Agar Tidak Pikun, Jadilah Seperti Thawus
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Orang alim tidak akan pernah menjadi pikun.”
—Putra Thawus bin Kaisan
Sore itu sunyi. Abu Abdullah Asy-Syam berdiri di depan sebuah rumah sederhana. Ia datang bukan untuk berbincang ringan, tapi untuk bertanya—dan belajar—pada seorang ulama besar: Thawus bin Kaisan.
Saat pintu terbuka, keluarlah seorang lelaki tua. Geraknya perlahan, wajahnya teduh.
“Aku menduga ia adalah Thawus,” kisah Asy-Syam.
“Apakah Tuan Thawus?” tanyanya sopan.
"Bukan," jawab lelaki itu. “Aku putranya.”
Asy-Syam tak bisa menyembunyikan kekagetannya. “Kalau begitu... ayah Anda pasti sudah pikun?”
Tapi sang anak menatapnya lurus. Kata-katanya pendek, tapi mengandung kejutan:
“Kamu berkata begitu? Orang alim tidak akan pernah menjadi pikun.”
Diam. Sejenak, kata-kata itu menggantung di udara. Seolah mengajukan pertanyaan kepada kita semua:
Benarkah ilmu bisa menjaga seseorang dari kepikunan?
Apakah hati yang dipenuhi cahaya pengetahuan akan tetap jernih, bahkan saat raga mulai renta?
Tak lama, Asy-Syam pun dipersilakan masuk. Ia duduk di hadapan Thawus. Sosok itu memang telah tua, tapi sorot matanya tetap tajam. Perkataannya mengalir, tidak melemah oleh usia.
“Bertanyalah… dan bicaralah dengan singkat,” ujar Thawus.
“Jika kau mau, aku akan mengajarkan Al-Qur’an, Taurat, dan Injil dalam satu majelis ini.”
Asy-Syam terdiam. Apa yang hendak ditanyakan, ketika sang guru menawarkan samudera hikmah?
Lalu Thawus melanjutkan:
“Takutlah kepada Allah!
Jangan takut kepada siapa pun selain-Nya.
Berharaplah kepada-Nya, lebih besar daripada rasa takutmu kepada-Nya.
Dan sukailah sesuatu untuk orang lain sebagaimana kamu menyukainya untuk dirimu sendiri.”
Kita mungkin bertanya dalam hati: bagaimana bisa seseorang di usia senja tetap terang hati dan jernih pikirannya seperti Thawus?
Apakah kita bisa menempuh jalan yang sama?
Jawabannya: bisa. Tapi dengan syarat.
1. Isi Waktu Luang dengan Ilmu
Seorang lelaki pernah bertanya kepada Ibnu Mubarak,
“Wahai Abu Abdurrahman, aku punya waktu luang. Haruskah aku membaca Al-Qur’an, atau menuntut ilmu lain?”
Ibnu Mubarak tak menjawab langsung. Ia bertanya balik,
“Apakah kau membaca sebagian ayat Al-Qur’an saat shalat?”
“Ya,” jawab lelaki itu.
“Kalau begitu,” kata Ibnu Mubarak,
“gunakan waktu luangmu untuk menuntut ilmu, karena dengan ilmu-lah kamu akan memahami Al-Qur’an.”
Kita sering merasa cukup hanya dengan bacaan. Tapi ilmu bukan sekadar hafalan. Ia adalah pemahaman. Tanpanya, Al-Qur’an hanya tinggal suara di lidah—bukan cahaya dalam hidup.
2. Tinggalkan Gaya Hidup Santai
Ibnu Hatim Ar-Razi pernah belajar di Mesir selama tujuh bulan. Siangnya belajar, malamnya menelaah. Ia bahkan tak sempat menyentuh kuah makanan.
Suatu hari, mereka membeli ikan untuk sang guru yang sakit. Tiga hari berlalu, ikan itu belum juga disentuh. Mereka pun memakannya sendiri.
Sang guru tersenyum dan berkata:
“Ilmu tidak bisa didapatkan dengan bersantai ria.”
Coba lihat diri kita. Berapa banyak waktu terbuang untuk hal yang tak perlu? Kita ingin berilmu… tapi tak sanggup menahan kantuk. Kita ingin mengerti… tapi tak mau meninggalkan kenyamanan. Apakah bisa?
3. Rendahkan Hati di Hadapan Guru
Khalifah Harun Ar-Rasyid pernah mengundang Imam Malik ke istana untuk mengajarinya ilmu. Tapi Imam Malik menolak.
“Sesungguhnya ilmu itu didatangi,” tegasnya.
Apa yang dilakukan sang khalifah? Ia datang sendiri ke rumah Imam Malik. Berdiri di depan pintu. Menunggu dengan rendah hati.
Ia sadar: ilmu tidak turun kepada orang yang merasa tinggi.
Ilmu tidak datang kepada yang hanya menunggu.
Ilmu adalah anugerah bagi yang mau melangkah.
4. Gunakan Masa Muda Sebelum Terlambat
Ibnu Al-Jauzy pernah berkata,
“Dulu aku ingin hidup seperti kerabatku—menumpuk harta, menikmati dunia. Tapi aku sadar: waktu muda terlalu berharga untuk dihabiskan pada dunia yang fana.”
Maka ia pun mengisi hari-harinya dengan ilmu.
Kini, siapa yang tak kenal nama Ibnu Al-Jauzy? Kitab-kitabnya terus dibaca dari abad ke abad. Ia memilih jalan ilmu—dan Allah menjaga namanya.
Lalu bagaimana kita? Apakah masa muda hanya akan berlalu dengan hiburan dan gelak tawa?
5. Melangkahlah, Meski Jauh dan Melelahkan
Abu Al-Ashbagh dari Sevilla tak puas belajar di negerinya. Ia berjalan ke Cordova, menyeberangi laut ke Mekah, Yaman, Syam, hingga Baghdad.
Bukan karena ilmu langka. Tapi karena jiwanya haus akan hikmah.
Ilmu tak mengenal batas jarak.
Ilmu tak mengenal lelah.
Ilmu datang kepada mereka yang mencari—bukan yang menunggu.
Penutup
Menjadi seperti Thawus bukanlah mimpi kosong. Ia bukan sekadar kisah kuno. Ia adalah bukti hidup bahwa ilmu bisa menjadi penjaga akal, penyegar jiwa, dan penuntun hati.
Thawus tak pikun.
Karena setiap hari hidupnya disirami ilmu.
Karena lidahnya sibuk dengan dzikir.
Karena pikirannya sibuk mengingat Allah, bukan mengeluh tentang dunia.
Maka jika kau ingin tetap bening hingga usia senja,
ingin tetap jernih di tengah zaman yang keruh,
dan ingin akhirmu penuh cahaya…
Jadilah seperti Thawus.
Bukan karena ia luar biasa,
Tapi karena ia memilih jalan ilmu,
Sebelum semuanya terlambat.
Sumber:
Mahmud Musafa Sa’ad, Golden Story, Pustaka Al-Kautsar.
0 komentar: