Saat Belanda Sangat Percaya Diri untuk Abadi Menjajah Indonesia
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“De Nederlandsch-Indië zal nooit worden losgelaten.”
“Hindia Belanda tidak akan pernah dilepas.”
— Tertulis di uang kertas Belanda, dekade 1940-an.
Ketika Kolonialisme Mengira Dirinya Abadi
Pada dekade 1940-an, Belanda benar-benar yakin bahwa Hindia Belanda adalah miliknya untuk selama-lamanya. Keyakinan ini tak hanya tampak dalam retorika politik atau propaganda, tetapi tercetak secara terang-terangan di atas lembaran uang resmi mereka. Mata uang itu tidak sekadar alat tukar—ia adalah simbol kekuasaan total.
Sejarawan Peter Carey mencatat, "Sistem kolonial Belanda pada 1940-an bukan hanya memenjarakan tubuh rakyat Indonesia, tapi juga pikirannya. Belanda menata ulang seluruh struktur sosial agar tidak ada celah perlawanan."
Mengapa mereka begitu percaya diri? Karena dari ujung Aceh hingga Papua, hampir tak ada wilayah yang benar-benar merdeka. Kesultanan-kesultanan Islam—dari Ternate, Bone, Pontianak, hingga Yogyakarta—sudah berada di bawah kendali simbolik dan administratif Belanda. Mereka masih memiliki mahkota, tetapi tidak lagi punya kekuasaan. Sistem hukum Islam telah direduksi menjadi urusan moral privat. Kata “jihad” telah dimuseumkan oleh tangan-tangan Snouck Hurgronje dan para penerusnya yang berpakaian akademik tapi bekerja untuk kolonialisme.
Keheningan yang Disangka Kemenangan
Belanda sangat memahami bahwa dominasi fisik saja tak cukup. Maka mereka menguasai seluruh sendi kehidupan. Hukum dibuat agar syariat tak bisa hidup di luar ruang pribadi. Pendidikan dirancang untuk mencetak birokrat kolaborator, bukan pemimpin perlawanan. Mata pelajaran tentang sejarah dan keislaman dibersihkan dari unsur “gerakan”.
Snouck Hurgronje menulis dalam “De Atjehers” bahwa “Islam sebagai sistem sosial-politik harus dipisahkan dari Islam sebagai ritual pribadi agar tidak membahayakan stabilitas kolonial.”
Pendidikan modern hanya dibuka bagi bangsawan loyalis. Ulama disingkirkan dari ruang publik. Bahkan fatwa keagamaan dimonitor dan diregulasi oleh pemerintah kolonial. Mata uang, sebagai simbol ekonomi, dicetak dan disebar bukan hanya untuk transaksi, tetapi untuk menyampaikan pesan kekuasaan: kalian adalah milik kami.
Menurut sejarawan ekonomi Christopher Bayly, “Berjalannya mata uang asing di wilayah jajahan adalah bentuk penjajahan tertinggi—ia menjajah tanpa terlihat, memerintah tanpa tentara.”
Dan ini bukan hanya terjadi di Hindia Belanda. Aljazair menggunakan franc Prancis, India memakai pound sterling, Filipina memakai dolar AS. Bahkan hingga kini, penggunaan dolar dalam transaksi internasional masih dianggap bentuk dominasi global pasca-kolonial. Profesor Michael Hudson menyebutnya sebagai "financial imperialism disguised as liberal trade."
Negara yang Dikuasai Total, Tapi Tetap Merdeka
Indonesia bukan satu-satunya. India, yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Inggris selama hampir dua abad, akhirnya merdeka pada 1947. Aljazair, setelah 132 tahun dijajah Prancis dengan brutal, juga memproklamirkan kemerdekaannya pada 1962. Bahkan Vietnam, yang sepenuhnya dicengkeram oleh Prancis dan kemudian Amerika, akhirnya berdiri tegak setelah perjuangan panjang dan berdarah.
Semua negara ini punya kesamaan: ketika kekuasaan kolonial merasa telah menguasai seluruh lini—politik, ekonomi, budaya, pendidikan, agama—mereka justru kehilangan kemampuan mendeteksi api yang membara di dalam jiwa rakyat.
Sejarawan Arnold Toynbee menyimpulkan hal ini dengan sangat tajam:
“Empires fall not at their weakest moment, but when they believe they are invincible.”
Inilah hukum sejarah: saat sebuah kekuasaan merasa tak terkalahkan, saat itulah ia mulai rapuh.
Ketika Semua Kekuatan Berpadu dalam Kezaliman
Kekuasaan Belanda tidak berdiri sendiri. Ia didukung oleh bangsawan lokal yang sudah kehilangan kemandirian, oleh intelektual yang sibuk mencari aman, dan oleh pedagang asing yang mencari untung. Semuanya membentuk aliansi diam-diam untuk mengabadikan ketidakadilan.
Namun sejarah mencatat: kezaliman yang terlalu rapi justru mendekati ajalnya.
“Dan janganlah kamu mengira bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak.”
(QS. Ibrahim: 42)
Belanda tidak dikalahkan oleh tentara besar. Mereka kalah oleh perubahan zaman dan oleh ruh perlawanan yang tak mati. Jepang membuka pintu sejarah, dan rakyat Indonesia yang selama ini ditekan menemukan kembali keberaniannya. Mereka berseru: “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!”
Yang Menghancurkan Kezaliman: Skenario Langit
Kita sering terjebak dalam logika kekuatan fisik. Tapi sejarah Indonesia membuktikan: yang menghancurkan kolonialisme bukan meriam, tapi ruh. Bukan propaganda, tapi doa. Bukan elite, tapi rakyat biasa yang istiqamah.
KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan ulama lain tidak menggenggam senjata, tapi mereka menggenggam kejujuran, keyakinan, dan pengaruh ruhani. Mereka membangun kekuatan dari bawah tanah: dari mushalla, dari pesantren, dari jiwa umat.
“Berapa banyak kelompok kecil yang mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah.”
(QS. Al-Baqarah: 249)
Gaza: Cermin Masa Lalu, Api Masa Depan
Kini, dunia menyaksikan Gaza. Sebuah wilayah kecil yang dikurung, diblokade, dan dibombardir oleh kekuatan militer dan politik global. Tapi Gaza, seperti Indonesia dahulu, sedang menyimpan bara. Mereka tidak punya tank, tapi mereka punya tekad. Tidak punya satelit, tapi punya semangat. Dan sejarah akan membuktikan: kezaliman yang terlalu percaya diri sedang menuju runtuhnya.
Ketika semua jalan diblokir, jalan langit terbuka.
Pilih Sisi Sejarah
Kita tidak perlu menjadi jenderal untuk menumbangkan kekuasaan. Cukup jadi manusia jujur yang tak tunduk. Cukup jadi suara yang tak berhenti menyerukan kebenaran. Karena sejarah besar selalu dimulai oleh tindakan kecil yang istiqamah.
Belanda dulu merasa abadi. Tapi mereka hilang tanpa jejak yang harum. Gaza hari ini tampak hancur. Tapi mereka mungkin sedang menuliskan bab pertama dari sejarah baru dunia Islam.
Dan kita? Tinggal memilih: ingin jadi bagian dari sistem kezaliman, atau bagian dari skenario langit.
“Sesungguhnya Kami telah mencatat segala sesuatu dalam Kitab (Lauh Mahfuz). Maka bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu.”
(QS. Az-Zukhruf: 78–80)
0 komentar: