerbu Malaka. Dengan benteng dan kapal perang, mereka mengira telah menguasai jalur emas Asia. Gubernur Afonso de Albuquerque dengan penuh keangkuhan menulis:
“By taking Malacca... Cairo and Mecca will be completely lost.”
Mereka menyangka bahwa dengan menguasai pelabuhan, mereka bisa memutus urat nadi Islam. Tapi mereka lupa: perdagangan Muslim tidak ditentukan oleh senjata, tapi oleh iman. Malaka yang sebelumnya hidup, tiba-tiba sepi. Kapal-kapal enggan merapat. Saudagar hijrah dalam sunyi ke Samudera Pasai dan Aceh.
Denys Lombard mencatat, “Aceh berkembang karena menjadi simbol perlawanan spiritual dan ekonomi terhadap kolonialisme.”
Islam mengajarkan bahwa hijrah tak hanya dari kekufuran, tetapi juga dari kezaliman ekonomi. Dan para pedagang Muslim memahami itu secara hakiki.
Dari Pasai ke Aceh: Akidah sebagai Arah Ekonomi
Pasai sempat menggantikan peran Malaka, tapi Portugis kembali datang membawa kehancuran. Maka gelombang hijrah kembali bergulir—menuju Aceh Darussalam. Di bawah Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh bukan hanya menjadi pusat kekuatan politik Islam, tapi juga benteng akidah yang melahirkan solidaritas ekonomi.
Aceh tidak tumbuh dari emas atau rempah, tetapi dari ruh jihad dan loyalitas kepada tauhid. Sejarawan M.C. Ricklefs menulis, “Islam menciptakan identitas trans-nasional yang mengikat komunitas-komunitas jauh dalam satu jaringan solidaritas.”
Di sinilah satu pola sejarah mulai terlihat jelas:
Ke mana aqidah ditegakkan, ke sanalah perdagangan dan kekuasaan Islam tumbuh.
Ketika Jalur Dagang Bergeser: Sunda Kelapa dan Banten Bangkit
Setelah Malaka dan Pasai jatuh, jaringan saudagar Islam tidak bubar. Mereka hanya berbelok. Jalur pelayaran menyusuri pantai barat Sumatera, melewati Lampung, menuju Sunda Kelapa dan Banten, lalu terus ke Kalimantan dan Indonesia Timur.
Sumber sejarah mencatat:
“Islamic traders… shifted their trade route from the Strait of Malacca toward the direction of Sunda Strait via West Java.”
Banten pun bangkit sebagai pelabuhan internasional. Ia menjadi titik temu pedagang dari Arab, Turki, Cina, Gujarat, Inggris, dan Bugis. Yang menghidupkan pelabuhan itu bukan tarif murah, tapi reputasi amanah para sultan dan imam. Kejujuran jadi modal utama, dan aqidah menjadi fondasi sistem dagang.
Ketika Portugis Menjadi Bajak Laut
Karena gagal menguasai jalur perdagangan yang digerakkan oleh ukhuwah Islamiyah, Portugis berubah haluan. Mereka bukan lagi pedagang atau penguasa pelabuhan, melainkan perompak samudera. Di Samudera Hindia, mereka menjarah kapal-kapal Muslim dari Jawa, Kalimantan, dan Aceh yang hendak menuju Hijaz atau Mesir.
Namun blokade itu gagal. Jamaah haji dari Nusantara mulai mengambil jalur alternatif: dari Aceh ke Sri Lanka, lalu ke Yaman dan Makkah. Upaya Portugis memutus koneksi Nusantara dengan pusat dunia Islam—gagal total.
Azyumardi Azra menyebutnya sebagai “kosmopolitanisme Islam yang berbasis pada jaringan keilmuan dan spiritualitas, bukan dominasi militer.”
Mengapa Demak dan Aceh Menyerang Malaka?
Pertanyaan ini kerap muncul: mengapa Kesultanan Demak dan Aceh menyerang Malaka, padahal lokasinya di luar teritorial mereka?
Jawabannya tegas: karena Malaka adalah bagian dari tubuh umat Islam. Penjajahan atas Malaka bukan hanya penaklukan geografis, tetapi penistaan terhadap akidah. Maka membela Malaka bukan ekspansi politik, tetapi jihad fi sabilillah.
Sejarawan Anthony Reid mencatat bahwa gerakan anti-Portugis di Nusantara bukanlah reaksi lokal, melainkan “solidaritas Islam yang bersifat lintas kerajaan dan wilayah.”
Inilah nasionalisme berbasis tauhid. Sebuah ikatan yang melampaui batas-batas darah dan bahasa.
Revolusi Politik Berbasis Akidah
Sebelum Islam datang, politik Nusantara dibangun di atas kesukuan dan kerajaan. Tapi Islam membawa paradigma baru: umat. Maka satu kapal dagang dari Minangkabau dianggap saudara oleh Sultan di Ternate. Seorang ulama dari Giri bisa memimpin pasukan di Palembang. Karena yang mengikat bukan peta, tapi kalimat tauhid.
Kesadaran baru ini melahirkan revolusi politik berbasis akidah. Sebuah bentuk awal dari apa yang hari ini disebut “geopolitik Islam”. Ulama, saudagar, dan sultan menjadi satu simpul dalam jaringan ruhani yang kokoh.
Ketika Ekonomi Tunduk pada Akidah
Inilah pelajaran besar dari sejarah:
Ekonomi Islam di Nusantara tunduk pada nilai, bukan pasar.
Jika pelabuhan dikuasai oleh penjajah kafir, maka pelabuhan itu ditinggalkan. Jika cukai dipakai untuk menindas umat, maka perdagangan pun dialihkan.
Inilah jihad ekonomi. Sebuah bentuk perlawanan tanpa senjata, tapi berdampak besar.
Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.”
(QS. At-Talaq: 2–3)
Epilog: Bisnis Sebagai Cermin Akidah
Di era modern, kita terbiasa memisahkan bisnis dari iman. Tapi sejarah Nusantara berkata sebaliknya: bisnis sejati adalah ekspresi dari aqidah. Malaka, Pasai, Aceh, Banten—semua tumbuh bukan karena emas atau pasar bebas, tetapi karena keimanan yang teguh dan jaringan ukhuwah yang hidup.
Portugis boleh menguasai pelabuhan, tapi tidak bisa menguasai hati. Mereka bisa menembak kapal, tapi tak bisa menghentikan ruh dagang yang berpijak pada tauhid.
Buya Hamka dalam Falsafah Hidup menegaskan bahwa:
"Orang yang mengaku beriman, tetapi masih berjual beli dengan mengorbankan akhlak, sejatinya telah meletakkan dunia di atas Tuhan. Padahal bagi Muslim, rezeki adalah amanah, bukan rebutan."
Sementara Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam kerangka pemikiran Islamisasi ilmu, mengkritik pemisahan antara nilai spiritual dan aktivitas ekonomi modern. Baginya, kekayaan bukan sekadar akumulasi material, tapi tanggung jawab tauhid yang harus menjamin keadilan, keseimbangan, dan kemuliaan manusia sebagai hamba dan khalifah.
"Islam tidak mengenal dikotomi antara ‘ekonomi’ dan ‘agama’. Segala aspek hidup berada dalam orbit tauhid. Maka mencari rezeki adalah juga bentuk ibadah, selama ia bergerak dalam maqashid yang benar." — al-Attas, Islam and Secularism
Pertanyaannya untuk masa kini:
Masihkah aqidah menjadi pondasi bisnis dan politik kita hari ini?
Atau kita justru mulai menjual prinsip demi kursi dan profit?
Sejarah sudah memberi jawaban: siapa yang menjadikan iman sebagai fondasi, dialah yang akan tetap menjadi poros dunia. Bukan karena senjata. Tapi karena Allah-lah yang menggerakkan rezeki, kemuliaan, dan kemenangan.
0 komentar: