Hilangnya Syeikh Yusuf Al-Makasari dari Kancah Pengelolaan Negara
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Sejarah negeri ini dipenuhi ironi. Tokoh-tokoh besar yang membangun pondasi peradaban justru dikaburkan dalam buku sejarah, digantikan oleh narasi politis yang steril dari hikmah. Salah satu sosok yang terbuang dari ingatan bangsa adalah Syeikh Yusuf Al-Makasari. Ulama, pejuang, pemikir, dan arsitek hukum Islam Nusantara yang peran strategisnya dalam pemerintahan Kesultanan Banten justru nyaris lenyap dari kesadaran publik.
Namanya harum dari Gowa hingga Istanbul, dari Aceh hingga Mekkah. Namun perannya dalam pengelolaan negara berbasis syariat, tasawuf, dan fiqh justru diabaikan dalam model kekuasaan modern. Dalam dinamika politik kontemporer, tak lagi ditemukan sosok ulama seperti Syeikh Yusuf—yang tak hanya memberi nasihat kepada penguasa, tapi ikut membentuk arah dan nilai sebuah pemerintahan.
Dari Gowa ke Haramain: Jejak Ilmu Seorang Ulama Petualang
Syeikh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, pada 1626. Sejak muda, semangat keilmuannya tak tertandingi. Ia merantau ke berbagai pusat intelektual Islam: Banten, Aceh, Yaman, Mekkah, Madinah, hingga Istanbul. Di Aceh, ia berguru kepada Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, ulama besar yang menjadi mufti Kesultanan Aceh dan terkenal sebagai pembaru pemikiran Islam di wilayah Melayu-Nusantara.
Di Banten, ia menjalin persahabatan dengan Pangeran Surya, calon Sultan Ageng Tirtayasa. Hubungan mereka bukan sekadar persahabatan, tapi kolaborasi ideologis antara ulama dan umara. Syeikh Yusuf mengusulkan bentuk negara yang tak hanya kuat secara politik, tetapi juga kokoh secara akhlak dan hukum ilahiah.
Mufti yang Menghidupkan Struktur Negara
Sepulang dari Haramain dan Istanbul, Syeikh Yusuf kembali ke Banten dan diangkat sebagai mufti agung oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Namun jabatan itu bukan sekadar gelar. Ia membangun infrastruktur ruhani dan hukum negara. Ia menjadi arsitek konstitusi Islam Banten, tempat hukum syariat berjalan dalam rel keadilan.
Sejarawan Belanda, H.J. de Graaf, menyebut Syeikh Yusuf sebagai salah satu tokoh paling strategis dalam menegakkan sistem keislaman di Nusantara abad ke-17. Perannya begitu kuat hingga kerajaan-kerajaan Islam dari Sumatera hingga Maluku menjadikan Banten sebagai poros legitimasi, bukan hanya kekuasaan militer.
Banten pun menjalin hubungan erat dengan Syarif Makkah, kerajaan-kerajaan di India, Hadramaut, hingga Istanbul. Hal ini menandai Banten bukan sekadar kerajaan lokal, tapi pusat diplomasi dunia Islam regional. Semua ini tak lepas dari jaringan keilmuan dan karisma ruhani Syeikh Yusuf.
Tasawuf dalam Struktur Negara
Berbeda dari banyak sufi yang menjauhi politik, Syeikh Yusuf menghidupkan tasawuf sebagai fondasi etika kekuasaan. Ia menggabungkan tarekat dan strategi. Ia mendapat ijazah dari Naqsyabandiyah, Khalwatiyah, Qadiriyah, Syattariyah, dan Ba’alawiyah, menjadikannya tokoh besar dalam spiritualitas Islam global. Gelarnya: Tajul Khalwati Hidayatullah—mahkota Khalwati yang membimbing pada petunjuk Allah.
Ia membawa tasawuf ke dalam tubuh negara. Ia menanamkan nilai zuhud dalam kekuasaan, amanah dalam kepemimpinan, dan syura dalam pemerintahan. Bahkan setelah ia diasingkan oleh Belanda, Sultan-Sultan Banten tetap memakai gelar sufistik: Zainal Abidin, Zainal Arifin, Zainal Alimin, dan Zainal Asyiqin. Bukti bahwa tasawuf telah menjadi bahasa kekuasaan, bukan sekadar jalan batin.
Fakih Najmuddin dan Jejak Hukum Islam yang Terlupakan
Bersama Syeikh Yusuf, Kesultanan Banten membentuk lembaga peradilan syariat yang kuat: Kantor Qadhi. Institusi ini menangani segala urusan: muamalah, waris, nikah-cerai, dan bahkan hudud. Salah satu tokoh penting dalam sistem ini adalah Kiyahi Pakih Najmuddin, Qadhi agung Banten.
Dalam Sarasehan Sejarah Banten tahun 2015, filolog Ayang Utriza Yakin memaparkan hasil kajian atas naskah Undang-Undang Banten abad ke-17. Ia menemukan Catatan Pengadilan Fakih Najmuddin, yang menunjukkan betapa syariat Islam telah berjalan sebagai sistem legal yang kokoh. Bahkan penelitiannya itu diterima dan diapresiasi oleh Universitas Oxford, menegaskan bahwa sistem hukum Islam di Banten adalah warisan dunia yang sah.
Mengapa Syeikh Yusuf Hilang dari Pengelolaan Negara Hari Ini?
Pertanyaannya menggigit:
Ke mana peran ulama seperti Syeikh Yusuf di zaman ini?
Mengapa hari ini para ulama hanya menjadi stempel halal kekuasaan, bukan lagi pembimbing dan penentu arah negara?
Jawabannya menyedihkan:
Ulama hari ini banyak yang tercerabut dari akar keilmuan fiqh dan tasawuf secara bersamaan. Mereka hanya menguasai satu dimensi: hukum tanpa hikmah, atau sufisme tanpa strategi. Di sisi lain, para penguasa modern lebih menyukai ulama yang jinak, bukan yang jujur.
Kekuasaan kini dibangun di atas transaksionalisme, bukan spiritualisme. Ulama dijadikan ornamen, bukan organ dalam negara. Padahal sejarah membuktikan: negara tanpa ulama bukan negara, hanya kekuasaan kosong tanpa cahaya.
Model Syeikh Yusuf dan Masa Depan Politik Islam
Model pemerintahan yang dicita-citakan Syeikh Yusuf Al-Makasari bukan teokrasi kaku. Ia adalah republik ruhani, semacam spiritual commonwealth tempat hukum dan etika bersatu, tempat rakyat dituntun, bukan ditundukkan. Konsep ini sejajar dengan gagasan John Rawls tentang “overlapping consensus”—kesepakatan nilai antara agama dan masyarakat sipil.
Bahkan Alasdair MacIntyre dalam bukunya After Virtue menyatakan bahwa sistem ideal adalah komunitas berbasis etika keutamaan (virtue ethics), bukan kekuasaan instrumental. Dan inilah yang telah ditunjukkan oleh Banten bersama Syeikh Yusuf: negara yang hidup dari nilai, bukan dari hasrat.
Ruh Negara yang Dicuri Sejarah
Hilangnya Syeikh Yusuf Al-Makasari dari peta pengelolaan negara hari ini adalah kehilangan besar yang tak disadari. Ia bukan hanya bagian dari masa lalu, tapi cermin masa depan. Ia membuktikan bahwa ulama sejati bukan hanya mufti yang menasihati, tapi insinyur ruhani yang membentuk arah dan roh sebuah pemerintahan.
Di tengah krisis legitimasi politik, pecahnya moral publik, dan matinya nurani negara, Syeikh Yusuf adalah oase dari zaman keemasan yang bisa dijadikan blueprint peradaban.
Kini tinggal kita:
Apakah kita ingin kembali menjadikan ulama sebagai penuntun kekuasaan?
Atau membiarkan sejarah terus kehilangan ruhnya, satu per satu? Karena tanpa ruh, negara hanya tinggal bangkai dengan seragam.
0 komentar: