Dari Demak ke Yogyakarta: Jejak Hukum Islam yang Dihapus oleh Penjajah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi medan pertarungan memori dan makna. Salah satu medan yang kerap disembunyikan adalah jejak hukum Islam di Tanah Jawa. Dari Kesultanan Demak, Mataram Islam, hingga pecahannya di Yogyakarta dan Surakarta, hukum Islam pernah menjadi tulang punggung penataan masyarakat dan kekuasaan. Namun kolonialisme Belanda datang bukan hanya dengan bedil dan cukai, tetapi juga dengan proyek besar: menghapus hukum Islam dari ruang publik dan menggantinya dengan sistem hukum kolonial.
Warisan Demak dan Mataram: Syariat sebagai Sistem Bernegara
Kesultanan Demak (1475–1554), didirikan oleh Raden Patah—murid Sunan Ampel dan bagian dari jaringan Walisongo. Dalam Atlas Walisongo, Prof. Agus Sunyoto menyebut Demak sebagai bentuk awal negara hukum Islam di Nusantara. Syariat tidak hanya mengatur ibadah personal, tetapi juga urusan sosial: muamalah, pidana, zakat, wakaf, dan peradilan. Rujukan utamanya adalah kitab fiqh Syafi’iyyah seperti Fath al-Qarib, Taqrib, dan al-Tanbih.
Struktur hukumnya dibentuk melalui lembaga Balai Syuro atau Majelis Qadha, yang dipimpin para qadhi dan penghulu. Para ulama Walisongo memegang jabatan strategis dalam pengadilan dan pemerintahan. Undang-undang adat seperti Angger-angger Pasar dan Angger-angger Pradata diselaraskan dengan prinsip-prinsip fiqh.
Warisan ini diperkuat oleh Kesultanan Mataram Islam, khususnya di masa Sultan Agung (1613–1645). Ia menyatukan penanggalan Jawa dan Hijriyah melalui Kalandra Sultan Agungan, sebagai bentuk Islamisasi kultural. Hukum pidana lokal ditulis dalam Serat Angger-angger Pidana dan Serat Angger-angger Tindak. Salah satu pasalnya menyatakan:
“Yèn wong nyeluk asmane Gusti Allah saksiné, banjur mungel luput, kudu diukum kanthi pangandikan qadhi, supaya uripé ora dadi piala.”
“Jika seseorang menyebut nama Tuhan (Allah) sebagai saksinya, lalu ternyata ia berdusta, maka ia harus dihukum berdasarkan keputusan qadhi (hakim syariat), agar hidupnya tidak menjadi celaka.” (Angger-angger Pidana, pasal tentang sumpah palsu)
Pasal ini menunjukkan integrasi antara hukum adat dan prinsip syariah, terutama dalam perkara moral, harta, dan kejujuran publik.
Menurut Prof. M. Djajendra dari UGM, sistem hukum Mataram bisa disebut “semi-teokrasi”. Ulama memegang jabatan keagamaan sekaligus kehakiman, dan raja menjadi pelindung agama. Pesantren dijadikan pusat pendidikan hukum, tempat kaderisasi qadhi dan penghulu. Negara dan fiqh berjalan seiring, bukan terpisah.
Yogyakarta dan Surakarta: Fragmentasi Politik, Konsistensi Syariah
Setelah Perjanjian Giyanti (1755), Mataram terpecah menjadi dua: Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Secara politik mereka terpisah, tetapi secara hukum tetap melanjutkan sistem Islam. Di Yogyakarta, jabatan Penghulu Keraton dan Mufti Kerajaan masih eksis hingga awal abad ke-20. Di Surakarta, pengadilan agama tetap berjalan di bawah perlindungan raja.
Dr. Kees van Dijk dalam Religion and State in Indonesia mencatat bahwa lembaga-lembaga ini tetap mengurus perkara nikah, talak, warisan, wakaf, hingga sengketa agraria. Ini bukan sekadar urusan domestik, tetapi manifestasi sistem hukum Islam yang masih hidup dan dihormati masyarakat.
Snouck Hurgronje: Ilmuwan atau Arsitek Dekonstruksi Syariah?
Kuatnya posisi hukum Islam membuat Belanda sadar bahwa bedil tak cukup. Maka dikirimlah Snouck Hurgronje, orientalis yang menyamar sebagai Muslim di Mekkah dan Aceh. Ia bukan sekadar akademisi, tapi perancang strategi kolonial untuk menjinakkan Islam.
Dalam The Achehnese dan Verslagen en Mededeelingen (1899), Snouck menulis:
“Jika Islam tetap dibiarkan menjadi dasar hukum dan sistem sosial, maka Hindia Belanda tak akan pernah stabil.”
Rekomendasinya diterapkan dalam kebijakan Regeeringsreglement (1854) dan Indische Staatsregeling (1925), yang mempreteli yurisdiksi pengadilan agama, membatasi hanya untuk nikah, talak, dan warisan—dan itu pun harus diawasi oleh landraad (pengadilan kolonial). Syariat dikebiri menjadi urusan domestik, bukan sistem sosial.
Perang Diponegoro: Saat Syariah Menjadi Ancaman Nyata
Namun teori Snouck menjadi kenyataan pahit saat meledak Perang Diponegoro (1825–1830). Menurut Prof. Peter Carey dalam The Power of Prophecy, ini bukan sekadar konflik tanah atau takhta, tapi “puncak perlawanan Islam politik di Jawa.”
Diponegoro tidak hanya memimpin laskar jihad, tetapi juga membentuk negara syariah bayangan. Ia mengangkat qadhi, membangun pesantren sebagai pusat logistik, dan menerapkan hukum Islam dalam administrasi lokal.
Sejarawan Niels Mulder dalam Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java menulis bahwa kekuatan Diponegoro ada pada “kemampuannya menciptakan otoritas moral dan legal tandingan” atas hukum kolonial. Inilah yang ditakuti Belanda: bahwa syariat bisa menjadi fondasi politik alternatif yang sah dan berdaya.
Kolonialisme Hukum: Dari Dekrit ke Lembaga
Pasca-Perang Jawa, Belanda bergerak sistematis. Kewenangan qadhi dipangkas. Para penghulu dijadikan pegawai negeri di bawah Kantoor voor Inlandsche Zaken. Isi khutbah Jumat dimonitor. Bahkan akad nikah pun harus dicatat oleh pejabat kolonial.
Prof. B.J.O. Schrieke dalam Indonesian Sociological Studies menyebut ini sebagai bentuk “depolitisasi hukum Islam”—proyek untuk menjauhkan syariah dari potensi mobilisasi sosial dan menjadikannya sekadar urusan keluarga.
Syariah: Dari Ancaman Menjadi Harapan
Kini, ketika kita membaca ulang jejak hukum Islam di Tanah Jawa, pertanyaannya bukan hanya: “Apa yang hilang?”, tapi “Mengapa ia pernah begitu ditakuti?”
Syariah ditakuti bukan karena kejam, tapi karena ia membentuk keadilan sosial, menyatukan rakyat, dan menolak tunduk pada kekuasaan asing. Ia adalah hukum yang tidak lahir dari kolonialisme, tapi dari akal sehat, spiritualitas, dan nilai-nilai ilahiyah.
Jika Demak, Mataram, dan Yogyakarta pernah kuat karena syariat, mengapa hari ini dianggap tabu?
Sejarah telah memberi kita bukti. Kini giliran umat Islam memberi keberanian: bukan hanya mengenang syariat, tetapi menegakkannya kembali—sebagai sistem keadilan, bukan sekadar simbol ibadah.
0 komentar: